Mazmur 34: Takut akan Tuhan
Kata Pengantar
Tanpa adanya keterangan di bagian atas mazmur ini, Mazmur 34 dapat dibaca sebagai suatu tanggapan yang indah akan pujian dan perintah berdasarkan beberapa peristiwa yang tidak diketahui dimana Daud dilepaskan dari bahaya. Kesulitan memahami mazmur ini terjadi karena latar belakang sejarahnya: 104 “Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi.” 105 Saya segera terganggu dengan kata-kata ini. Apakah Daud seharusnya berada di Gat? Apakah pura-pura gila sesuai dengan martabat seorang raja? Apakah Allah dimuliakan karena Daud pura-pura gila dan karena itu lepas dari bahaya? Apakah orang lain belajar sesuatu (bnd. ay. 12-23) berdasarkan perilaku ini? Bagaimana bisa suatu mazmur yang melarang dusta (ay. 14) dibuat berdasarkan tindakan-tindakan seorang penipu?
Salah satu alasan mengapa pertanyaan-pertanyaan ini muncul adalah karena persepsi yang tidak tepat mengenai peristiwa tersebut seperti yang tercantum dalam keterangan di bagian atas mazmur itu106 Sesungguhnya, kebalikannya yang benar. Semakin kita pelajari 1 Samuel 21:10-15 sesuai konteksnya, semakin menyedihkan perilaku Daud ketika ia dikejar oleh Saul. Sebelumnya saya memandang waktu ini dalam hidup Daud sebagai kekuatan rohani dan kepribadiannya yang saleh, suatu studi yang lebih teliti menyatakan bahwa ia adalah seorang pria yang lemah. Karena keterangan di atas mazmur dimaksudkan untuk menarik perhatian kita pada latar belakang sejarah dari mazmur tersebut, marilah kita mulai dengan memperhatikan perilaku Daud ketika ia melarikan diri dari Saul. Pertama-tama Kita akan mengadakan pendekatan secara luas, melihat pada konteks yang terdapat dalam 1 Samuel 21:10-15 dan kemudian secara khusus memperhatikan peristiwa di Gat.
Kematian Goliat dan kacau-balaunya orang Filistin (1 Sam. 17) dengan cepat mengubah Daud dari orang yang tidak dikenal menjadi terkenal sebagai seorang pahlawan perang. Para wanita Israel menyanyi, “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1 Sam. 18:7). Popularitas Daud melampaui Saul, membuat raja itu sangat iri hati (18:8-9). Saul mulai memandang Daud sebagai saingannya, dan akhirnya ia dijadikan sasaran untuk mati. (bnd. 18:10-11, 20-29)
Sama seperti respon Saul yang berdosa terhadap popularitas Daud, Daud juga bereaksi secara salah pada peristiwa-peristiwa berbahaya akibat tujuan-tujuan Saul untuk membunuhnya. Daud melakukan penipuan untuk menangani bahaya. Peristiwa-peristiwa itu mendahului Mazmur 34 dimulai dengan 1 Samuel 19 ketika Daud selamat dari rencana pembunuhan Saul. (19:10). Ia mengelak dari tombak Saul, diturunkan dari sebuah jendela oleh Mikhal, isterinya. Isterinya kemudian (sesuai perintah Daud?) menipu ayahnya. Agar Daud punya waktu untuk melarikan diri, Mikhal menaruh sebuah terafim di tempat tidur dengan shelai tenunan bulu kambing di bagian kepala (19:11-17). Kemudian Daud diharapkan duduk makan bersama-sama dengan raja pada perayaan bulan baru. Karena takut kehilangan nyawanya, ia minta Yonatan berbohong karena ketidakhadirannya dalam perayaan itu. Yonatan berdusta dan menjelaskan pada ayahnya bahwa Daud pergi untuk menghadiri upacara pengorbanan tahunan bagi segenap kaumnya di Betlehem (20:6).
Kemudian Daud melarikan diri ke Nob. Di sana imam Ahimelekh menanyakan Daud mengapa ia datang sendirian. Daud berdusta dan berkata kepada imam itu bahwa Saul telah memberikan suatu tugas yang penting dan ia akan bertemu dengan orang-orangnya di suatu tempat yang telah ditentukan (21:1-2). Daud minta makanan dan sebuah senjata kepada Ahimelekh. Ia diberikan beberapa roti kudus 107 dan pedang yang telah diambilnya dari Goliat.
Kepergian Daud ke Nob harus dibayar mahal. Bersama delapan puluh empat imam lainnya, Ahimelekh dibunuh atas perintah Saul. Ketakutan Saul menyebabkan ia memusnahkan para pria, wanita, anak-anak dan ternak di Nob. (22:6-19).108 Daud menyatakan kepada Abyatar, satu-satunya anak Ahimelekh yang selamat dari pembantaian di Nob, bahwa ia bertanggung jawab secara moral atas pembantaian tersebut. (ay. 22).
Bagaimana mungkin Daud, dengan kata-kata Mazmur 34, mengatakan “carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya” (ay. 14) dengan sebilah pedang? Ketika Daud pergi ke luar untuk bertempur dengan Goliat ia mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan sebilah pedang karena Tuhan berada di pihaknya:
“Hari ini juga TUHAN akan menyerahkan engkau ke dalam tanganku dan aku akan mengalahkan engkau dan memenggal kepalamu dari tubuhmu; hari ini juga aku akan memberikan mayatmu dan mayat tentara orang Filistin kepada burung-burung di udara dan kepada binatang-binatang liar, supaya seluruh bumi tahu, bahwa Israel mempunyai Allah, dan supaya segenap jemaah ini tahu, bahwa TUHAN menyelamatkan bukan dengan pedang dan bukan dengan lembing. Sebab di tangan TUHANlah pertempuran dan Ia pun menyerahkan kamu ke dalam tangan kami” (1 Sam. 17:46-47).
Tuhan tidak hanya mampu melepaskan Daud dari Goliat tanpa sebilah pedang, namun Ia juga dapat melindungi Daud dari penghianatan Saul tanpa Daud berusaha memakai pedang Goliat. Dalam 1 Samuel 19 kita diberitahu bahwa Daud melarikan diri kepada Samuel di Rama, sesudah itu keduanya bersama-sama tinggal di Nayot (ay. 18). Saul mendengar bahwa Daud ada di Nayot dan mengirim orang-orang suruhan untuk menangkapnya. Pada tiga kesempatan orang-orang suruhan Saul yang mau menangkap dihadang oleh Samuel dan sekumpulan nabi; mereka kepenuhan Roh Allah sehingga mereka bernubuat. Orang-orang yang dikuasai oleh Roh Kudus ini tidak bisa menyentuh orang yang diurapi Allah (ay. 23-24). Akhirnya, Saul sendiri memimpin pasukannya, akhirnya ia sendiri juga bernubuat. Tanpa sebilah pedang atau sebuah tombak, Allah mampu menjaga nyawa Daud. Lalu, mengapa Daud merasa perlu untuk mempersenjatai dirinya dengan sebuah senjata?
Dalam 1 Samuel 25 kita menemukan bahwa Daud dan para pengikutnya tinggal di padang gurun Paran (ay. 1). Di sana Daud melindung para gembala Nabal tanpa meminta bayaran. Karena itu ia meminta dari Nabal sedikit makanan dan minuman sebagai tanda penghargaan (ay. 5-8). Nabal yang bodoh menolak permintaannya, menolak untuk mengakui bahwa Daud adalah Raja Israel di masa depan, sebagaimana disaksikan isterinya (ay. 30). Dengan tidak sabar Daud bersiap-siap menyerang Nabal, berniat untuk membunuhnya dan setiap pria yang bersamanya. Hanya dengan campur tangan yang bijak dan saleh dari Abigail Daud tidak jadi balas dendam(ay. 9-35).109 Sudah pasti Daud tidak “berusaha mencari perdamaian” seperti yang ia anjurkan orang-orang lain untuk lakukan Mazmur 34.
Satu peritiwa penting harus disebutkan sebelum kita melihat Daud melarikan diri untuk pertama kalinya ke Gad dalam 1 Samuel 21. Untuk kedua kalinya Daud lari kepada Akhis di Gat dalam 1 Samuel 27. Dalam hal ini sangat jelas bahwa Daud melarikan diri ke kota orang Filistin karena takut dan tidak percaya.
Tetapi Daud berkata dalam hatinya: “Bagaimanapun juga pada suatu hari aku akan binasa oleh tangan Saul. Jadi tidak ada yang lebih baik bagiku selain meluputkan diri dengan segera ke negeri orang Filistin; maka tidak ada harapan bagi Saul untuk mencari aku lagi di seluruh daerah Israel dan aku akan terluput dari tangannya” (1 Sam. 27:1).
Dalam istilah modern, Daud berpikir, “Lebih Baik Malu daripada Mati.” Daud melarikan diri kepada orang Filistin karena ia tidak percaya Allah akan melindungi nyawanya dengan cara lain.
Tindakan-tindakan Daud berdasarkan pragmatisme daripada berdasarkan prinsip. Ia mau bersekutu dengan musuh-musuh Israel agar merasa aman dan terjamin. Orang-orang Filistin pernah melarikan diri dari Daud, pahlawan Israel (1 Sam. 17:50-52), sekarang adalah sekutu Daud kepada siapa ia mencari perlindungan dari Saul. Supaya dihargai oleh Akhis, Daud meyakinkan dia bahwa ia akan memimpin serangan-serangan ke kota-kota Israel, kenyataannya ia menyerang orang Gesur, orang Girzi dan orang Amalek (27:8-12). Daud bahkan memberitahu Akhis bahwa ia akan bertempur bersama-sama dengannya melawan orang-orang Israel (28:1-2) yang tampaknya akan dilakukannya sampai ada sebuah protes dari panglima-panglima Filistin (29:1-5).
Peristiwa-peristiwa ini memberikan suatu latar belakang untuk kesulitan Daud dalam 1 Samuel 21. Dalam semua peristiwa-peristiwa sebelumnya, kekerasan dan tipu daya tampaknya lebih berperan daripada suatu kekecualian. Dalam pelarian selanjutnya dari Saul, Daud meninggalkan Yudea ke Gat, kota asal Goliat (1 Sam. 17:4,23) dan satu dari lima kota-kota penting orang Filistin (bnd. Yos. 13:3; 1 Sam. 6:17; 17:52). Tampaknya Daud ingin tetap tidak dikenal, namun harapan-harapan semacam itu sia-sia. Ia segera dikenali sebagai raja Israel dan pahlawan perang yang dinyanyikan oleh perempuan-perempuan Israel (1 Sam. 21:11). Hal-hal ini semuanya dilaporkan kepada Akhis, raja negeri Gat.
Keterangan di bagian atas Mazmur 56 (Alkitab bhs Inggris menyatakan bahwa Daud ditahan di rumah. Mungkin Daud bertanya-tanya apakah ia akan dihukum seumur hidup sebagai tahanan Akhis. Bagaimanapun, Israel dan orang-orang Filistin adalah musuh dalam peperangan sebagai bangsa. Daud adalah musuh raja (ay. 11), atau sekurang-kurangnya akan menjadi musuhnya. Dan Daud adalah tokoh yang membunuh pahlawan negeri mereka, Goliat. Keadaan tampaknya tidak baik untuk Daud. Bukanlah tanpa sebab kita diberitahu, “ Daud memperhatikan perkataan itu, dan dia menjadi takut sekali kepada Akhis, raja kota Gat itu.”(ay. 12).
Suatu rencana sederhana muncul di benak Daud. Dengan menyembunyikan kesehatan rohaninya. Daud mulai menunjukkan gejala-gejala orang gila. Ia menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan ludahnya meleleh ke janggutnya (ay. 13). Bagaimana mungkin orang gila semacam itu merupakan ancaman bagi Akhis? Dalam keadaan jiwa semacam itu Daud tidak akan dianggap oleh Akhis dalam konflik senjata dengan Israel (bnd. ay. 15; 29:1ff.). Hasilnya adalah Daud pergi, bukan secara sukarela seperti tercantum dalam 22:1, tapi dengan paksaan.
Keterangan di bagian atas Mazmur 34 menunjukkan bahwa raja Filistin “mengusirnya.”
Saya tidak mungkin untuk memuji Daud untuk tipu daya yang menandai perbuatan-perbuatannya ketika melarikan diri dari Saul (bnd. juga 1 Sam. 27:8-12). Juga saya tidak bisa memaafkan kecurangan Daud dalam peristiwa-peristiwa ini berdasarkan etika situasi, dengan alasan di “masa perang” kebohongan diperbolehkan. 110 Sementara Kidner berusaha memperkecil kesalahan yang dilakukan di sini dengan menunjukkan kecurangan Daud sebagai “ pura-pura jadi badut,” 111 saya temukan ini adalah suatu penjelasan yang tidak cukup. Mari kita jujur; ini tidak sama dengan jenis “tipuan” yang kita praktekkan ketika kita menyalakan lampu di rumah pada malam hari, agar perampok menarik kesimpulan bahwa kita ada di rumah. Ini adalah dusta dengan sengaja. Tindakan-tindakan Daud, sekurang-kurangnya beberapa di antaranya, adalah salah. Tidak hanya sulit bagi kita untuk memuji Daud untuk kelicikannya, kita jadi heran bagaimana mungkin memuji Allah untuk kelepasan Daud seperti Mazmur 34 mendorong kita untuk melakukannya. Bagaimana mungkin kita secara serius mengikuti instruksi yang Daud berikan dalam mazmur tersebut? Bagaimana kita menyelaraskan situasi 1 Samuel 21:10-15 dengan kata-kata dari Mazmur 34?
Solusi terhadap masalah kita tidak didapatkan dalam Kitab 1 Samuel. Bahkan ini tidak ditemukan dalam Mazmur 34. Kunci terhadap dilema kita ada dalam Mazmur 56, yang dimulai dengan kata-kata ini: “Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Merpati di pohon-pohon tarbantin yang jauh. Miktam dari Daud, ketika orang Filistin menangkap dia di Gat.”
Sebuah pandangan pada Mazmur 56, rupanya berdasarkan peristiwa yang sama dalam kehidupan Daud, akan menolong kita untuk melihat kebodohan dari ketakutan-ketakutan Daud dari mana Allah melepaskannya: “Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu; kepada Allah, yang firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya, aku tidak takut. Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku?” (Mzm. 56:4-5, bnd. juga ay. 10-11).
Dalam 1 Samuel 21:12 kita membaca: “Daud memperhatikan perkataan itu, dan dia menjadi takut sekali kepada Akhis, raja kota Gat itu.” Adalah rasa takut Daud terhadap Saul yang mendesaknya untuk melarikan diri ke Gat mencari perlindungan dari orang-orang Filistin. (bnd. 1 Sam. 27:1). Adalah rasa takut Daud terhadap manusia yang menyebabkan dia menipu orang-orang lain dengan bibirnya (misalnya 1 Sam. 20:5-6; 21:1-2, dsb.). Adalah kepanikan Daud yang memimpinnya pada kesimpulan bahwa ia harus berpura-pura gila di hadapan Abimelekh jika ia mau tetap hidup. Mazmur 56 berfokus pada ketakutan-ketakutan Daud, yang mendorongnya untuk melarikan diri dari Yudea dan berusaha melindungi hidupnya dengan dusta. Dalam Mazmur 56 saya percaya Daud akhirnya melihat masalahnya sebagai takut kepada manusia daripada kepada Tuhan. Dengan suatu iman yang diperbaharui (takut akan Tuhan) Daud sekarang menyadari bahwa “manusia” (ay. 4, 11) tidak dapat melakukan apa-apa bila Allah yang menjadi pelindungnya (ay. 3-4, 9-11).
Menurut pendapat saya rangkaian-rangkaian peristiwa yang tercatat dalam 1 Samuel 21 dan Mazmur 34 dan 56 adalah sesuatu seperti ini : Karena takut kepada Saul, Daud melarikan diri ke Gat. Ia berusaha tinggal di kota itu tanpa menyatakan identitasnya, namun segera dikenali (bnd. 1 Sam. 21:11). Ketika Akhis tahu tentang identitas Daud dan reputasinya sebagai seorang prajurit, ia menangkapnya ( keterangan di bagian atas, Mazmur 56). Dengan menjadi tahanan rumah, Daud mulai merenungkan situasinya dan menyadari ia ada dalam bahaya maut (bnd. 1 Sam. 21:12). Daud berlaku seperti orang gila dan diusir dari Gat. Raja mengingat kembali peristiwa-peristiwa itu pada suatu waktu dan mengerti bahwa ia telah bertindak berdasarkan rasa takut kepada manusia dan bukan kepada Tuhan (bnd. Mazmur 56:3-4, 10-11). Ia merendahkan diri di hadapan Allah dan menulis Mazmur 56 sebagai pengakuannya dan ikrar kepercayaannya. Akhirnya , Mazmur 34 ditulis untuk memuji Allah karena membebaskannya (meskipun ia telah berbohong dan berdosa) dan mengajarkan prinsip untuk terus “takut kepada Tuhan” yang telah dipelajari Daud melalui pengalamannya yang menyakitkan..
Oleh karena itu Mazmur 34 harus ditafsirkan dalam terang penyingkapan tambahan dari Mazmur 56. Kita tak perlu berusaha memaafkan dosa Daud, karena ia mengakuinya dan mengungkapkan pembaharuan imannya kepada Tuhan. Ketika kita membaca Mazmur 34 kita mengerti bahwa itu ditulis oleh orang yang sama yang sudah mengakui dosanya dan diampuni. Kepercayaan yang Daud sebutkan dalam Mazmur 34 adalah yang ditegaskannya kembali dalam Mazmur 56. Kunci untuk kita memahami hubungan Mazmur 34 dan 1 Samuel 21 adalah bahwa Daud diampuni dan diperbaharui imannya sebagai hasil dari pengalamannya yang diuraikan dalam Mazmur 56.
Seharusnya dicatat bahwa Mazmur 34 adalah suatu akrostik, atau mazmur abjad, dimana kata pertama dari setiap ayat ( termasuk keterangan di bagian atas ) dimulai dengan suatu huruf berurutan dari abjad Ibrani . Mazmur-mazmur lain, misalnya 25, 119 and dan 145, juga berbentuk akrostik. Bentuk ini tampil sebagai suatu puisi, yang di antara bentuk-bentuk lain, mungkin membantu dalam menghafalkan mazmur. Karena kebanyakan mazmur adalah literatur hikmat, adalah biasa bahwa bentuk ini dipakai dengan mempertimbangkan topik mazmur.
Suatu Janji akan Pujian
(34:1-4)
Mazmur 34:1-4 1 Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi. 2 Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. 3 Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. 4 Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya!
Daud memulai mazmur ini dengan suatu ikrar, atau suatu janji: “ Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku” (ay. 2). Di sini Daud berjanji untuk terus memuji Tuhan-nya. Puji-pujiannya, yang berdasarkan pada suatu peristiwa khusus di dalam hidupnya, adalah terus-menerus. Ini seharusnya dimengerti bahwa Daud tidak menjanjikan suatu waktu pujian secara maraton, namun lebih sebagai komitmen dirinya sendiri untuk memuji Tuhan pada setiap kesempatan dan di tengah-tengah berbagai keadaan pikiran, roh dan tubuh. Sama seperti “tetaplah berdoa” (1 Tes. 5:17)— adalah berdoa secara konsisten dan dalam semua keadaan— Daud berjanji untuk memuji tanpa berhenti.
Sementara ayat satu menekankan tentang frekwensi pujian Daud, ayat yang kedua menyatakan fokus dari pujian tersebut. Jiwanya akan “bermegah karena TUHAN” (ay. 3a). Daud tidak memikirkan pengalamannya, bahkan juga tidak kelepasannya, namun pada Pembebasnya. Tuhanlah yang menjadi subyek dan obyek dari pujian Daud.
Ayat-ayat 3b dan 4 mengingatkan kita akan kebersamaan dalam pujian. Pujian bisa dilakukan secara pribadi, namun ini bukanlah jenis mazmur dimana pemazmur praktekkan dan sarankan. Ketika Daud di muka umum memuji Tuhan waktu ibadah, ia bertujuan untuk mempromosikan ibadah bagi seluruh jemaat112 Mereka yang mengasihi Tuhan, seperti Daud, dapat memuliakan Dia bersama-sama dengan dia. Ajaran Paulus dalam Roma pasal 12 menunjukkan bahwa ibadah Perjanjian Baru seharusnya menjadi saling berbagi sukacita dari para orang Kristen: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis” (Rm. 12:15).
Oleh karena itu Daud mengajak rekan-rekannya untuk bergabung dengannya dalam memuliakan Tuhan sehingga nama-Nya dimasyhurkan (ay.4).
Kelepasan Daud
(34:5-8)
5 Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. 6 tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu. 7 Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya. 8 Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka.
Memuji Tuhan dalam mazmur-mazmur ini berdasarkan pada dua tema utama : (1) perbuatan-perbuatan Tuhan dan (2) sifat-sifat Tuhan. Karya-karya Tuhan dan penyediaan-Nya yang luar biasa merupakan dasar dari pujian. Dalam ayat-ayat 5-8 Daud menguraikan kelepasannya, yang merupakan dasar dari pujian dan pengajarannya.
Dari keterangan bagian atas mazmur dan catatan dalam 1 Samuel 21, kita mengetahui detil-detil kelepasan yang disebut oleh Daud. Jika kita tidak mempunyai detil-detil tambahan ini, kita hampir tidak bisa menyimpulkan bahwa pujian Daud berasal dari peristiwanya dengan Akhis. Menurut latar belakang mazmur ini, beberapa pengamatan yang dibuat di sini akan menolong kita untuk mengerti lebih baik keterangan sejarah singkat dalam ayat 5-8.
(1) Fakta bahwa mazmur ini memiliki suatu keterangan di bagian atas yang menunjuk kita untuk mengingat kembali Samuel 21 menunjukkan bahwa tidak ada usaha di sini untuk menyembunyikan kegagalan-kegagalan Daud. Sesungguhya, akan aman untuk mengatakan bahwa ini dimaksudkan agar kita menafsirkan mazmur ini dalam terang kegagalan-kegagalan tersebut. Tidak ada usaha untuk “menutupi” Daud agar membuat dia (atau mazmur ini) kelihatan bagus.
(2) Singkatnya uraian kelepasan Daud seharusnya dimengerti dalam terang tujuan Daud untuk keseluruhan mazmur, yaitu untuk mendorong orang-orang lain untuk membagikan berkat-berkat perlindungan Tuhan dan memuji-Nya. Daud bertujuan ( dan berjanji, bnd. ay, 1, 2a) untuk memuji Tuhan. Sementara mungkin saja bagi dia untuk membuat catatan tersebut bagus, itu akan mengaburkan obyek dari pujian Daud, Tuhan sendiri. Semakin Daud mengecilkan pengalaman pribadinya dan menyamaratakan kebaikan Tuhan, semakin banyak orang-orang lain bisa mengidentifikasi diri dengannya dan bergabung dalam pujiannya. Jika pelarian Daud ke Gat dan hubungan-hubunganya dengan orang-orang Filistin ini kurang bisa dipuji ( seperti saya percaya itulah yang jadi masalah), maka Daud tidak ingin berkonsentrasi pada perbuatan-perbuatannya yang salah, namun pada anugerah Tuhan. Ada nilai kecil dalam mengupas dosa Daud, namun banyak yang diperoleh dari merenungkan keselamatan Tuhan.
(3) Daud tidak menekankan kelepasannya dari bahaya dalam ayat-ayat ini (yang ia hadapi sebagai akibat dari dosanya sendiri) sebanyak kelepasannya dari rasa takutnya. Dalam ayat 20 Daud menulis bahwa kemalangan orang benar banyak. Orang benar akan menghadapi kemalangan. Tuhan membebaskan orang yang dimilikinya dari beberapa situasi yang berbahaya, seperti Ia melepaskan Daud dari tangan Akhis. Ketakutan-ketakutan Daud adalah ancamannya yang terbesar. Mazmur 56 menguraikan perubahan hati yang dialami Daud, mengubah rasa takutnya kepada manusia menjadi takut akan Tuhan.
(4) Sementara ayat 5-8 dengan singkat mencatat kelepasan Daud pribadi, mereka menekankan bahwa apa yang Tuhan lakukan untuk Daud, Tuhan juga lakukan untuk semua orang yang menjadi umat-Nya. Perhatikan jalinan akan hal khusus ( kelepasan Daud ay. 5, 7) dengan hal umum (Tuhan menyelamatkan mereka yang takut akan dia dari segala kesesakan mereka ay. 6, 8). Daud mendorong semua orang benar untuk memuji Tuhan dengannya. Sementara mereka bisa bersukacita dalam kelepasan Daud, mereka bahkan lebih lebih bersemangat lagi ketika mereka diingatkan bahwa apa yang Tuhan telah lakukan untuk Daud ( dan akan melakukan) untuk mereka.
Ayat 6 paling sering dipahami sebagai suatu petunjuk kepada mereka yang menujukan pandangan kepada Tuhan untuk kelepasan mereka. 113 Mereka mencari Dia, dan mereka tidak pernah dipermalukan dengan diabaikan atau ditinggalkan. Ayat 8 mengubah fokus dari rasa aman dan jaminan para orang kudus kepada alat dengan mana perlindungan Tuhan digenapi dan dijamin. Sesungguhnya ini adalah satu dari sedikit petunjuk-petunjuk yang jelas pada “malaikat Tuhan” dalam konteks ini dalam Perjanjian Lama. Sama seperti Elisa yakin akan perlindungan rombongan para malaikat ketika ia dan pelayannya dikepung oleh tentara Siria (2 Raja-raja 6), demikian juga Daud melihat “malaikat Tuhan” (yang saya mengerti adalah penjelmaan Kristus sebelumnya) yang berkemah di sekitar setiap orang kudus.
Perlindungan semacam itu tak bisa dilihat dalam situasi normal (misalnya 2 Raja-raja 6:17), namun meskipun demikian ada. Hanya dengan “mata iman” kita bisa dijamin dengan perlindungan ilahi. Daud takut kepada Akhis karena ia lupa bahwa pelindungnya selalu hadir. Mereka yang mencari Tuhan untuk melindungi mereka dan membebaskan harus mengerti bahwa kelepasan mungkin sering terjadi dalam cara-cara yang tak diharapkan dan tak terduga. Dalam Perjanjian Lama Anak Allah sangat dekat untuk menyelamatkan umat-Nya, namun sedikit orang yang menyadarinya. Dalam Perjanjian Baru Anak Allah turun ke dunia dalam rupa manusia untuk diam di antara umat-Nya dan menyelamatkan mereka, meskipun demikian sedikit orang yang mengenali-Nya.
Suatu Ajakan untuk Merasakan Persediaan dan Perlindungan Tuhan secara pribadi (34:9-11)
9 Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya! 10 Takutlah akan Tuhan, hai orang-orang-Nya yang kudus, sebab tidak berkekurangan orang yang takut akan Dia! 11 Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatu pun yang baik.
Daud sudah mengajak jemaat untuk bergabung dengannya dalam memuji Tuhan sebagai Penyedia dan Pelindung mereka. Sekarang ia mendorong orang-orang Israel yang mengikutinya untuk secara pribadi mengalami perlindungan dan persediaan ini.
Suatu perubahan yang penting terjadi pada ayat 9. Mazmur yang berdasarkan pada suatu pengalaman pribadi dalam kehidupan Daud dimulai dengan suatu komitmen untuk memuji Tuhan (ay. 2-4), kemudian hanya mencantumkan empat ayat untuk kelepasan Daud (ay. 5-8, hanya dua di antaranya yang khusus). Ini kemudian beralih dari pengalaman Daud kepada ajakan dan instruksi agar orang-orang lain mengalami kebaikan Tuhan dalam hidup mereka. Peringatan dari Mazmur 34 ditujukan kepada orang-orang lain tentang hubungan mereka sendiri dengan Tuhan.
Kita bisa mengerti lebih baik ayat 9-11 dengan menjawab dua pertanyaan: (1) Siapa yang Daud undang untuk menerima berkat-berkatnya? (2) Apakah berkat-berkat tersebut sehingga mereka diundang untuk menikmatinya bersamanya? Mari renungkan pertanyaan-pertanyaan ini.
Mereka yang diajak untuk “mengecap dan melihat betapa baiknya Tuhan” (ay. 9a) adalah orang yang beribadah bersama-sama dengan Daud, orang-orang Istrael yang datang untuk menyembah Tuhan. Mereka bukan orang kafir, juga mereka bukan acuh tak acuh terhadap kehadiran mereka untuk ibadah. Berkat-berkat yang membuat mereka didorong untuk mengalaminya adalah juga berkat-berkat yang telah dialami Daud sendiri. “Kebaikan Tuhan” (ay. 9a) adalah perlindungan Tuhan (ay. 9b) dan persediaan-Nya (ay. 10b).
Kita dapat mengambil kesimpulan dari ayat 9-11 bahwa mayoritas orang-orang zaman Daud tidak mengalami kepenuhan berkat-berkat Tuhan. Bagaimanapun, untuk apa mengajak orang-orang lain mengalami apa yang sudah mereka miliki? Jika orang-orang Israel dari zaman Daud cukup setia beribadah secara teratur, mengapa mereka perlu didorong untuk merasakan, mempercayai, dan takut akan Tuhan? Saya menduga bahwa mereka, seperti zaman sekarang banyak orang yang pergi ke gereja, pergi mengikuti liturgi ibadah, namun gagal memiliki hubungan dengan Allah yang memampukan mereka untuk secara pribadi mengalami persediaan dan perlindungan Tuhan yang Daud mengerti pada akhirnya.
Mengapa orang-orang Israel yang setia beribadah tidak mengenal kasih Tuhan dan kepedulian-Nya seperti seharusnya mereka tahu? Saya percaya jawabannya secara singkat diberikan dalam ayat 11, dan solusinya dengan hati-hati dijelaskan dalam ayat 12-23. Mereka yang “berlindung” kepada Tuhan (ay. 9) digambarkan dengan istilah Ibrani geber, yang berarti “orang yang kuat,” “orang yang berkuasa.” 114 Orang yang benar-benar kuat adalah orang yang mendapatkan kekuatannya di dalam Tuhan dan bukan dalam dirinya sendiri. Mereka yang telah dilepaskan dari rasa takut terhadap manusia adalah mereka yang takut kepada Tuhan.
Ayat 11 menggambarkan prinsip pada ayat 9 dan 10 dan juga prinsip yang diuraikan dalam ayat-ayat berikutnya. Ada beberapa binatang yang mengagumkan dan kuat seperti singa muda. Ia adalah contoh kekuatan, dan meskipun kuat, singa-singa muda merana kelaparan. Meskipun hebat, kekuatannya tidak menjamin persediaan yang berlimpah. Sebaliknya dengan singa muda yang berkekurangan walaupun dia kuat, mereka yang mencari Tuhan (akan tegak dan tidak lemah) dijamin bahwa mereka tidak akan kekurangan “sesuatu pun yang baik.”
Penekanan pada ayat-ayat 9-11 adalah untuk mengundang orang-orang lain untuk mengalami jenis berkat-berkat yang sama sehingga Daud memuji Tuhan. Asumsinya adalah kebanyakan orang-orang Israel pengikutnya tidak mengalami berkat-berkat ini, walaupun mereka memiliki warisan keagamaan mereka dan pengabdian mereka pada upacara agama. Seperti singa-singa muda, mereka mempercayai kekuatan mereka sendiri dan tidak mempercayai Tuhan, dan karena itu mereka menderita. Bagaimana kita bisa takut akan Tuhan (ay. 10) dan mengecap serta melihat (ay. 11) kebaikan Tuhan? Ayat 12-23 menjawab pertanyaan ini secara rinci.
Perintah untuk Takut akan Tuhan
(34:12-23)
12 Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan kepadamu! 13 Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik? 14 Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan menipu; 15 jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!
16 Mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; 17 wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi. 18 Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari kesesakannya. 19 TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.
20 Kemalangan orang benar banyak, tetapi TUHAN melepaskan dia dari semuanya itu; 21 Ia melindungi segala tulangnya, tidak satu pun yang patah. 22 Kemalangan akan mematikan orang fasik, dan siapa yang membenci orang benar akan menanggung hukuman. 23 TUHAN membebaskan jiwa hamba-hamba-Nya, dan semua orang yang berlindung pada-Nya tidak akan menanggung hukuman.
Perhatikan perubahan gaya dalam ayat 12 dari ajakan menjadi instruksi, dari pujian bersama-sama menjadi semacam khotbah. 115 Dalam suatu bentuk yang cirinya hampir sama dengan yang ditemukan dalam Kitab Amsal, Daud mulai mengajarkan orang-orang mengenai satu faktor yang hilang dalam agama mereka, sesuatu yang mencegah mereka dari mengalami berkat-berkat persediaan dan perlindungan Tuhan – takut akan Tuhan. Pokok ini diperkenalkan dalam ayat 12. Dalam ayat 13-15 hasil dari takut akan Tuhan diuraikan. Ayat 16-19 menguraikan hubungan dengan suatu rasa takut akan Tuhan telah terjadi. Upah-upah dari takut akan Tuhan dibicarakan dalam ayat-ayat 20-23. Mari kita pertimbangkan setiap aspek “takut akan Tuhan” ini.
Ayat 12 merupakan suatu undangan untuk menerima ajaran mengenai “takut akan Tuhan:” Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan kepadamu!” Undangan dalam ayat 12 adalah kepada “anak-anak” (secara harfiah, “putra-putra”). Seperti di dalam Amsal guru sering memanggil murid sebagai “anak”nya (bnd. Ams.1:8, dsb.) Takut akan Tuhan bukanlah sesuatu yang tidak jelas, konsep yang dibuat-buat, tapi sesuatu yang bisa diajarkan dan diketahui. Ini bukan hanya subyektif, tetapi obyektif. Sebagai tambahan, takut akan Tuhan bukan hanya semata-mata akademis, namun ini tampil dalam istilah-istilah yang sangat praktis.
Daud sudah memuji Tuhan karena baik kepadanya (ay. 2-9). Lebih jauh lagi ia mendorong orang-orang Israel yang mengikutinya untuk mengecap dan melihat kebaikan Tuhan kepada mereka (ay. 9). Takut akan Tuhan sekarang ditampilkan sebagai prasyarat untuk melihat kebaikan Tuhan. Kebaikan Tuhan tidak untuk semua orang. Daud telah mengalaminya, dan ia mendorong orang-orang lain untuk mengecapnya juga. Bagaimanapun, kebaikan Tuhan hanya ditujukan bagi mereka yang takut kepada-Nya.
Sementara definisi “takut akan Tuhan” lebih luas daripada beberapa ayat yang singkat, Daud memberi contoh tentang rasa takut ini dalam ayat-ayat 14-15. Takut akan Tuhan bukan hanya dipelajari; ini dilakukan. Sama seperti Yakobus mengajarkan bahwa “ “ iman yang tidak disertai perbuatan, pada hakekatnya mati” (Yakobus 2:14ff), Daud mengajarkan bahwa takut akan Tuhan dimanifestasikan dalam cara-cara yang sangat praktis. Dalam ayat 14 kita diajarkan bahwa takut akan Tuhan berakibat mengendalikan bibir kita, suatu tema utama dalam Kitab Amsal.
Paling menarik bahwa Daud seharusnya mengemukakan masalah kebohongan di sini, karena ini ini telah menjadi suatu ciri utama dari hidupnya ketika ia melarikan diri dari Saul. Ia minta Yonatan untuk berbohong mengenai absennya di meja makan Saul (1 Sam. 20:1- 6). Ia berbohong kepada Ahimelekh mengenai tujuan kedatangannya, yang berakibat pada kematian banyak orang yang tidak bersalah (1 Sam. 2:1-2; 22:11-19). Ia berusaha membohongi orang-orang di Gat mengenai identitasnya dan kecakapannya dalam bidang militer (1 Sam. 21:10ff.). Bagaimana, kemudian, dapatkah Daud berbicara tentang jangan berdusta? Bagaimana ia bisa begitu munafik ketika mengajarkan topik dimana ia telah gagal?
Seperti sudah kita lihat, Daud sedang mengajarkan kita selaku orang yang telah mempelajari kebenaran ini dengan cara yang berat. Daud sedang memberitahu kita bahwa ketika ia takut kepada Akhis daripada kepada Tuhan, ia lebih peduli untuk menyenangkan Akhis daripada taat kepada Tuhan. Takut kepada Tuhan berarti bertindak secara konsisten sesuai karakter Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Mazmur 56 memberitahu kita bahwa Daud telah mempelajari pelajaran ini dengan sulit melalui pengalamannya di Gat. Dalam ayat ke 14 dan 15 Daud sedang berusaha mengkomunikasikan apa yang ia sendiri telah pelajari tentang dusta.
Dalam ayat 15 takut akan Tuhan dikumandangkan dalam istilah-istilah yang lebih umum. Kita bukan saja harus menjaga lidah kita, bicara yang benar daripada berdusta, namun kita juga harus menjauhi kejahatan dan melakukan yang baik. Kita harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya. Di sini juga Daud telah gagal. Ia sudah minta pedang Goliat kepada imam Ahimelekh(1 Sam. 21:8-9). Mengapa ia perlu sebilah pedang untuk mengejar damai sejahtera? Mengapa dengan marah Daud berusaha membunuh Nabal dan setiap pria dalam rumahnya (1 Sam. 25:21-22)? Akhirnya mengapa Daud mau pergi berperang dengan Akhis melawan Israel? (1 Sam. 28:1-2)? Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa Daud bukanlah seorang pencari damai. Sekali lagi, Daud gagal untuk mencari damai karena ia takut kepada Akhis lebih daripada kepada Tuhan. Oelh karena itu secara jujur ia bisa mengajarkan apa yang sudah ia pelajari: takut akan Tuhan tidak konsisten dengan kejahatan.
Kita belajar bahwa takut akan Tuhan bukanlah urusan yang ringan, bersifat teori. Takut akan Tuhan melibatkan bertindak secara konsisten dengan karakter Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Ini artinya kita harus meninggalkan dusta, dan kita harus bicara yang benar. Ini artinya kita harus berhenti melakukan kejahatan dan sebaiknya mengejar damai sejahtera. Takut akan Tuhan bukan hanya doktrin, ini harus dilaksanakan.
Ayat-ayat 13-15 menyarankan bahwa takut akan Tuhan menuntut respons, sementara dalam ayat 16-19 takut itu tergantung pada suatu hubungan. Ayat 14 dan 15 menguraikan perilaku seseorang yang takut akan Tuhan; ayat 16-19 menguraikan hubungan di antara manusia dan Tuhan yang berdasarkan kepercayaan dan perilaku tersebut. . Sementara kita diajarkan apa yang Tuhan lakukan atas nama orang benar dalam bagian ini, penekanan utama adalah mengapa Tuhan bertindak atas nama manusia untuk menyelamatkan dan melepaskan dia dari kesulitan-kesulitannya.
Takut akan Tuhan adalah dasar dari sebuah hubungan di antara Tuhan dan manusia. Tuhan diuraikan sebagai dekat dengan “orang-orang yang patah hati” (ay. 19). Mata dan telinganya tertuju pada teriakan orang-orang benar (ay. 16,18), sementara wajah-Nya menentang orang-orang yang berbuat jahat (ay. 17). Beberapa hal menjadi ciri-ciri orang benar dalam ayat-ayat ini. Sementara ayat 14-15 menguraikan tindakan-tindakan orang benar, ayat 16-19 menekankan sikap-sikap mereka. Orang benar percaya Tuhan sebagai bukti teriakan mereka kepada-Nya agar ditolong (ay. 16, 18). Berbeda dengan orang-orang fasik yang sombong, orang benar remuk jiwanya (ay. 19). Intinya adalah bahwa orang benar bersandar pada Tuhan, mencari Dia untuk minta tolong daripada bersandar pada kekuatannya sendiri. Saya percaya ini juga sebuah pelajaran yang Daud pelajari di Gat. Kecerdikan manusia tidak menyelamatkan Daud (misalnya pura-pura gila); ia dilepaskan oleh anugerah Tuhan sebagai tanggapan terhadap permohonan Daud dengan rendah hati untuk dlepaskan. Daud diselamatkan bukan karena kepintaran dan karena belas kasihan Tuhan, yang menggerakkan-Nya untuk menjawab teriakan Daud agar dilepaskan.
Ayat 12 berbicara tentang takut akan Tuhan dalam istilah kepercayaan ; ayat 14 dan 15 berpusat pada perilaku ; ayat 16-19 berpusat pada dasar. Dalam ayat-ayat 20-23 Daud memperluas ayat 12 dengan menguraikan keuntungan-keuntungan takut akan Tuhan.
Dalam ayat 20 dan 21 takut akan Tuhan diuraikan sebagai menyediakan perlindungan bagi orang benar dan kelepasan dari kemarahan manusia. Kita tidak berani menyarankan dalam terang ayat 20 bahwa pemeliharaan Allah menjanjikan kita bahwa orang benar tidak akan menderita. Tuhan akan menjaga kita dalam penderitaan-penderitaan kita, dan sudah pasti Ia akan melepaskan kita dari kemalangan kita. Luasnya perlindungan kita ditekankan dalam ayat 20. Sementara ayat ini mungkin berhubungan dengan Keluaran 12:46 dan sudah pasti digenapi dalam hidup Tuhan kita (Yohanes 19:36), ini mungkin seharusnya diterapkan kepada orang benar dalam konteks Yesaya 38:13 (bnd. juga Bil. 24:8). Dalam Yesaya diungkapkan kekalahan dan keputusasaan seseorang yang dikalahkan oleh kemalangan. Daud mengajarkan bahwa ini tidak akan terjadi pada mereka yang takut akan Tuhan.
Tampaknya penekanannya berubah dalam ayat 22 dan 23 dari ujian-ujian dan pencobaan-pencobaan hidup kepada penghakiman Tuhan. Mereka yang takut kepada Tuhan bukan hanya dijamin dengan perlindungan Tuhan waktu kemalangan, namun juga diijaga dari hukuman dan murka ilahi. Kebalikan dari orang benar, orang fasik akan mati oleh kejahatan, dan mereka yang membenci orang benar akan menanggung hukuman. Ayat-ayat ini menguraikan hancurnya orang fasik dari sisi mana saja. Pada satu sisi, orang fasik dihancurkan oleh kejahatan mereka sendiri. Mereka menderita balasan dari Tuhan, seperti kita lihat dalam kitab Amsal: “Maka mereka akan memakan buah perbuatan mereka, dan menjadi kenyang oleh rencana mereka. Sebab orang yang tak berpengalaman akan dibunuh oleh keengganannya, dan orang bebal akan dibinasakan oleh kelalaiannya.” (Ams. 1:31-32).
Pada sisi lainnya, bukan hanya nasib yang mengejar orang fasik. Tuhan berurusan dengan orang fasik karena Ia benar dan tidak dapat mengabaikan dosa karena Ia tidak akan mengizinkan orang-orang benar-Nya dianiaya tanpa akhirnya melaksanakan keadilan kepada pelaku-pelaku kejahatan yang menindas mereka. Orang fasik “dihukum” atau “merasa bersalah”.
Ayat 23 mungkin adalah ayat yang paling indah dalam mazmur ini karena ini menjamin kita bahwa : “TUHAN membebaskan jiwa hamba-hamba-Nya, dan semua orang yang berlindung pada-Nya tidak akan menanggung hukuman” (ay. 23). Daud tahu bahwa Tuhan tidak hanya menyelamatkan manusia dari pencobaan-pencobaan dan kesengsaraan-kesengsaraan, namun bahwa Ia yang menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka. Orang fasik akan binasa, namun jiwa para hamba-Nya ditebus.
Tolong catat sesuatu yang sangat penting mengenai ajaran mazmur ini. Kata yang sama “hukuman” digunakan baik dalam ayat 22 maupun 23. Orang fasik, kita diberitahu dalam ayat 22, akan dihukum. Mereka yang berlindung pada-Nya tidak akan menanggung hukuman (ay. 23). Kata “hukuman” mengasumsikan rasa bersalah pada kedua contoh tersebut. Sementara catatan pinggir dari NASB memberi tahu kita, itu artinya “bersalah.” Daud ingin kita mengerti bahwa baik orang fasik maupun orang benar bersalah. Dalam satu contoh orang yang bersalah tetap melakukan kesalahan dan dihukum untuk dosa-dosa mereka. Pada contoh lainnya orang yang bersalah ditebus dan tidak dihukum. Alasannya beberapa diampuni dan lainnya tidak adalah karena beberapa orang “berlindung kepada-Nya” (ay 23), mereka yang “patah hati” sementara lainnya dengan keras kepala menolak Tuhan dan “membenci orang benar” (ay. 22).
Kata “membebaskan” juga penting dalam ayat 23, karena ini menasihati bahwa pengampunan bagi mereka yang berlindung kepada Tuhan bukan tanpa biaya. Dari pengajaran Perjanjian Baru kita tahu bahwa kita ditebus bukan oleh cucuran darah hewan menurut hukum Perjanjian Lama, namun oleh cucuran darah Yesus Kristus (bnd. Ibr. 9:11-14; 1 Ptr. 1:19). Hal penting untuk kita ingat adalah bahwa beberapa diselamatkan, bukan karena mereka benar, namun karena mereka telah ditebus, diampuni, dan oleh karena itu tidak lagi bertanggung jawab untuk dosa-dosa mereka. Dosa mereka telah dibayar oleh Yang Lain.
Ini khususnya penting sehubungan dengan latar belakang historis dari Mazmur 34. Daud tidak dilepaskan dari tangan Akhis karena kebenarannya, namun karena hubungannya dengan Tuhan. Daud takut akan Tuhan. Ketika Daud berdosa melalui dusta dan kekerasan, ini menyatakan bahwa ia telah membiarkan rasa takut akan Tuhannya berkurang, menggantikannya dengan takut akan manusia. Ketika dengan murah hati Tuhan melepaskan Daud, bukan karena ia benar, namun karena hubungannya. Sebagai tanggapan terhadap belas kasihan Tuhan yang telah melepaskannya, rasa takut Daud akan Tuhan diperbaharui. Sebagai hasilnya Daud tidak hanya bisa memuji Tuhan, namun ia juga bisa membagikan apa yang telah dipelajarinya dengan orang-orang lain, mendorong mereka untuk mengalami berkat Tuhan dalam suatu cara yang lebih kaya dan lebih penuh.
Kesimpulan
Kita seharusnya sekarang bisa melihat permulaan mazmur pada fokusnya. Tindakan-tindakan Daud melarikan diri kepada Akhis dari Saul tidak seluruhnya patut dipuji. Kita tidak perlu berusaha membenarkan atau menjelaskan hal tersebut. Dari pengalaman kita sendiri kita dapat segera mengerti mengapa Daud bertindak seperti itu. Daud, di bawah tekanan kejaran Saul, telah mulai menurun rasa takutnya akan Tuhan dan sebaliknya menjadi takut pada manusia (khususnya, Akhis). Ini memimpin kepada tindakan dusta karena sikap hati Daud saat itu lebih mementingkan untuk memuaskan Akhis daripada menyenangkan Tuhan.
Sikap-sikap dan tindakan-tindakan Daud dalam 1 Samuel 21 sungguh-sungguh sama dengan Abram, nenek moyangnya. Abram belum cukup memegang kuasa Tuhan untuk menyediakan dan melindunginya, walaupun ada janji-Nya dalam Kejadian 12:1-3. Ketika terjadi suatu kelaparan di tanah Kanaan, Abram takut bahwa Tuhan tidak dapat memeliharanya, jadi ia meninggalkan tanah perjanjian ke tanah Mesir (Kej. 12:10). Pernah di Mesir, Abram mulai takut kehilangan nyawanya karena istrinya Sarai cantik. Ia berusaha melindungi dirinya sendiri dengan berdusta kepada orang-orang Mesir bahwa Sarai adalah adiknya. (dan karena itu bisa dinikahi), bukan istrinya. Dengan murah hati, Tuhan melepaskan Abraham walaupun ia berdosa, bukan karena hal itu. Itu hanyalah ketika Abraham lebih percaya sepenuhnya kepada Tuhan sehingga ia bisa memberikan putranya (pengamannya dalam dunia kuno) dengan iman, percaya Tuhan untuk menyediakan dan melindungi. Kita tidak perlu mengecilkan dosa-dosa Abram atau Daud. Kebaikan Tuhan bahkan lebih besar ketika kita tahu bahwa Tuhan sering melepaskan kita karena diri kita, dan bukan karena kepintaran kita dan rencana-rencana licik kita.
Kita tak perlu terkejut bahwa Daud dapat memuji Tuhan karena kelepasannya dalam Mazmur 34 lebih daripada kita perlu kaget bahwa bahkan ia terus mengajar kita tentang kekudusan secara pribadi dan praktis. Daud dapat memuji Tuhan karena hatinya sekarang benar di hadapan Tuhan (seperti terlihat dalam Mazmur 56). Daud bisa mengajar orang-orang lain tentang takut akan Tuhan karena ia sudah mengerti lebih dalam melalui kegagalan-kegagalannya sendiri.
Mazmur 34 seharusnya tidak menyusahkan kita lebih dari Mazmur 32. Daud bisa memuji Tuhan karena dosa-dosanya diampuni (bnd. ay. 1-7), dan ia bisa terus mengajar orang-orang lain untuk mengikuti Tuhan, walaupun ia berdosa dengan Batsyeba. Ia bisa mengajar dengan integritas karena ia sudah menggumuli dosanya sendiri dalam Mazmur 51. Melalui mazmur ini kita belajar bahwa Daud sudah melihat keseriusan dosanya dan mengakuinya di hadapan Tuhan. Dalam ayat 3 dan 4 Mazmur 32 kita belajar bahwa dosa-dosa Daud membawa banyak kesakitan dan penderitaan jiwa. Dosanya tidak dianggap enteng, baik oleh Tuhan maupun Daud, namun setelah mengakuinya Daud bisa memuji Tuhan dan mendorong dan mengajar orang-orang lain.
Menurut dugaan saya, Petrus adalah seorang pria yang seperti Daud. Keduanya tampaknya impulsif, dan meskipun demikian keduanya menyerahkan hatinya kepada Allah. Sementara Allah bertujuan agar Petrus menjadi seorang pemimpin gereja-Nya, ( bnd. Mat. 16:17-19), Ia ingin bahwa sebagian dari prosesnya adalah membiarkan dia gagal : “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (Lukas 22:31-32).
Saya ingin menasihati Anda bahwa Tuhan itu murah hati. Ia telah memilih untuk memakai orang yang bisa berbuat salah untuk melayani dan menyembah-Nya. Tuhan tak pernah memandang ringan dosa kita, dan kita diingatkan akan konsekwensi-konsekwensi dosa yang menakutkan, meskipun sering melalui kegagalan-kegagalan kita pelajaran-pelajaran hidup terbesar dipelajari. Kita tidak perlu memaklumi dosa-dosa Daud lebih daripada kita seharusnya memaklumi Petrus. Meskipun demikian apa yang kita bisa lakukan adalah memuji Tuhan bersama mereka untuk kelepasan-Nya yang murah hati. Lebih jauh lagi, kita seharusnya belajar dari orang-orang ini bahwa Tuhan juga adalah seorang pembebas yang murah hati bagi kita.
Seorang teman dan saya baru-baru ini berbicara tentang beberapa orang dalam pelayanan yang entah bagaimana bisa menjalani kehidupan ganda – menyampaikan firman Tuhan dan juga menjalani kehidupan amoral. Saya pikir Mazmur ini menolong menjelaskan mengapa beberapa orang bisa menjalani hidup dalam dusta. Mereka munafik dalam keamoralan mereka karena mereka telah mengembangkan suatu pola kemunafikan. Karena mereka adalah pengkhotbah-pengkhotbah dan orang-orang meninggikan mereka sebagai teladan, mereka pikir mereka tidak bisa gagal. Mungkin saya seharusnya katakan, mereka menyimpulkan bahwa mereka tidak berani mengakui bahwa mereka gagal. Kita yang tidak mau mengakui bahwa Daud telah berdosa dalam hubungannya dengan Saul dan dengan Akhis sudah pasti tidak mau belajar bahwa para pemimpin Kristen juga gagal. Konsekwensinya, para pemimpin kita, guru-guru dan pendeta-pendeta belajar untuk hidup dalam dusta. Mereka terkesan bisa mengendalikan dosa dalam kehidupan mereka, namun mereka tahu bahwa mereka lemah. Menjadi terbiasa pada kemunafikan, ketika mereka gagal secara moral mereka cenderung untuk terus melakukan apa yang mereka selalu lakukan --- memainkan peranan dimana orang-orang mengharapkan mereka.
Tolong jangan salah menafsirkan kata-kata saya ini. Saya tidak berpendapat kita seharusnya menganggap enteng dosa atau para pendosa, termasuk para pemimpin agama. Saya hanya mengatakan bahwa kita tidak mau membiarkan mereka untuk mengakui bahwa mereka telah gagal, jadi mereka menjadi munafik. Juga kita tidak mau dipimpin oleh mereka yang melakukan kesalahan-kesalahan. Semua pemimpin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah manusia-manusia dengan “kaki dari tanah liat.” Kita tidak berani menuntut lebih pada para pria sekarang ini. Kita perlu diingatkan bahwa Tuhan telah membebaskan kita dari dosa-dosa kita, jika kita mengakui dosa-dosa tersebut dan meninggalkannya. Cara hidup yang benar bukanlah mengabaikan dosa atau berdalih, namun bertobat dari dosa itu dan dipulihkan. Saya berdoa agar kita bisa mendapatkan pengampunan dan pemulihan akan persekutuan dan ibadah yang Daud alami sehingga ia mendorong kita untuk juga mengalaminya.
Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik (ay. 13)? Belajarlah dari Daud bahwa hal-hal ini berasal dari Tuhan untuk mereka yang takut kepada-Nya. “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” (ay. 9)
Pesan ini adalah dari seorang pendosa kepada para pendosa. Saya berdoa agar Anda mau “berlindung” dalam Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Penebus umat manusia melalui pengorbanan-Nya mati disalib di Kalvari. Sebagai orang-orang percaya, doa saya adalah agar Anda dan saya akan takut kepada-Nya sebagaimana seharusnya.
104 Mazmur 3, 7, 18, 30, 34, 51, 52, 54, 56, 57, 59, 60, 63, dan 142 adalah mazmur-mazmur yang berdasarkan episode-episode kehidupan Daud. Bnd. Derek Kidner, Mazmur 1-72 (Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1973), p. 53.
105 Saya harus katakan “rupanya” karena keterangan di bagian atas Mazmur 34 menceritakan kita bahwa Daud pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh sementara dalam 1 Samuel 21 nama raja Gat yang disebutkan adalah Akhis. Seperti catatan pinggir dari NASB menunjukkan, Abimelekh mungkin adalah gelar Akhis. Ini, jika demikian, akan sama dengan gelar “Firaun” yang digunakan oleh raja-raja Mesir. Bnd. A. F. Kirkpatrick, The Book of Psalms Kitab Mazmur (Grand Rapids: Baker Book House [cetak ulang], 1982), hlm. 170.
Catatan-catatan Perowne membingungkan dan mengganggu: “Tak ada nilai bisa dilekatkan pada bagian atas dengan keterangan historisnya, karena sementara ini dipinjam dari I Sam. xxi. 13 [14], Abimelekh digantikan dengan Akhis yang seperti hal membingungkan dengan narasi dalam Gen. Kej. xx. xxi.; dan lebih jauh isi dari Mazmur tidak sangat siap, atau sewajarnya, serasi dengan dugaan situasi-situasi.” J. J. Stewart Perowne, The Book of Psalms (Grand Rapids: Zondervan [reprint], 1976), I, p. 298.
Leupold memiliki suatu pendekatan yang lebih seimbang dan alkitabiah: “Ia mengambil jalan yang ragu-ragu dan bijaksana dengan pura-pura gila (‘mengubah perilaku’ menurut ungkapan Ibrani) di depan raja. Agak jelas bahwa isi mazmur tidak membuktikan atau tidak membuktikan klaim ini. Hampir tidak mungkin bahwa redaksi-redaksi yang mencantumkan bagian atas mazmur akan melakukan begitu tanpa beberapa alasan yang baik. Faktanya, kita hanya perlu mengikuti dua asumsi : 1) bahwa mazmur tidak ditulis sampai suatu waktu yang masuk akal berlalu untuk membiarkan Daud mendapatkan keseimbangan, perlakuan obyektif dari kasus itu; 2) bahwa ayat-ayat 13ff. menunjukkan bahwa praktek dusta tidaklah menolong redaksi, faktanya, usaha-usaha semacam itu sepenuhnya kelalaian. H. C. Leupold, Exposition of Psalms (Grand Rapids: Baker Book House [reprint], 1969), p. 278.
106 Mereka yang cenderung menganggap enteng keterangan bagian atas mazmur itu harus diingatkan akan pentingnya fakta, yang ditunjukkan oleh Kidner: “Dalam teks Ibr. tidak ada ruang di antara kata-kata ini dan yang biasanya dicetak sebagai baris pertama.” Kebiasaan kita untuk mencantumkan judul di atas mazmur selain daripada sebagai bagian dari ayat 1 adalah masalah kenyamanan, yang tidak mengubah statusnya sebagai bagian dari teks. ” Derek Kidner, Mazmur 73-150 (Downers Grove: Inter-Varsity Press, 1975), p. 391, fn. 1.
107 Beberapa orang mungkin mendapatkan ini membingungkan untuk mencatat bahwa kata-kata Yesus dalam Matius 12:3-4 and Markus 2:25-26 tampaknya menyarankan bahwa Daud tidak salah untuk minta roti kudus. Saya percaya bahwa Tuhan kita sedang mengatakan bahwa Daud benar dalam hal meminta roti dan bahwa Ahimelekh benar dalam hal memberikannya. Prinsipnya di sini adalah Sabat diberikan untuk keuntungan manusia, bukan untuk kerugian manusia. “Melanggar Sabat” dengan menyembuhkan orang adalah untuk menjaga semangat hukum, karena tujuan hukum adalah menguntungkan manusia. Tuhan memaksudkan agar manusia istirahat dari pekerjaannya dan memiliki waktu untuk beribadah, namun tidak melarang memungut sedikit bulir gandum. (Mat. 12:1). Semua ini berurusan dengan prinsip tujuan hukum, yang menjadi suatu berkat bagi manusia. Masalah dusta Daud bukanlah pertanyaan untuk didebatkan di sini. Yesus juga tidak mengecilkan dosa Daud dengan tidak menampilkan masalah ini, yang hanya memperlemah argumentasi-Nya. Sanksi makan roti kudus bukanlah sanksi untuk dusta Daud.
108 Adalah suatu hal yang menarik untuk mengamati bahwa sementara Saul kurang tekun dan komitmen untuk menaati Tuhan sepenuhnya dengan memerintahkan kematian orang Amalek dan semua miliknya (1 Sam. 15:3, 9), ia dengan tekun membantai mereka yang dirasanya tidak setia kepadanya di Nob (1 Sam. 22:16-19). Betapa rajinnya kita dalam mengejar ambisi-ambisi pribadi kita, dan betapa lambannya kita sering dalam mengejar kehendak Tuhan yang dinyatakan!
109 Ketika saya mempertimbangkan keputusan-keputusan Daud ketika melarikan diri dari Saul saya sampai pada sebuah kesimpulan sementara, yang saya bagikan pada Saudara untuk studi dan renungan Saudara. Banyak keputusan “buruk” Daud dibuat berdasarkan nasihat mereka yang bijaksana dan saleh. Abigail bisa membujuk Daud untuk mengambil keputusan yang lebih baik (1 Sam. 25). Nabi Gad menyuruh Daud untuk pergi dari Moab dan kembali ke Yudea (1 Sam. 22:5), walaupun tampaknya Daud memutuskan sendiri untuk meninggalkan Yudea dan melarikan diri ke Gat. (1 Sam. 21:1). Dalam 1 Samuel 19:18 Daud melarikan diri kepada Samuel, dimana tidak disebutkan ia melakukan kekerasan atau berdusta , walaupun demikian sesudah Samuel meninggal tampaknya Daud melakukan beberapa kesalahan serius ( bnd. 25:1ff.; 28:3ff.) Belakangan, nabi Natan menolong Daud untuk kembali ke jalan yang benar. Sebenarnya “tidak ada manusia yang hidup sendiri.” Banyak kesalahan kita merupakan hasil keputusan-keputusan sendiri, daripada menuruti nasihat yang saleh.(bnd. Ams. 11:14; 12:15; 13:10; 15:22; 24:6).
110 Anda akan memahami ini sebagai pendapat pribadi saya, namun saya pikir ini sukar untuk diributkan. Masalah yang mendasari pikiran-pikiran kita menjadi sebaliknya adalah bahwa kita cenderung terlalu memuliakan tokoh-tokoh Alkitab. Kita begitu ingin mereka menjadi teladan-teladan sehingga kita menutup mata terhadap kelemahan-kelemahan, cacat-cacat karakter, dan dosa-dosa “para raksasa iman ini.” Namun ingatlah bahwa mereka yang terdaftar dalam “Saksi-saksi iman” dalam Ibrani 11 memiliki kelemahan-kelemahan, saya tegaskan, yang Tuhan beritahu memang kita miliki . Tuhan tidak memuliakan dosa, namun ia juga tidak mengecilkan atau meneropongnya. Dalam kata-kata Perjanjian Baru , para pria sejati ini adalah “manusia biasa seperti kita” (Yakobus 5:17).
111 Kidner, Mazmur 1-72, p. 140.
112 Maksud kata kerja “Muliakanlah…” adalah suatu bentuk perintah yang mungkin tidak memiliki kekuatan sebesar sebuah dorongan. Bnd. James M. Van Dine, “An Exegetical Study of Psalm 34” (unpublished Master’s thesis, Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, 1974), pp. 29-30.
113 Mungkin juga untuk menafsirkan ayat 5 maksudnya adalah orang-orang Israel yang benar dalam jemaat memandang kepada Daud (lebih daripada kepada Tuhan) dan berseri-seri dan tidak malu tersipu-sipu karena Tuhan telah melepaskan dia. Bnd. Van Dine, pp. 33-38.
114 “….tetapi kata orang di sini berbeda. Ini benar-benar dimaksudkan seorang yang kuat, dan menasihati bahwa walaupun ia selalu merasa dirinya kuat, kebahagiaan manusia yang sejati hanya bila bergantung pada Yehova.” A. F. Kirkpatrick, The Book of Psalms (Grand Rapids: Baker Book House [reprint], 1982), p. 172.
115 Bagian ini direfleksikan oleh judul-judul Kidner. Ayat 2-11 berjudul “Bersukacitalah bersamaku”; ayat- 12-13 “Belajarlah dariku.”
الإنجيل بحسب بارت
Related Mediaمُراجعة لكتاب بارت إيرمان سوء إقتباس يسوع: القصة وراء من غيّر الكتاب المقدس و لماذا
دانيال ب. والاس
ترجمة و تقديم و تعليق
فادى أليكساندر
مقدمة من المُترجم
بارت د. ايرمان
كتاب:سوء إقتباس يسوع: القصة وراء من غيّر الكتاب المقدس و لماذا غيره Misquoting Jesus: The Story Behind Who Changed The Bible And Why، كتبه العالم الأميركى بارت د. ايرمان Bart D. Ehrman، فى عام 2005. بارت د. ايرمان هو رئيس قسم الدراسات الدينية بجامعة شمال كارولينا. و يُعتبر عالم مُتخصص فى النقد النصى للعهد الجديد. له العديد من الكتب المُتخصصة فى النقد النصى، و قد شارك فى تحرير أحد أهم الكتب القياسية فى النقد النصى فى عصرنا الحديث[1]. يتميز ايرمان ايضاً فى نقده لتاريخ المسيحيين الأوائل، و له العديد من الكتب المتميزة فى هذا المجال، تماماً كما يُوجد له كتب فى نفس المجال تعتمد بشكل جوهرى على رؤيته الخاصة للبيانات التاريخية. نستطيع ان نضع كل ما كتب ايرمان فى جانب، و كتابه:العهد الجديد: مقدمة تاريخية للكتابات المسيحية الأولى فى جانب آخر. يُعتبر هذا الكتاب مُلخص لما توصل له العلم الحديث حول النقد العلمى المتوازن لكتب العهد الجديد، فى البيانات التى يضعها، بعيداً عن إستنتاجاته الشخصية.
بشكل عام، ايرمان كاتب ساحر فى كتاباته. اسلوبه جميل و فاتن أدبياً. حينما تقرأ له تستطيع ان تفهم كيف يُمكنك أن تحصل على مؤيدين من خلال صياغة المعلومة. وهى نفس المعلومة التى قد تجعلك مُناهض له!
بحلول الشهر القادم، أكون قضيت سنتين فى قراءة كتب ايرمان و دراسة فكره. فكتابه سوء إقتباس يسوع، قد هز أرجاء الدنيا! كان يجب أن أنتبه لسبب هذه الضجة. حسناً، ما الذى قد يُحدِث كل هذه الضجة؟ ما الذى قد يقوله رجل يجعله يصير بطل المُتشككين حول الكتاب المقدس؟
قررت ان اقرأ الكتاب كاملاً....و قرأته...ثلاث مرات!
سوء إقتباس يسوع
سوء إقتباس يسوع، هو كتاب يهدف الى تقديم النقد النصى للعهد الجديد الى العامة. و هو فى أغلبه، مقدمة رائعة، بل أكثر من رائعة، للنقد النصى للعهد الجديد. لكن دائماً ما تبرز المشكلة حينما يختلط البرهان بكيفية تفسير البرهان. او فى بعض الأحيان، حينما يُقَدم تفسير البرهان دون البرهان نفسه. خلال مُراجعة والاس، ستقرأ مُلخص للكتاب. لكن ما يهمنى الآن هو إيضاح بعض النقاط الواجبة لفهم سياق فكر ايرمان و بالتالى فهم فكر والاس فى رده.
أهم أعمال ايرمان و الذى يعتبره هو نفسه أنه أهم أعماله العلمية حول نص العهد الجديد، هو كتابه:الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس. يحتج ايرمان فى هذا الكتاب بشكل عام و بحسب ما أوضحه هو بأن:النُساخ قاموا أحياناً، بتغيير كلمات نصوصهم المقدسة لجعلهم أكثر وضوحاً أرثوذكسياً، و لمنع المسيحيين الذين إعتنقوا أفكار منحرفة من سوء إستخدامها[2]، النُساخ الأرثوذكس الأوليين فى القرن الثانى و الثالث، قاموا فى بعض الأحيان بتعديل نصوص كتابهم المقدس بهدف جعلهم أكثر إتفاقاً مع الآراء الكريستولوجية الخاصة بالحزب الذى إنتصر فيما بعد فى نيقية و خلقيدونية[3].
فى سبيل إرساء قضيته هذه، يضع ايرمان فصولاً تُناقش إنتقال النص فى ضوء عقائد كل من: التبنويين[4]، الإنفصاليين[5]، الدوسيتيين[6]، مُعتنقى فكر الآب المتألم[7]. ايرمان لا يرى أن مُعتنقى هذه الأنظمة الإيمانية هم من غيروا النص، بل المواجهة الأرثوذكسية هى التى غيرت النص. كمثال: هناك نص تم إستخدامه من قِبل المؤيدين لأحد هذه الأنظمة لأجل تأييد قضيته؛ فقام النُساخ بتغيير النص الى شكل آخر، ليس فقط لئلا يستطيع أحد هؤلاء إستخدامه مرة أخرى؛ بل بتغييره الى شكل آخر يُدعم الإيمان الأرثوذكسى.
هذه هى قضية ايرمان بالتحديد؛ التعامل اللاهوتى مع النص. ليس هذا هو مجال مناقشة أمثلة ايرمان فى تدعيم قضيته؛ لكن القضية بشكل عام حقيقية. لقد تعامل النُساخ الأرثوذكس مع النص لاهوتياً، لكن ما هو مدى و كم هذا التعامل؟ هذا التفاعل تم كما قال ايرمان:أحياناً. أى انه نسبة نادرة جداً، و هذا حقيقى. فى الوقت نفسه، هذا التعامل ليس شاملاً؛ فلا يوجد أثر لتعامل لاهوتى شامل و متغلغل للنص. قد نرى ناسخاً غير نصاً ما لتأييد لاهوت المسيح. لكنه فى النهاية فعل هذا لتأييد لاهوت المسيح، و ليس لإختراع لاهوت المسيح. سواء كان هذا التأييد موجود أم لا، فهذا لا يمس من قريب أو بعيد لاهوت المسيح. لأن بفعله هذا قد أيد و ليس إخترع!
سوء إقتباس يسوع مبنى بشكل رئيسى على الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس. و المشكلة الرئيسية فى سوء إقتباس يسوع، ليس أن ما يذكره غير حقيقى، لكنه لا يذكر الصورة كاملةً ابداً. فما معنى ذكر أن عدد الإختلافات بين مخطوطات العهد الجديد أكبر من عدد كلمات العهد الجديد نفسه، دون التأكيد على أن السواد الأعظم من هذه الإختلافات لا معنى له؟ بكلمات أخرى، السواد الأعظم من هذه الإختلافات هو لا شىء[8]! حسناً، لقد قال ايرمان هذا ثلاث مرات، لكن ليس بنفس القوة، مما يترك الإنطباع لدى القارىء بأن حال نص العهد الجديد هو حالة مزرية لا أمل فيها Hopeless Case!
دانيال ب. والاس
دانيال ب. والاس Daniel B. Wallace، هو أستاذ دراسات العهد الجديد، بمعهد دالاس اللاهوتى، و مؤسس و مدير مركز دراسة مخطوطات العهد الجديد، فى دالاس، بولاية تكساس، فى الولايات المتحدة. بالإضافة الى ذلك، والاس أحد أكبر سلطات العالم فى اليونانية القديمة، و كتابه:النحو اليونانى فيما بعد الأساسيات Greek Grammer Beyond The Basics، هو أهم كتاب مُعاصر على الإطلاق فى إحتراف اليونانية. بشكل او بآخر، والاس هو المُختار من المجتمع الإنجيلى العلمى لمواجهة ايرمان. كتب مقالات عديدة نُشِرت فى الكتب و المجلات اللاهوتية، فى الرد على كتاب سوء اقتباس يسوع. كذلك دارت مناظرة بينه و بين ايرمان فى ابريل من عام 2008. العديد من البرامج التلفزيونية المسيحية إستضافت والاس للرد على ايرمان. يُعتبر والاس هو العالم الوحيد من بين علماء النقد النصى، الذى يعمل على إكتشاف المخطوطات الجديدة. يجول بلاد العالم بحثاً عن الجديد من المخطوطات. فى عام 2006، كتب والاس رده الأول على ايرمان، ثم قام بتنقيحه و إضافة المزيد له لاحقاً و الذى نُشِر فى مجلة الجمعية اللاهوتية الإنجيلية. هذا الرد المُنقح هو الذى ستقرأه الآن. ثم فى نفس العام، نُشِر كتاب إعادة إكتشاف يسوع، و الذى قام والاس بالكتابة فيه عن النقد النصى للعهد الجديد، حيث قدّم النقد النصى للعامة بإسلوب علمى موزون، و هو الكتاب الذى ستقرأه بالعربية قريباً. و فى عام 2007، ظهر كتاب خلع يسوع عن عرشه، الذى قام بتأليفه والاس و بوك، و قد خصص والاس الفصل الأول منه للرد على ايرمان فى نحو أربعين صفحة، و هو ما أعمل على ترجمته الآن. و فى نفس العام، قام لى ستروبل بإجراء حوار مع والاس، ليكون مادة الفصل الثانى من كتابه القضية ليسوع الحقيقى. بالإضافة لذلك، فمع بداية العام القادم، سيصدر كتاب به إحتجاجات ايرمان و والاس كما دارت فى مناظرتهما.
الرد الإنجيلى
لم يكن دانيال والاس فقط هو من تفاعل مع كتاب ايرمان، فهناك العديد من العلماء الذين تفاعلوا مع ما كتبه، مثل: بين ويزرينجتون، هارلود جرينلى، كريج ايفانز، جيمس وايت، بيتر ويليامز، تيموثى جونز، و آخرين غيرهم. لكن ما إجتمع عليه جميع هؤلاء العلماء؛ أنه ولا قراءة نصية تُهدد أى عقيدة مسيحية رئيسية. الغريب فى ذلك، أن ايرمان نفسه أكد ذلك؛ مما جعلنى فى قمة الحيرة حول مشكلة ايرمان مع نص العهد الجديد. لكن بعد عامين من القراءة، قراءة سوء إقتباس يسوع و غيره، و قراءة كل الردود الإنجيلية عليه تقريباً، بل و حتى حوارات شخصية مع ايرمان، لا استطيع تخيل مشكلة أخرى غير وجود الإختلاف النصى فى حد ذاته. بشكل او بآخر، يبدو أن مشكلة إيرمان مع نص العهد الجديد، هو وجود إختلاف نصى بين المخطوطات بشكل عام. ايرمان من أشد المُدافعين عن مفهوم النص الأصلى، و هذه الإشكالية الحديثة جداً جداً، لا تمثل له اى مشكلة. لذا، فالرد الإنجيلى على ايرمان يعتمد بالتحديد على بيان كيفية نشأة الخلافات النصية، ماهيتها، طبيعتها، اهميتها، و مدى تأثيرها على العقيدة.
و هناك قاعدة محورية يجب فهمها بشكل رئيسى؛ أن ايرمان لم يأتى بشىء جديد لا نعرفه من قبل، و ان جميع البيانات واحدة بين أيدى جميع العلماء. لكن المشكلة الرئيسية تكمن فى كيفية تفسير هذه البيانات، بأفضل شكل ممكن. لذلك، أهدف بهذه الترجمة؛ تقديم تفسير آخر لنفس البيانات التى طرحها ايرمان. كما سيوضح والاس تباعاً، فكل الإحتمالات لما تُخلق متساوية، و كل التفسيرات لا تحتمل نفس درجة المساواة فى منطقيتها. إذا كنت أميناً فى بحثك، فعليك أن تنظر الى البرهان، الى الدليل المتوفر بين أيديك، ثم تحاول تفسيره بأفضل شكل ممكن، و فى أدق سياق تاريخى معقول.
حول الترجمة
القارىء المتابع لدانيال والاس، يعرف جيداً ان لهجته هى لهجة أميريكة خالصة. و فى أثناء الترجمة، حاولت على قدر المُستطاع ان تكون ترجمة حرفية تامة، توضح المعنى دون الإخلال بحرفيتها. الشق الخاص بمعالجة المشكلة النصية فى يوحنا 1 : 18، قد يبدو مُعقداً للغاية و صعب فهمه، و ذلك لأنه يتعامل بعمق مع النحو اليونانى. لقد تمت هذه الترجمة بإذن خاص من العالم دانيال ب. والاس، و من مدير موقع bible.org، ديف اوستين. نُشِرت هذه الترجمة على موقع مؤسسة الدراسات الكتابية bible.org، بالإضافة الى نشرها فى معهد دالاس اللاهوتى بالولايات المتحدة. لهذا أُقدِم شكر خاص لذلك العالم الأمين، والاس، الذى تبنى قضيتنا، و بنعمة المسيح، حصل لأجلنا على تصريحات من دور النشر المختلفة، بترجمة كافة أعماله للعربية. أرجو صلاواتكم ليُعيننى الرب على هذه المهمة الضخمة، و التى تحققت الخطوة الأولى منها، بنشر هذه المراجعة[9].
أُصلى ان يكون هذا العمل سبب رجاء و ثبات فى المسيح، لك...
فادى اليكساندر
14 – 5 - 2009
الإنجيل بحسب بارت
مُراجعة لكتاب بارت إيرمان سوء إقتباس يسوع: القصة وراء من غيّر الكتاب المقدس و لماذا[10]
إن كتاب عن النقد النصى، هو فجوة حقيقية، لأغلب طُلاب العهد الجديد. إن كتاب يحتوى على تفاصيل مملة لا يُمكن ان يكون ضمن الكتب الأكثر مبيعاً. لكن منذ نشره فى 1 نوفمبر 2005، فإن كتاب سوء إقتباس يسوع[11] كان يصعد أعلى و أعلى نحو قمة آمازون. و منذ أن ظهر بارت إيرمان، أحد نُقاد النص الرئيسيين فى أميركا الشمالية، فى برنامجين فى شبكة NPR (برنامج ديانا ريم و الهواء النقى مع تيرى جروس) فى نفس الإسبوع، فقد أصبح ضمن أعلى خمسين كتاب مبيعاً فى آمازون. فى خلال ثلاثة شهور، بِيع منه أكثر من مئة ألف نسخة. حينما ظهر حوار نيلى توكر مع إيرمان فى واشنطن بوست فى 5 مارس من هذه السنة، إرتفعت مبيعات كتاب إيرمان الى الأعلى. الأستاذ توكر تكلم عن إيرمان بوصفه:عالم متزمت حدّق فى أصول المسيحية، حتى انه فقد إيمانه[12]. بعد تسعة أيام، كان إيرمان ضيف برنامج جون ستيوارت، اللقاء اليومى. قال ستيوارت أن رؤية الكتاب المقدس كشىء تم إفساده بحرية من قِبل النُساخ الأرثوذوكس جعلت الكتاب المقدس:أكثر متعة...على الأغلب أكثر إلهية فى بعض النواحى. أنهى ستيوارت الحوار قائلاً:انا حقيقى اهنئك، أنه كتاب فى قمة الروعة. فى خلال 48 ساعة، إنطلق سوء إقتباس يسوع فى مقدمة آمازون، حتى لو كان ذلك لمجرد دقيقة واحدة. بعد شهرين، كان الكتاب يُحلق مُترفعاً، باقياً ضمن أعلى 25 كتاباً مبيعاً. لقد:أصبح واحد من أعلى الكتب مبيعاً التى لا مثيل لها فى السنة[13]. ليس سيئاً لكتاب أكاديمى حول موضوع مُمل!
لما كل هذه الضجة؟ حسناً، لهدف واحد، ان يسوع يُباع. لكنه ليس يسوع الكتاب المقدس. يسوع الذى يُباع هو الذى يروق للرجل بعد الحديث Postmodern man. و بكتاب عُنوِن:سوء إقتباس يسوع: القصة وراء من غير الكتاب المقدس و لماذا، فإنه قد وصل بالفعل الى طريق المُستمعين عن طريق ضخه الأمل؛ بأن هناك دليل طازج أن يسوع الكتابى مُلفق. بشكل يدعو للسخرية، ولا واحدة من القراءات التى ناقشها إيرمان، تضمن أقوال ليسوع. الكتاب ببساطة لا يُقدم ما وعد به العنوان. إيرمان فضّل فُقِد فى الإنتقال، لكن الناشر إعتقد ان كتاب كهذا قد يُفهم على انه يتعامل مع سباق للسيارات! رغم ان إيرمان لم يختر العنوان الناتج، إلا انها كانت ضربة مُوفقة فى النشر.
على نحو أكثر أهمية، هذا الكتاب يُباع لأنه يروق للمُتشكك الذى يريد أسباب لئلا يؤمن، الذى يعتقد ان الكتاب المقدس هو كتاب خرافات. إنه شىء أن يُقال أن القصص الموجودة بالكتاب المقدس هى أساطير، و شىء آخر واضح ان يُقال أن العديد منهم قد أُضيف فى قرون لاحقة. رغم ان إيرمان لا يقول هذا بوضوح، فإنه يترك الإنطباع بأن الشكل الأصلى للعهد الجديد كان بالأحرى مُختلفاً عما تقرأه المخطوطات الآن.
تبعاً لإيرمان، هذا هو أول كتاب عن النقد النصى للعهد الجديد - فرع من المعرفة موجود منذ ما يقرب من 300 عام - للمُستمعين العامة[14]. لكن، و بشكل ملحوظ، إيرمان لم يُحصى الكتب العديدة التى كتبها مُؤيدى نُسخة الملك جيمس فقط، او الكتب التى تتفاعل معهم. يبدو أن إيرمان يعنى ان كتابه هو أول كتاب حول الفرع المعرفى العام، النقد النصى للعهد الجديد، كُتِب بواسطة ناقد نصى رئيسى للقراءة العامة. هذا من المُرجح جداً أنه حقيقى.
نقد نصى 101
غالبية أجزاء سوء إقتباس يسوع، هى ببساطة نقد نصى 101. هناك سبعة فصول مع مقدمة و خاتمة. غالبية الكتاب (الفصول 1 - 4) هى بشكل رئيسى مقدمة للمجال، و هى مقدمة جيدة جداً فى ذلك. أنها تعرف القراء لعالم النشاط النسخى الساحر، عملية التقنين، و النصوص المطبوعة للعهد الجديد اليونانى. إنها تناقش المنهجية الرئيسية: الإنتقائية المعقولة. خلال هذه الأربعة فصول، تم مُناقشة قُصاصات مُختلفة، قراءات مُختلفة، إقتباسات من الآباء، مناظرات بين البروتستانت و الكاثوليك، مُطلِعاً القارىء على بعض تحديات المجال اللغزى، النقد النصى.
الفصل الأول بدايات الكتاب المقدس المسيحى، ينصب حول لماذا كُتِبت كتب العهد الجديد، كيف تم إستلامهم، و متى تم قبولهم ككتاب مقدس.
الفصل الثانى نُساخ الكتابات المسيحية الأولى يتعامل مع التغييرات النسخية للنص، كلاً من العمدية و العفوية. هنا يخلط إيرمان المعلومات النقد نصية بتفسيره الخاص، و هو تفسير لا يُشاركه فيه بأى شكل كل نُقاد النص، ولا حتى غالبيتهم. فى الجوهر، فهو يرسم صورة كئيبة جداً للنشاط النسخى[15]، تاركاً القارىء غير الحذر ان يفترض أنه لا يوجد لدينا فرصة لإعادة تكوين الكلمات الأصلية للعهد الجديد.
الفصل الثالث نصوص العهد الجديد، و الفصل الرابع البحث عن الأصول، يأخذنا من إيرازموس و اول عهد جديد يونانى منشور، الى نص ويستكوت و هورت. تمت مُناقشة العلماء الرئيسيين من القرن السادس عشر حتى التاسع عشر. هذا هو أكثر ما فى الكتاب موضوعية و يعطى القراءة سحراً. لكن حتى هنا، إيرمان يُدخِل وجهة نظره بإختياره للمادة. كمثال، فى مناقشة الدور الذى قام به بينجل فى تاريخ النقد النصى (ص 109 - 112)، إيرمان يُعطى هذا العالم المُحافظ الألمانى ثناء عالى كعالم: فهو كان مُفسر حريص جداً للنص الكتابى (ص 109)، بينجل درس كل شىء بكثافة (ص 111). يتحدث إيرمان ايضاً عن التقدمات الخارقة التى لبينجل فى النقد النصى (ص 111 - 112)، لكنه لا يذكر أنه كان أول عالم هام يتكلم بوضوح عن عقيدة أرثوذكسية القراءات. هذا إهمال غريب، لأنه على الجانب الأول، فإن إيرمان يعرف جيداً هذه الحقيقة، لأنه فى الإصدار الرابع لـ نص العهد الجديد، الذى يؤلفه الآن بروس ميتزجر و بارت إيرمان[16]، و الذى ظهر قبل سوء إقتباس يسوع بشهور فقط، يُلاحظ الكاتبان:بطاقة مميزة و مثابرة، بينجل دبّر بمشقة، كل الإصدارات، المخطوطات، و الترجمات القديمة المتوفرة له. بعد دراسة طويلة، وصل الى الإستنتاج؛ أن القراءات المُختلفة أقل فى عددها من المُتوقع، و أنهم لا يؤثرون على اى بند من العقيدة الإنجيلية[17]. على الجانب الآخر، يذكر إيرمان بدلاً من ذلك، ج. ج. فيتشتين، أحد مُعاصرى بينجل، الذى حينما كان فى عمره الرقيق، العشرين، إفترض أن هذه القراءات:لا يُوجد لها أى تأثير مُضِعف على سلامة الكتب المقدسة، و كونها جديرة بالثقة[18]، لكن بعد سنين لاحقة، و بعد دراسة حريصة للنص، فيتشتين غير وجهات نظره بعد أن بدأ فى التفكير جدياً حول قناعاته اللاهوتية[19]. أنه من المغرى أن نُفكر بأن إيرمان قد يكون رأى توازى بينه و بين فيتشتين: كما كان فيتشتين، إيرمان بدأ حياته كإنجيلى حينما كان فى الكلية، لكنه غير آراؤه حول النص و اللاهوت فى سنوات نضوجه[20]. لكن النموذج الذى يُقدمه بينجل - عالم وقور يصل لإستنتاجات مُختلفة بوضوح - قد تم التغاضى عنه صراحةً.
ما أُهِمل ايضاً بغرابة كان مُحرك تشيندورف لعمله الذى لا يكل فى إكتشاف المخطوطات و نشر إصدار نقدى للنص اليونانى مع آداة نصية Critical Apparatus كاملة. تشيندورف معروف بشكل واسع، كأكثر ناقد نصى كادح فى كل الأزمنة. و ما حركه كان رغبته لإعادة تكوين أقدم شكل للنص - و هو النص الذى آمن أنه يُدافع عن المسيحية الأرثوذكسية ضد التشككية الهيجيلة لـ ف. س. باؤر و تابعيه. لا شىء من كل هذا تم ذكره فى سوء إقتباس يسوع.
بجانب الإنتقائية فى إختيار العلماء و آرائهم، فهذه الأربعة فصول تتضمنان إهمالين غريبين. اولاً، لا يوجد اى مناقشة للمخطوطات المتنوعة تقريباً. يبدو على الأغلب، أن البرهان الخارجى ليس هو ما يبدأ به إيرمان. و ما أبعد من ذلك، فإنه كلما قام بتنوير قراؤه من العامة ثقافياً حول هذا المجال المعرفى، فكونه لم يُعطهم التفاصيل حول أى مخطوطات هى أكثر جدارة بالثقة، المخطوطات الأقدم..إلخ، فإن هذا يسمح له بالتحكم فى إلقاء المعلومات. لقد اُحبِطت كثيراً فى دراستى المُتمعنة للكتاب، لأنه يتكلم عن قراءات مختلفة دون ان يُقدم الكثير، هذا اذا قدم اساساً، اى من البيانات المُدعمة لهم. حتى فى الفصل الثالث نصوص العهد الجديد: الإصدارات، المخطوطات، و الإختلافات، هناك مُناقشة ثانوية للمخطوطات، وبلا مُناقشة خاصة لكل مخطوطة على حِدة. فى الصفحتين اللتين تتعاملان خصيصاً مع المخطوطات، يتحدث إيرمان عن عددهم، طبيعتهم، و القراءات فقط[21].
ثانياً، إيرمان يُبالغ فى نوعية القراءات بينما يكاد لا يتحدث عن عددهم. يقول:هناك قراءات فى مخطوطاتنا أكثر من كلمات العهد الجديد[22]. فى مكان آخر يقول أن عدد القراءات مُرتفع جداً لدرجة 400000 قراءة[23]. هذا حقيقى فعلاً، لكنه مُضللاً. أى شخص يُدرِس النقد النصى للعهد الجديد، يعرف ان هذه الحقيقة هى فقط جزء من الصورة، و أنها إذا تُرِكت هكذا امام القارىء بلا شرح، فإنها تُقدِم صورة مُشوهة. فى الوقت الذى ينكشف فيه ان الغالبية العظمى من هذه الخلافات غير هامة - تتضمن إختلافات فى التهجئة لا يُمكن حتى ترجمتها، ادوات تعريف للأسماء العلم، تغيير ترتيب الكلمات، و ما الى ذلك - و أن أقلية صغيرة جداً من القراءات، تغير معنى النص، فإن الصورة الكاملة تظهر فى الجوهر. فعلياً، مجرد 1 % من القراءات النصية لها معنى و قابلة للتطبيق[24]. لكن الإنطباع الذى يعطيه إيرمان احياناً خلال الكتاب - و يُكرره فى حواراته[25] - هو إنعدام الثقة بالجملة حول الكلمات الأصلية[26]، و هى رؤية متطرفة بعيداً عما يتقبله هو[27].
يُمكننا شرح الأمور بهذه الطريقة. هناك تقريباً 138000 كلمة فى العهد الجديد اليونانى. الإختلافات فى المخطوطات، الترجمات، الآباء، تُكون نحو ثلاث أضعاف هذا الرقم. للوهلة الأولى، فهذه كمية مُدهشة. لكن فى ضوء الإحتماليات، فهى، عملياً، تافهة. كمثال، تأمل الطرق التى يُمكن ان نقول بها يسوع يُحِب بولس باليونانية:
1. ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ Παῦλον
2. ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ τὸν Παῦλον
3. ὁ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ Παῦλον
4. ὁ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ τὸν Παῦλον
5. Παῦλον ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ
6. τὸν Παῦλον ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ
7. Παῦλον ὁ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ
8. τὸν Παῦλον ὁ᾿Ιησοῦς ἀγαπᾷ
9. ἀγαπᾷ᾿Ιησοῦς Παῦλον
10. ἀγαπᾷ᾿Ιησοῦς τὸν Παῦλον
11. ἀγαπᾷὁ᾿Ιησοῦς Παῦλον
12. ἀγαπᾷὁ᾿Ιησοῦς τὸν Παῦλον
13. ἀγαπᾷ Παῦλον ᾿Ιησοῦς
14. ἀγαπᾷ τὸν Παῦλον ᾿Ιησοῦς
15. ἀγαπᾷ Παῦλον ὁ᾿Ιησοῦς
16. ἀγαπᾷ τὸν Παῦλον ὁ᾿Ιησοῦς
هذه الخلافات تُمثل فقط جزء من الإحتمالات. كمثال، إذا إستخدمت الجملة φιλεῖ بدلاً من ἀγαπᾷ، او اذا بدأت بأداة ربط مثل δεv, καιv أو μέν، فالخلافات المُمكنة ستنمو مُضاعفةً. بالإضافة الى عامل المرادفات كذلك (مثل κύριος بدلاً من ᾿Ιησοῦς)، إختلافات التهجئة، و الكلمات الإضافية (مثل Χριστός، أو ἅγιος مع Παῦλος)، و هكذا، قائمة الإختلافات الممكنة التى لا تؤثر على جوهر العبارة، تتزايد للمئات. إذا كانت عبارة بسيطة كهذه يسوع يُحِب بولس يُمكن ان يُوجد لها قراءات غير هامة كثيرة جداً، فإن مجرد 400000 قراءة ضمن مخطوطات العهد الجديد، يبدو كأنه كمية مُهملة[28].
لكن هذه الإنتقادات هى إعتراضات ثانوية. فلا يُوجد شىء حقيقى مُزلزل فى أول اربعة فصول. على العكس، ففى المقدمة نرى مُحرِك إيرمان، و آخر ثلاث فصول تكشف أجندته. فى هذه الأماكن خاصةً، فإنه مستفز و مُبالغ جداً و لا يتبع قواعده المنطقية. بقية مُراجعتنا سوف تُركز على هذه المادة.
خلفية ايرمان الإنجيلية
فى المقدمة، يتحدث ايرمان عن خلفيته الإنجيلية (ثلاث سنوات بمعهد مودى الكتابى، سنتين فى كلية ويتون حيث تعلم اليونانى)، ثم ماجستير فى اللاهوت و دكتوراه فى الفلسفة فى معهد برينستون. لقد كان فى برينستون حيث بدأ ايرمان فى رفض بعض ما تعلمه فى تنشأته الإنجيلية، خاصةً أنه تصارع مع تفاصيل نص العهد الجديد. فهو يُشير الى ان دراسة مخطوطات العهد الجديد، خلقت شكوكاً فى عقله:لقد كنت دائم العودة الى سؤالى الرئيسى: كيف يُمكن ان يُساعدنا القول بأن الكتاب المقدس هو كلمة الله المعصومة، إذا كنا فى الحقيقة لا نمتلك تلك الكلمات التى أوحاها الله معصومةً، بل بدلاً من ذلك، الكلمات التى نسخها النُساخ، بعض الأحيان بشكل صحيح و بعض الأحيان (أحيان كثيرة!) بشكل خاطىء؟[29] هذا سؤال ممتاز، و قد تم إبرازه بشكل جلى فى سوء إقتباس يسوع، بشكل مُكرر خلال الكتاب. للأسف، ايرمان، حقيقةً، لم يقضى وقتاً أطول متصارعاً مع مباشرةً.
بينما كان فى برنامج الماجستير، أخذ كورس عن انجيل مرقس، من الأستاذ كولين ستورى. لأجل بحث الفصل الدراسى، كتب عن مشكلة حديث يسوع عن دخول داود للمعبد:حينما كان آبياثار رئيس الكهنة (مرقس 2 : 26). المشكلة المُحيرة المعروفة الممثلة إشكالاً للعصمة، لأنه تبعاً لـ 1 صم 21، كان أخيمالك والد آبياثار هو الكاهن حينما دخل داود المعبد. لكن ايرمان كان مُصمم ان يقوم بعمل ما رآه المعنى الواضح للنص، بهدف إنقاذ العصمة. يُخبر ايرمان قراؤه عن تعليق الأستاذ ستورى حول البحث:دخل بإستقامة بداخلى. لقد كتب: ربما مرقس قد إرتكب خطأ[30]. هذه كانت لحظة حاسمة فى رحلة ايرمان الروحية. حينما إستنتج ايرمان ان مرقس قد يكون اخطأ، إنفتحت الحواجز على مصراعيها[31]. ثم بدأ فى الشك فى الموثوقية التاريخية للكثير من النصوص الكتابية الأخرى، مما أدى الى تغير زلزالى فى فهمه للكتاب المقدس. يقول ايرمان:الكتاب المقدس بدأ فى الظهور إلىّ ككتاب بشرى جداً...لقد كان هذا كتاب بشرى من البداية للنهاية[32].
ما يعوقنى بشكل جدير بالمُلاحظة فى كل هذا، هو كيف ان ايرمان يربط العصمة بالموثوقية التاريخية للكتاب المقدس. لقد كانت مسألة كل شىء او لا شىء بالنسبة له. لايزال يرى الأشياء كسوداء او بيضاء، فهو يختتم شهادته بهذه الكلمات:انها نقلة جزرية من قراءة الكتاب المقدس كالطبعة الزرقاء المعصومة لإيماننا، حياتنا، و مستقبلنا، لرؤيته ككتاب بشرى جداً...هذه النقلة هى التى انتهيت لها فى فكرى الخاص، و التى أُسلِم بها تماماً الآن[33]. يبدو أنه لا يوجد اى خلفية متوسطة فى رؤيته للنص. بإختصار، يبدو ان ايرمان يتمسك بما أسميه النظرة الدومينية للعقيدة. حينما تسقط واحدة، كلهم جميعاً يسقطون. سوف نعود لهذا الموضوع فى الخاتمة.
الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس
الفصول 5، 6، و 7 هى قلب الكتاب. و هنا يُناقش ايرمان النتائج التى توصل لها فى تحقيقاته فى عمله الرئيسى، الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس[34]. فصله الإستنتاجى يختتم بالنقطة التى يسوقها فى هذا المقطع:أنه من الخطأ القول، كما يفعل البعض، ان التغييرات فى نصنا لا تحمل اى شهادة لما يعنيه النص، او الإستنتاجات اللاهوتية التى يتوصل لها منهم. فى الحقيقة، لقد رأينا ان العكس هو القضية[35].
لنتوقف لنُلاحظ نقطتين لاهوتيتين متزمتتين تم تأكيدهما فى سوء إقتباس يسوع: الأولى كما ذكرنا سابقاً، هى ان الحديث عن عصمة الكتاب المقدس لا صلة له لأننا لا نمتلك الوثائق الأصلية؛ و الثانية أن القراءات فى المخطوطات تُغير اللاهوت الأساسى للعهد الجديد.
المُغالطة المنطقية فى رفض عصمة الأصول
رغم ان ايرمان لم يُطور إحتجاجه الأول، فإنه يستحق الرد. نحتاج ان نبدأ بالتفريق الحريص بين الوحى الفعلى و العصمة. الوحى يرتبط بكلمات الكتاب المقدس، بينما العصمة ترتبط بحقيقة العبارة. الإنجيليين الأميركيين يؤمنون بشكل عام، أن النص الأصلى فقط هو المُوحى به. لكن هذا لا يعنى أن النُسخ لا يُمكن ان تكون معصومة. فعلياً، فهناك عبارات لا علاقة لها بالكتاب المقدس و يُمكن ان تكون معصومة. اذا انا قلت:انا متزوج، و لدىّ اربعة ابناء، كلبين، و قطة، فهذه عبارة معصومة. هى عبارة غير مُوحى بها، ولا علاقة لها بالكتاب المقدس تماماً، لكنها حقيقية. و بالمثل، سواء قال بولس لنا سلام او ليكن لنا سلام فى رومية 5 : 1، فإن كلا العبارتين حقيقيتين (رغم ان كل منهما لها معنى مختلف)، رغم ان واحدة فقط هى المُوحى بها. الإنتباه لهذا التمييز فى العقل اثناء الإهتمام بالقراءات النصية للعهد الجديد، سوف يوضح الأمور.
بغض النظر عما يعتقده الفرد عن عقيدة العصمة، فإن الإحتجاج ضدها بناء على الأصول الغير معروفة هو مُغالطة منطقية. و هذا لسببين. اولاً، نحن لدينا نص العهد الجديد فى مكان ما من المخطوطات. لا يوجد اى حاجة للتخمين، إلا ربما لمكان واحد او إثنين[36]. ثانياً، النص الذى تقدمه لنا القراءات القابلة للتطبيق، ليس أكثر صعوبةً للعصمة من مُشكلات أخرى موجودة بينما النص مُحكم. لنكن واثقين الآن أنه هناك فى القراءات النصية بعض التحديات للعصمة. هذا لا يُمكن انكاره. لكن ببساطة، هناك مشكلات أكبر تواجهنا حينما نأتى لموضوعات وجوه العصمة.
و هكذا، اذا كان التنقيح الحدسى غير ضرورى، و اذا كان لا يُوجد قراءة قابلة للتطبيق يُمكن ان تُسجل صورة على شاشة الرادار المُسمى مشكلات العصمة، فإن عدم إمتلاك الأصول هو نقطة موضع نقاش لهذه العقيدة. إنها بالتأكيد ليست نقطة موضع نقاش للوحى الفعلى بل للعصمة[37].
عقائد اساسية تأثرت بالقراءات النصية؟
نقطة ايرمان الثانية اللاهوتية تحتل الدرجة المركزية فى كتابه. تبعاً لذلك، فهى ستحتل بقية هذه المراجعة.
فى الفصلين الخامس و السادس، يُناقش ايرمان عدة نصوص تتضمن قراءات يُزعم انها تؤثر على العقائد اللاهوتية الجوهرية. يُلخص نتيجة تحقيقاته فى فصله الختامى كما يلى:فى بعض الأحيان، معنى النص فى خطر، مُعتمداً على كيفية حل الفرد المشكلة النصية: هل كان يسوع رجل غاضب (مرقس 1 : 41)؟ هل كان مهتاج كليةً فى مواجهة الموت (عب 2 : 8 - 9)؟ هل أخبر تلاميذه انهم يقدرون على شرب السم دون ان يؤذيهم (مرقس 16 : 9 - 20)؟ هل أفلت زانية من بين مُقتنصيها بلا شىء سوى تحذير مُعتدل (يو 7 : 53 - 8 : 11)؟ هل علّم العهد الجديد بوضوح عن عقيدة الثالوث (1 يوحنا 5 : 7 - 8)؟ هل سُمى يسوع فعلاً الإله الوحيد فى يوحنا 1 : 18؟ هل يُوضح العهد الجديد ان حتى ابن الله نفسه لا يعرف متى سوف تكون النهاية (متى 24 : 36)؟ الاسئلة تأتى كثيراً، و كلهم مرتبطين بكيفية حل الفرد للصعوبات الموجودة بالتقليد المخطوطى كما تسلمناه[38].
من الواضح ان تلخيص كهذا مقصود به التركيز على المقاطع الإشكالية الرئيسية التى ناقشها ايرمان. هكذا، و تبعاً للقاعدة الرابينية المعروفة جداً:من الأعلى للأسفل a maiore ad [39]minus او الإحتجاج من الأكبر الى الأقل، فسوف نُخاطب هذه السبعة نصوص فقط.
المشكلة مع النصوص الإشكالية
ثلاثة من هذه المقاطع اعتبرهم علماء العهد الجديد غير اصليين - من ضمنهم غالبية علماء العهد الجديد الإنجيليين - لأكثر من قرن (مرقس 16 : 9 - 20، يوحنا 7 : 53 - 8 : 11، و 1 يوحنا 5 : 7 - 8)[40]. رغم ذلك فإن ايرمان يكتب و كأن استئصال هذه النصوص يُمكن ان يُهدد قناعاتنا اللاهوتية. القضية صعبة جداً. (سوء نؤجل مناقشة أحد هذه النصوص، 1 يوحنا 5 : 7 - 8، للنهاية).
آخر إثنى عشر عدداً فى مرقس و قصة الزانية
فى نفس الوقت، فإن ايرمان يُشير الى موضوع صحيح. إن اى مراجعة عملية لأى ترجمة إنجليزية اليوم، تكشف ان الخاتمة الأطول لمرقس و قصة الزانية، موجودين فى أماكنهم المُعتادة. هكذا، ليس فقط نُسخة الملك جيمس و نُسخة الملك جيمس الجديدة بهم المقاطع (كما يُمكن ان يُتوقع)، لكن كذلك النُسخة الأميركية القياسية، النُسخة المُنقحة القياسية، النُسخة المنقحة القياسية الجديدة، النسخة الدولية الحديثة، النسخة الدولية الحديثة اليوم، الكتاب المقدس الأميركى القياسى الجديد، النسخة الإنجليزية القياسية، النسخة الإنجليزية اليوم، الكتاب المقدس الاميركى الجديد، الكتاب المقدس اليهودى الجديد، الترجمة الإنجليزية الحديثة. رغم ذلك، فالعلماء الذين أصدروا هذه الترجمات، لا يعهدون لأصالة هذه النصوص. الأسباب بسيطة بما فيه الكفاية: انهم غير موجودين فى أقدم و أفضل المخطوطات، و برهانهم الداخلى ضد أصالتهم بلا جدال. لماذا هم إذن مازالوا فى هذه الكتب المقدسة؟
الإجابة لهذا السؤال متنوعة. يبدو للبعض ان بقائهم فى الكتب المقدسة بسبب تقليد الجبن. يبدو ان هناك اسباب وجيهة لذلك. الأساس المنطقى نموذجياً هو أنه لا أحد سيشترى نسخة اذا لا يوجد بها هذه المقاطع الشهيرة. و اذا لم يشتريها أحد، فإنها لن تؤثر على المسيحيين. بعض الترجمات وضعت قصة الزانية بسبب تفويض من السلطات البابوية بإعتبارها مقطع من الكتاب المقدس. الكتاب المقدس الإنجليزى الحديث و الكتاب المقدس الإنجليزى المُنقح وضعوها فى نهاية الأناجيل، بدلاً من مكانها التقليدى. النُسخة الدولية الجديدة اليوم و الترجمة الإنجليزية الحديثة وضعوا كلاً من النصين بخط أصغر بين أقواس. بالتأكيد الشكل الأصغر يجعلهما من الصعب قراءتهما من قِبل الوعاظ. الترجمة الإنجليزية الحديثة تضع مُناقشة مُطولة حول عدم أصالة هذه الأعداد. غالبية الترجمات تذكر ان هذه القصص غير موجودة فى أقدم المخطوطات، لكن تعليق كهذا نادراً ما يُلاحظه القراء اليوم. كيف نعرف هذا؟ من موجات الصدمة التى قام بها كتاب ايرمان. فى الإذاعة، التليفزيون، الحوارات الصحفية مع ايرمان، قصة المرأة التى أُمسِكت فى الزنا هى دائماً اول نص يُقدم على انه غير أصيل، و هذا التقديم مُعَد لتنبيه المستمعين.
إطلاع العامة على الأسرار العلمية حول نص الكتاب المقدس ليس جديداً. إدوارد جيبون، فى كتابه الأعلى مبيعاً ذى الستة أجزاء، سقوط و إنحدار الإمبراطورية الرومانية، دوّن ان الفاصلة اليوحناوية، او الصيغة الثالوثية فى 1 يوحنا 5 : 7 - 8، ليست أصلية[41]. و هذا قد صدم العامة فى بريطانيا فى القرن الثامن عشر، لأن كتابهم المقدس الوحيد هو النُسخة المُرخصة، التى احتوت على الصيغة. آخرين قد قاموا بهذا قبله، لكن فقط فى الدوائر الدراسية و الأكاديمية. جيبون قام بهذا للعامة، بلغة مُزعجة[42]. لكن مع صدور النُسخة المُنقحة فى عام 1885، لم يعد هناك أثر للفاصلة. أما اليوم، فإن النص لا يُطبع فى الترجمات الحديثة، و بصعوبة يُمكن ان يجذب اى عين له.
ايرمان تبع قافلة جيبون بتعريض العامة لعدم أصالة مرقس 16 : 9 - 20 و يوحنا 7 : 53 - 8 : 11. لكن المشكلة هنا مختلفة قليلاً. النص الثانى يتمتع بعواطف قوية. لقد كان مقطعى المُفضل الغير موجود بالكتاب المقدس لسنوات. انا حتى استطيع ان أعظ حوله كقصة تاريخية حقيقية، حتى بعد ان رفضت أصوليته الأدبية - القانونية. و نحن نعلم بالوُعاظ الذين لا يستطيعون الكف عنه رغم انهم ايضاً لديهم شكوك حوله. لكن هناك مشكلتين فى هذه الطريقة لفهم الموضوع. اولاً، حول شعبية النصين، فإن يوحنا 8 هو المُفضل بشكل ساحق، رغم ذلك فإن ترخيصات إعتماده الخارجية هى اسوء بشكل هام من مرقس 16. هذا التناقض مرعب. شىء ما ناقص فى معاهدنا اللاهوتية حينما تكون مشاعر الفرد هى الحكم فى المشكلات النصية. ثانياً، قصة الزانية من المُرجح جداً انها غير حقيقية تاريخياً. من المُحتمل ان تكون قصة كُوِنت من قصتين أخريتين مُختلفتين[43]. هكذا، العذر بأن الفرد يستطيع المناداة بها لأنها قصة حدثت حقيقةً واضح انه غير صحيح.
بإستعادة الأحداث الماضية، فإن إبقاء هاتين القصتين فى كتبنا المقدسة بدلاً من إحالتهم للهوامش، يبدو و كأنه قنبلة، تنتظر فقط الإنفجار. كل ما فعله ايرمان هو انه اشعل الفتيل. درس واحد يجب ان نتعلمه من سوء اقتباس يسوع، أن اولئك الذين فى الخدمة يجب ان يعبروا الفجوة بين الكنيسة و الأكاديمية. يجب علينا ان نُعلِم المؤمنين. بدلاً من محاولة عزل عامة الناس عن الدراسة النقدية، يجب ان نُدرعهم. يجب ان يكونوا مُستعدين لوابل النيران، لأنه قادم لا محالة[44]. الصمت المُتعمد للكنيسة لأجل ملء مقاعد أكثر فى الكنيسة سوف يقود جوهرياً الى الإرتداد عن المسيح. يجب ان نشكر ايرمان لأنه أعطانا انذار أيقظنا.
هذا لا يعنى ان كل شىء كتبه ايرمان فى هذا الكتاب من هذا النوع. لكن هذه الثلاث نصوص رأى ايرمان فيها صحيح. يجب ان نؤكد مرة أخرى: هذه النصوص لا تُغير اى عقيدة رئيسية، ولا أى ايمان مركزى. العلماء الإنجيليين نفوا أصالتهم لأكثر من قرن دون زحزحة نقطة واحدة من الأرثوذكسية.
مع ذلك، فإن الأربعة مشكلات النصية المتبقية تذكر قصة مختلفة. ايرمان يستند الى واحد من إثنين: اما تفسير او دليل، يعتبره غالبية العلماء فى أفضل وضع، مشكوك به.
عبرانيين 2 : 8 - 9
الترجمات مُوحدة تقريباً فى معالجتهم للشق الثانى من عب 2 : 9. الترجمة الإنجليزية الحديثة كممثلة عنهم تقرأ:الذى يجب ان يتذوق الموت بنعمة الله لصالح كل واحد. ايرمان يقترح ان بنعمة الله χάριτι θεου' هى قراءة ثانوية. بدلاً من ذلك، فهو يحتج لصالح قراءة بعيداً عن الله او χωρὶς θεοῦ، بإعتبارها ما كتبه الكاتب الأصلى. هناك ثلاث مخطوطات فقط بهم هذه القراءة، و كلهم من القرن العاشر و ما يليه. لكن المخطوطة 1739 واحدة منهم، و هى منسوخة عن مخطوطة قديمة و مقبولة. قراءة χωρὶς θεοῦ ناقشها العديد من الآباء، و موجودة فى مخطوطة واحدة للفلجاتا، و بعض مخطوطات البشيتا[45]. الكثير من العلماء يعتبرون هذا دليل تافه بلا ضجة. حتى لو أنهم يكرهون معالجة البرهان الداخلى تماماً، فهذا يرجع الى انه ضعيف الأساس، فقراءة χωρὶς θεοῦ هى القراءة الأصعب لهذا فهى تحتاج لشرح، حيث ان النُساخ كانوا يميلون بالأكثر الى تخفيف صياغة النص. لكن بالمثل، فإن الإقتباسات الآبائية العديدة تحتاج ايضاً الى شرح. لكن اذا كانت القراءة غير مُتعمدة، فقانون القراءة الأصعب لا يُمكن تفعيله، فالقراءة الأصعب ستكون قراءة بلا معنى، لأنها خُلِقت بلا هدف. رغم ان قراءة χωρίς من الواضح انها القراءة الأصعب[46]، فمن الممكن ان يتم تفسيرها كتغيير عفوى. من المُرجح جداً انها نشأت نتيجة زلة نسخية[47]، حيث يكون ناسخ غافل خلط بين χωρίς وχάριτι، او انها تعليق هامشى وضعه ناسخ مُفكرِاً فى نص 1 كو 15 : 27 المُشابه لـ عب 2 : 8 فى إقتباس مز 8 : 6، فى قوله بإخضاع الله لكل شىء للمسيح[48].
دون الدخول فى تفاصيل دفاع ايرمان عن قراءة χωρίς، فيجب ان نوضح أربعة اشياء. اولاً، أنه يغالى فى قضيته بإفتراضه ان رؤيته صحيحة بلا شك. بعد ثلاث صفحات من مناقشة هذا النص فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس، يُقر بحكمه قائلاً:على الرغم من البرهان الخارجى، فالنص الأصلى لـ عب 2 : 9 من المُؤكد انه قال بموت يسوع بعيداً عن الله[49]. مازال يرى الأشياء أما سوداء او بيضاء. ثانياً، وجهات نظر ايرمان النقد نصية تقترب بخطورة من منهجية الإنتقائية القاسية[50]. يبدو ان البرهان الخارجى يعنى شىء اقل و اقل بكثير مما يبدو انه يريده لأنه يريد ان يرى فساداً لاهوتياً فى النص.
ثالثاً، حتى لو كان هو واثقاً من قراره، فمعلمه الخاص، بروس ميتزجر، غير واثق. بعد سنة من نشر كتاب الإفساد الأرثوذكسى، ظهر الإصدار الثانى من كتاب ميتزجر تعليق نصى. لجنة جمعيات الكتاب المقدس المتحدة لاتزال مستمرة فى تفضيل قراءة χωρὶς θεοῦ، لكن هذه المرة بتحديث قناعتهم حول أصوليتها، الى التدريج الأول A[51]. أخيراً، حتى بإفتراض ان قراءة χωρὶς θεοῦ هى الصحيحة، فإيرمان لم يوضح كيف ان هذا الإختلاف يُمكنه أن يؤثر على تفسير كتاب كامل فى العهد الجديد[52]. و يحتج قائلاً:القراءة الأقل ثبوتاً فى الشواهد هى المتناسقة بالأكثر مع لاهوت الرسالة الى العبرانيين[53]. ثم يُضيف ان الكاتب:أكد، تكراراً، أن يسوع مات كإنسان تام، موت العار، بعيداً عن الملكوت من حيث أتى، ملكوت الله. كنتيجة لذلك، فإن ذبيحته قُبِلت ككفارة تامة عن الخطية. أكثر من ذلك، فالله لم يتعرض لآلامه هذه و لم يفعل اى شىء ليُخففها عنه. لقد مات يسوع بعيداً عن الله[54]. اذا كانت هذه صورة يسوع فى الرسالة الى العبرانيين، فكيف تغير القراءة التى يُفضلها ايرمان هذه الصورة؟ فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى، يقول ايرمان:النص فى عب 5 : 7 يتكلم عن يسوع فى مواجهة الموت، متوسلاً لله بصراخ و دموع شديدة[55]. لكن ان يُقال بأن هذا النص يتحدث عن يسوع فى مواجهة الموت فهذا كلام غير واضح بالمرة، ولا ايرمان قد دافع عن رؤيته. بل أكثر من ذلك، انه يبنى على هذه النقطة فى فصله الختامى لكتابه سوء اقتباس يسوع - رغم انه لم يُرسى نقطته ابداً - حينما يسأل:هل كان (يسوع) مُهتاج تماماً فى مواجهة الموت؟[56]. بل انه يذهب الى ابعد من ذلك فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى. انا لا استطيع ان افهم كيف ان ايرمان يزعم أن كاتب الرسالة الى العبرانيين يبدو عالماً بـ تقاليد الآلام حيث كان يسوع مرعوباً فى مواجهة الموت[57] إلا بربط ثلاث نقاط، كل واحدة فيهم مشكوك بها - قراءة χωρὶς θεοῦ فى عب 2 : 9، رؤية عب 5 : 7 كنص يشير بشكل رئيسى الى موت المسيح و ان صلاواته كانت عن نفسه[58]، ثم إعتبار صراخه العظيم كأنه يعكس حالته المرعوبة. يبدو ان ايرمان يبنى قضيته على فرضية مترابطة، و هى أساس ضعيف جداً كأفضل تقدير.
مرقس 1 : 41
فى الإصحاح الأول من انجيل مرقس، يقترب أبرص من يسوع و يساله ان يشفيه:اذا أردت، تستطيع ان تشفينى (مرقس 1 : 40). إجابة يسوع بحسب نص نيستل آلاند هى كالتالى: καὶ… σπλαγχνισθει…Vς ἐκτείνας τὴν χεῖρα αὐτοῦἥψατο καὶ… λέγει αὐτῳÇ· θέλω, καθαρίσθητι (و تحرك يسوع برفق، و مد يده و لمسه، و قال له:أنا اريد، ابرأ).
بدلاً من σπλαγχνισθει…vς (تحرك برفق)، شواهد غربية قليلة[59] تقرأ ὀργισθείς (أصبح غاضباً). مُحرك يسوع لهذا الشفاء يبقى موضع جدال. رغم ان نص العهد الجديد لجمعيات الكتاب المقدس المتحدة الإصدار الرابع، يضع σπλαγχνισθει…vς، فإن عدد متزايد من المفسرين بدأوا فى الإحتجاج لأصالة ὀργισθείς. فى كتاب أُعِد لتكريم جيرالد هاوثوم فى عام 2003، قام ايرمان بإحتجاج مؤثر لصالح أصالتها[60]. قبل ذلك بأربعة سنوات، قام مارك بروكتور برسالة الدكتوراه الخاصة به فى الدفاع عن [61]ὀργισθεί. لقد وجدت هذه القراءة طريقها الى نص ترجمة النُسخة الدولية الحديثة اليوم، و قد أُستُضِيفت بجدية فى الترجمة الإنجليزية الحديثة. لن نتعرض للإحتجاجات هنا. عند هذه المشكلة، فأنا اميل للتفكير فى اصالتها. لأجل الإحتجاج، دعونا نفترض ان قراءة الغاضب هى الأصلية، ما الذى يمكن ان تخبرنا اياه و لم نكن نعرفه عن يسوع قبلاً؟
يقول ايرمان لو ان مرقس كتب عن غضب يسوع فى هذا المقطع، فإن هذا يُغير من صورة يسوع فى انجيل مرقس على نحو هام. فى الحقيقة، هذه المشكلة النصية هى مثاله الرئيسى فى الفصل الخامس الأصول التى تهم، و هو فصل، طرحه الرئيسى هو بعض القراءات التى تؤثر على تفسير كتاب كامل من العهد الجديد[62]. هذا الطرح هو مبالغة بشكل عام، و بالأخص لإنجيل مرقس. فى مرقس 3 : 5 ، قِيل عن يسوع انه اصبح غاضباً، و هى كلمات لا شك فى أصالتها فى انجيل مرقس. و فى مرقس 10 : 14 كان ساخطاً فى وجه تلاميذه.
بكل تأكيد، ايرمان يعلم هذا. فى الحقيقة، انه يحتج ضمنياً فى تكريم هاوثوم أن غضب يسوع فى مرقس 1 : 41 يُلائم تماماً الصورة التى يرسمها مرقس ليسوع فى اماكن اخرى. فهو يقول كمثال:لقد وصف مرقس يسوع كغاضب، و هذا قد ادى الى استياء النُساخ، على الأقل فى هذة العبارة. هذا لا يجب ان يكون مفاجىء؛ فبعيداً عن فهم كامل لصورة مرقس عن يسوع، فإن غضب يسوع صعب فهمه[63]. بل ان ايرمان يذكر ما يراه قاعدة رئيسية فى انجيل مرقس باكمله:ان يسوع يغضب اذا شك أحدهم فى سلطته او قدرته على الشفاء، او رغبته فى الشفاء[64]. الآن، و لأجل الإحتجاج، دعونا نفترض انه ليس فقط قرار ايرمان النصى صحيح، بل تفسيره ايضاً لـ ὀργισθείς فى مرقس 1 : 41 صحيح ايضاً، ليس فقط فى ذلك المقطع، بل فى الشكل العام لتقديم مرقس ليسوع[65]. اذا كان كذلك، فكيف أن غضب يسوع فى مرقس 1 : 41 يؤثر على تفسير كتاب كامل من العهد الجديد؟
بحسب تفسير ايرمان الخاص، فإن إستخدام ὀργισθείς فقط يقوى الصورة التى نراها ليسوع فى هذا الإنجيل عن طريق جعل هذه الصورة أكثر تماسكاً مع بقية النصوص التى تتحدث عن غضبه. اذا كانت هذه القراءة هى العرض الأول لإيرمان فى الفصل الخامس، فهى تعطى عكس النتائج المرجوة بجدية، لأنها تقوم بالقليل او لا شىء لتغيير الصورة الكاملة ليسوع التى يعرضها مرقس. اذن، فهذا هو موقف آخر حيث نجد ان إستنتاجات ايرمان اللاهوتية أكثر إثارة مما يقوله الدليل.
متى 24 : 36
فى موعظته على جبل الزيتون، يتكلم يسوع عن ميعاد مجيئه الثانى. و هو يعترف بأنه لا يعرف متى يكون هذا بشكل ملحوظ. فى غالبية الترجمات الحديثة لمتى 24 : 36، نقرأ النص يقول:لكن عن هذا اليوم و هذه الساعة، فلا أحد يعرفهما. ولا الملائكة الذين فى السماوات، ولا الإبن، إلا الآب وحده. لكن العديد من المخطوطات و منهم بعض المخطوطات القديمة و المهمة، تفتقد قوله οὐδὲὁ υἱός. سواء كان القول ولا الإبن أصلى ام لا، فهذا أمر مشكوك به[66]. و مع ذلك، يتكلم ايرمان مرة أخرى عن الموضوع بثقة[67]. غير ان أهمية هذه القراءة للطرح الخاص بسوء إقتباس يسوع من الصعب فهمه. يُشير ايرمان الى متى 24 : 36 فى خاتمته، ليُحقق إحتجاجه بأن القراءات النصية تغير العقائد الأساسية[68]. مناقشته الأولية لهذا المقطع تترك هذا الإنطباع ايضاً بكل تأكيد[69]. لكن اذا كان لا يقصد ذلك، فإنه يكتب بشكل أكثر إستثارة مما هو مطلوب، مُضللاً بذلك قراؤه. و اذا كان يعنى ذلك حقاً، فإنه يُبالغ فى قضيته.
ما هو غير مشكوك به هو الصياغة الموازية فى مرقس 13 : 32:لكن عن هذا اليوم او هذه الساعة، فلا أحد يعرفهما. ولا الملائكة الذين فى السماوات، ولا الإبن، إلا الآب[70]. و هكذا، لا يعود هناك اى شك أن يسوع تحدث عن جهله النبوى فى موعظته على جبل الزيتون. تبعاً لذلك، فأى موضوعات عقائدية فى خطر هنا؟ بكل بساطة، لا يستطيع اى فرد ان يذكر ان صياغة مت 24 : 36 يمكن ان تغير القناعات اللاهوتية الأساسية لأى فرد عن يسوع، حيث ان هذا الرأى مذكور ايضاً فى مرقس. ولا مرة فى كتابه سوء اقتباس يسوع، يذكر ايرمان نص مرقس 13 : 32، رغم انه يُناقش بوضوح متى 24 : 36 ست مرات على الأقل، مما يبدو كأن هذه القراءة تصطدم مع فهمنا الرئيسى ليسوع[71]. لكن هل تغيير الصياغة يُغير يُغير من فهمنا لرؤية متى ليسوع؟ حتى هذا غير صحيح. حتى لو ان مت 24 : 36 إفتقد فى أصله لـ ولا الإبن، تبقى الحقيقة بكون الآب وحده (εἰ μὴὁ πατὴρ μόνος) يعلم هذه المعلومة، مما يُفيد بجهل الإبن لها بالتأكيد (و قوله وحده موجود فقط فى مت 24 : 36، و ليس فى مرقس 13 : 32). مرة أخرى، هذه تفاصيل هامة غير مذكورة فى سوء اقتباس يسوع او حتى فى الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس.
يوحنا 1 : 18
يُحاجج ايرمان بأن القراءة الأصلية فى الشق الثانى من يوحنا 1 : 18، هى الإبن و ليس الله. لكنه يذهب فى ذلك الى ما هو بعد الدليل بإقرار أنه لو كانت قراءة الله هى الأصلية، فإن النص فى هذه الحالة يقول عن يسوع:الإله الوحيد. و المشكلة مع هذه الترجمة بحسب ايرمان هى:المُصطلح الإله الوحيد يجب ان يُشير الى الله الآب نفسه، و إلا لن يكون وحيداً. و لكن اذا كان المُصطلح يُشير للآب، فكيف يُمكن إستخدامه عن الإبن؟[72]. قام ايرمان بتعقيد إحتجاجه النحوى الغير موجود فى سوء اقتباس يسوع، لكنه الموجود بالتفصيل فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس، قائلاً:
الحيلة المُشتركة بين اولئك الذين يؤيدون قراءة μονογενὴς θεός، لكنهم يدركون ان ترجمتها كـ الإله الوحيد هو عملياً مستحيل فى السياق اليوحناوى، هى فهم الصفة جوهرياً، و بإعراب النصف الثانى من يوحنا 1 : 18 كسلسلة من البدلات، و بذلك بدلاً من ترجمته:الإله الوحيد الذى فى حضن الآب، يُترجم النص:الواحد الوحيد، الذى هو نفسه الله، الذى فى حضن الآب. هناك شىء جذاب حول هذا الإقتراح. فهو يشرح ما الذى قد يكون عناه النص للقارىء اليوحناوى و بذلك يفضلون للنص ذو الشواهد النصية الأعلى. و مع هذا، فهذا الحل غير معقول....انه من الحقيقى ان μονογενής قد أُستُخدِم فى اماكن أخرى جوهرياً (الواحد الوحيد كما فى عدد 14)؛ فى الحقيقة فكل الصفات يُمكن إستخدامها جوهرياً. لكن كل أنصار هذا الرأى لم يستطيعوا تمييز أنه لم يُستخدم بهذه الطريقة حينما تبعه، مباشرةً، إسم يتفق معه فى جنسه، عدده، حالته. بالفعل على المرء ان يُؤكد على النقطة الإعرابية: متى تم إستخدام اى صفة جوهرياً حينما سبقه إسم مُباشرةً بنفس التصريف؟ لا يوجد قارىء يونانى يُمكن ان يعرب تركيب كهذا كسلسلة من الإستخدامات الجوهرية، ولا يوجد كاتب يونانى قد يقع فى عدم إنسجام كهذا. بحسب علمى، لا يوجد أحد أعطى مثالاً لهذا الامر خارج عن هذا النص. النتيجة هى ان أخذ التعبير μονογενὴς θεός كإستخدامين جوهريين بشكل مُركب، هو تركيب مُستحيل تقريباً، حيث ان إعراب إرتباطهم كـ إسم - صفة يخلق معنى مُستحيل[73].
إحتجاج ايرمان يفترض أن μονογενής لا يُمكن ان تُستخدم جوهرياً بشكل طبيعى، رغم انها أستُخدِمت كذلك فى عدد 14 كما يقر هو. هناك عدة إنتقادات يُمكن ان تُوجه لإحتجاجه هذا، لكن الرئيسى بينهم هو هذا: جعله للموقف النحوى مُطلقاً هو غير صحيح. هناك بالفعل أمثلة حيث نجد صفة وُضِعت بجانب إسم ذو نفس التوافق النحوى، و قد تم توظيفهم وصفياً و جوهرياً فى نفس الوقت[74].
يوحنا 6 : 7 : καὶἐξ ὑμῶν εἷς διάβολόςἐστιν. هنا فإن كلمة διάβολος تم توظيفها كإسم، رغم انها صفة. و εἷς، الصفة الضميرية، هى الفاعل المُرتبط بـ διάβολος التى تم توظيفها فى حالة الرفع المُتضمن.
رومية 1 : 30 : καταλάλους θεοστυγεῖςὑβριστὰς ὑπερηφάνουςἀλαζόνας, ἐφευρετὰς κακῶν, γονεῦσιν ἀπειθεῖς (مشوهى السمعة، كارهى الله، المتغرطس، المتكبر، المُتبجح، مُخترعى الشر، غير مُطيعى الوالدين - الصفات الحقيقية هى المائلة).
غلاطية 3 : 9 : τῷ πιστῷ᾿Αβραάμ (مع ابراهيم المؤمن كما ترجمها الكتاب المقدس الأميركى القياسى الجديد، و النُسخة المُنقحة القياسية الجديد تترجمها ابراهيم الذى آمن، و النُسخة الدولية الحديثة تترجمها ابراهيم رجل الإيمان. بغض النظر عن كيفية ترجمتها، فأننا لدينا هنا صفة بين أداة تعريف و إسم تم توظيفه جوهرياً، كـ بدل للإسم.
افسس 2 : 20 : ὄντος ἀκρογωνιαίου αὐτοῦ Χριστοῦ᾿Ιησοῦ (المسيح يسوع الذى هو نفسه حجر الزاوية الرئيسى): رغم ان ἀκρογωνιαῖος هى صفة، فإنه يبدو انها قد تم توظيفها هنا جوهرياً (رغم انها من الممكن ان تكون صفة ضمنية، و هى كما أعتقد فى حالة إضافة ضمنية). هناك من يُصنفها كصفة و هناك من يصنفها كإسم. لهذا فهى من الممكن ان تكون مشابهة لـ μονογενής فى تطورها.
1 تى 1 : 9 δικαίῳ νόμος οὐ κεῖται, ἀνόμοις δὲ καὶἀνυποτάκτοις, ἀσεβέσι καὶἁμαρτωλοῖς, ἀνοσίοις καὶ βεβήλοις, πατρολῴαις καὶ μητρολῴαις, ἀνδροφόνοις (الناموس لم يُوجد للرجل المستقيم، لكن لأولئك الذين بلا ناموس و الثائرين، للذين بلا إله و الخطاة، للغير مقدسين و الدنسين، للذين يقتلون آبائهم و امهاتهم، للقتلة): هذا النص يُظهر بوضوح أن ايرمان غالى فى قضيته، لأن βεβήλοις لا تُعدل πατρολῴαις، لكنها أُستُخدِمت جوهرياً، كما فى المُصطلحات الوصفية الخمس السابقة.
1 بط 1 : 1 ἐκλεκτοῖς παρεπιδήμοις (المُختار، المقيمون وقتياً): هذا النص تم تفسيره بطرق متنوعة، لكن نقطتنا ببساطة هى انه من الممكن ان يلائم مُخطط يوحنا 1 : 18. لذا فهو من نفس نوعية النصوص التى قال عنها ايرمان:لا أحد قد وضع مثال شبيه خارج هذا المقطع.
2 بط 2 : 5 : ἐφείσατο ἀλλὰὄγδοον Νῶε δικαιοσύνης κήρυκα (لا يصفح عن العالم، لكنه أبقى ثامن، نوح، كارز بالصلاح). الصفة ثامن هى بدل لنوح، لأنها لو عدلت نوح، فالنفاذ سيكون:نوح ثامن كما لو ان هناك سبعة نوح آخرين![75]
فى ضوء هذه الأمثلة (التى تمثل جزء بسيط هو الموجود فى العهد الجديد)، فإننا نستطيع الرد مُباشرة على سؤال ايرمان:متى تم إستخدام اى صفة جوهرياً حينما سبقه إسم مُباشرةً بنفس التصريف؟. مُلاحظته بأنه:لا يوجد قارىء يونانى يُمكن ان يعرب تركيب كهذا كسلسلة من الإستخدامات الجوهرية، ولا يوجد كاتب يونانى قد يقع فى عدم إنسجام كهذا، لا تثبت ببساطة امام البرهان. و نحن قد نظرنا فى عينات بسيطة من العهد الجديد. فإذا كان مؤلفى العهد الجديد إستطاعوا وضع تعابير كهذه، فإن هذا الغحتجاج الداخلى ضد قراءة μονογενὴς θεός يفقد وزنه المعتبر.
نأتى الآن الى السؤال حول هل هناك مفاتيح سياقية كافية بأن μονογενής قد تم توظيفها فى الحقيقة جوهرياً. لقد قام ايرمان بالفعل بتزويدنا بهم: اولاً، فى يوحنا، من غير الممكن ان نُفكر فى الكلمة كونه الإله الوحيد فى يو 1 : 18(بحيث يكون هو الوحيد فى حالة الألوهية دون الآب)، و قد رأينا ان هذه المنزلة أُزيلت منه تكراراً فى بقية الإنجيل. هكذا، فإننا بإفتراض أصولية قراءة μονογενὴς θεός، فإننا فى الحقيقة نجد أنفسنا محمولين الى المعنى الذى يعتبره ايرمان غير ملائم نحوياً لكنه ضرورى سياقياً:الواحد الوحيد، الذى هو نفسه الله. ثانياً، إستخدام μονογενής كجوهر فى العدد 14[76]، هو اقوى إحتجاج سياقى لإستخدامه مرة اخرى جوهرياً بعد أربعة أعداد. لكن بعد ذلك مباشرة، يضع ايرمان إحتجاجه النحوى، مُخفياً تحديه و كأنه يغلق غطاء التابوت على قوة الترابط مع العدد 14. لكن اذا كان الإحتجاج النحوى لن ينصر قضيته، إذن فإن فالإستخدام الجوهرى لـ μονογενής فى عدد 14، يقف فى النهاية كمفتاح سياقى هام. فعلياً، ففى ضوء الإستخدام المعروف ليونانية الكتاب المقدس، يجب علينا ان نتوقع إستخدام μονογενής جوهرياً بما يتضمن البنوة فى يو 1 : 18.
الآن، فبما أن إهتمامنا هنا هو مواجهة معنى μονογενὴςθεός اذا كانت أصلية، بدلاً من الإحتجاج لأصالتها، فهناك دليل كافى لبرهنة قوة ترجمتها بـ:الواحد الوحيد، الذى هو نفسه الله، كتعليق مناسب لهذه القراءة. كلاً من البرهان الداخلى و الخارجى يقفان لصالحها، و الشىء الوحيد الذى يمكن ان يُخفقها، هو تفسيرها بأنها كانت قراءة سابيلية[77]. لكن الأساس لهذا التفسير هو الإفتراض النحوى الذى برهننا على انه لا وزن له. نستنتج من ذلك أن كلاً من القراءتين μονογενὴς υἱός و μονογενὴς θεός يتفقان مع الإيمان المُستقيم، فلا تغير لاهوتى مُزلزل قد يحدث اذا فضل اى فرد أحدهما على الأخرى. رغم ان بعض الترجمات الحديثة رجحت إحتجاج ايرمان هنا (مثل كتاب هولمان المقدس المسيحى القياسى)، فإن الإحتجاج ليس خالى من الثغرات. اذا أختبرنا اى قراءة منهما بحرص، فالإثنان سيظهران فى إطار التعليم المُستقيم.
يكفى القول بأن قراءة الله هى الأصلية هنا، فإنه ليس من اللازم ترجمة العبارة:الإله الوحيد، و كأن هذا يوحى بأن يسوع وحده هو الله. بدلاً من ذلك، فإن الترجمة الإنجليزية الحديث تترجمها (و أنظر ايضاً النسخة الدولية الحديثة و النسخة المنقحة القياسية الحديثة):لا أحد قد رأى الله. الواحد الوحيد، الذى هو نفسه الله، الذى فى أقرب مرافقة للآب، قد أظهر الله.
بكلمات أخرى، فكرة ان القراءات فى مخطوطات العهد الجديد قد تغير من لاهوت العهد الجديد، مُغالى فيها جداً[78]. للأسف، فرغم ان ايرمان عالم حريص، فإن معالجته للتغيرات اللاهوتية الرئيسية فى نص العهد الجديد، تميل الى السقوط تحت واحد من نقدين: إما أن قراراته النصية خاطئة، او ان تفسيراته خاطئة. هذه الغنتقادات قد وُجهِت لعمله الأول، الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس، و الذى قد أُخذ منه سوء اقتباس يسوع بشكل مُكثف. كمثال، فقد قال جوردون فى حول هذا العمل:للأسف، ايرمان غالباً ما يحول الإمكانية المجردة الى الإحتمالية، ثم يُحول الإحتمالية الى تأكيد، فى الوقت الذى يوجد هناك أسباب قابلة للتطبيق مساوية للفساد الموجود[79]. لكن الإستنتاجات التى وضعها ايرمان فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس، مازالت موجودة فى كتابه سوء اقتباس يسوع، دون اى ادراك لبعض الإنتقادات العديدة الموجودة لعمله الأول[80]. فلكتاب خُصِص للعامة، فكان يجب عليه ان يُميز بدقة فى مناقشته، خاصةً مع الوزن اللاهوتى الذى يقول بأنه معه فى قضيته. أنه يعطى الإنطباع بأنه يشجع البسطاء فى المجتمع المسيحى ان يرتعبوا من البيانات الذين هم غير مُؤهلين للتعامل معها. مراراً و تكراراً فى هذا الكتاب، تُوجد عبارات مُتهِمة لا يستطيع الشخص الغير مُدرب ان يتفحصها. هذا الإقتراب يشبه بالأكثر عقلية تُثير المخاوف، أكثر مما يستطيع ان يقدمه أستاذ و مُعلم ناضج. و عن الدليل، فإنه يكفى ان نقول بأن القراءات النصية الهامة التى تغير العقائد الجوهرية للعهد الجديد، لم يتم إنتاجها بعد.
لكن ايرمان يعتقد أن هذه القراءات موجودة. حينما ناقش آراء فيتشتين عن نص العهد الجديد، قال إيرمان أن:فيتشتين بدأ بالتفكير بجدية حول قناعاته اللاهوتية، ثم أصبح آلفاً مشكلة أن العهد الجديد نادراً ما يُسمى يسوع الله، هذا إن أسماه كذلك[81]. بشكل ملحوظ جداً، يبدو ان ايرمان يضع هذا الإستنتاج ليس مُمثلاً عن فيتشتين فقط، و إنما عن نفسه ايضاً. بقدر ما إبتعد فيتشتين عن النص المُستلم مُتجهاً ناحية النص النقدى، فإن إحتجاجاته على إلوهية المسيح كانت لا أساس لها، لأن إلوهية المسيح تُرى بالفعل أوضح فى النص اليونانى النقدى أكثر من النص المُستلم[82]. رغم ان ايرمان لا يُناقش غالبية النصوص الذى يعتقد أنها زائفة، إلا انه قد ناقشها فى كتابه الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس (خاصةً ص 264 - 273). لكن المناقشة ليس كاملة و تشتمل على متناقضات داخلية. بإختصار، لم يقم بإخراج قضيته. إلوهية المسيح تبقى غير مُشوشة عن طريق أى قراءة تطبيقية.
1 يوحنا 5 : 7 - 8
اخيراً، و عن 1 يوحنا 5 : 7 - 8، فعملياً ولا ترجمة حديثة للكتاب المقدس تحتوى على الصيغة الثالوثية، إذ أن العلماء أدركوا لقرون أنها إضافة متأخرة. مخطوطات قليلة جداً فقط و متأخرة تحتوى على هذه الأعداد. بل إن الفرد يتعجب لماذا تمت مناقشة هذا النص فى كتاب ايرمان. السبب الوحيد الذى يبدو لذلك هو إشعال الشكوك. هذا المقطع دخل الى كتبنا المقدسة عن طريق ضغط سياسى، و ظهر لأول مرة فى عام 1522، رغم ان العلماء فى ذلك الوقت و الآن عرفوا بأنه غير أصلى. الكنيسة الأولى لم تكن على علم بهذا النص، لكن مجمع القسطنطينية فى عام 381، أكد على الثالوث بوضوح! كيف يُمكنهم ان يقوموا بذلك دون إلإستفادة من نص لم يدخل للعهد الجديد اليونانى الا بعد ألفية أخرى؟ بيان مجمع القسطنطينية لم يُكتب من فراغ: لقد وضعت الكنيسة الأولى ما وجدته فى العهد الجديد فى صياغات لاهوتية.
يجب ان نفرق هنا بين أمرين هامين: ليس لأن نص واحد لا يُؤكد عقيدة عزيزة علينا، أن هذا يعنى بان هذه العقيدة غير موجودة فى العهد الجديد. فى هذه الحالة، فإن اى فرد فاهم للمناظرات الآبائية الغنية حول الإلوهية، يعرف أن الكنيسة الأولى وصلت لفهمها عن طريق فحص بيانات العهد الجديد. الصيغة الثالوثية الموجود فى المخطوطات المتأخرة فى 1 يوحنا 5 : 7 لخصت فقط ما وجدوه، و ليس أنها أسست إيضاحاتهم.
الخاتمة
إجمالاً، كتاب ايرمان الأخير لا يُخيب الآمال فى ميزان الإستفزاز. لكنه فشل فى تحقيق الجوهر الحقيقى لخلافه الأولى. ألتمس عذرك حينما أُشين نقطتين رعويتين هنا.
اولاً، إلتماسى لكل علماء الكتاب المقدس أن ينتبهوا لمسئوليتهم بجدية عن رعاية شعب الله. العلماء يحملون مهمة مقدسة؛ ألا يُرعبوا القراء العوام بموضوعات لا يفهمونها. بل حتى المعلمين اللاأدريين يحملون هذه المسئولية. للأسف، فإن الرجل البسيط العادى سوف يترك كتاب سوء إقتباس يسوع من بين يديه، و هو يحمل شكوكاً أكبر عن صياغة و تعاليم العهد الجديد أكثر من أى ناقد نصى. المعلم الناصح لا يعتمد فقط على تقديم المعلومة لطلابه، لكنه يعرف ايضاً كيف يوصل المادة بما لا يسمح للعاطفة ان تُعيِق العقل. ما يدعو للسخرية هو أن سوء اقتباس يسوع من المُفترض انه كله عن العقل و الدليل، لكنه خلق الكثير من الرعب و الذعر، تماماً كشفرة دافينشى. هل هذا هو التأثير التعليمى الذى كان يريده ايرمان؟ أستطيع ان أفترض انه يعرف نوعية رد الفعل الذى سيلاقيه من هذا الكتاب، لأنه لم يُغير الإنطباع فى كل حواراته. يبدو ان كونه مُستفز و عرضة للفهم الخاطىء، أهم بكثير له من أن يكون أميناً حتى لو ان ما سيكتبه سيكون مملاً. لكن المُعلم الجيد لن يُنتج فيلماً كرتونياً[83].
ثانياً، و هو ما أخبره دائماً لطُلابى كل سنة؛ أنه من الضرورى لهم أن يُطاردوا الحقيقة، بدلاً من حماية مواقفهم المُسبقة. و يجب ان يكون لديهم تصنيف عقيدى، يُميز بين الإعتقادات الجوهرية و الإعتقادات الثانوية. حينما يضعون عقائد ثانوية كالعصمة و الوحى الفعلى فى الجوهر، إذن فحينما يبدأ الإيمان بهذه العقيدة فى التآكل، فإنه يُحدث تأثير لعبة الدومينو: إذا سقط الواحد، يسقط الكل. أعتقد ان شىء ما كهذا قد حدث لبارت ايرمان. شهادته فى سوء اقتباس يسوع ناقش فيها العصمة كالمحرك الأول لكل دراساته. لكن بتعليق عفوى من أحد اساتذته المُحافظين فى برينستون على بحثه يتضمن بأنه من المحتمل أن الكتاب المقدس غير معصوم، فإن ايمان ايرمان بدأ فى الإنهيار. كارت دومينو أسقط التالى، الى ان أصبح:لاأدرى سعيد بإعتدال. قد اكون مخطىء حول رحلة ايرمان الروحية، لكنى عرفت الكثير من الطُلاب الذين ذهبوا فى هذا الإتجاه. ما يدعو للسخرية ان اولئك الذين يجعلون بحثهم النقدى فى نص الكتاب المقدس، فى المقدمة، بمواقف مُسبقة حول الكتاب المقدس، دائماً ما يتكلمون عن زلة منحدرة، بربطهم لكل القناعات اللاهوتية بالعصمة. نظرتهم هى انه بزوال العصمة، فكل شىء ينهار. لكنى أقول انه اذا صعدت العصمة الى مكان أرقى بكونها عقيدة أولية، فإن هذه هى الزلة المنحدرة. لكن اذا نظر الطلاب للعقائد كدوائر متراكزة، بحيث تكون العقائد الرئيسية فى المركز، فإن العقائد الثانوية اذا واجهت اى تحدى، لا يكون لهذا أثر هام على المركز. بكلمات أخرى، المجتمع الإنجيلى سيستمر فى ولادة علماء ليبراليين، حتى نتعلم كيف ان نميز بشكل دقيق أكثر عهود إيماننا، حتى نتعلم كيف نرى المسيح هو مركز حياتنا، و أن الكتاب المقدس يُشير له. اذا كانت نقطة إنطلاقنا هى تقبل حقائق مُسبقة حول طبيعة الكتاب المقدس، بدلاً من تقبل يسوع المسيح كرب و ملك، فسوف نكون على هذه الزلة المنحدرة، و سوف نأخذ الكثير معنا الى الأسفل.
انا حزين على ما حدث لأحد اصدقائى الشخصيين، رجل عرفته و أحببته - و مازلت أحبه - لأكثر من ربع قرن. أنه أمر لا يفرحنى ان أضع هذه المراجعة. لكن من مكانى هنا، يبدو ان عقلية ايرمان السوداء او البيضاء كمتزمت، لم تتأثر رغم ما خاضه خلال سنين و تجارب الحياة و التعليم، حتى حينما ذهب الى الجانب الآخر فى المجال اللاهوتى. مازال يرى الأمور بلا تمييز دقيق كافى، إنه يغالى فى قضيته، و هو مُحصن بآمان مُعتقداً أن آراؤه الخاصة صحيحة. بارت ايرمان واحد من نُقاد النص اللامعين و المُبدعين الذين عرفتهم، لكن نزعاته قوية جداً لدرجة انه لا يستطيع ان يعترف بها فى بعض الأحيان[84]. قبل ان يظهر سوء اقتباس يسوع بشهور قليلة، ظهر الإصدار الرابع لكتاب ميتزجر نص العهد الجديد. الثلاثة إصدارات الأولى كتبهم ميتزجر وحده، و حملوا العنوان: نص العهد الجديد: إنتقاله، فساده، إعادة تكوينه. اما الإصدار الرابع الذى يشترك فى تأليفه ايرمان الآن، يجعل من هذا العنوان يبدو مُخادعاً. قارىء سوء اقتباس يسوع قد يُفكر بأن العنوان الفرعى لكتاب ميتزجر فى إصداره الرابع، يجب ان يكون ببساطة: إنتقاله و فساده[85].
إنتهى
التعليق على المُراجعة
ملاحظات
كانت هذه هى مُراجعة عالم و ناقد نصى شهير، على كتاب سوء إقتباس يسوع. و قبل التعليق عليه، هناك بعض الملاحظات التى آشار لها والاس و يجب إيضاحها:
· ف. س. باؤر: هو أحد الباحثين فى التاريخ الكنسى فى النصف الأول من القرن العشرين، و كان مُهتماً بالصراع الأرثوذكسى – الهرطوقى بالتحديد. وصل فى ختام أبحاثه الى أننا لا نستطيع الإستمرار فى فهم الأرثوذكسية كالغالبية العظمى من المسيحيين، و بأن الأرثوذكسية لم تكن سوى إحدى الفرق المتنازعة مع بقية الفرق المسيحية.
· الطريقة الدومينية: هو تعبير يقصد به دان والاس لعبة الدومينو، و يقصد من وراء التشبيه أنه بوضع الإعتقاد بوحى و عصمة الكتاب المقدس فى مركز العقائد التى يؤمن بها الفرد، فإنه بإنهيار هذا الإعتقاد، ينهار كل شىء بالتبيعة. تماماً كلعبة الدومينو. فإذا سقط كارت واحد، يسقط البقية. سأستفيض فى شرح هذا الموضوع بعد قليل.
· إعادة إستكشاف يسوع: هو كتاب نُشِر فى عام 2006، تأليف كوموزسويسكى، سوير، و والاس، بهدف البحث عن صورة المسيح الحقيقية فى التاريخ، و الرد على النقد المُوجه للإيمان المسيحى فى مجالات: موثوقية الأناجيل التاريخية، نص العهد الجديد[86]، قانونية أسفار العهد الجديد، لاهوت المسيح فى القرون الأولى، مدى تشابه المسيحية بالوثنيات. حصلنا بنعمة الرب على إذن من الناشر بترجمته للعربية، و جارى بالفعل ترجمته و نشره بواسطة خُدام الرب فى كندا.
تقييم
الإطار العام للرد الإنجيلى بشكل عام و رد دانيال والاس بشكل خاص، هو التأكيد الدائم على إنعدام التأثير النصى على العقائد المسيحية الرئيسية. و فى كتابات والاس الدفاعية فى مواجهة هجوم ايرمان؛ يبرز لدينا نقطة فى غاية الخطورة، و هى ثابتة فى الغرب، و لكن لا وجود لها فى الفكر الشرقى تماماً: التعامل مع كتب العهد الجديد كوثائق تاريخية. هذا سيتطلب تفصيل.
كتب العهد الجديد هى وثائق تاريخية ترجع للقرن الأول. فالفكرة الرئيسية هى أنك تستطيع ان تؤمن بما تُورده هذه الأناجيل من أخبار و أحداث، دون ان تكون مُلزماً بالإيمان بعصمة هذه الوثائق او حتى وحيها. تحرى مصداقية و موثوقية الأحداث التاريخية الواردة فى اسفار العهد الجديد، لا يحتاج منك سوى تفعيل النقد التاريخى فقط. هذا الخيار مُتاح لنا، لأن مركز إيماننا هو المسيح، و ليس الكتاب المقدس. فحتى اذا تعاملت مع هذا الكتاب على أنه كتاب بشرى خالص، فإن هذا لن يهدم شهادته التاريخية الجديرة بالإحترام لحياة و تعليم و أعمال المسيح. كما قال أحد علماء المملكة المتحدة ذات مرة:نحن نعامل الكتاب المقدس كأى كتاب، لنثبت أنه ليس كأى كتاب.فعلى غير المسيحى أن يتخلص من نزعاته المُسبقة فى نقد الكتاب المقدس، و على المسيحى كذلك أن يتخلص من نزعاته المُسبقة فى نقد الكتاب المقدس. أحدهم يقول هذا كتاب فاسد لا يصلح لشىء، و الآخر يقول بل إنه كتاب معصوم مُنزل من السماوات! يجب التخلص من هذه التوجهات قبل البدء فى نقد الكتاب المقدس و الإيمان المسيحى.
رسالة
إن أكثر ما شدنى فى مُراجعة والاس، هو قوله: درس واحد يجب ان نتعلمه من سوء اقتباس يسوع، أن اولئك الذين فى الخدمة يجب ان يعبروا الفجوة بين الكنيسة و الأكاديمية. يجب علينا ان نُعلِم المؤمنين. بدلاً من محاولة عزل عامة الناس عن الدراسة النقدية، يجب ان نُدرعهم. يجب ان يكونوا مُستعدين لوابل النيران، لأنه قادم لا محالة. الصمت المُتعمد للكنيسة لأجل ملء مقاعد أكثر فى الكنيسة سوف يقود جوهرياً الى الإرتداد عن المسيح. يجب ان نشكر ايرمان لأنه أعطانا انذار أيقظنا.
و أنتهز هذه الفرصة لتوجيه نفس هذه الرسالة للخدام المُؤتمنين على رعاية الشعب المسيحى فى الشرق الأوسط: بدلاً من محاولة عزل عامة الناس عن الدراسة النقدية، يجب ان نُدرعهم. يجب ان يكونوا مُستعدين لوابل النيران، لأنه قادم لا محالة. إذا لم نستعد بالدراسة الجادة و العلم الحديث، ستأكلنا هذه النيران كما تأكل القش. اذا لم ننشر العلم بالدليل و البرهان فى كل مكان فى أرجاء الكنائس العربية، فلن نفلح فى حربنا ضد الباطل. إيماننا المسيحى ثابت، ولا يوجد أى شىء فى التعامل النقدى التاريخى مع الكتاب المقدس، يُهدد إيماننا. لقد بُنِى إيماننا على كم وافر من الدليل، يُشير الى ترجيح كفة المسيحية الأرثوذكسية التاريخية. لا يجب ان نخاف النقد، بل أن نتفحصه و ندرسه. حينما شك توما فى يسوع، لم يغضب يسوع منه. بكل وداعة، دعاه الى ان يمس يديه و جنبه...دعاه ليتفحص البرهان! دعونا نضع التساؤلات، و نبحث عن الإجابة. دعونا نتفحص البرهان الوثائقى لكتبة الأناجيل، البرهان التاريخى لمدى مصداقية قيامة الرب من الموت، البرهان النصى لمدى موثوقية نص العهد الجديد. لنتفحص البرهان الذى يقدمه لنا الكتاب المقدس عن نفسه، لنرى هل يستطيع الصمود أمام النقد أم لا. هذه هى مهمة رعاة الكنائس الناطقة بالعربية، و خاصةً فى بلادنا مصر.
ليُساعدنا الرب، آمين.
فادى اليكساندر
14 – 5 - 2009
[1]The Text Of The New Testament In Contemporary Research: Essays on the Status Quaestionis, Edited By Bart D. Ehrman & Michael W. Holmes, Eerdmans Publishing 1995.
[2]Orthodox Corruption Of Scripture, P. xi
[3]Ibid, P. 275
[4] المؤمنين بأن الآب تبنى يسوع، و أن يسوع أصبح إبناً لله عن طريق تبنى الله له فى المعمودية أو فى قيامته.
[5] المؤمنين بأن يسوع و المسيح هم شخصين و ليسا واحداً. أبرزهم الغنوسيين، حيث نرى فى فكرهم أن يسوع هو الإنسان و المسيح هو الإله.
[6] المؤمنين بأن المسيح كان إلهاً فقط و أنما كان له جسد هيولى و ليس جسد مادى.
[7] أحد تفرعات السابيلية. إنطلاقاً من الإيمان السابيلى بأن الثلاث أقانيم ما هم الا ظهورات لشخص واحد، فإن الذى تألم على الصليب هو الآب و ليس الإبن. ركز هؤلاء على أن الآب هو الذى تألم، لذلك لُقبوا بهذا اللقب.
[8] كما عبّر والاس فى مداخلته الأولى فى مناظرته مع ايرمان، فى ابريل 2008.
[9] تمت كتابة هذه المقدمة و التعليق الختامى بموافقة دان والاس، و قد قمت بإطلاعه على مُلخص لكل منهما.
[10] شكراً لداريل ل. بوك، بويست م. فانينج، مايكل و. هولمز، و. هول هاريس، و ويليام ف. وارين لنظرهم فى المُسودة الأولى لهذا المقال و تقديم مُداخلاتهم.
[11]San Francisco: HarperSanFrancisco, 2005
[12] نيلى توكر:كتاب بارت: فى الكتاب الأعلى مبيعاً سوء إقتباس يسوع، الكاتب اللاأدرى بارت ايرمان ينتقد الأناجيل التى جعلت الغير مؤمن يخرج منه، واشنطن بوست، 5 مارس 2006:
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/03/04/AR2006030401369.html
[13] توكر، كتاب بارت.
[14] سوء إقتباس يسوع، ص 15
[15] أنظر خاصةً، ص 59 – 60.
[16] بروس م. ميتزجر و بارت د. ايرمان، نص العهد الجديد: إنتقاله، فساده، إعادة تكوينه، اكسفورد: OUP 2005.
[17] ميتزجر و إيرمان، نص العهد الجديد، ص 158 (الخط المائل مُضاف). هذا يقف فى تناقض مُباشر مع تقييم ايرمان فى الخاتمة (ص 207)، المُقتبس بالأعلى.
[18] الإقتباس من إيرمان، سوء إقتباس يسوع، ص 112
[19] السابق، ص 114
[20] أنظر سوء إقتباس يسوع، ص 1 – 15، حيث يؤرخ ايرمان رحلته الروحية.
[21] فى الفصل الخامس الأصول التى تهم، يُناقِش ايرمان منهج النقد النصى. و هو هنا يُكرس نحو ثلاث صفحات للبرهان الخارجى (ص 128 - 131)، لكنه لا يذكر أى مخطوطات منفردة.
[22] سوء إقتباس يسوع، ص 90. هذه الجملة مُفضلة له، لأنه يذكرها فى حواراته، سواء المنشورة او فى الإذاعة.
[23] سوء إقتباس يسوع، ص 89.
[24] لمنُاقشة حول طبيعة القراءات النصية، أنظر: ج. إد كوموسزويسكى، م. جيمس سوير، دانيال ب. والاس، إعادة إستكشاف يسوع: ما الذى لم تخبرك به شفرة دافينشى و التخمينات الروائية الأخرى (جراند رابيدز: كريجل، مايو 2006). هذا الكتاب سيظهر فى يونيو 2006. القسم الذى يخاطب النقد النصى، يتكون من خمسة فصول، و يُسمى مُفسَد سياسياً؟ تلطيخ نصوص العهد الجديد القديمة.
[25] يقول ايرمان:حينما أتكلم عن مئات و آلاف الإختلافات، فإنه حقيقى أن الكثير منهم غير هام. لكنه ايضاً حقيقى ان الكثير منهم هام جداً لتفسير الكتاب المقدس (ايرمان فى حواره مع جيرى كرينتز Charlotte Observer، 17 ديسمبر 2005 http://www.charlotte.com/mld/observer/living/religion/13428511.htm). فى نفس الحوار حينما سُئِل ايرمان:إذا كنا لا نملك النصوص الأصلية للعهد الجديد - ولا حتى نُسخ عن نُسخ عن نُسخ عن الأصول - فما الذى نملكه؟ فأجاب ايرمان:لدينا نُسخ صُنِعت مئات السنين لاحقاً، فى أغلب الحالات، مئات من السنين لاحقاً. و هذه النُسخ مُختلفة من واحدة للأخرى. فى برنامج The Diane Rehm (الإذاعة العامة الوطنية)، 8 ديسمبر 2005، قال ايرمان:هناك إختلافات بين مخطوطاتنا أكثر من عدد كلمات العهد الجديد.
[26] لاحظ التالى:مخطوطاتنا...مليئة بالأخطاء (ص 57)، ليس فقط أننا لا نمتلك الأصول، بل أننا لا نملك النُسخ الأولى عن الأصول. أننا لا نمتلك نُسخ عن نُسخ عن الأصول، او نُسخ عن نُسخ عن نُسخ عن الأصول. ما نمتلكه هو نُسخ صُنِعت متأخراً، متأخراً جداً...و هذه النُسخ تختلف من واحدة لأخرى، فى آلاف كثيرة من المواضع، لدرجة أننا لا نعرف حتى ما هو عدد الإختلافات (ص 10)، الأخطاء تتضاعف و تتكرر، بعض الأحيان يتم تصحيحهم، و بعض الأحيان يتم مُضاعفتهم. و هكذا، الى قرون (ص 57)، يُمكننا ان نتكلم للأبد عن مواضع مُحددة حيث تغيرت نصوص العهد الجديد، سواء عفوياً او عمدياً. كما بينت، الأمثلة ليست بالمئات، بل بالآلاف (ص 98)؛ و فى مناقشة آداة جون ميل النصية فى 1707، يوضح ايرمان:مما سبّب الصدمة و الرعب للعديد من قراؤه، آداة ميل عزلت نحو ثلاثين ألف مكان للإختلاف ضمن الشواهد المتوفرة...ميل لم يكن شاملاً فى تقديمه للبيانات التى جمعها. فى الحقيقة، فقد وجد أكثر من ثلاثين ألف موضع للإختلاف (ص 84)، يختلف العلماء على نحو هام فى تقديراتهم، البعض يقول ان هناك 200000 قراءة معروفة، و البعض يقول ان هناك 300000، و البعض يقول ان هناك 400000 قراءة او أكثر! أننا لا نعرف بالتأكيد، لأنه على الرغم من التطورات المؤثرة فى تكنولوجيا الحاسوبات، لا أحد استطاع حتى الآن ان يُحصِيهم جميعهم (ص 89)، ثم يختتم مُناقشته لمرقس 16 : 9 - 20 و يوحنا 7 : 53 - 8 : 11، أطول مشكلتين نصيتين فى العهد الجديد، بقوله أن هذين النصين:يُمثلان إثنين فقط من بين آلاف المواضع تغيرت فى المخطوطات بواسطة النُساخ (ص 68). القول بأن هاتين المشكلتين النصيتين هما مُمثلتان لبقية المشكلات النصية، هو مبالغة فادحة: ثانى أكبر مشكلة (حذف / إضافة) قابلة للتطبيق، تتضمن عددين فقط. يُضيف ايرمان:رغم ان غالبية التغييرات ليست بهذا الحجم، فهناك الكثير من التغييرات الهامة (و الكثير الأكثر غير هام)... (ص 69). لكن حتى هذا مُضلِل. فبقوله:غالبية التغييرات، ايرمان يعنى كل التغييرات الأخرى.
[27] كمثال، يفتتح الفصل السابع بهذه الكلمات:أنه من الآمن تقريباً القول بأن نسخ النصوص المسيحية الأولى كانت عملية مُحافظة. النُساخ...كانوا حريصين على الحفاظ على التقليد النصى الذين كانوا ينقلونه. كان إهتمامهم الجوهرى ألا يُعدِلوا التقليد، لكن أن يحفظوه لهم و لمن سيتبعهم. غالبية النُساخ، بلا شك، حاولوا القيام بعمل أمين فى التأكد من أن النص الذى أنتجوه، كان هو نفس النص الذى ورثوه (ص 177)، من الخطأ...إفتراض ان التغييرات التى تم عملها فى كلمات النص، كانت فقط من قِبل نُساخ ذوى رغبات شخصية. فى الحقيقة، غالبية التغييرات الموجودة فى المخطوطات المسيحية الأولى لا تمت بصلة للاهوت او الأيدولوجية. بل إن أغلب التغييرات هى نتيجة أخطاء بسيطة و نقية: إنزلاقات القلم، الحذف العفوى، الإضافات غير المُتعمدة، الكلمات المُستهجاة خطأ، اخطاء تصنيف او آخر (ص 55)، لنكن متأكدين، من بين مئات الآلاف من التغييرات الموجودة فى مخطوطاتنا، فإن غالبيتهم غير هام بالمرة... (ص 207 - 208). هذه الأمور المُسَلم بها يبدو و كأنها قد أنتُزِعت منه، لأن هذه الحقائق تقف على النقيض من اجندته. فى هذا الموقف، يُضيف - مُسرعاً - قائلاً:من الخطأ القول - كما يفعل البعض بعض الأحيان - أن تلك التغييرات فى نصنا، لا تحمل اى شهادة حقيقية حول ما الذى تعنيه النصوص او عن الإستنتاجات اللاهوتية التى يصل لها الفرد منهم (ص 207 - 208). ثم يُقِدم خاتمته بمقولته الواضحة:كلما درست التقليد المخطوطى للعهد الجديد أكثر، كلما أدركت أكثر كيف ان النص تم تبديله جزرياً عبر السنين، بيد النُساخ... (ص 207). لكن هذا زعم آخر بلا تمييز دقيق كافى. نعم، النُساخ غيروا النص، لكن الغالبية العظمى لهذه التغييرات غير هامة. و الغالبية العظمى من البقية سهل تحديدها. احياناً يمتلك الفرد الإحساس بأنه ايرمان العالم الأمين هو الذى يُضيف تلك الحقائق، و اللاهوتى الليبرالى ايرمان الذى يجعل هذه الحقائق ثانوية.
[28] هذا الشرح مأخوذ من: دانيال ب. والاس إعداد الأساس: النقد النصى للعهد الجديد فى: تفسير نص العهد الجديد: مقدمة لعلم و فن التفسير (تكريماً لهارلود و. هوينر)، تنقيح داريل ل. بوك و بويست م. فانينج (ويتون: طريق الصليب)، وشيك النشر: 2006. شىء آخر يُمكن ان يُذكر حول فجوة ايرمان عن المخطوطات. ايرمان يبدو انه يقترب تدريجياً من منهجية الأولية الداخلية. يحتج لقراءات عديدة ترتكز على برهان خارجى ذو صبغة ضئيلة. هذا يبدو غريباً لأنه قبل شهور من صدور سوء اقتباس يسوع، الإصدار الرابع من كتاب بروس ميتزجر نص العهد الجديد تم نشره، بتأليف مُشترك هذه المرة مع بارت ايرمان. لكن فى هذا الكتاب، المؤلفان يتكلمان بشكل أهم عن البرهان الخارجى، أكثر مما قام به ايرمان فى سوء اقتباس يسوع.
[29] سوء اقتباس يسوع، ص7.
[30] السابق، ص 9. لمعالجة مشكلة مرقس 2 : 26، انظر دانيال ب. والاس: مرقس 2 : 26 و مشكلة آبياثار، الإجتماع المحلى للجمعية اللاهوتية الإنجيلية، 13 مارس 2004، متوفر فى: http://www.bible.org/page.asp?page_id=3839
[31] السابق.
[32] السابق، ص 11
[33] السابق، ص 13
[34] الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية الأولى على نص العهد الجديد، اكسفورد 1993.
[35] السابق، ص 208.
[36] المُلاحظة الخامسة من ص 281 (الفصل 8) هل ما نملكه الآن هو ما كتبوه آنذاك؟ فى إعادة إستكشاف يسوع تقول:هناك مكانين فى العهد الجديد حيث كان التنقيح الحدسى مطلوباً. فى أع 16 : 12، النقد اليونانى النقدى القياسى يضع قراءة غير موجودة فى اى مخطوطة يونانية. لكن حتى هنا، بعض أعضاء لجنة جمعيات الكتاب المقدس المتحدة رفضوا التنقيح، مُحتجين ان هناك مخطوطات معينة بها القراءة الأصلية. الفرق بين القراءتين هو حرف واحد (انظر المناقشة فى بروس م. ميتزجر: تعليق نصى على العهد الجديد اليونانى، الإصدار الثانى، شتوجارت: جمعية الكتاب المقدس الألمانية، 1994، ص 393 - 395، الترجمة الإنجليزية الحديثة، ملاحظة النقد النصى عن أعمال 16 : 12). و كذلك فى الرؤيا 21 : 17، النص اليونانى القياسى يتبع حدس قام به ويستكوت و هورت، رغم ان المشكلة النصية لم يتم إيرادها فى نص جمعيات الكتاب المقدس المتحدة او نص نيستل آلاند. هذا الحدس هو مجرد إختلاف تهجئة لا يُغير معنى النص.
[37] لمناقشة هذا الموضوع، أنظر دانيال ب. والاس: العصمة عن الخطأ و نص العهد الجديد: دراسة منطق وجهة النظر اللاأدرية، نُشِر فى يناير 2006 فى:
http://www.4truth.net/site/apps/nl/content3.asp?c=hiKXLbPNLrF&b=784441&ct=1799301
[38] سوء اقتباس يسوع، ص 208
[39] أنظر هيرمان ل. ستراك، مقدمة للتلمود و المدراش (آثينيم، نيويورك: المعبد 1978)، ص 94 - 96، لمزيد عن هذه القاعدة التفسيرية المعروفة بـ كال واهومير Kal Wa-homer
[40] المناقشة المنفتحة للإشكال النصى فى الثلاث مقاطع يُمكن إيجادها فى هوامش هذه النصوص فى الترجمة الإنجليزية الحديثة.
[41] ادوارد جيبون، تاريخ إنحدار و سقوط الإمبراطورية الرومانية، ستة اجزاء، فيلادلفيا: جون د. موريس 1900، الجزء الثالث، ص 703 - 705.
[42] جيمس بينتلى، اسرار جبل سيناء: قصة المخطوطة السينائية (لندن، اوربيس 1985)، ص 29.
[43] أنظر بارت د. ايرمان، يسوع و الزانية، مجلة دراسات العهد الجديد اللاهوتية، العدد 34 لعام 1988، ص 24 - 44.
[44] لأجل هذا، إعادة استكشاف يسوع قد كُتِب. رغم انه كُتِب على مستوى شعبى، فهو مُدعم بالبحث العلمى الجاد.
[45] يقول ايرمان أن القراءة تقع فى وثيقتين من القرن العاشر (سوء اقتباس يسوع، ص 145)، و هو يقصد مخطوطتين يونانيتين فقط، 0234 (0121b)، و نص 1739. هذه المخطوطات مرتبطة ببعضها و ربما تُمثل نموذج أصلى مُشترك. القراءة موجودة ايضاً فى نص المُصحح الثالث للمخطوطة 427 (و من الواضح انها تصحيح متأخر فى مخطوطة من القرن الحادى عشر)، بالإضافة الى مخطوطة من الفلجاتا، مخطوطات من السيريانية البشيتا، النص اليونانى و اللاتينى لأوريجانيوس، مخطوطات أخرى تبعاً لاوريجانيوس، ثيؤودور، النساطرة تبعاً لعمل منسوب لأوكيمنيوس، ثيؤودوريت، امبروسيوس، مخطوطات أخرى تبعاً لجيروم، فيجيليوس، فلوجينتيوس. ايرمان يُشير الى البرهان الآبائى، مُحققاً إحتجاج هام:اوريجانيوس يُخبرنا ان هذه القراءة كانت قراءة غالبية المخطوطات فى زمنه (السابق).
[46] لكن هذا ليس ضرورى. يُمكن ان يكون هناك إحتجاج بأن قراءة χάριτι θεοῦ هى القراءة الأصعب، حيث ان بكاء يسوع لترك الآب له على الصليب، و التى يقتبس فيها يسوع مز 22 : 1، تنعكس فى قراءة χωρὶς θεοῦ، بينما الموت بنعمة الله غير واضح.
[47] و هو ما يذهب اليه ميتزجر، الإصدار الثانى، ص 595. القرائتين بالخط الكبير: caritiqu و cwrisqu.
[48] السابق. لمناقشة مماثلة، أنظر ف. ف. بروس، الرسالة الى العبرانيين، إصدار مُنقح، سلسلة التفسير العالمى الحديث للعهد الجديد، جراند رابيدز: دار نشر ايردمانز 1990، ص 70 - 71. فكرة التعليق الهامشى هى كالتالى، فى عب 2 : 8 يقتبس الكاتب مز 8 : 6 مُضيفاً:فى إخضاعه لكل شىء له، لم يترك شىء خارج عن تحكمه. فى 1 كو 15 : 27، الذى يقتبس مز 8 : 6 ايضاً، يُضيف بولس ان الله مُستثنى من كل الأشياء الخاضعة للمسيح. يحتج ميتزجر انه من المُرجح جداً، ان هذا التعليق الهامشى قد أُضيف بواسطة ناسخ ليشرح أن كل شىء فى عدد 7 لا تشتمل على الله؛ فيما إعتقد ناسخ لاحق بشكل خاطىء أن التعليق هو تصحيح لـ χάριτι θεοῦ، فأدخله للنص فى عدد 9 (تعليق نصى، ص 595). لأفضل معالجات هذه المشكلة فى الكتب التفسيرية، أنظر هانز فريدريك ويس، الرسالة الى العبرانيين (جوتينجين: 1991)، ص 200 - 202؛ و بروس، الرسالة الى العبرانيين، ص 70 - 71. يقول ايرمان ان هذا الإحتجاج غير مُرجح بسبب مكان χωρίς فى النص فى عدد 9، بدلاً من ان تكون ملاحظة إضافية فى العدد 8 حيث يجب ان تُوجد القراءة. لكن الحقيقة ان هذا التفسير الذى يفترض وجود مخطوطة واحدة خاطئة إنحدرت منها الشواهد القليلة التى تحتوى على القراءة، هو مُبالغ فيه جداً. أشياء أعجب من هذا حدثت فى المخطوطات. يُضيف ايرمان أن التعبير χωρίς هو الأقل إستخداماً فى العهد الجديد، لهذا فالنُساخ سوف يميلوا لتغييره الى التعبير الأكثر إستخداماً χάριτι. لكن فى الرسالة الى العبرانيين فالتعبير χωρίς مذكور مرتين، تماماً كما التعبير χάρις، كما يذكر ايرمان (الإفساد الأرثوذكسى، ص 148). غير ذلك، فرغم انه من المُؤكد ان النُساخ دائماً ما يُغيرون الكلمات الغير مُعتادة الى الكلمات المُعتادة (السابق، ص 147)، فإنه لا يوجد اى شىء غير مُعتاد على الإطلاق فى التعبير χωρίς. فهو يقع 41 مرة فى العهد الجديد، و 13 مرة فى الرسالة الى العبرانيين. هذا يعود بنا مرة أخرى الى قانون القراءة الأصعب. يحتج ايرمان كذلك على ان قراءة χωρίς، هى بالفعل القراءة الأصعب هنا. لكن فى كتابهما المُشترك، نص العهد الجديد، يقول ايرمان و ميتزجر:من الواضح ان قائمة القراءة الأكثر صعوبة هى قائمة نسبية، و هناك نقطة أحياناً نصل لها حينما يكون هناك قراءة نحكم عليها بأنها صعبة جداً لدرجة أنها من الممكن ان تكون قد نتجت عن خطأ عفوى فى النقل (ص 303). العديد من العلماء بما فيهم ميتزجر، يقولون اننا وصلنا لهذه النقطة فى عب 2 : 9.
[49] الإفساد الأرثوذكسى، ص 149
[50] انا لا اعنى بهذا تفضيله المجرد لقراءة χωρὶς θεοῦ. (ففى النهاية، جونثر زنتز، المُعتبر جداً بانه إنتقائى معقول لامع و ذو عقل واقعى، يعتبر قراءة χωρὶς θεοῦ هى الأصلية: نص الرسائل، بحث حول المجموعة البولسية، لندن 1953، ص 34 - 35. لكن انا اُشير هنا الى اجندة ايرمان الكاملة فى إستغلال بيانات الآداة النصية لصالح الإفساد الأرثوذكسى، غير مُعتبراً البرهان للقراءات البديلة. بهذه الأجندة، يبدو ان ايرمان يميل الى الإحتجاج لقراءات مُحددة ذات دعم خارجى بسيط.
[51] مقدمة هذا الإصدار كُتِبت فى 30 سبتمبر من عام 1993. تم التعريف بميتزجر فى كتاب الإفساد الأرثوذكسى، على انه قرأ اجزاء من مخطوطة الكتاب (ص 7 من المقدمة)، و قد تم إكمال الكتاب فى فبراير 1993 (السابق، ص 8 من المقدمة). اذا كان ميتزجر قد قرأ القسم الخاص بـ عب 2 : 9، فهو يُختلف بقوة مع ايرمان. فيبقى الخيار، أنه لم يرى هذا الجزء من مخطوطة الكتاب. اذا كان هذا صحيح، فيجب ان يتعجب الفرد؛ لماذا لا يريد ايرمان ان يعرف مداخلة ميتزجر، حيث انه يعرف بالفعل من الإصدار الأول لكتاب تعليق نصى، أن ميتزجر لا يرى قراءة χάριτι مُرجحة للأصالة (حيث كانت تحمل التدريج الثانى B آنذاك).
[52] سوء اقتباس يسوع، ص 132
[53] الإفساد الأرثوذكسى، ص 148
[54] السابق، 149
[55] السابق
[56] سوء اقتباس يسوع، ص 208
[57] الإفساد الأرثوذكسى، ص 144
[58] سياق النص فى عب 5، يتكلم عن المسيح بوصفه الكاهن الأعلى؛ و العدد 6 يضع المرحلة التى يتم فيها ربط كهنوت المسيح بكهنوت ملكى صادق؛ و عدد 7 يربط صلاته بـ ايام جسده و ليس فقط آلامه. لذلك ليس من غير المعقول ان نجد صلاواته هى صلاوات لشعبه. كل هذا يُشير الى ان وجهة نظر النص فى عب 5 : 7 أكثر من مجرد آلام. البيان الوحيد فى هذا النص الذى من الممكن ان يربط بين الصلاوات و الآلام هو الذى صلى به المسيح القادر ان يخلصه من الموت. لكن اذا كانت الصلاوات عن محنة المسيح فقط على الصليب، إذن فقراءة χωρίς فى عب 2 : 9 قد تم دحضها، لأن فى عب 5 : 7، فإن الرب قد سُمِع له لأجل تقواه. كيف يُمكن ان يكون سُمِع له اذا كان مات بعيداً عن الله؟ التفسيرات الخاصة بـ عب 5 : 7 هى بشكل ما مُعقدة، و لا تُثمر بإجابات هينة. أنظر ويليام ل. لين، عبرانين 1 - 8، تفسير الكلمة الكتابى (دالاس: الكلمة 1991)، ص 119 - 120.
[59] بيزا، اللاتينية القديمة: a d ff2 r1، الدياتسرون.
[60] بارت د. ايرمان، ابرص بين يديى يسوع غاضب، فى: يونانية العهد الجديد و التفسير، مقالات لتكريم جيرالد ف. هاوثورن (جرامد رابيدز: دار ايردمانز، 2003)، ص 77 - 98.
[61] مارك أ. بروكتور، النص الغربى فى مرقس 1 : 41، قضية يسوع الغاضب، (رسالة دكتوراه، جامعة بايلور، 1999). رغم ان مقال ايرمان ظهر بعد اربعة سنوات من رسالة بروكتور، فإن ايرمان لا يذكر عمل بروكتور.
[62] سوء إقتباس يسوع، ص 132
[63] ايرمان، ابرص بين يديى يسوع غاضب، ص 95
[64] السابق، ص 94. انظر ايضاً ص 87 حيث يقول:يسوع غضب فى عدة اماكن فى انجيل مرقس؛ و ما هو ممتع هو مُلاحظة ان كل قصة تذكر غضب يسوع، تتضمن قدرة يسوع لعمل أفعال إعجازية شفائية.
[65] غير انه هناك روابط ضعيفة فى إحتجاجه بشكل عام. أولاً، لم يقم بتقديم أدلة كافية أنه فى كل موقف يظهر يسوع غاضباً، يكون ذلك فى معجزة شفاء. هل قصة وضع يسوع يده على الأطفال هى بالفعل قصة شفاء (مر 10 : 13 - 16)؟ ليس واضحاً بالضبط ما هو المرض الذى شُفى منه هؤلاء الأطفال. قوله بأن وضع اليد يعنى بالضرورة شفاء او على الأقل إنتقال قوة إلهية، فى هذا الموضع، هو إفتراض كسيح (ابرص بين يدى يسوع غاضب، ص 88). على العكس، فهناك الكثير مما يُمكن إثباته، فنص مرقس 10 : 16 يقول ان يسوع:إحتضن الأطفال و وضع يده عليهم و باركهم. إن عدم رؤية حنان و رقة يسوع فى نص كهذا هو أمر مُبهم. إذن، فحتى لو كانت هذه قصة شفاء، فهى بالرغم من ذلك توضح حنان يسوع فى فعل الشفاء، هذا الحنان الذى يقول ايرمان انه لم يقع ابداً فى قصص الشفاء فى مرقس. ثانياً، أنه يزعم ان شفاء يسوع لحماة بطرس فى مرقس 1 : 30 - 31 ليس فعلاً حانى، قائلاً:أكثر من مُلاحظ عنيد لاحظ...أنه بعد ان شفاها قامت لتُعد لهم العشاء (السابق، ص 91، المُلاحظة 16). لكن بالتأكيد جملة ايرمان - و المُكررة فى شوء اقتباس يسوع، ص 138 - ببساطة هو تعليق صحيح سياسياً، يعنى به ان شفاء يسوع لإمرأة كى تقوم بدور الخادمة، لا يمكن ان يكون بسبب حنوه. أليست نقطتنا الآن هى ان المرأة قد شُفيِت تماماً، و أستعادت قوتها كاملة، لدرجة انها عادت لتقوم بمهامها الطبيعية ليسوع و تلاميذه؟ يبدو ان حادثة إقامة ابنة حاكم المجمع مشابهة لها، حيث انها بعد ان عادت للحياة، يُخبرنا مرقس ان:الفتاة قد قامت مرة واحدة و بدأت تسير هنا و هناك (مرقس 5 : 42). ثالثاً، فى أكثر من قصة شفاء فى الأناجيل الإزائية - من ضمنهم شفاء حماة بطرس - فإننا نرى تلميحات قوية لحنان يسوع حينما يمسك بيد الشخص. فى مت 9 : 25، مر 1 : 31، 5 : 41، 9 : 27، و لوقا 8 : 54، فى كل مرة يُستخدم التعبير κρατήσας/ἐκράτησεν τῆς χειρός. يُستخدم التعبير κράτησεν مع مفعول به مُباشر مجرور، بدلاً من مفعول به مُباشر منصوب، فى هذه النصوص. حينما يُستخدم هذا الفعل فى الأناجيل و يتبعه مفعول به مباشر منصوب، فأنه يعنى الوثاق، التمسك بـ، التشبث الواضح (انظر مت 14 : 3، 21 : 46، 22 : 6، 26 : 57، 28 : 9، مرقس 6 : 17 ، 7 : 3 - 4 - 8)، لكنه حينما يأخذ مفعول به مباشر مجرور، فإنه يعنى لمسة رقيقة و ليس قبضة قوية، و يُستخدم فقط فى سياقات أحداث الشفاء. لاحظ ترجمة التعبير κρατήσας/ἐκράτησεν τῆς χειρός فى مت 9 : 25، مر 1 : 31، 5 : 41، 9 : 27، و لوقا 8 : 54، فى الترجمة الإنجليزية الحديثة. الذى يلفت الإنتباه فى هذه النصوص، ليس فقط انه لا فرق بين مرقس من ناحية و متى و لوقا من ناحية أخرى، لكن أن انجيل مرقس يحتوى بالفعل على مواقف أُستخدم فيها هذا التعبير أكثر من متى و لوقا مجتمعين. فكيف ان وضع اليد الرقيق هذا لا يتضمن الرأفة؟ رابعاً، عدم رؤية رأفة يسوع فى النصوص التى لا تستخدم σπλαγχνίζομαι او ما يُماثلها، كما يميل ايرمان، يقترب من مغالطة المعادلة المفاهيمية المُعجمية، و التى تقول بأن المفهوم لا يُمكن ان يُرى فى نص معين الا إذا اُستخدمت كلمة هذا المفهوم الدالة عليه. كمثال بسيط، انظر الى كلمة الرفقة فى العهد الجديد اليونانى، و هى κοινωνία. الكلمة تقع أقل من عشرين مرة، لكن لا أحد يستطيع ان يزعم بأن مفهوم الرفقة يقع بهذه الندرة. ايرمان يعرف هذا بالتأكيد، و يُحاول ان يُحاجج بأن كلمات الحنان و مفهوم الحنان غير موجودين فى قصص الشفاء الواردة فى انجيل مرقس. لكنه يترك الإنطباع بأنه بمجرد إثبات هذه النقطة مُعجمياً عن طريق إثبات عدم أصالة σπλαγχνισθείς فى مرقس 1 : 41، فإنه من السهل إنتزاع المفهوم. خامساً، إنصراف ايرمان عن كل التفاسير المُغايرة لفهمه حول لماذا غضب يسوع و ممن فى مرقس 1 : 41، انصراف متعجرف جداً. ان يقينه انه:حتى كل المثفسرين المُدركين ان النص الأصلى يوضح ان يسوع غضب، مرتبكين من الفكرة فى حد ذاتها، و يحاولون شرحها فى إتجاه آخر، بحيث ان النص لا يُصبح يقول ما يقوله (أبرص بين يديى يسوع غاضب، ص 86)، يعنى ضمناً ان تفسيره هو بكل تأكيد يجب ان يكون صحيح. (رغم ان ايرمان يذكر بشكل خاطف العديد من وجهات النظر، فإنه لا يتفاعل ابداً مع وجهة نظر بروكتور، و هو ما يعنى انه لم يكن يعرف بأمر رسالة الدكتوراه الخاصة ببروكتور حينما كتب بحثه هذا لتكريم هاوثوم. يحتج بروكتور بشكل رئيسى بأن شفاء الأبرص هو معجزة مُزدوجة، و التى تحتوى ضمناً على معجزة طرد أرواح شريرة. (قضية يسوع الغاضب، ص 312 - 316). يُلخص بروكتور إحتجاجه كما يلى:واضعين فى نظرنا الآراء العامة التى كانت موجودة فى القرن الأول حول الإرتباط بين الشياطين و المرض، لغة طرد الشياطين التى ترد فى العدد 43، تصرفات من تسكنهم الأرواح الشريرة او المُصاحبة لهم فى الأنجيل، و معالجة لوقا لما يرد فى مرقس 1 : 29 - 31، فإنه من الآمن تقريباً إفتراض أن هذا الرجل كان يسكنه ارواح شريرة، حتى لو ان مرقس لم يذكر هذا صراحةً (السابق، ص 325 - 326، المُلاحظة 6). ايرمان لا يكتفى فقط بطعن المفسرين بإساء فهم تعبير مرقس ὀργισθείς، بل انه يقول ان متى و لوقا ايضاً لم يفهما:اى شخص غير مُطلع بكثرة على انجيل مرقس خاصةً و بمُصطلحاته الخاصة...ربما لا يستطيع فهم لماذا أصبح يسوع غاضباً. متى لم يفهم بالتأكيد، ولا حتى لوقا (ابرص بين يدى يسوع غاضب، ص 98). أليس من التهور الزعم بأن متى و لوقا أسقطا ὀργισθείς لأنهما كانا جاهلان بأهداف مرقس؟ فى النهاية، هل كانا هما ايضاً غير مُطلعين بكثرة على انجيل مرقس؟ ألا يوجد هناك اى أسباب اخرى معقولة لحذفهم هذا التعبير؟ يجب ان ننتبه ايضاً الى ان كل التفاسير لا تحمل قيمة متساوية، لكن السخرية هنا هو ان ايرمان يريد ان يقول ان تفسيره هو الوحيد المقبول. فى فصله الختامى لكتاب سواء اقتباس يسوع، يقول:المعنى غير متأصل، و النص لا يقول ما يريد ان يقوله. اذا كان النص يقول ما يريد ان يقوله، إذن فكل شخص يقرأ النص بأمانة و إنفتاح سوف يوافق على ما يقوله النص (ص 216). ثم يُضيف:الطريقة الوحيدة لفهم النص هو قراءته، و الطريقة الوحيدة للقراءة هى بوضعه فى كلمات أخرى، و الطريقة الوحيدة لوضعه فى كلمات أخرى هى وجود كلمات أخرى يُوضع فيها، و الطريقة الوحيدة لإمتلاك كلمات أخرى لوضع النص فيها، هى وجود الحياة، و الطريقة الوحيدة لأن يكون هناك حياة هى الإمتلاء بالأمنيات، الرغبات الشديدة، الإحتياجات، النقائص، الإعتقادات، وجهات النظر، التوجهات العلمانية، الآراء، الترجيحات، الإستياءات، و كل الأشياء الأخرى التى تجعل من الكائن الحى موجوداً. إذن، فإن قراءة نص معين، تتطلب بالضرورة تغيير هذا النص (ص 217). قد اكون اسأت فهمه هنا، لكن هذا يُلمح الى ان ايرمان لا يمكن ان يدعى بأن تفسيره أعلى من التفاسير الأخرى، لأن التفسير نفسه يُغير النص، فإذا كان كل تفسير يُغيرس النص، فكيف اذن يُمكن ان يكون تفسير معين لنص ما أكثر شرعية من التفاسير الأخرى. حتى لو اننى اسأت فهم معنى كلامه، فنقطتى الأساسية مازالت قائمة: إنصراف ايرمان عن بقية التفاسير هو إنصراف متعجرف جداً.
[66] أنظر المناقشة فى مُلاحظة الترجمة الإنجليزية الحديثة عن هذا النص.
[67] الإفساد الأرثوذكسى، ص 92:ليس فقط ان العبارة οὐδὲὁ υἱός موجودة فى أقدم مخطوطاتنا و أفضلها لإنجيل متى، بل أنها ضرورية ايضاً بناء على الخلفيات الداخلية.
[68] سوء إقتباس يسوع، ص 208 (أُقتِبس سابقاً).
[69] السابق، ص 95:النُساخ وجدوا هذا النص صعب: يسوع ابن الله نفسه، لا يعلم متى ستكون النهاية؟ كيف يُمكن هذا؟ أليس هو كلى المعرفة؟ لحل هذه المشكلة، قم بعض النُساخ ببساطة بتعديل النص، عن طريق إنتزاع الكلمات ولا حتى الإبن. و هكذا، يكون الملائكة جاهلين، لكن ابن الله ليس جاهلاً.
[70] المخطوطة X، مخطوطة واحدة للفلجاتا، و شواهد اخرى غير مُسماة (بحسب الآداة النصية لنيستل آلاند، الإصدار 27)، يُسقطون هذه الجملة هنا.
[71] سوء إقتباس يسوع، ص 95، 110، 204، 209، 223 الملاحظة رقم 19، ص 224 المُلاحظة رقم 16.
[72] سوء إقتباس يسوع، ص 162
[73] ايرمان، الإفساد الأرثوذكسى، ص 81
[74] نقد آخر لإيرمان و هو انه جزم متهوراً بأن التعبير μονογενής لا يملك نفس النفاذ المُتضمن لـ الإبن الوحيد كما فى الإبن الوحيد الذى هو الله (السابق، ص 80 - 81):ما هو صعب تقبله فى هذا الرأى هو انه لا يوجد شىء فى الكلمة μονογενής يُرجحه. ان التعبير خارج العهد الجديد يعنى ببساطة الواحد فى النوع او المُتفرد، و هو يُستخدم سواء فى الإشارة الى الأشياء الحية و الغير حية. لذلك، يجب الإستعانة بإستخدامه فى العهد الجديد. و هنا يُحتج مؤيدى هذا الرأى، بأن in situ، و هى الكلمة التى تعنىالبنوة، ترد دائماً (فى العهد الجديد) إما فى ربط صريح مع υἱός او من خلال سياق النص حينما يكون إستخدام لفظ υἱός مُسمى، ثم يُوصف بأنه μονογενής (لو 9 : 38، يو 1 : 14، عب 11 : 17). و رغم ان هذا الإحتجاج يوحى بالكثير، فإنه يحتوى على بذور دحضه: إذا كانت الكلمة μονογενής قد تم تسجيلها لتعنى إبن وحيد، فيجب ان يتعجب الفرد حول سبب عزوها للفظ υἱός، و هو عزو يخلق نوع غير مألوف من الإسهاب (الإبن الإبن الوحيد). فى ضوء الحقيقة بأن لا أصل الكلمة ولا إستخدامها العام يُفيد بمعنى كهذا، فإن هذا الحل هو عبارة عن حالة دفاع إستثنائى. مشكلة هذا الجزم هى مشكلة ثلاثية: اولاً، اذا كان فى الثلاث نصوص المعروضين بالأعلى، نجد μονογενής بهم، فى الحقيقة، نفاذ جوهرى و يتضمنون مفهوم البنوة، إذن فالإحتجاج أن هذه هى نفس الحالة فى يوحنا 1 : 18 ليس موقف الدفاع الإستثنائى، لأن هناك بالفعل شهادة واضحة فى العهد الجديد لهذا النفاذ. ثانياً، إحتجاج ايرمان يعتمد على الخروج عن يونانية الكتاب المقدس للمعنى المعيارى لمُصطلح يحتوى على فروقات بسيطة فى الكتاب المقدس. لكن بما أن μονογενής قد أُستخدمت فى الإشارة ضمنياً الى الإبن (او الطفل) و قد تم إستخدامها بشكل مُطلق (أى جوهرياً) فى العهد الجديد (عب 11 : 17) و يونانية كتابات الآباء (انظر الملاحظة رقم 62) و الترجمة السبعينية (مثل القضاة 11 : 34 حيث نجد الصفة مُستخدمة قبل الإسم الذى أُستخدم لإبنة يفتاح، و طوبيا 3 : 15 ايضاً مُشابه، و أنظر طوبيا 8 : 17)، فإن الإحتجاج لنفاذ مُبعثر قد يبدو و كأنه دفاع مُستثنى. ثالثاً، الإحتجاج الى ان النفاذ المُعجمى الضمنى يُصبح:نوعاً غير مألوف من الإسهاب، فى حين ان التضمين أُجتُزِب بوضوح فى النص، فإن هذا يتطلب تفريق دقيق قبل ان يتم إستخدامه كنوع من القاعدة المعيارية: بحسب هذا التقديم، و بتطبيقه للحالة التى بين أيدينا، فإنه يبدو لى كأنه غير حقيقى تماماً. فى النحو و الإعجام، فإن العهد الجديد ملىء بالأمثلة التى يتضافر بها مد و جزر المعنى الضمنى و الصريح، كلاهما مع الآخر. لنأخذ مثالاً: التعبير εἰσέρχομαι εἰς هو بشكل عام تعبير هيلينى، حيث نصل به عن طريق الإسهاب المُتضاعف (بمُضاعفة حرف الجر) الى المعنى. هذا التعبير موجود أكثر من 80 مرة فى العهد الجديد، رغم هذا فهو لا يعنى تعالى إلى إلى! لكنه يعنى نفس ما يعنيه التعبير ἔρχομαι εἰς، و هى العبارة التى تقع أكثر من 70 مرة فى العهد الجديد. هناك من الامثلة الإنجليزية ما يعنى ذلك ايضاً: فى الحديث العامى دائماً ما نسمع تعبير:دواسة الأقدام (هل هناك انواع اخرى من الدواسات غير تلك التى للأقدام؟).
[75] بالإضافة الى الأمثلة التى ذكرتها، فهناك طالب فى برنامج الدكتوراه فى معهد دالاس، و هو ستراتون لادويج، قد وجد من العهد الجديد أمثلة أخرى فى: لوقا 14 : 13، 18 : 11، أمثال 2 : 5. كذلك فقد وجد حالات موازية غير دقيقة بالضبط. أنظر رسالته للماجستير: فحص أرثوذوكسية القراءات فى ضوء كتاب بارت ايرمان الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس (رسالة ماجستير فى اللاهوت، معهد دالاس، 2000).
[76] نظرة سريعة على قاموس لامب المُعجم اليونانى الآبائى، يكشف أن الغستخدام الجوهرى لهذه الصفة كان مُعتاداً، ص 881، التعريف 7، المُصطلح قد أُستخدم تماماً عند حشد من الكُتاب الآبائيين.
[77] كذلك، فإن ايرمان لم يكن واضحاً فى إحتجاجه بأن قراءة μονογενὴς θεός هى قراءة لمقاومة التبنويين. فإذا كان تفسيره لمعنى النص صحيح، فإنها تبدو كقراءة سابيلية أكثر منها أرثوذكسية. لكن بما أنها متأصلة بصلابة فى التقليد السكندرى، فيبدو انها تعود الى نموذج أصلى يسبق ظهور جذور الهرطقة السابيلية. بكلمات أخرى، فإن المحركات لخلق القراءة، بحسب تفسير ايرمان، قد تم تعكيرها.
[78] لقضية أن العهد الجديد يتحدث بوضوح عن إلوهية المسيح، انظر كوموسزويسكى، سوير، و والاس: إعادة إستكشاف يسوع.
[79] جوردون د. فى، مراجعة للإفساد الأرثوذوكسى للكتاب المقدس، فى المراجعة النقدية للكتب الدينية، العدد الثامن (1995)، ص 204.
[80] انظر:
ج. ك. إليوت: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى مجلة العهد الجديد، العدد 36، الجزء 4 (1994)، ص 405 - 406.
مايكل و. هولمز: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى مجلة المراجعة الدينية، العدد 20، الجزء 3 (1994)، ص 237.
جوردون د. فى: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى المُراجعة النقدية للكتب الدينية، العدد 8 (1995)، ص 203 - 206.
بروس م. ميتزجر: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى مجلة معهد برينستون، العدد 15، الجزء الثانى (1994)، ص 210 - 212.
ديفيد س. باركر: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى مجلة الدراسات اللاهوتية، العدد 45، الجزء الثانى (1994)، ص 704 - 708.
ج. ن. بريدشال: مراجعة للإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس: تأثير الصراعات الكريستولوجية على نص العهد الجديد، بارت د. ايرمان، فى مجلة اللاهوت، العدد 97 (1994)، ص 460 - 462.
إيفو تام: قراءات لاهوتية كريستولوجية فى التقليد القديم للعهد الجديد؟ (رسالة ماجستير، جامعة مونستر).
ستراتون لادويج: فحص أرثوذوكسية القراءات فى ضوء كتاب بارت ايرمان الإفساد الأرثوذكسى للكتاب المقدس (رسالة ماجستير فى اللاهوت، معهد دالاس، 2000).
[81] سوء إقتباس يسوع، ص 114.
[82] انظر كمثال، د. أ. كارسون، مناظرة نُسخة الملك جيمس (جراند رابيدز: دار بيكر، 1979)، ص 64.
[83] رغم ان كتاب ايرمان سوء اقتباس يسوع هو اول مقدمة عامية للنقد النصى للعهد الجديد، ففى ربيع 2006 سوف يصدر كتاب ثانى يتعامل مع هذه الموضوعات (و مع موضوعات أخرى). أنظر، كوموسزويسكى، سوير، والاس، إعادة إستكشاف يسوع، لمعالجة موزونة للبيانات.
[84] تم تذكيرى بنظرة مارتن هينجل الثاقبة حول الخطر الموازى بين التزمت الدفاعى الغير نقدى العقيم و الجهل النقدى الغير أقل عقماً لليبرالية الراديكالية. فى النهاية، فطرق فهم الموضوعات واحدة، و الفرق الوحيد هو المواقف المُسبقة. (مارتن هينجل، دراسات فى الكريستولوجية الأولى، ادرينبرج، دار نشر T & T Clark، 1995، ص 57 - 58). أنا لا أقول ان ايرمان منهم، لكنه لم يعد يبدو كليبرالى حقيقى الذى تشوق لأن يكون ذات يوم.
[85] يجب مُلاحظة ان سوء اقتباس يسوع تم إهداؤه الى بروس ميتزجر، الذى يصفه ميتزجر كـ:الخبير الرئيسى فى العالم فى مجال (النقد النصى للعهد الجديد) (سوء اقتباس يسوع، ص 7). غير ان ميتزجر يختلف بشكل رئيسى مع طرح ايرمان فى هذا الكتاب.
[86] لعل من يقرأ الفصول الخاصة بالنقد النصى فى هذا الكتاب و يُقارنها بسوء إقتباس يسوع؛ يُدرك سريعاً الفرق بين الدليل و تفسير الدليل. المعلومات الواردة فى الكتابين واحدة، و لكن الإنطباع الذى يتركه كلاهما مُختلف تماماً...تماماً!
Related Topics: Textual Criticism
Albanian - Kërkohen përkthyes vullnetarë
A flet anglisht dhe një gjuhë tjetër? Ne do të kishim shumë dëshirë që ti të merrje pjesë në përkthimet e studimeve tona në mënyrë që vëllezërit dhe motrat në Krishtin në vendin tënd të mund të hynë në faqen tonë të internetit në gjuhën e tyre.
Mirëpresim përkthyes
Ne shpresojmë se Perëndia e përdor faqen e internetit për të të mësuar, fuqizuar dhe inkurajuar ty në Zotin dhe në punën e Tij. Ne gjithashtu shpresojmë se ti do t'u thuash miqve të tu në mënyrë që edhe ata të mund të marrin ndihmë në ecjen e tyre me Krishtin. Ja pra, pse ekziston ky burim, d.m.th për të bekuar njerëz si ty. Me të vërtetë, për të të ndihmuar ty në jetën tënde të krishterë ne kemi rreth 3500 studime në këtë faqe dhe ky numër rritet çdo ditë. Tani për tani ne u shërbejmë me rreth 5 milion faqe në muaj njerëzve të Perëndisë rreth e përqark botës në gjuhë të ndryshme. Thjesht të lë pa mend fakti se në sa vende shkon çdo ditë bible.org! Lavdi Zotit!
Pra si mund të marrësh pjesë në këtë bekim? Është e thjeshtë. Ne të kërkojmë që nëse ke mundësi, ose njeh dikë i cili është i aftë, të marrësh parasysh përkthimin e studimeve të tua më të preferuara në këtë faqe në gjuhën tënde. Sërish, kjo do të thotë se shumë nga bashkëatdhetarët e tu, të cilët akoma nuk janë në gjendje për të hyrë në këto studime për shkak se ato janë të mundshme vetëm në anglisht, do të kenë mundësi të lexojnë dhe të përfitojnë nga këto burime. Tani, nëse anglishtja jote nuk është edhe aq e mirë, ndoshta ti ke një vëlla, motër apo shok i cili mund të përkthejë një studim. Ne do të kishim shumë dëshirë që të të vinim ty në listë si përkthyes për studimet dhe puna jote me të vërtetë që do të pasurojë nga ana shpirtërore me mijëra njerëz të Perëndisë. Të lutem kontakto lirshëm me Gregun te http://bible.org/contact?category=Translations nëse je i interesuar për t'i shërbyer Zotit në këtë mënyrë. Zoti të bekoftë.
Recherche: Traducteurs Benevoles!
Parlez-vous Anglais et une ou d'autres langues? Nous apprecierions grandement que vous traduisiez nosetudes afin que des freres et soeur en Christ dans votre pays puisse acceder a notre site dans leur propre langue.
Traducteurs, Bienvenu(e)s!
Bienvenu(e)s au site de la Fondation des Etudes Bibliques! Nous prions que Dieu utilise le site pour vousinstruire, vous fortifier et vous encourager dans le Seigneur et dans Son oeuvre. Nous esperons aussi que vous parlerez a vos amis afin qu'eux aussi puissent recevoir de l'aide dans leur marche avec Christ. Cette ressource existe dans ce seul but, celui de benir des gens comme vous. En effet, pour vous aider dans votre vie Chretienne, le site possede plus de 3500 etudes! Et le chiffre augmente de jour en jour! Nous distribuons actuellement plus de 5 millions de pages par mois au peuple de Dieu de par le monde en plusieurs langues. C'est stupefiant de penser aux endroits ou bible.org se rend quotidienement! Loue soit Dieu!
Comment pouvez-vous donc participer a la benediction? C'est simple en fait. Nous nous demandons si vous etes capable, ou si vous connaissez quelqu'un qui peut traduire vos etudes favorites sur le site dans une autre langue. Une fois de plus, cela veut dire que vos concitoyens, qui ne sont pas encore capable d'acceder a ces etudes parce qu'elles sont uniquement disponibles en Anglais, seront capables de lire et de profiter de ces ressources.
Toutefois, si votre Anglais n'est pas a niveau, peut-etre avez-vous un frere, ou une soeur qui peut traduire une etude. Nous aimerions vous enroler en tant que traducteur d'etudes et que votre travail enrichisse plusieurs milliers du peuple de Dieu.
Contactez a si vous desirez servir le Seigneur par ce ministere. Dieu vous benisse!
Dibutuhkan Penerjemah Sukarelawan
Apakah anda bisa bahasa Inggris atau bahasa lainnya? Kami sangat berterima kasih anda mau menerjemahkan materi kami sehingga saudara dan saudari dalam Kristus dinegara anda bisa mengakses website kami dalam bahasa mereka sendiri.
Penerjemah Dibutuhkan
Kami berharap Tuhan mau menggunakan site ini untuk menasehati, menguatkan, dan mendorong anda didalam Tuhan dan karyaNya. Kami juga berharap anda mau memberitahu teman-teman anda agar mereka juga bisa menerima pertolongan dalam perjalanan hidup mereka bersama Kristus. Itulah alasan materi-materi ini ada, yaitu, untuk menjadi berkat bagi orang-orang seperti anda. Tentu, untuk menolong kehidupan kekristenan anda terdapat lebih dari 3,500 pelajaran disite ini dan terus bertambah setiap hari. Sekarang ini kami melayani lebih dari 5 juta halaman per bulan untuk umat Tuhan diseluruh dunia dalam berbagai bahasa. Sangat mengagumkan bisa melihat bible.org meningkat dalam hitungan hari! Puji Tuhan!
Bagaimana anda bisa turut menjadi berkat? Sederhana. Kami meminta, jika anda mampu, atau mengetahui seseorang yang mampu, menerjemahkan pelajaran yang menurut anda menarik kedalam bahasa anda sendiri. Sekali lagi, ini artinya banyak orang dinegara anda yang tidak bisa mengakses pelajaran ini karena belum bisa berbahasa Inggris dapat membaca dan diberkati melalui materi ini. Jika bahasa Inggris anda tidak terlalu baik, mungkin saudara anda, saudari anda atau teman anda ada yang mau menerjemahkan sebuah pelajaran. Kami senang mendaftarkan anda sebagai seorang penerjemah dan pelayanan anda bisa menjadi berkat bagi ribuan umat Tuhan. Jika anda tertarik melayani Tuhan melalui cara ini, jangan sungkan menghubungi di
TAM OBANGA AKWAKU LARE
Related MediaLakana 5:11-12;
Candennono en ene ni; Obanga otyeko miyowa kwo a perakino odoco, dok kwo nono tye I Wode. Ngat ame tye kede Wod, tye kede Kwo dang; ngat ame mom tye kede wot Obanga, mom tye kede kwo.
Kwani kobiwa kanaler ni, Obanga omiowa kwo a perakino kede kwoni tye iyi wode, yecu kricito. Iyi lok okene, yoro okene me nwongo kwo a perakino beo iyi wot Obanga.
Apeny tye ni, Yoro ango a dano nwongo woto Obanga?
Man’s problem (Peko a dano)
Bedo a boro kede Obanga.
Icaya 59:2;
Ento timwu arac opokowu oko kede Obanga, balwu omio wange dong owumere oko i komwu, mom romo neon.
Jo Roma 5:8;
Ento Kricito oto pirwa a nwang wan obalo; mannono nyuto kite mar ame Obanga tye kede bang wa.
A lubere kede buk a Jo Roma 5:8, Obanga onyutiwa mara mere ni beo I too a Wode. Pi ngo Kricito obin oto pi wa? Pien Jo lung obalo, mom otuno I kwogo Obanga.
Buk Abakuk 1:13; Yin giri wangi cil meicel ame mom iromo kanyo gin arac, dok dang mom itwero kango tim a mom tye kakare. Pingo kara yin i bedo neon jo a mom ogen anena, aco kono jo araco tye amwonyo jo abeco, ame kitegi atira katogi kun yin I ling giri alinga?

AGAM OBANGA
Gin acoa pwonyo ni, pe tye dano moro, aber i king, ticerte, kwo mere onyo genere i kom Obanga onyo mie woto i polo.
Jo Roma 1:18;
Pien akemo obanga dong onyo iya i polo i kom tim a jo areco lung a mom woro obanga, ame tye a gengo kop ateni i tic, pi timgi areco.
Jo Roma 3:8;
Pingo wan mom otimo gin arac me gin aber ya iye? Pien tye jo mogo ame coko dogwa kun okobo ni wan okobo amannono. Ka ongolo kop oloo Jo- nono, nwongo ongolo kakare.
Jo Roma 3:9-10;
Kara ningo dong? Wan Ojudaya otye aber akato gin? Amaa, kadi acelloro; pien atyeko kelo adote jo ame pe Ojudaya, bal dong oloogi, acalo rik ocoo ni, Nyatoro a kit atir giri mom, pe kadi acelloro.
Epeco 2:8-9;
Pien pi kica mere omio en olarowa, pi iyce, rik mom otimere pi icwu; mannono mot pi ticwu moro, me ngatoro gire kur wakere iye.
Tito 3:5 -7;
Ente larowa oko, mom pi ticoro a wan otio i kite atir, cite pi kica mere gire. Olariwa kede pii me nywale me aryo kede me doko jo anyen pi Cuny Acil. A rik en oonyo i komwa a bup i Alarwa Yecu Kricito, me ote kwanowa ni kitewa atir pi kica mere, me onwony kwo a perakino odoco, ame genwa tye iye.
Jo Roma 4:1-5;
kara wan obino kobo ngo i kom Iburaim, ame en kwarowa i kite me kom? Kono yam okwano Iburaim ni kite atir pi tic ame otio, kono en tye i gin ekakere iye, ate mom i nyim Obanga. Coc a yam Ocoo kobo ningo? Ni, “Iburaim oye Obangs eka ote kwane ni kite atir.” Dano a tio tic, ocara mere mom omio acalo jami mere; cite dano a pe tio, ento ame ye ngat ame kwano jo a mom lworo Obanga ni kitegi atir, kodi dano-nu okano ni kite atir pi iyee mere.

Pe tye dano moro aber acalo Obanga. Obanga tye ateni. Buk a Abakuk kobiwa ni, Obanga pe romo nywako gure kede jo a pe atir. Ka omito Obanga yee wa, myero obded aber calo en Obanga. Inyim Obanga, myero wan ocung kunu Olonyere, omwole kede goro pi wan kenwa. Pe tye dano aber bino ter wa i polo onyo i kwo aperakino. Ngo mere i tim?
ODWOGI OBANGA
Jo Roma 5:8;
Ento Kricito oto pirwa a nwany wan obalo; mannono nyuto kite mar ame obanga tye kede bangwa.
Man aye amutu aber yiy bibul, ame kwako pwonyere aber. Obedo amut me gum I bero i Wot Obanga, ame onywale acalo dano, obedo abongo bal; otoo ite yataria pi balwa dang dok te cer iyi akina bur lyel acalo Wot Obanga eka en oto me wek wan olokere.
Jo Roma 1:4;
Ento pi Cuny Acil, Obanga rik onyutoni en obedo Wode i tic atek me cerrere iyi akina a jo oto, en Yecu Kricito Rwotwa.
Jo Roma 4:25;
En a rik oimo me aneka pi balwa, dok ocere me okwanwa ni kitewa atir.
2 Jo Korinti 5:21;
Ngat a rik mom ngeo bal, Obanga oloko odoko a bal pirwa, me wek pire wan odok jo a nywako kite Obanga atye atira.
1 Petero 3:18;
Pien Kricito dang rik oneno can pi bal, tyen acel ame romo atwal; en nga a kite atir oto pi jo a kitegi ogom, me wek ekelwa bang Obanga. Rik oneko kome, cite ocere oko i Cuny.

YORO ANGO AME OTWERO GAMO WOD OBANGA?
Pien Yecu Kricito otyeko too pi wan i kor yataria, Bibul koboni, “ngat ame tye kede Wode tye ked Kwo.” Ngat a ngolo Wod Yecu Kricito acalo alar kede yee ikome, te bedo genatut i kom Kricito naka i too mere pi bal wa.
Lakana 1:12;
Jo ducu a nwang ogame, kun oye nyinge, en omiogi twer me doko otino Obanga.
Lakana 3:16- 18;
Pien Obanga rik omaro lobo amannono, oimo Wode acel keken, me dano acel acel ame ye en kur rweny odoco, ento bed kede Kwo a perakino nakanaka. Obanga nwang mom Oroo Wode i lobo me ngol kop loo lobo, ento me lobo larre pire. Dano ame ye en mom obino ngolle kop, ento dano a mom ye en dong ongolo kop, oloe oko con, pien mom oye nying Wot Obanga acel kekene.
Man nyutu ni ngo, myero wan ducu odwog bot Obanga; (1) Acalo a balo myero oye balwa, (2) myero onge ni, nibeo i tic wa, pe terowa i larre, (3) ye ikom Kricito nibeo, miye kien onyo yore me larre.ka imito gsmo Yecu onyo yee Kricito acalo agwok kwo ni, myero iyee i kom Kricito nibeo i kwayo jami aracu, ye i kom kica mere kede bedo kede ni ye i kom larre Kricito.
Ka pwod iye Kricito aye, myero i nge kwo anyen kede kit me wot kede Larre.
Okwai pi cako kwano kwan magi nibeo; ABCs for Christian Growth ame nwongere online: www.bible.org
Related Topics: Soteriology (Salvation), Evangelism
5. Le Doigt de Dieu (Exode 7:14-10:29)
Introduction
Il y a des tragédies dans la vie qui sont juste ça – des tragédies. L’accident du vol Delta 191 vendredi dernier est certainement une de ces tragédies. Personne n’oserait, de nos jours, appeler cette tragédie un acte de jugement divin. C’est simplement une de ces tragédies qui font parties des souffrances et des tristesses de la vie. Il y a aussi des tragédies qui ont une raison positive et bénéfique. Les tragédies de la vie de Job, par exemple, furent profitables pour sa marche pieuse. La « tragédie » de la croix du Christ fut bénéfique, car c’est par Sa mort que nous pouvons être sauvés. Les souffrances de la nation d’Israël pendant les 400 ans d’esclavage en Egypte prouveront être aussi avantageuses, dans le drame de l’Histoire d’Israël dans le Livre d’Exode (ainsi qu’au cours de notre étude).
Il y a aussi ces tragédies qui sont le résultat de la furie de Dieu. Les fléaux que Dieu a déversés sur les Egyptiens font partis du jugement de Dieu sur Pharaon et son peuple pour leur oppression de Ses gens, les Israélites (Gen. 15:13-14 ; Deut. 11:1-4 ; Ps. 78:44-52). C’est un coté de Dieu s’occupant des hommes que nous préfèrerions ignorer, mais n’osons pas.
Le jugement des Egyptiens est donné beaucoup de place dans le Livre d’Exode. Si nous étions sensibles à la « politique éditoriale » de Dieu, nous devrions reconnaître que ce jugement est important pour nous, autant que pour les saints du Vieux Testament. Non seulement Moïse entre dans beaucoup de détails en décrivant les fléaux d’Exode, mais il y a fréquemment des références à cet incident dans le Vieux Testament ainsi que dans le Nouveau. Ainsi nous arrivons aux fléaux, un sujet plutôt déplaisant, mais un qui est extrèmement important pour chacun d’entre nous. A la conclusion de ce message, nous chercherons à expliquer pourquoi.
En réponse de la souffrance des Israélites (chap. 1), Dieu a appelé Moïse, qu’Il a divinement protégé et préparé pour la mission de libérer Son peuple d’Egypte (chap. 2-4). Après une résistance considérable, Moïse est retourné en Egypte, où il a été reçu par les anciens et le peuple d’Israël, rebuté par Pharaon, à la consternation des Israélites. Dans le chapitre 7, nous arrivons au début des fléaux que Dieu va déverser sur l’Egypte par Moïse et Aaron. A cause de l’importance du dernier (10ème) fléau, nous devrons en faire le sujet de notre prochaine leçon. Cette leçon-ci se concentrera sur les neuf premiers fléaux, qui semblent avoir une structure distincte en elle-même, comme nous le montrerons très prochainement.
La résistance (cœur obstiné) de Pharaon et les fléaux qui résultèrent ne sont pas surprenants, ni à Moïse, ni au lecteur. Dieu avait prédit la nécessité des fléaux qui devaient être déversés sur l’Egypte :
« Je sais que le pharaon ne vous permettra pas de partir s'il n'y est pas contraint avec puissance.
C'est pourquoi j'interviendrai et je frapperai l'Egypte de toutes sortes de prodiges que j'accomplirai au milieu d'elle. Après cela, il vous renverra. » (Exode 3:19-20)
Pharaon a pu trouver rebutante la pétition de laisser partir les Israélites pendant trois jours pour qu’ils puissent aller vénérer leur Dieu dans le désert, pour deux raisons principales. Premièrement, il ne serait pas enclin à reconnaitre l’existence d’un autre Dieu, spécialement puisque lui-même, était considéré un dieu. Deuxièmement, les observances religieuses nécessitaient un « jour de congé », et il semblait qu’il y en avait déjà assez :
Mais Pharaon avait rejeté avec mépris ce Dieu comme étant une autre célébration sémitique – il y avait déjà assez de fêtes et jours fériés religieux pendant lesquels aucuns travaux n’étaient fait, et ce n’était qu’une excuse pour se reposer.
… Concernant les absences du travail, les dossiers égyptiens… inclurent des notes de travail qui donnent des rapports journaliers d’absentéisme, les noms des employés absents, et les raisons. Un dossier montre qu’une fois, les employés de la tombe royale ont arrêté de travailler pendant trente jours sur quarante-huit. Un registre d’absences note la raison pour l’absentéisme de plusieurs travailleurs étant, « offrande à leur dieu » … et l’enregistrement laconique, « repos » n’était pas rare dans de tels dossiers.109
Quelqu’un pourrait se demander si les « jours de congé » que la vénération religieuse nécessitait aurait pu être un facteur dans le culte des faux dieux égyptiens par Israël (Josué 24 :14). Après tout, en allant simplement aux services de dévotion aux dieux égyptiens, un court repos de leur travail dur était une récompense pour les Israélites.
Pour beaucoup de raisons, Pharaon ne voulait pas relâcher les Israélites pour qu’ils aillent honorer leur Dieu. Cela nécessita la démonstration de la main puissante de Dieu par les fléaux, qui pousseraient Pharaon à laisser partir les Israélites.
La Nature des Fléaux
Avant de regarder brièvement à chacun des fléaux individuellement, il aiderait de considérer tous les fléaux ensembles. Quand nous cherchons à identifier la nature des fléaux, les explications tombent généralement dans une de ces catégories :110
(1) Les fléaux n’étaient que de simples mythes. Il y a ceux qui disent que les fléaux décrits dans cette portion d’Exode comme étant des miracles, ne sont jamais arrivés. Ce récit, certains croient, est simplement une fabrication, des mythes qui furent fabriqués pour communiquer dramatiquement certaines croyances religieuses. Cet avis ne peut être pris au sérieux, car cela voudrait dire que la Bible n’est pas sérieuse non plus, n’étant certainement pas considérée comme étant inspirés par la Parole de Dieu.
(2) Les fléaux sont survenus, mais n’étaient pas des miracles. Les érudits prennent ces évènements comme étant des désastres naturels qui étaient communs en Egypte, et qui furent interprétés comme des actes de jugement divin. C’est une amélioration sur le premier avis en ce que celui-là prend la Bible plus au sérieux. Cependant, il échoue parce qu’il ne trouve rien non plus de miraculeux. L’évènement était vraiment arrivé, mais l’élément miraculeux était faux, étant ajouté par l’auteur(s) pour des raisons idéologiques ou théologiques.
(3) Les fléaux sont survenus, désastres naturels, qui étaient modérément miraculeux. Il y a des écrivains qui devraient être inclus dans le camp des évangélistes qui penchent toujours un peu trop (à mon avis) vers le second avis. Ces « miracles » apparaitraient être soit des miracles de Classe C ou de Classe B, mais pas vraiment des miracles de première classe (Classes A). K.A. Kitchen111 et Alan Cole112 semblent tomber tous les deux dans cette catégorie. Le Nil tournant en sang est vu soit parce qu’il aurait atteint le plateau d’inondation, chargé de vase rouge ou avec un genre de micro-organismes, qui donna une couleur rouge au fleuve. Tous les autres fléaux seraient les conséquences, un résultat naturel, du premier fléau.113 Pendant que la nature est certainement utilisée (grenouilles, tempêtes, les sauterelles, etc.) il y a quelque chose ici qui est plus miraculeux que juste un désastre naturel un peu plus grand que la moyenne. Ces miracles étaient des signes, et ainsi d’une manière incontestable, en dehors de l’ordinaire.
(4) Les fléaux vinrent de la nature et des forces naturelles, dans un sens, pour être miraculeusement convaincants.114 Comme les magiciens disent, « C’est le doigt de Dieu. » Il y a une tension que nous devons être disposés à admettre. D’un coté, le texte nous dit que l’eau du Nil tourna en sang. De l’autre, nous savons qu’ailleurs, « sang » est utilisé dans un sens non littéral. On nous dit dans Joël 2:31 et Apocalypse 6:12 que la « lune deviendra rouge comme le sang ». En fin de compte, nous devons prendre le texte aussi littéralement et sérieusement que possible. Notre motivation doit être de comprendre le passage comme il est écrit, et non pas en accordance avec l’explication la plus croyable.
Joseph P. Free liste cinq aspects uniques des fléaux qui les caractérisent comme miraculeux : (1) Intensification. Bien que les grenouilles, les insectes, la fièvre aphteuse, et les ténèbres étaient connues en Egypte, ceux-ci furent intensifiés bien au-delà d’évènements ordinaires. (2) Prédiction. Le fait que Moïse prédit les moments de leurs débuts et de leurs fins les séparent totalement d’évènements purement naturels. (8:10,23 ; 9:5,18,29 ; 10:4). (3) Discrimination. Certains fléaux n’ont pas affecté le pays de Gochên où Israël vivait (8:22, pas de mouches ; 9:4, pas de fièvre aphteuse ; 9:26, pas de grêle). (4) Régularité. Il y a une sévérité graduelle dans la nature des fléaux finissant par la mort des premiers-nés. (5) But moral. « Ceux-ci n’étaient pas des anomalies de la nature mais avaient pour intention d’enseigner des leçons et des préceptes moraux. »115
Les « Miracles » des Magiciens
En plus, la détermination comment extraordinaire les fléaux de Moïse et d'Aaron était, nous devons arriver à une conclusion quant à la nature des « miracles » performés par les magiciens. Les deux premiers fléaux furent, à la satisfaction de Pharaon, reproduits par ses magiciens. Il y a plusieurs façons de comprendre ce qui fut accompli par les magiciens.116 En fin de compte, nous n’avons que deux options :
(1) Les « miracles » n’étaient que des miracles apparents, réalisés par un genre d’illusion ou d’habileté des mains. Soit par supercherie ou déception, les magiciens semblent reproduire les miracles de Moïse et d’Aaron. On nous dit par exemple, que le cobra pouvait être rendu rigide en appliquant de la pression au bon endroit sur la tête de la créature. Ainsi, les bâtons des magiciens étaient vraiment des serpents qui apparaissaient seulement être des bâtons.
(2) Les « miracles » avaient des pouvoirs super naturels, par Satan ou ses aides démoniques. Il semblerait que les magiciens auraient vraiment reproduit les deux premiers fléaux, mais furent empêchés de les renverser ou de reproduire les suivants. Dans le cas du fléau des moustiques, le texte semble indiquer que les magiciens pensaient qu’ils pouvaient reproduire les moustiques et essayèrent de le faire, sans succès (Exode 8:18). Il y a plusieurs évidences qui me font penser que Satan était en fait la source du pouvoir des magiciens copiant les deux premiers « miracles ».117 C’est plus qu’un simple concours entre Moïse et les magiciens, c’est Dieu défiant les dieux d’Egypte (Exode 12 :12), derrière lesquels sont Satan et ses assistants démoniques. La fausse vénération vient souvent d’une inspiration démonique (1 Cor. 10 :20-21 ; 1 Tim. 4 :1).
La Structure des Fléaux
Regardez les 9 premiers fléaux dans leur intégralité, il y a un genre de formules (voyez le tableau à la fin de cette leçon). Les 9 fléaux peuvent être groupés en séries de 3 challenges, chacun composé de 3 fléaux. Les premiers fléaux (1-3) produisent l'inconvenance ; les 3 suivants amènent de plus grands dégâts et destructions (4-6) ; les 3 derniers (7-9) produisent une dimension encore plus grande de terreur. Ainsi nous voyons que les fléaux progressent de l’inconvenance à la destruction à la terreur. Les premiers fléaux de chaque série (fléaux 1,4, et 7) commencent avec l’expression « le matin ». Les derniers fléaux de chaque série (3,6, et 9) arrivent sans être annoncés et sans les avertissements des autres.
Dans la première série de fléaux (1-3), le bâton est étiré par Aaron. Dans la deuxième série (4-6), aucun bâton n’est utilisé. Dans la troisième série (7-9), Moïse utilise son bâton. Au fur et à mesure que les fléaux progressent, le cœur de Pharaon s’endurcit de plus en plus. Quand le roi d’Egypte marchande avec Moïse pour de l’apaisement, il accepte de concéder de plus en plus de choses, mais il ne tient pas ses promesses. Dans la première série de fléaux, aucune mention n’est faite des Israélites étant séparés des Egyptiens faisant l’expérience du fléau. A partir de la seconde et la suivante, une distinction est clairement faite ou impliquée.
Les fléaux commencent avec les magiciens imitant les miracles de Moïse et d’Aaron ; Puis ils admettent, eux-mêmes, la main (ou le doigt, pour être exact) de Dieu dans le fléau ; Après, ils sont eux- mêmes si éprouvés qu’ils ne peuvent pas se tenir devant Moïse. Les « officiels » d’Egypte (qui semblent être un groupe différent de celui des magiciens) ont parmi eux un certain nombre de gens qui prirent au sérieux les avertissements de Moïse et mirent leurs esclaves et leurs bétails à couvert (9:20). Finalement, tous les officiels de Egypte plaident avec Pharaon de relâcher les Israélites avant que l’Egypte ne soit complètement ruinée (10 :7).
Les Fléaux en Particulier
Ayant considéré les fléaux dans leur intégralité, nous allons maintenant considérer brièvement chacun des fléaux individuellement. Chaque fléau transmet un message de Dieu.
FLEAU UN : LE NIL TOURNE EN SANG (Exode 7:14-24). Le Nil est pratiquement le « sang de la vie » de l’Egypte. Sans la période d’inondation et l’eau avec laquelle elle soutient constamment la vie, l’Egypte serait presque inhabitable. John Davis nous informe de l’importance du Nil pour les Egyptiens et la façon dont cela affecte leur théologie :
« S’il n’y avait pas eu ces inondations, l’Egypte serait aussi désolée que le désert de chacun de ses cotés. Les Egyptiens reconnaissaient parfaitement ça, et en remerciements pour les bénédictions du Nil, des chansons furent écrites. Non seulement des dieux furent associés avec le Nil, mais la fertilité, les bénédictions, et le bonheur étaient associés avec la fidélité de ce fleuve. De la période du Nouveau Royaume nous vient un document qui nous est connu aujourd’hui comme la « Chanson du Nil », une composition qui aurait pu être originaire de la période du Royaume Moyen. Les paroles de cette chanson racontent l’histoire de l’importance du fleuve Nil pour les Egyptiens.
Hail to thee, Oh Nile, that issues from the earth and comes to keep Egypt alive! … He that waters the meadows which Recreated, in order to keep every kid alive. He that makes to drink the desert and the place distant from water: that is his dew coming down (from) heaven.118 »
Le miracle qui tourna l’eau du Nil en sang peut être mieux comprit à la lumière de la dernière prophétie que Dieu nous donna par Ézéchiel :
« ---Fils d'homme, dirige ton regard vers le pharaon, roi d'Egypte, et prophétise contre lui, contre l'Egypte tout entière.
Tu diras: «Voici ce que dit le Seigneur, l'Eternel:
Je vais m'en prendre à toi, pharaon, roi d'Egypte,
toi le grand crocodile
tapi au milieu de tes fleuves,
toi qui as dit: «Mes fleuves sont à moi,
c'est moi qui les ai faits.»
Je te passerai des crochets dans les mâchoires,
je ferai adhérer les poissons de tes fleuves à tes écailles,
et je te tirerai du milieu de tes fleuves,
avec tous les poissons qui nagent dans tes fleuves
et qui adhéreront à tes écailles.
Et je te jetterai dans le désert,
toi et tous les poissons qui nagent dans tes fleuves.
Et tu retomberas sur le sol dans les champs,
sans que l'on te recueille et qu'on t'ensevelisse.
Je te donnerai en pâture
aux animaux sauvages et aux oiseaux du ciel.
Et tous les habitants de l'Egypte reconnaîtront
que je suis l'Eternel. » (Ézéchiel 29:2-6)
FLEAU DEUX : LES GRENOUILLES (Exode 7:25-8:7). Les grenouilles étaient considérées comme ayant un pouvoir divin :
« Dans le panthéon Egyptien la déesse Heket avait la forme d’une femme avec une tête de grenouille. De ses narines, les gens croyaient, venait le souffle de la vie qui animait les corps de ceux crées par son mari, le grand Dieu Khnoum, de la poussière de la terre. Donc, les grenouilles ne devaient pas être tuées.119 »
Les grenouilles n’étaient pas rares en Egypte, spécialement autour du fleuve. Mais il n’y en avait jamais eu tant. Le récit des grenouilles est presque marrant. On pourrait les imaginer sautant et coassant partout en Egypte. Spécialement la pensée de se les representer envahissant le palais de Pharaon. Quand j’étais gosse, une de nos blagues préférées de colonies de vacances était de placer une bestiole visqueuse, comme une grenouille, dans le sac de couchage de quelqu’un. En Egypte, le sac aurait été rempli de grenouille. Elles se trouvaient dans la nourriture, dans les pâtes à pétrir, dans les fours, partout. Le fait que les magiciens d’Egypte pouvaient produire encore plus de grenouilles avait dû être un vrai délice pour les Egyptiens. Mais ce qu’ils voulaient était pas plus de grenouilles, pas plus de grenouilles.
Seul Moïse pouvait faire disparaître les grenouilles. Moïse donna à Pharaon l’option de choisir quand les grenouilles disparaitraient. Pharaon choisit le lendemain. J’imagine qu’il n’a pas demandé que les grenouilles disparaissent immédiatement, espérant qu’elles partiraient d’elles-mêmes, avant le moment choisi, démontrant ainsi que Moïse ne contrôlait pas la situation. L’Egypte fut débarrassée des grenouilles par leurs morts, ce qui voulait dire que des tas énormes de grenouilles étaient empilés partout en Egypte, créant une puanteur qui était un fléau en lui-même. On peut s’imaginer que les cuisses de grenouilles ne furent pas un petit plat offert dans les grands restaurants d’Egypte pendant un certain nombre d’années, dû au souvenir de ce fléau.
FLEAU TROIS : LES MOUSTIQUES (Exode 8:12-15). Il n’est pas totalement certain de ce que les Hébreux voulaient dire par ce qui est traduit comme « moustiques ». La version du King James traduit le mot hébreu comme « pou », ce qui puisse aussi être possible. Certains ont suggéré que ce fut une invasion de mouches minuscules. Ayant souffert des moustiques dans le passé, je trouve que cela puisse être au moins une option croyable. Cela n’a pas vraiment d’importance ce que ça veuille dire exactement. Les moustiques envahirent à la fois les hommes et les animaux. Je peux presque imaginer les Egyptiens (et leurs animaux) se grattant constamment (ou allant à la chasse aux moustiques avec les chasse-mouches), essayant de trouver un peu de soulagement.
L’importance de ce fléau est que les magiciens d’Egypte furent incapables de produire ces moustiques, bien qu’ils aient essayé. C’était assez convaincant pour que les magiciens disent à Pharaon, « C’est le doigt de Dieu » (verset 15). Des autres endroits où cette même expression est utilisée (Exode 31:18 ; Deut. 9:10 ; Ps. 8:3 ; Luc 11:20), cela semble faire allusion au pouvoir de Dieu, intervenant directement dans les affaires des hommes. Néanmoins, le cœur de Pharaon était endurci, et il refusa d’écouter.
FLEAU QUATRE : LES MOUCHES VENIMEUSES (Exode 8:16-28). Avec ce fléau, la deuxième série des fléaux commença. Ici, une discrimination est faite entre les Egyptiens et les Israélites. Bien que nous ne puissions être certains de l’espèce exacte de mouches qui envahirent l’Egypte,120 nous serions probablement en droit d’assumer qu’elles étaient plus grosses et plus mauvaises que les moustiques envoyés précédemment sur les Egyptiens.
Les mouches furent si gênantes, que Pharaon fut d’accord pour négocier avec Moïse. Il offrit de laisser les Israélites partir pour aller vénérer leur Dieu, mais seulement s’ils allaient rester en Egypte (8:25). Quand Moïse refusa cette offre, Pharaon en proposa une autre où ils pourraient « aller dans le désert, mais pas trop loin » (8:28). La requête de Pharaon, « Priez pour moi » (v. 24), indique ses intérêts égoïstes. Moïse partit, mais avec l’avertissement qu’il ne devrait plus y avoir de déception de la part de Pharaon en ce qui concerne la promesse de laisser partir Israël. Mais quand les mouches disparurent, il en fut de même avec la motivation de Pharaon de laisser partir Israël.
FLEAU CINQ : LES EPIDEMIES DU BETAIL (Exode 9:1-7). Le cinquième fléau en fut un qui fut dirigé contre le bétail des Egyptiens, mais qui n’affecta pas les troupeaux des Israélites. Les spéculations quant à ce que la cause de la mort du bétail était est juste ça, des spéculations. Par des moyens mystérieux, Dieu anéantit pratiquement tous les troupeaux des Egyptiens. Puisque la richesse était largement mesurée en terme de troupeaux, cela fut un désastre économique. Les dieux de l’Egypte furent une fois de plus prouvés être sans vies et sans pouvoirs :
… Beaucoup d’animaux étaient sacrés, spécialement le taureau qui représentait le dieu Apis ou Râ, et la vache qui représentait Hathor, la déesse de la dance, de la musique et de la joie. Hathor était dépeinte en forme de femme avec une tête (ou quelques fois seulement les cornes) de vache. Et Khnoum était aussi un dieu-belier.121 http://bible.org/page.php?page_id=138
FLEAU SIX : LES ULCERES PURULENTS (Exode 9:8-12). Hannah écrit, « Les Egyptiens, craintivement conscients des épidémies, vénéraient Shesmetet, la déesse à tête de lionne avec des pouvoirs guérisseurs sur les maladies ; Sunu, le dieu de la pestilence ; Et Isis, déesse de la santé et créatrice de remèdes. »122 Il y a aussi une note humoristique ici. Les magiciens ne sont pas seulement incapables de débarrasser l’Egypte des ulcères purulents, ils sont eux-mêmes si tant affectés par ces derniers qu’ils ne peuvent même pas venir se tenir devant Moïse. L’expression, « guéris-toi toi-même ! » serait d’ordre ici.
FLEAU SEPT : LA GRELE123 (Exode 9:13-35). Le nom de ce fléau « la grêle » est à moitié correct. En réalité, le fléau fut la pire tempête dans toute l’histoire de l’Egypte (9:18). La mort et la destruction furent le résultat d’à la fois la grêle et les éclairs (v. 24).
Ce fléau commença la troisième et trilogie finale des fléaux. Les choses deviennent bien pires, et le récit de ces fléaux devient plus long et plus détaillé. Les derniers fléaux commencent avec l’avertissement qu’à moins que Pharaon ne relâche les Israélites, Dieu allait « déchainer toutes sortes de fléaux » contre Pharaon et l’Egypte (v. 14). Dieu aurait pu légitimement détruire toute l’Egypte d’un seul coup, mais Il ne l’a pas fait (v. 15). Maintenant si Pharaon persiste avec sa tête de mule, les choses vont devenir considérablement pires.
Dans le verset 16, Moïse explique pourquoi Dieu a permit que l’entêtement de Pharaon persiste. Dieu a élevé Pharaon dans le but d’endurcir son cœur et ainsi, pour Lui fournir l’occasion de manifester Son pouvoir aux hommes. Que Dieu soit libre de le faire est le point que Paul souligne dans le chapitre 9 de Romains, citant cette déclaration de Pharaon comme exemple.
FLEAU HUIT : LES SAUTERELLES (Exode 10:1-20). Le fléau précédent de la grêle avait détruit les cultures de lin et d’orge, mais celles du blé et de l’épeautre furent épargnés, parce qu’elles mûrissaient plus tard (9:31-32). Les sauterelles s’occuperaient des cultures de blé et d’épeautre.
Ce fléau donnerait, Dieu disait, aux Israélites de quoi raconter à leurs petits-enfants (10:2). Quand Moïse prédit l’invasion des sauterelles le jour suivant, les officiels de Pharaon plaidèrent avec le roi de laisser partir les Israélites (10:7). Le pays, ils protestèrent, était ruiné, alors pourquoi risquer plus de désastres ? Pharaon offrit de laisser partir les hommes, mais pas les femmes, puis il renvoya Moïse et Aaron (10:10-11).
Quand le fléau tomba sur l’Egypte, Pharaon confessa qu’il avait péché contre Dieu et contre les Israélites. Il demanda pardon à Moïse, et qu’il prie Dieu pour que le fléau arrête (10:16-17). Un vent fort d’ouest emporta les sauterelles dans la mer des Roseaux. Quand le fléau fut passé, Pharaon retourna à ses vieilles manières et n’a pas laissé partir les Israélites (10:20).
FLEAU NEUF : L’OBSCURITE (Exode 10:21-29). Le neuvième fléau fut celui d’une obscurité si intense qu’elle produisit une terreur dans les cœurs des Egyptiens. Pendant trois jours, les Egyptiens et les Israélites furent enfermer dans leurs maisons. Chez les Egyptiens, il semblait que leurs maisons étaient aussi dans le noir, mais chez les Israélites il y avait de la lumière (10:22-23). Certains ont suggéré que cette « obscurité » n’était qu’une obscurité partielle, créée par une tempête de sable. 124 Cela pourrait difficilement être le cas, car la noirceur qui est décrite ici est plus intense. Les trois jours d’obscurité ont dû avoir un impact émotionnel et psychologique énorme sur la nation toute entière. L’expérience a dû être un peu comme être aveugle pendant 3 jours, ce dont Saul avait fait l’expérience avant sa conversion (Actes 9:8-12).
Ce fléau de l’obscurité frappa fort les divinités égyptiennes :
Ce fléau visait une des principales divinités égyptiennes, le roi-soleil Râ, de qui Pharaon était une représentation. Râ était responsable pour fournir la lumière du jour, la chaleur, et la production. D’autres dieux, incluant Horus, étaient associés avec le soleil. Nout, la déesse du ciel, aurait été humiliée par ce fléau…125
Le neuvième fléau, comme le troisième et le sixième, tomba sur les Egyptiens sans avertissement, qui ne leurs aurait donné aucune opportunité de se préparer pour le désastre soit physiquement ou psychologiquement. La réponse de Pharaon au fléau était d’offrir de permettre aux Israélites de quitter l’Egypte pour aller vénérer leur Dieu, mais que le bétail devrait rester derrière (10:24). Quand cette offre fut rejetée, Pharaon avertit chaudement Moïse qu’il devait s’en aller, et que s’il revenait il serait tué. Moïse fut d’accord, mais il avait encore un fléau de plus à annoncer avant sa sortie finale de la présence de Pharaon. Le dixième fléau, il menaça, amènerait la libération des Israélites.
Le Point des Fléaux
Les fléaux sur les Egyptiens venaient de Dieu pour des raisons spécifiques. Revoyons brièvement ce qu’étaient ces raisons.
(1) Les fléaux étaient une accusation et un jugement des dieux d’Egypte.
« Je parcourrai l'Egypte cette nuit-là et je frapperai tout premier-né dans le pays, homme et bête, et j'exercerai ainsi mes jugements contre tous les dieux de l'Egypte; je suis l'Eternel. » (Exode 12:12 ; 18:11 ; Nombres 33:4 ; Ésaïe 19:1).126
Les Egyptiens devaient non seulement renoncer à leurs dieux, les reconnaissant comme faux dieux, mais les Israélites devaient faire ça aussi car ils les vénéraient aussi (Josué 24:14).
(2) Les fléaux étaient une démonstration de l’existence et du pouvoir de Dieu. Pharaon rejeta la requête de Moïse de laisser partir les Israélites trois jours dans le désert pour vénérer Dieu (Exode 5:1-2). Les fléaux étaient des objections aux réponses de Pharaon. Ils prouvèrent que seul le Dieu d’Israël était Seigneur.
« Les Egyptiens sauront ainsi que je suis l'Eternel, quand j'interviendrai en Egypte pour en faire sortir les Israélites. » (Exode 7:5 ; aussi 7:17 ; 8:10, 22 ; 9:14,16 ; 10:2).
(3) Les fléaux étaient des jugements sur Pharaon et les Egyptiens pour leur cruauté et dureté.
« Mais je punirai la nation qui les aura réduits en esclavage et ils quitteront le pays chargés de grandes richesses. » (Gen. 15:14)
(4) Les fléaux étaient le moyen de Dieu de forcer Pharaon à relâcher Israël d’Egypte.
« Je sais que le pharaon ne vous permettra pas de partir s'il n'y est pas contraint avec puissance[i].
C'est pourquoi j'interviendrai et je frapperai l'Egypte de toutes sortes de prodiges que j'accomplirai au milieu d'elle. Après cela, il vous renverra. » (Exode 3:19-20 ; 6 1 ; 7 4-5 ; 12 31,33,39 ; 13 3)
(5) Les fléaux étaient des prototypes, des exemples du jugement futur de Dieu. Les fléaux qui tombèrent sur les Egyptiens pour leurs péchés étaient comme ceux dont Israël ferait l’expérience, si cette nation désobéissait à la Loi que Dieu allait leur donner :
« L'Eternel vous affligera d'ulcères, comme les Egyptiens, d'hémorroïdes, de gale et de pustules incurables. » (Deut. 28:27)
Il y a aussi beaucoup de similarité entre les fléaux de l’Egypte et ceux décrits dans le Livre d’Apocalypse, qui sont déversés sur la terre dans les derniers jours, qui précédent le retour de notre Seigneur. Ainsi, dans le Livre d’Apocalypse nous trouvons les saints victorieux des tribulations chantant la « cantique de Moïse» (Apocalypse 15:3).
Conclusion
Comme nous commençons à examiner les principes que soulignent notre texte et leurs applications dans nos vies, laissez-moi vous avertir de ne pas assumer que toutes les calamités sont les résultats de nos péchés, et l’évidence du jugement de Dieu. L’adversité de Job, décrite dans le Livre de Job, n’était pas le résultat des péchés de Job, mais un moyen pour la croissance de Job dans sa marche avec Dieu. En plus, l’affliction de Job était un instrument d’enseignement pour Satan, qui ne pouvait pas comprendre pourquoi un saint continuerait à révérer Dieu quand ce ne lui était pas profitable.
Les fléaux de notre passage étaient le jugement de Dieu sur les Egyptiens, mais remarquez que Dieu les identifient clairement en tant que tels. Les Egyptiens n’avaient peut-être pas choisi de le croire, mais Dieu jugeait clairement les dieux de l’Egypte et ceux qui les révéraient. Quand le jugement de Dieu frappera les hommes, Il leur fera savoir ce qui se passe et pourquoi. Quand Dieu discipline un de Ses saints, Il est sûr que ce dernier sait ce qui se passe. Pas besoin de se creuser la tête, recherchant des péchés cachés, à l’attaque de chaque adversité et affliction. Quand Dieu nous corrige pour nos péchés, nous le saurons.
Quand Dieu punit les hommes pour leurs péchés, Il ne le fait pas en silence. S’Il est silencieux quand un saint souffre, c’est un test de notre foi, pas une évidence du jugement de Dieu.
Ce texte nous rappelle combien le péché est une chose sérieuse. Dieu prend les péchés de l’homme très au sérieux. La sévérité des fléaux mesure la sévérité des péchés des Egyptiens. Ce n’est pas seulement le péché des Egyptiens que Dieu abhorre, Il déteste nos péchés autant que ceux des païens. Les Chrétiens minimisent quelques fois les péchés dans leurs vies, et quand ils font cela, ils manquent de prendre notre texte au sérieux. Le péché est une affaire sérieuse.
C’est pourquoi Dieu avertit les Israélites du jugement qui les attend pour leur désobéissance (Deut. 28). C’est pourquoi Dieu voulait tuer Moïse quand il était en route pour l’Egypte (Exode 4:24).
Le sérieux avec lequel Dieu traite les péchés mesure aussi Sa sainteté. Souvent nous sommes horrifiés à la sévérité avec laquelle Dieu corrige les pécheurs. Quand nous pensons à Dieu comme étant dur en de telles instances, nous révélons seulement notre échec de reconnaître Sa sainteté et la gravité du péché. R. C. Sproul a récemment écrit un livre excellent intitulé, La Sainteté de Dieu, dans lequel il traite avec les textes de jugements difficiles du Vieux Testament. Je vous recommande hautement ce livre.
Si nous croyons que le jugement de Dieu sur les Egyptiens était sévère, laissez-moi vous rappeler quelques autres facteurs. Le premier est que Dieu jugea les dieux de l’Egypte plus qu’Il jugea les Egyptiens. Tout comme l’enfer est un endroit pour Satan et ses anges, le jugement ici était pour les dieux égyptiens. Mais ceux qui choisissent de vénérer ces dieux partageront leur jugement. Deuxièmement, le jugement de Dieu était prédestiné, je crois, à amener quelques Egyptiens à la foi du salut. Le fait que certains Egyptiens aient quitté l’Egypte avec les Israélites (Exode 12:38) donne de la crédibilité à cette possibilité. Troisièmement, le jugement de Dieu sur les Egyptiens était le moyen de libérer Ses gens d’un esclavage terrible. Finalement, le jugement de Dieu fut déversé sur Son propre fils sur la croix du Calvaire, pour que tous les hommes puissent être sauvés. La « sévérité » de Dieu fut étendue jusqu'à Son propre Fils. Finalement, il y a une alternative fournie par Dieu à souffrir des fléaux d’Egypte, et c’est de croire aux avertissements de Dieu et faire ce qu’Il commande. Le jugement de Dieu pouvait être évité par la foi et l’obéissance.
Le jugement de Dieu sur le péché est quelque chose que les religieux avec un zèle excessif cherchent à contredire. Le jugement n’est pas quelque chose que les hommes choisissent de croire, ni un sujet sur lequel les hommes aiment s’étendre. Dans le second épître, Pierre parle de faux professeurs qui nient la venue de notre Seigneur pour juger les hommes :
« Sachez tout d'abord que, dans les derniers jours, des moqueurs viendront, qui vivront au gré de leurs propres désirs. Ils tourneront votre foi en ridicule en disant:
«Eh bien, il a promis de venir, mais c'est pour quand? Nos ancêtres sont morts et depuis que le monde est monde, rien n'a changé!» » (2 Pierre 3:3-4)
Le jugement n’est pas un sujet populaire, et donc les fléaux de Dieu contre l’Egypte ne sont pas une lecture populaire. Mais c’est néanmoins un sujet dont nous devons tenir compte, car il est une part vitale de la révélation divine.
Ce passage nous rappelle le fait que le jugement de Dieu est une motivation forte. C’est une motivation forte pour l’évangélisme. C’était le désir de l’audience de Pierre dans Actes chapitre 2 d’éviter l’arrivée de la furie de Dieu qui les motivaient à aller vers la repentance et la foi. Le Saint Esprit déclare les hommes coupables de pécher, de droiture, et de jugement (Jean 16:8), amenant le pécheur à la foi en Christ. C’est aussi une sensibilisation du jugement qui va arriver de Dieu qui motive les Chrétiens à prêcher (2 Cor. 5:11) et à vivre des vies pures et saintes jusqu'à ce qu’Il vienne (2 Pierre 3:11-12).
Il vient juste de me sauter à la figure que le jugement de Dieu, comme Son salut, est une question qui doit être cru et appliquée par la foi. L’auteur du Psaume 73 regarde et sent que les malintentionnés ne souffrent pas pour les péchés, mais prospèrent, pendant que les justes semblent être ceux qui souffrent. En ce moment, il pourrait sembler que le péché est avantageux, pendant que les gens justes souffrent. Dans ces moments-là, nous devons nous rappeler que nous acceptons le fait du jugement futur de Dieu (comme nous le faisons avec Ses récompenses) par la foi. Ce n’est pas étonnant que si peu croyent en le jugement de Dieu ou vivent leurs vies comme si leur condamnation était une certitude.
Le Livre d’Apocalypse parle beaucoup de ce jugement futur, et ses descriptions rendent les fléaux du Livre d’Exode bien pâles. Il y a un temps de jugement qui va venir sur la terre qui sera comme rien que le monde n’a connu. C’est sûrement un temps qui devrait être évité. La solution est celle de la foi en la provision que Dieu a donnée – Son propre Fils, Jésus Christ, qui mourut à notre place, qui souffrit le jugement, pour que nous puissions être pardonnés.
LES FLEAUX
Niveau de Douleur : Malaise
Fléau Versets Avertissement Conditions/ Application aux Résultats /
Détails dieux Egyptiens Réponses
Le Nil tourne en sang 7:14-24 Pharaon quand il allait Le matin Apis, le dieu-taureau ; Les magiciens chercher de l’eau au Isis, déesse du Nil ; répliquèrent ;
fleuve le matin Khnoum, dieu-bélier du Pharaon refusa
Nil d’écouter
Grenouilles 7:25-29 Laisse partir Mon Heket, déesse de la Les magiciens
peuple, ou alors… naissance à tête de répliquèrent ; Moïse
grenouille prie pour éliminer
les grenouilles ;
Pharaon décide du
moment
Les moustiques 8:12-15 Aucun Seth, dieu du désert « C’est le doigt
de Dieu »
Niveau de Douleur : Destruction
Les Mouches venimeuses 8:16-27 Pharaon quand il allait « Le matin » Râ, dieu-soleil ; Moïse pria/
chercher de l’eau au une heure précise Uatchit, peut-être Pharaon
fleuve le matin Gochên excepté représentée par une marchanda : mouche « n’allez pas
loin »
Epidémie du 9:1-7 Si vous refusez… Excepté le bétail Hathor, déesse avec une Pharaon
Bétail d’Israël, le tête de vache ; Apis, le informe, pas
moment du fléau dieu-taureau (fertilité) de repentance
Ulcères purulents 9:8-12 Aucun Cendres d’un Shesmetet, déesse à Les magiciens
fourneau jetées pouvoirs guérisseurs ; malades, ne pouvaient
dans le vent Sunu, Dieu de la pas se tenir devant
pestilence Moïse. Pharaon
endurci.
Niveau de douleur : Terreur
La grêle 9:13-25 « Laisse partir Mon « Le matin » la Nout, la déesse du Certains officiels ont
peuple, ou alors… pire tempête de ciel ; Osiris, Dieu protégé leurs servants,
Fléaux au plus fort ! » l’histoire de l’ des moissons et des leur bétail. Gochên fut
Egypte. Moment fertilités ; Seth, exempté. Pharaon dit :
déterminé. Pro- dieu des tempêtes « J’ai péché - Nous
tégé le bétail. avons tort » Les cœurs des
officiels et de Pharaon sont
endurcis
Les sauterelles 10:1-20 « Laisse partir Mon Nout, la déesse du Les officiels plaident Peuple… Si tu ciel ; Osiris, Dieu pour la libération d’
refuse… » des moissons et des Israël avant le fléau.
fertilités Pharaon marchande,
« Les hommes seuls »,
« J’ai péché »
L’obscurité 10:21-29 Aucun Noirceur totale. Râ, dieu-soleil « Allez sans les
Lumiere dans les Nout, la deesse du troupeaux »
maisons d’Israel ciel ; Hathor, deesse « Allez-vous en »
du ciel « Ne revenez jamais »
109 K. A. Kitchen, “Moses,” The New Bible Dictionary, J. D. Douglas, ed. (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1962), p. 846.
110 Davis gives three categories. John J. Davis, Moses and the Gods of Egypt (Grand Rapids: Baker Book House, 1971), pp. 84-85.
111 “The element of miracle in these plagues is usually bound up with their intensity, timing, and duration. By far the most painstaking study of the plague phenomena is that by G. Hort in ZAW LXIX, 1957, pp. 84-1-3, and ZAW LXX, 1958, pp. 48-59. While her treatment of the first nine seems excellent, her attempt to explain the tenth as ‘firstfruits’ instead of firstborn is decidedly artificial and unlikely. Hort has pointed out that the first nine plagues form a logical and connected sequence, beginning with an abnormally high Nile-inundation occurring in the usual months of July and August and the series of plagues ending about March (Heb. Abib). In Egypt too high an inundation of the Nile was just as disastrous as too low a flood.” K. A. Kitchen, “Plagues of Egypt,” The New Bible Dictionary, J. D. Douglas, ed., (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1962), p. 1001.
112 R. Alan Cole, Exodus: An Introduction and Commentary (Downers Grove: InterVarsity Press, 1973). Cole seems to follow the same position as Kitchen, as cited above.
113 “This would correspond with the conditions brought about by an unusually high Nile. The higher the Nile-flood, the more earth it carries in suspension, especially of the finely-divided ‘red earth’ from the basins of the Blue Nile and Atbara. And the more earth carried, the redder became the Nile waters. Such an excessive inundation could further bring down with it microcosms known as flagellates and associated bacteria: besides heightening the blood-red colour of the water, these would create conditions so unfavourable for the fish that they would die in large numbers as recorded. Their decomposition would foul the water and cause a stench.” Kitchen, “Plagues of Egypt,” pp. 1001-1002.
“The heavy precipitation in Ethiopia and the Sudan which led to the extraordinary high Nile would also provide favourable conditions for a dense plague of locusts by about March. These, following the usual route, would in due course be blown into northern Egypt by the east wind; the ‘west wind,’ … is literally ‘sea-wind’, i.e. really a north (or north-west) wind, and this would blow the locusts right up the Nile valley.” Ibid, p. 1002.
114 Gispen, in my opinion, best handles the issue of the nature of the plagues. W. H. Gispen, Exodus, trans. by Ed van der Maas (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1982), pp. 84-85. Hannah also takes a conservative stance here. John Hannah, “Exodus,” The Bible Knowledge Commentary (Wheaton: Victor Books, 1985), p. 121.
115 Davis, p. 85.
116 Davis, pp. 81-84 for an overview of the various explanations.
117 “…since the Septuagint translates this word [enchantments (KJV); secret arts (RSV); witchcraft (Jerusalem Bible)] as pharmakeiais which means “sorcery, magic, or magical arts” (cf. Gal. 5:20), it may well be that the original root was the Hebrew lat … which means secrecy or mystery.” Davis, pp. 82-83.
The magical arts of the Egyptians included “… cursing (including killing); curing; erotic magic; agricultural (including weather); divination; and resurrection.” Barbara Mertz, Red Land, Black Land (New York: Dell Publishing Co., 1966), pp. 207-208, as cited by Davis, p. 82.
118 ANET, ‘Hymn to the Nile,” trans. by John A Wilson, p. 272, as cited by Davis, p. 91.
119 Hannah, “Exodus,” p. 121.
120 “These flies may have been the dog flies known for their painful bites. They may have represented Re, a prominent Egyptian deity. Or the flies may have been Ichneuman flies, who depicted the god Uatchit.” Hannah, “Exodus,” p. 122.
121 Hannah, “Exodus,” p. 123.
Some have asked, “If all the cattle died here, how, then, can we later (vss. 10; 20-21) read of other livestock which is killed in the thunderstorm?” Hannah (p. 113) suggests (1) hyperbole or (2) only all the animals in the field were killed. A better suggestion may be that the Egyptians purchased cattle from another country. To allow some time for the Egyptians to begin to recover from one disaster, only to lay them low again, is of much greater economic consequence.
122 Ibid.
123 “Nut, the sky goddess, was not able to forestall the storm; and Osiris, the god of crop fertility, could not maintain the crops in this hailstorm; nor could Set, the storm god, hold back this storm.” Ibid.
124 “This was a khamsin dust storm, but no ordinary one. The heavy inundation had brought down and deposited masses of ‘red earth,’ now dried out as a fine dust over the land. The effect of this when whirled up by a khamsin wind would be to make the air extraordinarily thick and dark, blotting out the light of the sun. The ‘three days’ of Ex. x. 23 is the known length of a khamsin. The intensity of the khamsin may suggest that it was early in the season, and would thus come in March. If the Israelites were dwelling in the region of Wadi Tumilat as their part of Goshen, they would miss the worst effects of this plague.” Kitchen, “Plagues of Egypt,” p. 1002.
125 Hannah, “Exodus,” p. 125.
126 Davis writes, “Unlike other rulers in the ancient Near East, the Egyptian Pharaoh did not merely rule for the gods, but he was in a literal sense one of the gods. His birth was a divine act. He was counted specifically as the child of certain deities and thus possessed the properties of deity. … In light of this observation it is not difficult to see why Pharaoh reacted as he did to the initial request of Moses and Aaron (Exod. 5:2). The king, as god, was to have sole rule over the people. … The plagues served to demonstrate the impotency of Pharaoh, both as a ruler and as a god. He was subject to the same frustrations and anxieties as the average man in Egypt during the period of the plagues. The fact that he called for Moses and Aaron rather than the wise men of Egypt during times of greatest distress attests to this fact.” Davis, pp. 89-90.
Kitchen adds, “In Ex. xii. 12 God speaks of executing judgments against all the gods of Egypt. In some measure He had already done so in the plagues, as Egypt’s gods were much bound up with the forces of nature. Ha`pi, the Nile-god of inundation, had brought not prosperity but ruin; the frogs, symbol of Heqit, a goddess of fruitfulness, had brought only disease and wasting; the hail, rain, and storm were the heralds of awesome events (as in the Pyramid Tests); and the light of the sun-god Re` was blotted out, to mention but of few of the deities affected.” Kitchen, “Plagues of Egypt,” p. 1003.
6. La Pâque et le Fléau des Premiers-nés (Exode 11:1-13:16)
Introduction
Cette semaine passée marqua le 40ème anniversaire du premier bombardement atomique d’Hiroshima. Beaucoup de cérémonies de commémoration furent célébrées, allant d’un service commémoratif pour ceux qui furent tués ou blessés, à des démonstrations protestant l’usage d’armes nucléaires. Soulignant la plupart de ces commémorations, il y eut une réaction à la tuerie des milliers de gens qui n’étaient pas personnellement impliqués dans les actions militaires du japon, incluant beaucoup de femmes et d’enfants.
Pas longtemps avant ça, il y avait eu une forte réaction à la visite de Président Reagan à un cimetière allemand, où quelques soldats nazis étaient enterrés. Beaucoup de monde ressentait qu’il était inapproprié pour notre Président de commémorer la mort de ceux qui étaient impliqués dans les meurtres de masses de Juifs, uniquement basés sur leur race. Là aussi, ceux qui furent tués n’étaient pas seulement des soldats, mais des civils, parmi lesquels nombreux étaient femmes et enfants.
C’est avec de telles protestations à l’esprit que nous devons chercher à interpréter et à appliquer le meurtre de chaque nouveau-né en Egypte, pas seulement des humains, mais des animaux aussi. Notre texte nous informe que le massacre (pas besoin d’utiliser un terme plus euphémique) était dirigé aux Egyptiens seulement, et sans égard pour leur statut social ou économique. Pendant que toutes les familles égyptiennes souffrirent des pertes (Exode 11:5 ; 12:29-30), toutes les maisons Israélites furent épargnées. La nation d’Israël n’a même pas entendu un chien aboyer contre un homme ou une bête (Exode 11:7).
Comment, certains demandent, peut-il être possible de justifier les actions de Dieu ici ? Non seulement des enfants innocents sont massacrés par Dieu, mais l’occasion est la base pour une célébration annuelle pour Israël, une qui doit être observée pour toujours (Exode 12:14, etc.). Pendant que la mort de Juifs et de Japonais innocents est protestée, dans notre texte, Dieu doit être loué, en partie sur la base du massacre des Egyptiens.
Dans notre étude de ce texte, nous allons essayer de faire face honnêtement à ces questions morales. Je dois dire au commencement que les Chrétiens sont obligés de louer et de vénérer Dieu, que nous comprenions Ses actions ou non, et cela parce que Dieu est libre d’agir comme Il veut. Néanmoins, les actions de Dieu ici (et actions similaires ailleurs) sont explicables. Ainsi, nous allons chercher à comprendre le sens et l’application du jugement de Dieu dans nos vies. C’est un Dieu sacré que nous servons, et ce texte nous rappellera ce fait en l’approchant avec révérence et sincérité. Que chacun d’entre nous demande à Dieu de préparer nos cœurs de recevoir sérieusement la leçon de cet incident !
La Structure du Passage
Dans les derniers versets du chapitre 10, Pharaon en colère demande que Moïse et Aaron quittent sa présence, les menaçant de mort s’ils réapparaissent devant lui (v. 28). Moïse dit à Pharaon qu’il a raison, qu’il ne le reverra jamais plus (v. 29). Puis dans le 4ème verset du chapitre 11, Moïse semble se présenter à nouveau devant le roi, en contradiction de l’ordre de Pharaon et de la réplique de Moïse. La solution de cette divergence apparente est d’observer comment ce texte (comme d’autres dans Exode) est structuré.
Plusieurs fois, le récit des évènements est interrompu par des phrases explicatives, qui servent à raconter « comment les évènements arrivèrent » qui sont décrits dans la narration. Dans le chapitre 11, les versets 1-3 et 9-10 sont des explications entre parenthèses.127 Ces phrases qui sont citées ont été dites préalablement aux évènements, mais sont sporadiques pour expliquer pourquoi les choses arrivent comme elles sont décrites. Ainsi, Moïse ne quitta pas Pharaon à la fin du chapitre 10 et retourna devant lui pour lui faire la déclaration des versets 4-8 du chapitre 11. Au lieu de ça, les versets 4-8 sont la réplique finale à Pharaon, faite immédiatement après sa demande que Moïse et Aaron partent. Les versets 1-3 sont cités avant la déclaration de Moïse à Pharaon que tous les premiers-nés d’Egypte seraient tués. Cela explique comment Moïse savait que c’était le dernier fléau, et pourquoi Pharaon rejetterait néanmoins l’avertissement. Cela nous informe aussi que Moïse n’avait rien à dire à Pharaon, excepté ce que Dieu lui avait commandé de dire. Les versets 9 et 10 sont aussi une explication entre parenthèses de pourquoi Pharaon refusa obstinément de tenir compte des avertissements des fléaux.
Dans les chapitres 12 et 13, il y a une alternance constante entre (en premier) les instructions que Dieu donna à Moïse, et les mêmes instructions que Moïse transmit au peuple. Il n’y a pas autant d’inquiétude pour l’ordre chronologique que pour poser une fondation historique et théologique pour l’ordonnance de la Pâque. Beaucoup d’efforts ont été faits pour établir le fait que la Pâque soit basée sur l’expérience d’Israël dans le temps et l’espace, et sur la révélation directe de Dieu, faite à et par Moïse. Le but de cette révélation dicte donc sa forme. Puisque le but n’est pas simplement une revue chronologique de l’Histoire, l’ordre chronologique est mis de coté en déférence pour l’explication théologique.
Rappelons-nous que quand nous en venons à la célébration de la Pâque et au fléau des premiers-nés, nous traitons maintenant avec le dixième et dernier fléau que Dieu a amené sur Pharaon et les Egyptiens. Ainsi, ce fléau fut le couronnement, si on peut dire, des fléaux. Le coup final des dix fléaux (il doit encore y avoir la noyade de l’armée égyptienne) qui poussera Pharaon à laisser partir les Israélites.
Le Fléau des Premiers-nés et la Première Pâque
Le dixième et dernier fléau est décrit en plusieurs phases. La première est l’annonce à Pharaon par Moïse que ce fléau va tomber sur toute l’Egypte. La deuxième est les instructions données aux Israélites en ce qui concerne la Pâque, qui est le moyen de Dieu de protéger Son peuple du fléau. Finalement, il y a un récit bref donné du fléau, juste comme Dieu l’avait raconté par Moïse.
La déclaration du jugement à Pharaon : La venue du fléau final (Exode 11:4-8). Comme je comprends la série d’évènements dans les chapitres 10 et 11, Pharaon vient d’exiger que Moïse s’en aille, et le prévient que s’il revient, la mort l’attendrait (10:28). Les versets 1-3 du chapitre 11 nous informent d’une révélation que Dieu avait faite à Moïse quelques temps auparavant, dans laquelle les détails du dernier fléau sont soulignés. Dans les versets 4-8, Moïse raconte l’essence de la révélation à Pharaon, comme cela le concerne. A minuit, Dieu parcourrait l’Egypte, tuant tous les premiers-nés, du propre fils de Pharaon au premier fils né du plus simple esclave. Aucun chagrin ne sera jamais plus grand pour les Egyptiens, et pourtant pas le moindre mal128 ne touchera les Israélites. Après ça, les officiels de Pharaon (qui ont dû être là avec Pharaon durant la confrontation) allèrent voir Moïse, le suppliant de partir, avec les Israélites. Pétant le feu, Moïse quitta de la cour de Pharaon.
La déclaration du jugement à Israël : Instructions concernant la Pâque (Exode 12:1-13,21-23). Le chapitre 12 peut être divisé en quatre grandes sections. (1) Les versets 1-20 contiennent les révélations que Dieu avait faites à Moïse et Aaron. (2) Les versets 21-30, la révélation que Moïse transmit aux Israélites. (3) Les versets 31-42 donnent une vue d’ensemble historique de l’exode, de l’ordre de s’en aller de Pharaon au récit du départ, montrant que les promesses de Dieu furent réalisées selon Son plan – au jour même. (4) Les versets 43-51 concluent avec plus d’instructions pour les Israélites concernant la célébration de la Pâque dans l’avenir, concentrant spécialement sur la participation des étrangers.
Puisque nous n’essaierons pas de couvrir tout le matériel contenu dans le chapitre 12 dans ce message, je veux montrer que la structure du chapitre lie les instructions données par Dieu à Moïse (versets 1-20) aux instructions de Dieu transmises par Moïse (versets 21-30). Dieu voulait que les Israélites (ainsi que les lecteurs du temps du Nouveau Testament) sachent que la fondation de la Pâque fut en accordance avec une révélation divine. Ce n’était pas une fête qu’Israël avait inventée, mais une que Dieu avait créee et très soigneusement prescrite.
Les instructions pour les célébrations de la première Pâque étaient spécifiques, et traitaient avec plusieurs aspects de la fête. Revoyons-les brièvement :
(1) Le temps du repas de Pâque. Un nouveau calendrier religieux fut donné à la nation à ce moment. Puisque la Pâque était le début d’une nouvelle vie, le mois (d’Abib129, 13:4) devait être regardé, à partir de ce moment, comme le premier mois de l’année (Exode 12:1-2). L’agneau de la Pâque devait être acheté ou choisi durant le 10ème jour du mois, et tué au crépuscule130 dans la soirée du 14ème.
(2) L’agneau pascal (12:3-8, 21-23). L’animal pascal devait être un mâle d’un an, soit un agneau ou un chevreau (12:5). Il devait y avoir un animal à sacrifier par foyer, à moins qu’une famille ne soit trop petite pour le consommer tout entier. Dans de telles circonstances, deux familles pouvaient le partager (12:4). Il devait y avoir assez de viande pour chaque personne. Le sang de l’animal devait être badigeonné sur les montants et le linteau des portes de la maison où l’animal devait être mangé (12:7). Ce sang devait servir de signe, qui protègerait les Israélites de l’ange de la mort (12:13,23).
(3) Le repas de la Pâque. Le repas de la Pâque était largement fourni par le sacrifice de la Pâque. L’animal devait être rôti au feu tout entier, pas bouilli, ni mangé saignant. Chaque foyer devait manger un repas à l’intérieur de la maison de laquelle la porte fut badigeonnée avec le sang de l’animal. La viande était mangée avec des herbes amères et du pain sans levain (12:8). Le trop de viande ne devait pas être garder jusqu’au lendemain, mais devait être brûlé (12:10). Il n’y aurait pas de « restes » pour le dîner car ils seraient partis depuis longtemps avant qu’un autre repas ne soit servi. C’est pourquoi le repas devait être mangé dans une atmosphère d’anticipation et d’être prêt à partir. Ils devaient manger le repas comme nous mangerions dans un restaurant de l’aéroport, sachant que le départ de notre vol allait être annoncé momentanément. De nos jours, nous aurions nos manteaux sur le dos, et nos porte-documents à la main. Dans ces jours, ils devaient avoir leurs manteaux remonter (pour qu’ils ne trébuchent pas sur eux en se dépêchant), leurs sandales aux pieds, et leurs bâtons en main (12:11).
(4) Les participants de la Pâque. La Pâque était une célébration de société en ça que tout Israël observait le repas, juste comme Moïse leur avait dit (12:28,50). D’un autre coté, le repas était une question de famille. Chaque famille était responsable pour leur propre animal à sacrifier, pour leur propre action de placer le sang sur les montants de la porte, et pour leur propre célébration du repas. Il n’y a aucune mention d’Egyptiens célébrants la première Pâque, bien que cela ait pu être possible, même vraisemblable. Cette possibilité est renforcée par le rapport que quelques Egyptiens avaient fait attention aux avertissements préalables (9:18-21). Aussi, dans les instructions que Dieu avait données concernant l’observance future de la Pâque, les étrangers qui s’étaient placés sous l’alliance avec Abraham (manifestée par la circoncision) furent acceptés avec aucunes discriminations faites entre eux et les (autres) Israélites (12:43-49). Ceux qui ne s’abstenaient pas de manger du pain avec du levain devaient être bannis de la congrégation d’Israël, qu’ils soient ou pas des Israélites par naissance (12:19).
Le récit du fléau de la Pâque (Exode 12:29-30). Il n’y a absolument aucun effet sensationnel ici, mais seulement le récit le plus superficiel de l’accomplissement de la Parole du Seigneur, raconté par Moïse. A minuit, les premiers-nés des Egyptiens furent tués, du roi d’Egypte jusqu’à ceux de ses troupeaux, du premier-né de Pharaon jusqu'à ceux des prisonniers. Les pleurs et gémissements cette nuit-là furent quelque chose qui n’avait jamais été entendus en Egypte. Au même moment, aucun des premiers-nés d’Israël, humains ou bêtes, ne furent frappés. Les promesses de Dieu, pour plaisir ou douleur, de prospérité ou de danger, sont certaines. Pas besoin d’élaborer.
La Pâque et ses Observances Cérémoniales
Le repas initial de Pâque était le premier de célébrations annuelles sans fins (12:14,17,24 ; 13:10). Les instructions concernant la célébration de la Pâque alternent entre le présent et le futur. Ce qu’Israël fit cette première fois fut un prototype pour toutes les observances futures de la Pâque. Nous allons donc maintenant considérer les futures implications de la première célébration de la Pâque, comme elles sont soulignées dans notre texte.
(1) La rédemption des premiers-nés (Exode 13:1-2,11-16). Les premiers-nés de tous les Egyptiens furent tués, pendant que ceux des Israélites furent épargnés. Nous devons reconnaître que Dieu avait le droit (tout comme Il l’a toujours) de tuer les premiers-nés d’Egypte. En fait, Il avait aussi le droit de tuer les premiers-nés d’Israël, ce qui aurait pu arriver s’il n’y avait pas eu la provision de l’agneau pascal et de l’épanchement de son sang. Pour cette raison, Dieu frappa les premiers-nés égyptiens et épargna les premiers-nés israélites. Parce que les vies des premiers-nés Israélites étant épargnées n’était pas une question de mérite, mais de grâce, ils appartenaient à Dieu. Puisqu’IL avait épargné leurs vies, Il les possédait. Le rite de racheter le premier-né est un rappel constant aux Israélites des générations suivantes que les premiers-nés appartiennent à Dieu, et que cela est dû au sauvetage des premiers-nés durant l’Exode. Donc, chaque fois qu’un enfant mâle naissait dans une famille israélite, les parents étaient rappelés de leurs racines et de la raison de leurs bénédictions, et l’histoire de l’exode était racontée à chaque enfant.
(2) La Fête des Pains Sans Levain (Exode 12:14-20 ; 13:3-10). Le premier repas de la Pâque devait consister d’un animal sacrifié rôti, d’herbes amères, et de pain sans levain (12:8). Le départ précipité des Israélites ne permettait pas d’attendre que la levure monte la pâte (12:34,39). La célébration de la Pâque devait commencer la Fête des Pains Sans Levain. Le premier jour de la fête, toute la levure devait être enlevée de la maison. Le premier et le dernier jour, une assemblée culturelle devait se réunir (12 :16). Pendant ces (deux) jours, aucun travail ne devait être performé, excepté cuisiner. Pendant les sept jours, il était interdit de manger du pain au levain. La semaine entière de célébration servait à Israël de se rappeler du jour où Dieu les sortit d’Egypte.
Les Buts des Célébrations de la Pâque (12:21-27,43-49)
Comme la Fête du Pain Sans Levain et la rédemption du premier-né, la Pâque devait devenir une part permanente de la liturgie religieuse d’Israël (12:24-25). Il y avait plusieurs buts pour la célébration de la Pâque, dont certains ne devaient être compris que plus tard. Nous étudierons brièvement les buts principaux de la Pâque.
(1) La Pâque était un mémorial à la libération d’Israël, accomplit par le pouvoir tout puissant de Dieu : « Cette fête sera pour vous comme un signe sur votre main et comme une marque sur votre front pour que la Loi de l'Eternel soit l'objet de vos conversations, car c'est lui qui vous a fait sortir d'Egypte par sa puissance. » (Exode 13:9 ; 13:14,16 ; 3:20)
(2) La Pâque et ses célébrations, la Fête du Pain Sans Levain et la rédemption du premier-né, avaient pour intention de servir de moyen éducatif pour les futures générations d’Israël (Exode 12:26-27; 13:8,14-16). Dieu ordonna que la raison de la célébration soit expliquée aux enfants (13:8). Et, quand un enfant demandait la raison d’une célébration, les parents devaient lui apprendre sa signification (12:26-27; 13:14). Ainsi Dieu désigna ces célébrations comme des opportunités pour instruire. Donc, l’histoire de l’exode devait être racontée, et son sens renforcé. Les « herbes amères » (12:8) aidaient certainement les enfants à gagner quelques stimulations sensorielles dans cet effort éducatif.
(3) Les célébrations de la Pâque étaient des moyens d’incorporer ou d’exclure les étrangers dans l’alliance de Dieu avec Abraham (Exode 12:38,43-49). Ceux qui mangeaient n’importe quoi fait avec de la levure pendant la semaine de la Fête du Pain Sans Levain devaient être exclus de la communauté d’Israël, que cette personne soit un Israélite ou un étranger (12:19). Aucune personne incirconcise ne pouvait prendre part à la Pâque, mais en étant circoncis – en s’identifiant comme faisant partie de l’alliance avec Abraham – même un étranger pouvait participer à la Pâque, avec aucune différence faite entre cet individuel et un Israélite. La circoncision permettait à quelqu’un de participer complètement à la célébration de la Pâque. La Pâque était donc une sorte de ligne de démarcation entre un vrai croyant et un étranger. Puisqu’un nombre d’étrangers accompagnaient les Israélites quand ils sont partis d’Egypte, c’était une distinction nécessaire.
(4) L’Agneau pascal était un modèle, un prototype (un genre) de Messie, l’ « Agneau de Dieu » par qui Dieu amènerait rédemption à Israël et aux étrangers (Exode 12:5-7,46-47). Ce n’est peut-être pas réalisé immédiatement, mais il y a plusieurs similarités entre l’agneau pascal et l’Agneau de Dieu, le Seigneur Jésus Christ. L’agneau sacrifié131 devait être sans défauts (Exode 12:5), tout comme le Seigneur Jésus Christ était pur (1 Pierre 1:19). Ce fut le sang versé de l’agneau qui sauva les premiers-nés d’Israël du fléau (Exode 12:12-13,22-23), tout comme c’est le sang versé par l’Agneau de Dieu qui sauve les hommes du jugement de Dieu (1 Pierre 1:18-19 ; Apocalypse 5:9). Tout comme il ne devait pas y avoir d’os brisés dans l’agneau pascal (Exode 12:46), aucun des os de notre Seigneur ne fut brisé (Jean 19:32-36). Ainsi, le prophète Esaïe, du Vieux Testament, pouvait parler du Sauveur d’Israël comme un agneau :
« Nous étions tous errants, pareils à des brebis,
chacun de nous allait par son propre chemin:
l’Eternel a fait retomber sur lui les fautes de nous tous.
L’a rappe, et il s’est humilié,
il n’a pas dit un mot.
Semblable à un agneau mené à l’abattoir,
tout comme la brebis muette devant ceux qui la tondent,
il n’a pas dit un mot. » (Ésaïe 53 :6-7)
La Pâque dans le Nouveau Testament (Jean 1:29,36 ; Luc 22:1 ; 1 Cor. 5:1-8 ; Apocalypse 5:6-14)
Jean-Baptiste put ainsi identifier et présenter notre Seigneur comme le Messie d’Israël par les paroles, « ---Voici l'Agneau de Dieu, celui qui enlève le péché du monde » (Jean 1:29).
Le repas de la Pâque fut naturellement changé en Eucharistie, la Table du Seigneur. Ainsi, dans les récits de l’Evangile, nous trouvons la mort de notre Sauveur correspondant aux sacrifices des agneaux pascals et du repas de la Pâque (Luc 22:1-23). Paul identifie clairement le Seigneur Jésus comme étant l’agneau pascal : « Car nous avons un agneau pascal qui a été sacrifié pour nous, le Christ lui-même » (1 Cor. 5:7). On peut voir que la première Pâque, ainsi que les commémorations annuelless suivantes de la Pâque, était un évènement de grande importance, un qui devait être célébré à partir de ce temps-là.
Conclusion
Ce que le fléau de la Pâque voulait dire pour les Egyptiens
La Pâque et le fléau des premiers-nés avaient plusieurs raisons pour les Egyptiens.
(1) La Pâque et le fléau des premiers-nés étaient une défaite des dieux d’Egypte :
« Je parcourrai l'Egypte cette nuit-là et je frapperai tout premier-né dans le pays, homme et bête, et j'exercerai ainsi mes jugements contre tous les dieux de l'Egypte; je suis l'Eternel. » (Exode 12:12).
Etant le dixième et dernier fléau, le châtiment des premiers-nés d’Egypte prouvait définitivement que les « dieux » d’Egypte n’avaient aucun pouvoir, étaient non-existants, alors que le Dieu d’Israël était tout puissant.
(2) La Pâque et le fléau des premiers-nés furent le coup final, qui força les Egyptiens à laisser partir les Israélites (Exode 3:20 ; 6:1 ; 11:1 ; 12:31-32). Après la mort des premiers-nés d’Egypte, les Egyptiens ne voulaient pas être rappelés de leur chagrin en regardant les Israélites. Ainsi, le fléau final amena les Egyptiens au point où ils, pratiquement, obligèrent les Israélites à partir. Le fléau accomplit précisément ce que Dieu avait l’intention de faire, et ce que Moïse demandait depuis le début.
(3) La Pâque et le fléau des premiers-nés furent une punition appropriée des Egyptiens pour leur oppression d’Israël (Gen. 15:14 ; Exode 1 & 2 ; 7:14). Dieu avait dit à Abraham que le pays oppresseur (que nous savons maintenant est l’Egypte) qui mettrait Israël en esclavage serait puni (Gen. 15:14). Le fléau des premiers-nés était excessivement approprié puisque les Egyptiens cherchaient à tuer tous les bébés mâles des Israélites (Exode 1:22).
(4) La Pâque et le fléau des premiers-nés furent un acte de grâce, autant qu’un acte de jugement. Je crois qu’on peut voir la grâce dans ce fléau final (comme dans les autres), pas seulement envers les Israélites, mais aussi envers les Egyptiens. Les fléaux révèlent l’impuissance des dieux d’Egypte, et la puissance du Dieu d’Israël. Pendant que le récit ne fut pas écrit pour souligner la conversion des Egyptiens (l’accent du récit est placé sur le jugement de l’Egypte, spécialement ses dieux), je pense qu’il y a amples évidences suggérant que quelques Egyptiens furent convertis à la vraie foi du Dieu d’Israël.
(5) La Pâque et le fléau des premiers-nés furent une occasion pour Dieu de manifester Son immense pouvoir :
« Mais voici pourquoi je t'ai laissé en vie: c'est pour te faire voir ma puissance et pour que ma renommée se répande par toute la terre. » (Exode 9:16).
Que vous soyez d’accord ou pas, Dieu est le Créateur de l’univers (en général) et de l’homme (en particulier). En tant que Créateur de l’homme, Dieu est absolument justifié de traiter Sa création comme Il veut (Romains 9). Quand le caractère coupable de l’homme est ajouté à son état de créature, la furie de Dieu est encore plus clairement vue être justifiée.
Ce que la Pâque voulait dire pour les Israélites
La Pâque et le fléau final avaient aussi beaucoup d’importance pour les Israélites.
(1) La Pâque et le dixième fléau servirent de jugement pour les dieux d’Egypte, qui étaient aussi adorés par les Israélites en Egypte (Josué 24:14). Parce que les Israélites vénéraient aussi les dieux d’Egypte, le jugement de ces dieux causèrent le peuple de Dieu de se détourner de leur faux culte, du moins pour un temps. Les débarrasser complètement et pour toujours de leur faux culte était une opération qui prendrait beaucoup plus longtemps, mais c’était au moins un début.
(2) La Pâque était pour Israël une manifestation du pouvoir de Dieu. Une des phrases les plus communément employées en conjonction avec la Pâque est « par sa puissance » (Exode 13:9,14,16 ; 15:6,12 ; 16:3). Le pouvoir de Dieu fut manifesté par la Pâque et les fléaux.
(3) La Pâque et le fléau des premiers-nés étaient la preuve qu’Israël appartenait à Dieu. Quand Moïse parla à Pharaon à propos des Israélites, il dit, « Laisse aller Mon fils pour qu'il Me rende un culte » (Exode 4:23). Le fait que Dieu ait déclaré posséder les premiers-nés, pour qu’ils puissent être rachetés (13:1-2 ; 11-16), prouve le titre de propriété de Dieu sur Israël. Quand Dieu libéra les Israélites, Il le fit pour qu’ils deviennent Ses serviteurs. Comme nous allons voir plus tard, le don de la Loi sur le Mt. Sinaï était basé sur les évènements de l’exode (Deut. 5:6). Les premiers-nés d’Israël appartenaient donc à Dieu, résultat de la Pâque, et Israël tout entier, résultat de l’exode. Israël appartenait à Dieu. Tous les commandements et les exigences que Dieu plaça sur les Israélites étaient basés sur le fait qu’ils étaient un peuple qui Lui appartenait.
(4) La Pâque était une autre preuve de la grâce de Dieu dans les vies de Son peuple. Les premiers-nés d’Israël ne furent pas épargnés parce qu’ils étaient plus dignes ou plus vertueux que les Egyptiens. Comme les Egyptiens, les Israélites étaient des pécheurs, méritant totalement la furie divine. Si Israël avait été digne, il n’y aurait pas eu besoin du sacrifice de l’agneau pascal, dont le sang fut appliqué sur les montants des portes. Les premiers-nés d’Israël furent seulement épargnés par la grâce de Dieu. La provision de Dieu d’un moyen d’échapper était basée sur Sa grâce, pas sur les mérites d’Israël.
Ce que la Pâque veut dire pour les femmes et les hommes non-croyants aujourd’hui
Il n’y a pas d’exemples plus clairs de salut par la grâce dans le Vieux Testament que la Pâque que nous venons juste d’étudier. Chaque personne en Egypte, israélite ou égyptienne, était digne du jugement divin de Dieu. La raison pour laquelle les hommes trouvent le jugement du châtiment des premiers-nés si difficile à justifier est qu’ils ne réalisent pas le sérieux de leurs péchés. J’ai entendu une petite partie d’un programme de télévision l’autre jour où une jeune femme demandait, « Dois-je souffrir le reste de ma vie pour une toute petite indiscrétion ? » Quelle qu’était son « indiscrétion », j’imagine qu’elle serait mieux décrite comme « péché ». Alors, la réponse à sa question devrait être, « Même pour un péché, Dieu est juste de vous condamner, pas pour un temps, mais pour toute l’éternité. » La raison pour laquelle nous avons tant de difficultés avec le sujet de jugement est que nous ne comprenons pas l’immensité de nos péchés. La force avec laquelle les premiers-nés d’Egypte furent frappés devrait nous causer de repenser le sujet du péché.
Notre attitude envers le péché est beaucoup formée par nos propres perspectives et nos expériences. Les ivrognes sont des gens de qui nous pouvons rire, jusqu'à ce qu’ils prennent le volant et tuent un membre de notre famille. Les contrevenants sexuels sont des gens qui ont simplement des orientations ou préférences sexuelles différentes, jusqu'à ce qu’ils molestent quelqu’un qui nous est proche. De même, le culte d’idolâtrie ne semble pas être très sérieux, jusqu'à ce que nous regardions ce mal du point de vue de Dieu. Ignorer Dieu ne semble pas être si sérieux, jusqu'à ce nous comprenions l’importance de Le croire et de Lui obéir.
Une fois que nous réalisons le sérieux du péché, nous devons nous concentrer sur la solution. Tout comme les premiers-nés étaient dignes du jugement divin, et sous son danger, la solution de Dieu doit être crue et suivie. La protection divinement fournie par l’ange de la mort était le sacrifice d’un agneau, dont le sang fut appliqué sur les montants des portes. Tous ceux qui restèrent à l’intérieur des maisons qui avaient le sang de l’agneau sur les montants de leurs portes furent épargnés.
Tout comme les premiers-nés d’Egypte furent en danger d’être frappés par l’ange de la mort, les hommes, femmes, et enfants sont en danger d’atterrir en Enfer pour l’éternité, souffrant la furie éternelle de Dieu (Apocalypse 20:11-15). La solution du problème est une fois encore un Agneau, l’Agneau de Dieu, Jésus Christ, qui a prit nos péchés sur Lui. Il mourut pour nos péchés ; Il prit sur Lui-même la furie de Dieu, pour que les hommes puissent y échapper et puissent recevoir Ses bénédictions promises (Ésaïe 53). C’est ma prière que vous, à ce moment même, acceptiez le salut que Dieu vous offre par le sacrifice de Son Fils, Qui a été élevé de la mort et Qui reviendra sur la terre pour exécuter le jugement sur tous ceux qui ont rejeté Son sacrifice (2 Thes. 1). L’offre de salut est mise sur la table.
Ce que la Pâque veut dire pour les Chrétiens
Le Nouveau Testament enseigne un nombre d’applications pratiques de la Pâque pour les Chrétiens contemporains. Permettez-moi de décrire les grandes lignes de quelques-unes.
(1) Parce que Christ est notre Agneau pascal, nous appartenons à Dieu. Les premiers-nés d’Israël ont dû être rachetés parce que Dieu les avait épargnés, et ainsi ils Lui appartenaient. Bien que seuls quelques-uns de ces Israélites qui étaient en Egypte étaient des premiers-nés, et donc avaient besoin d’être rachetés, nous tous qui croyons en Christ Lui appartenons. Chacun des enfants de Dieu appartient à Dieu, et doit vivre dans la lumière de Lui appartenir.
« Vous ne vous appartenez donc pas à vous-mêmes.
Car vous avez été rachetés à grand prix. Honorez donc Dieu dans votre corps » (1 Cor. 6:16-20).
« C'est à un grand prix que vous avez été rachetés! Alors, ne devenez pas esclaves des hommes. » (1 Cor. 7:23)
Puisque les premiers-nés des Israélites appartenaient à Dieu, ils devaient les sacrifier (dans le cas d’un animal, excepté pour l’âne, 13:13) ou (dans le cas d’un fils) offrir un sacrifice pour les racheter. Parce que Dieu nous a épargnés de Sa furie par Sa grâce, nous devons nous offrir comme un sacrifice vivant :
« Je vous invite donc, frères, à cause de cette immense bonté de Dieu, à lui offrir votre corps comme un sacrifice vivant, saint et qui plaise à Dieu. Ce sera là de votre part un culte spirituel. » (Rom. 12:1)
Parce que les Chrétiens ont été rachetés par l’Agneau de Dieu, ils n’appartiennent pas à eux-mêmes, et ils doivent donc vivre leurs vies en sacrifice vivant pour Dieu. J’ai bien peur que beaucoup de présentations de l’Evangile n’informent pas les gens de ça quand ils acceptent la foi en Christ, qu’ils cessent de s’appartenir, et qu’ils deviennent la possession du Christ. En fait, tous les hommes appartiennent à Dieu par vertu de la création, et tous les Chrétiens appartiennent (doublement) à Dieu par vertu de la rédemption. Nous ne pouvons pas vivre nos vies indépendamment, autonomes, en tant que Chrétiens, mais nous devons les vivre comme ceux qui ont été achetés à grand prix, comme ceux qui appartiennent à Dieu. Tout comme la revendication de Dieu sur les Israélites fut épelée dans la Loi, donnée un peu plus tard dans l’Histoire d’Israël, les revendications de Dieu sur nos vies, en tant que croyants, nous sont données dans les Ecritures. Faisons bien attention à Ses commandements car nous Lui appartenons.
(2) Parce que Christ est notre Agneau pascal, nous devons vivre nos vies dans la pureté, dans une vie sainte. Dans la première épître de Paul aux Corinthiens, nous lisons,
« Faites donc disparaître tout «vieux levain» du milieu de vous afin que vous soyez comme «une pâte toute nouvelle», puisque, en fait, vous êtes «sans levain». Car nous avons un agneau pascal qui a été sacrifié pour nous, le Christ lui-même.
C'est pourquoi célébrons la fête de la Pâque, non plus avec le «vieux levain», le levain du mal et de la méchanceté, mais uniquement avec les pains sans levain de la pureté et de la vérité. » (1 Cor. 5:6-8)
Dans le contexte de ce chapitre dans 1er Corinthiens, Paul parlait d’un Chrétien qui vivait avec la femme de son père (5:1). Les Corinthiens n’avaient rien fait pour corriger la situation, et semblaient même être fiers de leur libéralité sur ce sujet (5:2). Paul leur dit qu’il avait déjà agi (5:3-4), et qu’ils devraient faire de même, en expulsant cet homme de l’assemblee.
Le principe sur lequel Paul base son instruction est celui de la relation entre le sacrifice de l’agneau pascal et l’observation de la Fête du Pain Sans Levain. Le sacrifice de l’agneau pascal commença la Fête du Pain Sans Levain. Puisque Christ est notre agneau pascal, et Qu’Il a déjà été sacrifié, les Corinthiens devraient commencer la Fête du Pain Sans Levain, cherchant la levure (un symbole de péché) qui était dans leurs maisons et en s’en debarassant (5:7-8). Ainsi, le fait que Christ soit notre Agneau pascal nécessite que nous maintenions la pureté dans nos vies autant que dans l’église.
(3) La Pâque nous apprend le rôle important joué par les cérémonies religieuses (la liturgie, si vous préférez) dans l’expérience des Chrétiens. Par l’observance annuelle de la Pâque et de la Fête du Pain Sans Levain, Dieu non seulement rappelait à Son peuple Ses actions puissantes du passé, mais aussi les instruisait concernant l’avenir. L’institution de la table du Seigneur (« la communion ») sert le même but. L’observance de la table du Seigneur rappelle aux Chrétiens le salut que notre Seigneur accomplit par Sa mort, Sa mise au tombeau, et Sa résurrection (Luc 22:14-22 ; 1 Cor. 11:17-34). Malheureusement, les Chrétiens en sont arrivés à prendre le souvenir de notre Seigneur à la légère, et ne le font que rarement, et encore comme un genre de parenthèses dans un autre service. Apprenons à valoir et à pratiquer ces temps de souvenir et d’anticipation que Dieu a établis et nous a ordonnés de faire.
Tout comme les célébrations de la Pâque (incluant la rédemption des premiers-nés et la Fête du Pain Sans Levain) fournissaient une opportunité d’instruire les enfants concernant le travail de Dieu dans le passé et leurs rapports sur le présent, la table du Seigneur et le baptême nous fournissent des opportunités éducatives que nous n’osons pas négliger.
(4) La Pâque (Passion) de notre Seigneur est un modèle pour les Chrétiens concernant la souffrance. Pendant qu’il est vrai que les Egyptiens ont souffert pour leurs péchés par le fléau des premiers-nés (et aussi par les autres fléaux), nous ne devons pas négliger la souffrance des Israélites durant les 400 ans d’oppression, et même durant les jours qui ont immédiatement précédé l’exode. Certains Chrétiens croient que souffrir ne fait pas partie l’expérience de quelqu’un qui croit en le Seigneur et Lui est obéissant. C’est totalement faux. A la fin, ce n’était pas ces agneaux pascals qui avaient épargné les premiers-nés Israélites, c’était la souffrance et la mort de l’Agneau de Dieu, qui mourut pour tous ceux qui croiraient. La Pâque nécessitait la souffrance du Fils de Dieu. Le montant de ce qu’Il a souffert ne peut être estimé qu’en relation avec la sainteté de Dieu et l’horreur que notre Seigneur éprouva dans le Jardin de Gethsémané quand Il pressentit la croix.
Dans la première épître de Pierre, l’apôtre informe les Chrétiens qui souffrent que la passion, la souffrance du Seigneur Jésus, l’Agneau de Dieu, était un modèle pour la souffrance des saints (1 Pierre 2:16-24). Le Seigneur Jésus, l’Agneau de Dieu, est le modèle pour la souffrance chrétienne, et la façon dont elle doit être traitée.
Paul parle aussi de notre souffrance en termes de « la Pâque ». Dans le 8ème chapitre de son épître aux Romains, Paul parle de la victoire que les Chrétiens peuvent avoir dans la souffrance (8:31-35). Il cite ce passage de Psaume 44 pour montrer que nous, comme Christ, somme appelés à souffrir comme des « moutons » :
«A cause de toi, Seigneur, nous sommes exposés à la mort à longueur de jour.
On nous considère comme des moutons destinés à l'abattoir. » (Romains 8:36)
Dans le contexte du Psaume 44, duquel la citation est prise, nous apprenons que ces saints qui souffrirent de la façon décrite ci-dessus, étaient ceux qui étaient fidèles à Dieu, pas ceux qui étaient désobéissants. L’agneau pascal est donc un modèle pour les saints, nous montrant que la souffrance innocente fait souvent partie de la volonté de Dieu pour les vertueux et que par la souffrance des saints, les desseins de Dieu seront accomplis.
Ne laissons personne chercher à souffrir de cette façon, mais ne laissons personne oser suggérer que la souffrance dans la vie des saints est inappropriée, le résultat de soit le péché, soit de l’incrédulité. La souffrance de l’agneau pascal est le modèle à suivre pour les saints quand ils souffrent.
127 The NIV takes these verses as parenthetical and indicates so by rendering the text as a past perfect, rather than as a simple past tense. Thus, verses 1 and 9 of chapter 11 begin, “the Lord had said to Moses…”
128 “This is expressed by a proverbial saying, ‘A dog would not move his tongue against man or beast’ (v. 7). The word which is translated ‘move’ … literally means ‘to cut into,’ ‘to sharpen,’ or ‘to bring to a point.’ The allusion here is to the fact that none would bring injury to Israel (cf. Josh. 10:21).” John J. Davis, Moses and the Gods of Egypt (Grand Rapids: Baker Book House, 1971), p. 136.
129 “Another name for this first month of the sacred calendar is Abib (Exod. 13:4; 23:15; 34:18; Deut. 16:1) which literally means ‘ear-month’ because it was at that time that the grain was in the ear. The month of Abib approximates to our month of April. After the Babylonian captivity, new calendar names were adopted and the ancient name Abib was changed to Nisan (cf. Neh. 2:1; Esth. 3:7). From this time onward two calendar reckonings were employed by the Israélites: one for sacred and the other for civil purposes, the first month of each year being in the seventh month of the other though the numbers always from Nisan as the first.” Davis, p. 137.
130 There is considerable discussion and disagreement over the precise time at which the Passover sacrifice was to be slain. It may not be possible to determine with any degree of certainty, nor is it necessary that we do so. For a survey of the different views, cf. Davis, pp. 138-139.
131 We use the term “lamb” aware that the sacrificial animal could have been either a lamb or a goat (Exod. 12:5), but since our Lord was referred to as “the Lamb,” I have chosen to speak of the sacrificial animal as a lamb.
7. La Mer Rouge : La Délivrance d’Israël & la Défaite de l’Egypte (Exode 13:17-14:31)
Introduction
Dr James Dobson a récemment partagé quelques-unes des lettres qu’il a reçues de ses auditeurs concernant les choses marrantes arrivées à leur famille. Il y a une histoire qui est à la fois amusante et pertinente à notre leçon. Je vais raconter l’histoire du mieux que je peux:
Cette famille vivait dans le Nord-est des Etats-Unis. Durant une période amèrement froide de l’hiver, leur voiture était devenue particulièrement sale avec le sel sur les routes, neige fondue congelée et autres dépôts hivernaux. Conscients de la condition de leur voiture, cette famille était en route quand ils virent quelque chose de bizarre. De l’eau jaillissait en l’air d’un tuyau brisé en dessous de la route. Des employés du service des routes venaient d’arriver et se préparaient à réparer le problème. Simultanément, la famille conclut que c’était l’occasion parfaite pour laver la voiture. Ils arrêtèrent la voiture sous la douche d’eau. Les employés du service des routes regardèrent, amusés, se posant des questions.
Puisqu’il faisait amèrement froid, la famille resta dans la voiture laissant le moteur tourner ainsi que le chauffage. Peu de temps après, une odeur infecte commença à dominer. C’est à peu près à ce moment que la famille remarqua que l’eau qui s’écoulait sur le pare-brise n’était pas claire, pas claire du tout. Finalement ils comprirent le problème – ils n’étaient pas garés sous une douche d’eau d’irrigation, ils étaient garés sous une douche d’eau d’une canalisation d’égout cassée. Rapidement, ils partirent avec la chose infecte gelée sur leur voiture par les températures frigides de cette journée.
Les choses ne marchent pas toujours comme on veut. On peut surement dire ça à propos des soldats Egyptiens, qui poursuivaient les Israélites dans le désert égyptien. Ils partirent précipitamment, pensant qu’il ne faudrait pas longtemps pour rassembler et ramener les Israélites en Egypte. Pleins de confiance, ils les poursuivirent jusqu’au milieu de la Mer Rouge, pour découvrir, trop tard, que Dieu combattait pour Israël et contre eux. En dépit de leurs meilleurs efforts pour s’échapper, l’armée entière fut décimée ce jour-là, noyée dans la Mer Rouge.
Israël traversant la Mer Rouge est un des moments les plus excitant enregistré dans le Vieux Testament. C’était un évènement de grande importance pour la nation. Il débarrassa les Israélites, une fois pour toute, de la domination de Pharaon. Cela les relâcha aussi de l’obligation de retourner en Egypte, après voyageant pendant trois jours dans le désert pour vénérer Dieu. C’était en fait, la naissance de la nation Israël.
Pendant que cette histoire est un récit excitant de l’évasion d’Israël, c’est aussi un récit fantastique de la destruction de l’armée égyptienne qui les poursuivait. Dans notre prochaine leçon, nous nous concentrerons plus sur la délivrance de la nation Israël, mais dans cette étude nous allons concentrer notre attention sur la destruction de l’armée égyptienne qui les poursuivit dans la mer. C’est un des récits éclatant du jugement de dieu que nous n’osons pas négliger. Considérons donc la destruction des ennemis de Dieu.
Planifier le Voyage d’Israël (13:17-22)
La structure des versets 17-22 est un indice important pour notre compréhension de ce passage. Je suis d’accord avec Gispen132 que les versets 17-19 sont explicatifs, et que le verset 20 commence la description des mouvements d’Israël quittant l’Egypte et commençant le voyage vers Canaan. Le verset 20 ne décrit donc pas un changement de direction, mais commence de décrire la direction qui était le résultat du dessein de Dieu pour Israël, étant souligné dans les versets 17-18.
Il y avait trois routes de terre possibles qu’Israël pouvait prendre, par lesquelles ils auraient pu arriver à Canaan.133 La route la plus courte aurait été de suivre « la route du pays des Philistins » (v. 17),134 mais Dieu évita délibérément cette route. La raison donnée fut qu’ils auraient eu de gros problèmes et que cela leur auraient causé de vouloir retourner en Egypte (v. 17).
Il n’est pas certain avec qui les Israélites auraient dû se battre. Certains rejettent la possibilité qu’ils auraient dû combattre les Philistins parce qu’ils ont conclu que les Philistins n’étaient pas encore installés à Canaan en nombre suffisant.135 Je suis enclin à penser que c’est une guerre avec les Philistins dont Moïse parle ici.136 Pendant que les Egyptiens avaient des garnisons stratégiquement localisées le long des routes allant vers les autres pays, les Israélites avaient reçu la permission de Pharaon de partir d’Egypte. A part ça, Israël avait, en fait, déjà confronter l’armée égyptienne à la Mer Rouge.
Il peut sembler étrange que Dieu veuille éviter une confrontation militaire quand il est dit dans le verset 18 (et aussi Exode 6:26 ; 12:41) que les Israélites étaient « prêts à se battre ». L’expression utilisée ici, a été comprise vouloir dire seulement que les Israélites (près de 2 millions de gens, comptant femmes et enfant, Exode 12:37) partirent d’Egypte d’une manière ordonnée. 137 D’autres ont compris que les Israélites sont sortis d’Egypte au moins partiellement armés, mais tout le monde semble agréer qu’Israël n’était pas du tout prêts à combattre une bataille à grande échelle à cette période.138 Ils ne seraient pas prêts pour la guerre pendant quelques temps encore. A cette période, tout ce qu’Israël avait besoin de faire était de rester calme (14:14).
Une notation est faite du fait que les « ossements de Joseph » furent emmenés avec eux. C’était une réflexion de la foi de Joseph, and l’exécution de ses instructions que ses os soient préservés et emmenés d’Egypte à Canaan (Gen. 49:26 ; 50:24-26). La réalisation de la requête de Joseph est enregistrée dans Josué 24:32. Etienne fait aussi référence à cela dans Actes 7:15-16. L’Exode d’Israël est donc historiquement lié à l’alliance avec Abraham et à la foi des patriarches d’Israël.
Bien que l’auteur nous donne les noms des endroits où les Israélites se sont arrêtés,139 les locations exactes de ces endroits sont simplement inconnues.140 Au mieux, on peut seulement supposer leurs locations, et même sur ça, les savants ne sont pas d’accord. En général, nous pouvons conclure sans risque que la nation voyageait dans la direction Sud-est. Le désert que les Israélites contournaient n’était pas le désert du Sinaï, mais d’Egypte.141
Les versets 21 et 22 décrivent un des moyens principaux que Dieu utilise pour diriger le peuple dans leur voyage. Un nuage en forme de colonne, dans laquelle Dieu était présent (14:24), servait à guider les gens à la fois le jour et la nuit.142 Pendant la journée, la colonne était une colonne de nuée ; et la nuit elle devenait une colonne de feu, ainsi visible par tous, fournissant de la lumière au peuple qui était toujours en mouvement (par exemple, la nuit les vipères étaient actives). Plus tard, cette colonne servirait de tampon protecteur quand elle se placerait entre les Israélites et les Egyptiens (14:19-20). Il y a eu un bon nombre d’explications naturelles pour cette colonne, mais leur seule valeur est pour notre divertissement.143
La chose importante à observer, je crois, est que Dieu était fidèle de fournir aux Israélites une manifestation visible de Sa présence, de Sa protection, et de Son guidage. La colonne, on nous dit, était constamment avec eux et ne les quitta jamais. Dieu donne continuellement à Son peuple des preuves de Sa présence avec eux.
Israël Change de Direction (14:1-4)
Avec la colonne pour guider les Israélites, on peut se demander pourquoi il fut nécessaire pour Dieu de parler à Moïse concernant le guidage du peuple dans les versets 1-4 du chapitre 14. Il y a une très bonne raison, je crois. Moïse était prêt à amener un « changement de direction » pour les Israélites, un qui rendrait grandement perplexe le peuple sans explication. Les Israélites furent instruits de « retourner » et de camper près de Pi-Hahiroth, entre Migdol et la mer.144
Si la colonne de nuée avait changé de direction sans un mot de Dieu, le peuple aurait pu être enclin à la négliger. Ils auraient pu penser que la colonne avait besoin de réparation. Il y a plusieurs raisons pour cela.
Les instructions de Dieu étaient nécessaires pour rassurer les Israélites que la nouvelle direction que la colonne prendrait était correcte, bien que bizarre.
Premièrement, les Israélites devaient « faire demi-tour », ça veut dire, retourner sur leurs pas. Pourquoi feraient-ils demi-tour ? Au lieu de fuir Pharaon, cela pourrait dire qu’ils voulaient qu’il les rattrape. Deuxièmement, la direction qu’ils allaient prendre en était une qui les placerait dans une position très dangereuse.
A travers Moïse, Dieu ordonna un changement de direction qui pour beaucoup d’Israélites a dû sembler étrange et en fait risqué, car leur direction était de tourner vers le Sud-ouest, et qui dans très peu de temps, placerait une grosse flaque d’eau entre eux et la péninsule du Sinaï à l’Est.145
Pas besoin d’être un génie militaire pour voir que ce que les Israélites faisaient était de se mettre dans une position très vulnérable, piégés entre des barrières naturelles. Si Pharaon les poursuivait, ils seraient dans la mouise jusqu’au cou. Dieu expliqua par Moïse que ce changement de direction avait en fait pour intention d’encourager la poursuite de Pharaon. Pharaon, Dieu savait, penserait que les Israélites étaient misérablement égarrés, et que les ramener au bercail serait aussi facile que de « prendre une sucette à un bébé ».146 L’attaque de Pharaon résulterait en sa défaite, et à la gloire de Dieu (v. 4).
Le Changement d’esprit de Pharaon (14:5-9)
D’après ce qu’on nous dit dans ces versets, Pharaon était prêt à recevoir n’importe quel signe d’espoir qu’il allait récupérer ses esclaves qu’il avait libérés. Peu de temps après le départ des Israélites, Pharaon et ses officiels regrettèrent d’avoir libéré cette ressource économique de grande valeur – les esclaves (v. 5). Pharaon rassembla sa division entière de chariots et s’élança après eux, six cents chariots (avec 2 ou au plus 3 hommes par chariot) sembleraient difficilement égaler les 600,000 hommes israélites.
Le changement de direction des Israélites sembla jouer le jeu de Pharaon. Il rattrapa les Israélites à Pi-Hahiroth, sans aucun doute ressemblant à un chat qui viendrait juste d’avoir manger le canari. Comment cela pourrait-il échouer ?
Calmer les Peurs d’Israël (14:10-14)
Israël était dans la mouise maintenant. « A l’Est il y avait la mer, au Sud et à l’Ouest, il y avait les montagnes, et le Nord était bloqué par les armées de Pharaon ».147
Les Israélites furent très secoués à la vue des chariots et des hommes de Pharaon approchants rapidement. Ils étaient terrifiés (v. 10). En premier lieu, le peuple poussa de grands cris vers le Seigneur (v. 10), mais lorsque les troupes se rapprochèrent et les espoirs d’Israël diminuaient, leur peur tourna en regret amer, concentré sur Moïse. N'y avait-il pas assez de tombeaux en Egypte ? N’avaient-ils pas dit à Moïse de les laisser tranquilles, et de ne pas s’occuper de Pharaon ? Qu’est-ce que Moise leur avait-ils fait maintenant ? Ils auraient mieux fait de rester en Egypte comme esclaves. Tel était le raisonnement de peur et d’incrédulité.
Moïse était bien plus calme, tout du moins au début. Confiant que Dieu les délivrerait des Egyptiens, Moïse chercha à assurer les Israélites de la protection de Dieu, et de la défaite des Egyptiens. Il leur dit de « n’avoir pas peur ». Ils n’avaient pas besoin de se battre, mais juste de ne pas bouger et d’observer la victoire de Dieu sur les Egyptiens. Ils ne reverraient jamais ces Egyptiens.
De ce que Dieu avait révélé à Moïse, il avait confiance en la défaite et la destruction de l’armée égyptienne, maintenant les poursuivant à toute vitesse. Ce que Moïse ne savait apparemment pas était comment et quand cette victoire arriverait. Comme les Egyptiens approchaient, Moïse s’attendait probablement à les voir disparaitre sous les yeux de tous, peut-être par une sorte de fléau. Au lieu de ça, ils se rapprochaient de plus en plus – ils étaient bien trop près pour son goût. Moïse a dû lever son bâton, le pointant dans la direction des Egyptiens. Comme un fusil enrayé, ça ne semblait pas marcher. A un certain point, Moïse cria vers le Seigneur, comme les Israélites l’avaient fait auparavant (comparez 14:10 avec 14:15). L’homme qui avait commencé « cool et calme » commença à paniquer.
L’Intervention et l’Instruction Divine (14:15-20)
Mon imagination a dû s’emballer un peu dans la description que j’ai faite de l’incertitude de Moïse, mais je doute d’avoir été trop loin. Sans nous informer des manifestations exactes des peurs de Moïse, le texte nous donne un rapport de la réprimande de Dieu à Moïse dans le verset 15 :
« ---Pourquoi cries-tu vers moi? Ordonne aux Israélites de se mettre en route. »
Non seulement savons-nous de la bouche de Dieu que Moïse Lui a demandé de l’aide, mais il y a une déduction très claire que Moïse a eu tort de le faire. Pourquoi Moïse a eu tort de faire appel à Dieu pour l’aider ? Il n’y a qu’une raison à laquelle je puisse penser : Moïse aurait du savoir quoi faire, et il aurait du le faire.
Il est possible que Moïse savait quoi faire parce que Dieu lui avait déjà donné des instructions très précises. Et parce que nous ne trouvons pas de telles instructions dans notre texte, je suis enclin à mettre cette possibilité de coté. C’est mon avis que Dieu réprimanda Moïse pour implorer des instructions parce que Moïse aurait du savoir quoi faire, et aurait du le faire.
Réfléchissons un moment sur ce que Moïse savait. Il savait que Dieu les avait guidés où ils se trouvaient – entre la Mer Rouge et les Egyptiens. La colonne les avait conduit là (13:21-22 ; 14:19), et Dieu avait aussi expliqué à Moïse que c’était ce qu’Il allait faire, pour qu’Il puisse recevoir la gloire par Pharaon et son armée (14:1-4). Moïse savait que Dieu avait promit d’amener les Israélites au pays de Canaan, qui était de l’autre coté de la Mer Rouge (Gen. 15:13 ; Exode 3:7-8,16-17 ; 12:25 ; 13:5). Moïse savait aussi que Dieu lui avait donné du pouvoir par l’usage de son bâton.
C’est donc mon avis que Moïse aurait dû raisonner que la seule direction il aurait pu et dû aller était vers Canaan, et cela voulait dire par la Mer Rouge. Le moyen de passer par la mer était pour Moïse de lever son bâton et de séparer les eaux. C’est précisément ce que Dieu ordonna Moïse de faire, mais je crois que la gentille réprimande de Dieu dans le verset 15 implique que Moïse aurait dû y penser lui-même.
Je veux faire une pause ici pour accentuer la relation entre la foi et la raison. Certains semblent penser que la foi et la raisonn sont opposées l’un à l’autre, et que la foi est donc, par sa nature, déraisonnable. Je pense que c’est loin d’être le cas. Quand Dieu dit à Israël de faire demi-tour, cela seulement semblait déraisonnable, jusqu’au moment où Dieu (causant Pharaon de penser qu’ils étaient égarés, ce qui provoqua l’attaque) révéla son plan à Moïse. Les actions de Dieu étaient très raisonnables, quand elles sont vues en les termes du dessein de Dieu.
Notre Seigneur encourage constamment les hommes et les femmes à utiliser leurs cerveaux. « Observez les lis sauvages! » (Matt. 6:28), ce qui été un appel à l'aptitude de l’homme à raisonner. Abraham, on nous dit, « estimait-il, est assez puissant pour ressusciter un mort. » (Héb. 11:19), quand Dieu lui ordonna de sacrifier son fils. Dieu n’a pas dit à Abraham qu’Il ressusciterait son fils, Abraham raisonna lui-même, basé sur son expérience d’avoir eu un fils quand Sara et lui étaient « comme mort… ne pouvait plus donner la vie » (Rom. 4:19-21). Dieu se délecte dans la foi qui raisonne et puis répond. Moïse aurait donc dû raisonner ce que Dieu voulait qu’il fasse et le faire sans demander d’instructions à Dieu. Je crois que nous demandons souvent des instructions à Dieu quand la raison nous indique déjà clairement notre cours d’actions.
En dépit du manque de foi de Moïse, Dieu lui répondit gracieusement. Il instruit spécifiquement Moïse de lever son bâton et d’étendre sa main au-dessus de la mer, pour écarter l’eau, rendant possible pour les Israélites de traverser la mer à pieds secs (14:16). 148 Les Egyptiens, Dieu informa Moïse, entreraient la mer derrière eux, à cause de leurs cœurs obstinés, mais cela devrait résulter par leur destruction, et la gloire pour Dieu (v. 17). La nation d’Egypte sera certaine par cet évènement que Dieu seul est Seigneur (v. 18).
Dieu fit plus que juste parler. L’ange du Seigneur, manifesté par la colonne de nuée et/ou de feu, se déplaça de devant les Israélites pour devenir leur arrière-garde. Il se tenait entre les Israélites et les Egyptiens. Pendant toute la nuit, la colonne amena l’obscurité aux Egyptiens et la lumière aux Israélites, leurs permettant de voir quand ils traversèrent la mer, et peut-être empêchant les Egyptiens de la voir quand ils les suivirent (v. 20).
La Délivrance d’Israël et la Destruction des Egyptiens (14:21-31)
Moïse fit comme il fut commandé, étendant sa main au-dessus de la mer. Cela amena un « vent fort d’Est »149 qui refoula la mer pendant toute la nuit, changeant même le fond de la mer en sol sec (v. 21). C’était sans aucun doute pour faciliter le passage des Israélites avec leurs biens, qui étaient probablement chargés sur des genres de chariots.
Il a certainement fallu beaucoup de foi de la part des Israélites pour entrer dans la mer.150 Ils, contrairement aux Egyptiens, avaient le bénéfice de la lumière fournie par la colonne. Ils pouvaient donc clairement voir l’eau de la mer entassée comme des murs151 de chaque coté (14:22). Le montant de foi qu’il manquait aux Israélites était compensé par le fait que les Egyptiens étaient sur leurs talons. S’ils étaient confrontés avec le choix entre la mer et les Egyptiens, la mer aurait été le choix le moins dangereux. Les motivations de Dieu sont des merveilles à contempler !
Pour moi, la chose la plus difficile à croire n’est pas l’eau qui s’écarte ou les Israélites traversant la mer, mais le fait que les Egyptiens les suivirent dans la mer. Réfléchissez un moment. N’importe quelle armée bien entrainée sait de ne pas plonger (désolé du jeu de mots) dans une embuscade. Quand une armée fait face à son ennemi devant et qu’il y a des barrières de chaque coté, il y a une probabilité sérieuse d’être piéger au milieu de votre adversaire. Et même pire, si vous pouviez voir la mer être écartée par le Dieu de votre adversaire, entreriez-vous dans cette mer, sachant que vous voulez capturer les gens même que Dieu aide à s’échapper ? Pour moi, il n’y a que deux explications possibles pour lesquelles les Egyptiens entrèrent dans la mer, et les deux sont incroyables.
Une possibilité surprenante est que les Egyptiens entrèrent dans la mer sans le savoir. Cette possibilité est normalement celle que nous ne considèrerions pas, largement due à nos idées préconçues de ce qui arriva. Je ne connais personne qui soit arrivé à cette conclusion, alors je vous demanderai de faire attention à critiquer ici (tout comme ailleurs). Néanmoins, il y a plusieurs observations qui rendent cela une option qui pourrait être considérée.
Premièrement, on ne nous dit nulle part que les Egyptiens savaient qu’ils entraient dans la mer. On nous dit qu’ils s’engagèrent dans la mer (v. 23), mais il n’est pas spécialement reporté que c’était le cas. Deuxièmement, le moment de la traversée de la mer (pour à la fois, les Israélites et les Egyptiens) était tard dans la nuit (14:24,27). Troisièmement, la colonne qui donnait de la lumière aux Israélites produisit ou créa de l’obscurité pour les Egyptiens (v. 20). Il est vrai que les Israélites pouvaient voir la mer avec la lumière fournie par la colonne, mais est-ce que les Egyptiens pouvaient la voir aussi ? Quatrièmement, il semblerait très improbable que les Egyptiens s’engageraient dans la mer, sachant que Dieu l’avait séparée pour Son peuple. Cinquièmement, les Egyptiens semblaient être guidés seulement par les Israélites. Les Egyptiens ne les poursuivaient pas à grande vitesse. Où les Israélites allaient, les Egyptiens suivaient. (Il ne serait pas difficile de suivre les traces de 2 millions de gens, n’est-ce pas ?) Les Egyptiens étaient concentrés sur l’objet de leur poursuite (les Israélites), pas sur le paysage autour d’eux. Vous avez tendance de perdre de vue ce que vous cherchez. Sixièmement, puisque le fond de la mer était devenu un sol sec, il n’y aurait pas d’évidence particulière que les Egyptiens étaient au milieu de la mer. Si, par chance, mes suppositions ici sont correctes, pouvez-vous imaginer l’horreur des Egyptiens quand il réalisèrent où ils étaient ? Ils y ont vraiment « sautés dedans à pieds joints » cette fois.
La seule autre possibilité est que les Egyptiens poursuivirent intentionnellement les Israélites dans la mer, voilés d’une manière ou d’une autre du danger incroyable de la poursuite. Comme je l’ai dit auparavant, il est absolument incroyable que l’armée la plus puissante, la mieux entrainée de ces jours puissent sauter à pieds joints dans une embuscade comme ça, sans hésitation. Il n’y a qu’une seule explication pour leurs actions – des cœurs étaient super naturellement obstinés, au point que l’armée égyptienne manqua de voir toutes les évidences, à leur propre destruction. Comme Dieu dit à Moïse,
« De mon côté, je rendrai les Egyptiens obstinés pour qu'ils s'engagent derrière vous. Alors je manifesterai ma gloire aux dépens du pharaon, de toute son armée, de ses chars et de ses hommes d'équipage de chars. » (Exode 14:17)
Au petit matin, entre 2 heures et les premières lueurs du jour,152 Dieu regarda depuis le sommet de la colonne de feu et sema la confusion parmi les troupes égyptiennes (v. 24). Cela arriva en causant les roues de leurs chariots de se bloquer, de faire des écarts et de sortir des essieux153 ou de s’enliser dans le sable, qui pouvait maintenant être mouillé. La description poétique de Psaume 77 semble nous informer que l’occasion de la confusion était un orage :
« Les eaux t'ont vu, ô Dieu,
les eaux t'ont vu, et elles se sont mises à bouillonner,
et même les abîmes ont été ébranlés.
Les nuées déversèrent de la pluie en torrents,
et dans le ciel d'orage, retentit le tonnerre.
Tes flèches sillonnaient le ciel dans tous les sens.
Au fracas de ta foudre, du sein de la tornade,
l'éclat de tes éclairs illuminait le monde.
La terre s'effraya et se mit à trembler.
Au milieu de la mer, tu as frayé ta route
et tracé ton sentier parmi les grandes eaux.
Et nul n'a discerné la trace de tes pas. » (Ps. 77:17-20)
Assumant que les Egyptiens ne savaient pas qu’ils entraient dans la mer, pouvez-vous vous imaginer l’horreur des soldats quand le premier éclair révéla les eaux culminantes au-dessus d’eux ? Trop tard, les Egyptiens reconnaissèrent que Dieu combattait pour les Israélites et contre eux.ils essayèrent de battre la retraite, rebroussant chemin vers la terre d’où ils venaient. Au lieu de ça, ils plongèrent, tète baissée, dans les murs d’eaux qui s’écroulaient.
Au lever du jour, Dieu ordonna Moïse une fois de plus de pointer son bâton vers la mer, mais cette fois pour ramener les eaux de la Mer Rouge sur les Egyptiens. La mer engouffra les Egyptiens, et en conséquence ils furent tous noyés. (v. 28). En contraste, les Israélites traversèrent la mer à pieds secs, arrivant de l’autre coté sains et saufs (v. 29). La Mer Rouge devint donc l’instrument de la délivrance d’Israël et de la destruction de l’Egypte. Les Israélites furent témoins de la puissance de Dieu et gagnèrent une plus grande appréciation pour Moïse, le chef que Dieu avait nommé, et par qui le pouvoir de Dieu était manifesté (v. 31).
Conclusion
La destruction de l’armée égyptienne dans la Mer Rouge nous force à considérer sérieusement le jugement de Dieu. Plusieurs principes de jugement divin sont évidents dans les évènements de l’exode décrits dans notre texte.
Le jugement de Dieu commence avant Sa destruction finale. En d’autres mots, le jugement de Dieu commence avec la dureté du cœur des hommes. Bien que la destruction finale de l’armée de Pharaon arriva au moment où Moïse leva sa main sur la mer et elle engloutit les ennemis d’Israël, ce jugement était déjà au travail bien avant. La noyade des soldats ne fut que le coup de grâce du jugement divin, un jugement qui avait commencé une année ou plus avant.
Dieu avait commencé à juger les Egyptiens au moment où Moïse retourna en Egypte et apparut devant Pharaon, et les fléaux commencèrent. Chaque fléau était un jugement des dieux des Egyptiens (Exode 12:12). Pendant à peu près une année, les dix fléaux furent déversés sur l’Egypte. La destruction des Egyptiens dans la Mer Rouge fut l’acte culminant du jugement divin.
Mais comment est-il possible, donné les dix fléaux qui étaient tombés sur l’Egypte et le danger présent d’entrer dans la Mer Rouge, que les Egyptiens persistèrent si aveuglement dans leur oppression du peuple de Dieu, et dans leur indifférence aux avertissements de Dieu ? La réponse biblique, trouvée dans Exode et confirmée dans d’autres textes bibliques, est qu’il persistèrent à poursuivre leur propre destruction parce que leurs cœurs étaient endurcis.
Une petite enquête dans une concordance de la Bible montre que la référence à l’endurcissement du cœur de Pharaon (et quelques fois de ceux de ses officiels ou de son armée) arrive 14 fois dans Exode. De ces 14 instances, six font allusion à Dieu endurcissant le cœur de Pharaon (9:12 ; 10:1,20,27 ; 11:10 ; 14:8), trois font allusion à Pharaon endurcissant son propre cœur (8:15,32 ; 9:34), et cinq sont vagues (7:13,22 ; 8:19 ; 9:7,35). De ces passages et d’autres, nous pouvons identifier plusieurs caractéristique de l’endurcissement.
(1) L’endurcissement du cœur est un processus. Le cœur de Pharaon ne fut pas endurci qu’une fois, il fut endurci plusieurs fois. L’endurcissement est donc un processus, pas un évènement unique.
(2) L’endurcissement du cœur implique à la fois une initiative divine et humaine. D’un coté, Dieu endurcit le cœur d’un homme, et pourtant, de l’autre, un homme endurcit son propre cœur. Quand Dieu endurcit le cœur d’un homme, cela ne provoque pas l’homme à penser et à faire autre chose que ce que cet individu est enclin à faire. Dieu n’endurcit pas le cœur de l’homme en le faisant vouloir pécher. Pharaon n’avait pas l’intention de relâcher les Israélites, ni de se soumettre au Dieu d’Israël. Dieu endurcit le cœur de Pharaon pour qu’il poursuive les Israélites (14:4), mais c’était précisément ce que Pharaon voulait faire (14:5).
Les hommes endurcissent souvent leurs cœurs à des moments cruciaux. Remarquez que le cœur de Pharaon était toujours endurci concernant une décision particulière. Chaque fois que cela arriva, cela concernait une décision que Pharaon devait prendre. Durant la période des fléaux, il devait décider s’il allait laisser partir Israël ou non. Après les fléaux, il dut décider s’il allait poursuivre les Israélites pour les ramener (donc, revenant sur sa parole puisqu’il leurs avait déjà donné la permission de partir). L’armée de Pharaon devait prendre la décision si elle allait poursuivre les Israélites dans la mer ou non. A chaque décision, les Egyptiens furent endurcis ou s’endurcirent eux-mêmes.
D’une perspective divine, Dieu endurcit les cœurs des hommes pour achever Ses desseins prédéterminés (tels que la destruction de l’armée égyptienne et la libération des Israélites). Du point de vue humain, les hommes endurcirent leurs cœurs en décidant de faire ce qui avait été clairement identifier comme étant un péché. Le lien entre pécher et endurcir est vu dans les actions de Pharaon :
« Quand le pharaon vit que la pluie, la grêle et le tonnerre avaient cessé, il persista dans son péché et s'entêta. Ses hauts fonctionnaires firent de même.
Il s'obstina et ne laissa pas partir les Israélites, comme l'Eternel l'avait annoncé par l'intermédiaire de Moïse. » (Exode 9:34-35)
Le Nouveau Testament de même parle d’endurcissement comme étant le produit de la tromperie du péché (Hébreux 3:13). Donc, nous pouvons dire que les hommes non seulement endurcissent leurs cœurs, ce qui résulte en péchés, mais qu’ils pèchent aussi, ce qui résulte en un cœur endurci.
(3) L’endurcissement du cœur d’un homme arrive quand Dieu « arrime cet homme sur son chemin. » L’homme fait son choix, basé sur sa propre nature et sa direction, mais quand Dieu endurcit le cœur de cet homme, Il empêche l’homme de changer la direction qu’il a prise lui-même. Ce que je veux dire est que l’endurcissement du cœur n’annule pas les choix qu’une personne fait pour elle-même, c’est comme un catalyseur qui cause une personne d’aller se coucher dans le lit qu’elle a choisi de faire.
Je connais des gens qui ont entendu parlé de l’Evangile et ont dit : « Je sais que je suis un pécheur, et que j’ai besoin de croire en Christ, comme étant mon Sauveur. Je sais aussi que faire un tel choix me forcera à changer mon style de vie. Alors, je vais vivre ma vie comme je veux, et quand ma vie sera presque finie, je ferai confiance à Christ et je serai sauvé de la furie de Dieu. » Mais, vous voyez, Dieu ne donne pas à une telle personne une consolation dans cette décision. L’endurcissement du cœur de l’homme pousse cet homme à vivre avec les conséquences de ses choix et de son style de vie. Le processus de l’endurcissement du cœur nous force à faire nos choix éternels maintenant, sachant que nous ne pourrons peut-être pas être permis de changer d’avis dans les jours à venir.
(4) L’endurcissement du cœur d’une personne ternit et endort la perception du danger et du jugement. Comme nous avons vu dans le plongeon tête baissée des Egyptiens dans la mer, la seule explication d’un acte si stupide est que leurs cœurs étaient endurcis, pour qu’ils avancent, sans réaliser les dangers de leurs actions. Ce ne fut pas avant que tout commença à s’écrouler que les Egyptiens réalisèrent finalement dans quelle mouise ils se trouvaient (14:25). Quand le cœur de quelqu’un est endurci, il est incapable de voir le danger qui est plus qu’évident aux yeux des autres.
(5) L’endurcissement du cœur peut arriver à la fois aux croyants et aux non croyants. Pharaon et les Egyptiens qui moururent dans la Mer Rouge étaient sans aucun doute des non croyants. Il n’est pas difficile de reconnaître le processus d’endurcissement dans les vies des non croyants. Nous lisons, par exemple, que les Israélites de ces vieux jours, avaient leurs cœurs endurcis (2 Cor. 3:13-14 ; Héb. 3:7-19), et l’application est étendue jusqu’aux saints d’aujourd’hui. Les cœurs des disciples de notre Seigneur furent endurcis (Marc 6:52 ; 8:17). J’ai vu beaucoup d’instances où des Chrétiens ont choisi de faire du mal, et en progressant sur le chemin du péché, leurs cœurs devinrent de plus en plus durs. Leur destinée ne sera pas celle d’un non croyant, mais sûrement des conséquences sévères suivront (1 Cor. 5:5).
(6) L’endurcissement du cœur des hommes est dans le but d’achever du bien. L’endurcissement du cœur de pharaon et de ses soldats était dans le but de libérer Israël, une bonne fois pour toutes, de l’esclavage égyptien. C’était aussi dans le but de glorifier Dieu. Et finalement, c’était dans le but de démontrer à tous les autres Egyptiens que seul Dieu est Seigneur (Exode 14:4). Est-il possible qu’à cause de ce désastre, les Egyptiens soient arrivés à croire en le Dieu d’Israël ?
Le jugement final de Dieu tombe soudainement et sans avertissements sur ceux dont les cœurs ont été endurcis par le péché. Nous avons déjà vu que l’endurcissement des cœurs des hommes est le jugement de Dieu. En d’autres mots, il scelle le destin de ceux qui sont prédestinés pour le jugement. A cause de cela, l’endurcissement des cœurs des hommes ternit leur sensibilité au péché et au jugement pour qu’il leur tombe dessus soudainement et sans préavis, comme il est arrivé aux Egyptiens.
Pensant à l’attitude distante et à l’apathie des hommes en ce qui concerne le jugement de Dieu, je viens de réaliser qu’à travers les Écritures ceux dont les cœurs ont été endurcis ont été surpris que le jugement leurs soit tombé dessus soudainement et sans avertissement.154
« L'Eternel déchaînera contre vous la misère, le désordre et la ruine dans tout ce que vous entreprendrez et que vous exécuterez, jusqu'à ce que vous soyez complètement détruits, et vous ne tarderez pas à disparaître, parce que vous m'aurez abandonné et que vous aurez commis de mauvaises actions. » (Deut. 28:20)
« Car, en fait, tu les mets sur un terrain glissant,
tu les entraînes vers la ruine.
Et soudain, c'est la catastrophe: en un instant, ils sont perdus,
ils sont détruits, et l'épouvante les saisit. » (Ps. 73:18-19)
« Aussi la ruine fondra-t-elle sur lui sans crier gare,
il sera brisé soudainement et sans remède. » (Proverbes 6:15)
« Celui qui se raidit contre les reproches
sera brisé soudainement et ne s'en remettra pas. » (Proverbes 29:1)
« Lorsque les gens diront: «Maintenant règne la paix! Maintenant nous sommes en sécurité!», alors précisément, la ruine fondra subitement sur eux, comme les douleurs saisissent la femme enceinte, et aucun n'échappera. » (1 Thes. 5:3)
« Le témoin qui affirme ces choses déclare:
---Oui, je viens bientôt!
Oh oui, qu'il en soit ainsi: Viens Seigneur Jésus! » (Apocalypse 22:20)
Partout dans les Écritures, le jugement de Dieu tombe rapidement et sans préavis sur les non croyants, dont les cœurs étaient endurcis au péché et au jugement à venir. D’un autre coté, la Bible parle des saints étant prêts, attendant patiemment, sensibles au péché, et poursuivant et promouvant la pureté comme le jour du retour du Seigneur approche (1 Thes. 5:4-11 ; 2 Pierre 3:8-18 ; 1 Jean 3:2-3).
En contraste du chemin de la destruction des Egyptiens est la sécurité des Israélites, qu’ils s’en rendent compte ou pas à ce moment. Lisant le récit des Israélites traversant la Mer Rouge me rappela le fait que les choses ne sont pas souvent ce qu’elles semblent être. Les Israélites étaient apeurés, concluant de leurs circonstances que les Egyptiens seraient victorieux. Les Egyptiens, d’un autre coté, avaient confiance, pensant qu’ils ne pourraient pas ne pas recapturer les Israélites et les ramener en Egypte comme esclaves. A la fois les Egyptiens et les Israélites avaient tort dans leur estimation des choses. Aussi confiant qu’ils étaient, les Egyptiens périrent dans la mer. Et aussi apeurés qu’ils étaient, les Israélites traversèrent la mer, libérés une bonne fois pour toutes de leurs oppresseurs.
Les Egyptiens étaient pleins de confiance et se sentaient en sécurité parce qu’il semblait qu’ils avaient la main supérieure. Ils avaient les chariots et les soldats. Ils avaient toute la force militaire de l’Egypte. Mais ils ont manqué de considérer le fait qu’ils opposaient Dieu et Son peuple. Peu importe la force et la sécurité qu’ils pensaient avoir, opposer Dieu est un travail mortel.
Les Israélites étaient apeurés et auraient même considéré retourner en Egypte (Exode 14:10-12). La seule chose qui empêchait cela était le diligence opportune de Dieu Qui avait décidé et promit de les conduire sains et saufs à la terre promise. Alors, Dieu les guida par un autre chemin que la « route du pays des Philistins », sachant que s’ils devaient se battre ils pourraient regretter leur départ et voudraient retourner en Egypte (13:17-18). Le Seigneur rassura aussi les Israélites de Sa présence et de Son guidage par la colonne de nuée et de feu, et les informa de la raison pour laquelle Il les guidait comme s’ils semblaient être perdus. Le Seigneur empêcha aussi les Israélites de retourner sur leurs pas en plaçant la colonne de feu et l’armée égyptienne derrière eux. La destruction des ennemis de Dieu était autant assurée que la délivrance de Son peuple. Personne n’était plus en sécurité que les Israélites, peu importe l’apparence des circonstances. Personne n’était en plus grand danger que les Egyptiens, peu importe leur confiance et leur force militaire.
La question finale, qui détermina la destruction ou la délivrance de Dieu, était celle-ci : DE QUEL COTÉ DE LA COLONNE VOUS TROUVEZ-VOUS ? Dans notre texte, le jugement de Dieu et le salut de Dieu utilisèrent le même moyen – la Mer Rouge. Ceux qui se tenaient dans la mer devant la colonne (les Israélites) furent délivrés, mais ceux qui se trouvaient derrière la colonne (les Egyptiens) furent détruits. En d’autres mots, ceux qui s’étaient mis du coté du Dieu d’Israël furent sauvés, pendant que ceux qui L’opposaient furent vaincus par la mer.
Bien que ce texte dépeint graphiquement la dureté du cœur de l’homme, qui à la fin le mène à sa destruction, il montre aussi très clairement le salut que Dieu offre à tous les hommes, sans tenir compte de race. La mer était l’instrument de la furie de Dieu, qui détruisit les Egyptiens. Mais cette mer était aussi l’instrument de la délivrance d’Israël. Aujourd’hui, la ligne séparant ceux qui seront sauvés et ceux qui souffriront la furie de Dieu n’est pas une colonne, mais la croix. La vertu de Dieu exige que le péché doit être acheté. Le pécheur doit faire face à la furie d’un Dieu vertueux. Mais par Sa grâce, Dieu fournit le salut, en déversant Sa furie Son Fils, Jésus Christ. Et cela, Il le fit, il y a à peu près 2 000 ans, sur la croix du Calvaire. Tous ceux qui acceptent le sacrifice du Christ sur cette croix sont sauvés, et tous ceux qui le refusent (soit activement ou passivement), doivent supporter la furie de Dieu, qui leur tombera dessus aussi rapidement qu’elle est tombée sur les Egyptiens.
Si c’est vrai, la question la plus importante à laquelle vous aurez à répondre est celle-ci, QUE FAITES-VOUS EN CE QUI CONCERNE CHRIST ET SA CROIX ? Notre Seigneur Lui-même dit,
« Oui, Dieu a tant aimé le monde qu'il a donné son Fils, son unique, pour que tous ceux qui placent leur confiance en lui échappent à la perdition et qu'ils aient la vie éternelle.
En effet, Dieu a envoyé son Fils dans le monde non pas pour condamner le monde, mais pour qu'il soit sauvé par lui.
Celui qui met sa confiance en lui n'est pas condamné, mais celui qui n'a pas foi en lui est déjà condamné, car il n'a pas mis sa confiance en la personne du Fils unique de Dieu. » (Jean 3:16-18)
Je vous conseille vivement de ne pas tarder à prendre une décision en ce qui concerne la croix du Christ. Tarder est augmenter encore plus le processus de la dureté de votre propre cœur, et d’amener plus d’aveuglement et d'indifférence au péché et au jugement qui vous tombera dessus.
132 W. H. Gispen, Exodus, trans. by Ed van der Maas (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1982), p. 138.
133 “Most traffic leaving Egypt heading eastward would take one of three roads. The most direct route to Canaan was the Via Maris, ‘the way of the sea.’ This road began at the frontier fortress of Sile, near modern Qantara, and reached Canaan at Raphia. … Another route that was taken by travelers heading eastward was ‘the way of Shur’ which crossed the Sinai peninsula to southern Canaan where it connected with the important water-parting route from Jerusalem and Hebron to Beersheba in the Negeb. … The third route, known today as ‘the pilgrim’s way,’ ran across the peninsula from the head of the Gulf of Suez to Exion-geber which was located at the head of the Gulf of Aqaba.” John J. Davis, Moses and the Gods of Egypt (Grand Rapids: Baker Book House, 1971), pp. 155-156.
“The fact is that it was not absolutely necessary for the Israelites to cross a body of water in order to travel from Egypt into the Sinai peninsula. Many persons imagine that Egypt in ancient times was separated from that peninsula by a continuous body of water, as it is today. But the Suez Canal was dug in the nineteenth century A.D. The isthmus of Suez at its narrowest is about 70 miles from north to south. Of this distance, about forty miles are covered by lakes, the rest being land.” J. P. Hyatt, Exodus (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1980), pp. 156-157.
134 “This was the direct route, but was heavily guarded by Egypt: the commentators give instances of the careful lists, kept by the Egyptian guards, of arrivals and departures at the frontier. The Israelites would certainly have ‘seen war’ (Hebraic for ‘experienced war’) along that route.” R. Alan Cole, Exodus: An Introduction and Commentary (Downers Grove: InterVarsity Press, 1973), p. 116.
“The Pharaohs used this road for their expeditions to Syria, both during Moses’ time and afterward; it was the most direct link between Egypt and Canaan. Yet God avoided it, since the Philistines were outstanding soldiers, and God did not want His people to lose heart and change their mind when they were attacked by chariots in the open plains and would prove inferior to the Philistines in military equipment.” Gispen, p. 138
135 “The mention of the Philistines has been used as an argument against the factual accuracy of this narrative; it is claimed that the Philistines did not yet live in the southern coastal plains of Canaan at this time and did not settle there until after 1200 B.C., while the Exodus took place around 1445 B.C. … However, the Philistines were already mentioned in Genesis 26 as living in Canaan, and Gerar was called ‘the land of the Philistines’ in Genesis 21:32, 34. The Philistines are also mentioned in 15:14 and 23:31. Noordtzij has offered plausible reasons why the Egyptian inscriptions before 1200 B.C. are silent about the Philistines. … Excavations, especially those at Gerar, where pottery from the period 2000-1500 B.C. has been found similar to that of the later Philistines, also support Noordtzij’s opinion. It is thus correct to speak here of the land of the Philistines.” Gispen, p. 139.
136 Keil and Delitzsch hold this view, observing that, “The Philistines were very warlike, and would hardly have failed to resist the entrance of the Israelites into Canaan, of which they had taken possession of a very large portion.” C. F. Keil and F. Delitzsch, The Pentateuch, Biblical Commentary on the Old Testament (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1968 [reprint]), II, p. 38.
137 Keil and Delitzsch write that this term “… signifies equipped, … not ‘armed,’ but prepared for the march, as contrasted with fleeing in disorder like fugitives.” Ibid.
138 “… we may well believe they left Egypt with some arms in order to combat resistance at the border fortresses.” Hyatt, p. 149.
“The statement that the Israelites left Egypt ‘armed for battle’ (some think that the word used here is related to the Egyptian word for ‘lance,’ others that it means ‘arranged in battle units,’ …) serves to explain their subsequent readiness to do battle with e.g., Amalek (ch. 17). The Israelites took not only jewelry, but also arms out of Egypt!” Gispen, p. 139.
“The use of this term in Joshua 1:14; 4:12 and Judges 7:11 has led some to suggest the meaning ‘armed’ or perhaps ‘equipped for battle.’ Whether it is approriate to describe the children of Israel as ‘armed’ at this point is doubtful. They, in all probability, did secure some armor from the Egyptians but could not at this point be described as a mobilized army.” Davis, pp. 156, 158.
139 This indicates that the writer was one who knew this area very well, and that it would not be possible for anyone other than Moses to have supplied this information.
140 “The exact locations of these places are unknown …” Cole, p. 118.
141 “The wilderness spoken of here is the desert area lying between Egypt and the Red Sea—not the wilderness of the Sinai peninsula.” Davis, p. 156.
142 “This pillar of cloud and fire is mentioned on several occasions during the wilderness journey, cf. 40:38; Numbers 9:15-23; 14:14; Deuteronomy 1:33; Nehemiah 9:12, 19; Psalms 78:14; 105:39; 1 Corinthians 10:1. This pillar, the proof of the Lord’s presence, expressed His love and care for Israel (cf. Gen. 15:17).” Gispen, p. 140.
143 Cole is disappointingly wishy-washy here, leaning toward the explanation that the pillar was a desert ‘whirlwind.’ Cf. Cole, p. 118. Hyatt (p. 150) includes such possibilities as the tradition of the Arabs of carrying braziers filled with burning wood at the head of an army or caravan to indicate the line of march. He also suggests volcanic activity as a “more probable” explanation.
144 Once again, we don’t know exactly where Migdol, Pi Hahiroth, or Baal-Zephon were located. Cf. Gispen, p. 141
145 Davis, p. 159.
146 “If Israel encamped by the Sea opposite Baal-Zephon (which lies on the other side), then Pharaoh would think that they were confused or had lost their way, and did not know their way in the wilderness east of Egypt and west of the Red Sea. This was an obvious conclusion from the rather curious route Israel followed. Then the Lord would harden Pharaoh’s heart (cf. 4:21; 9:12; 10:20, 27; 11:10; 14:8, 17; Josh. 11:20) so that he would pursue Israel, and the final outcome would be that the Lord would gain glory for Himself through Pharaoh and his entire army, so that the Egyptians would know that He was the Lord (cf. e.g., 10:2). Verses 2-4 give us an impression of Pharaoh’s reprobation and of God’s omnipotence (cf. 9:15; Rom. 9:17, 22-23). From a human standpoint this hardening of Pharaoh’s heart was necessary to give Israel complete freedom and to release it from any obligation to return, since Pharaoh had broken his promise. … Pharaoh’s disposition toward Israel, and that of his officials … changed. They were not forced to sin, but made a voluntary choice in the wrong direction. And what was seen in the first chapter was repeated: greed and the desire for gain once again came to the fore, now that the plagues had been gone for a few days. They asked themselves and each other what could have induced them to let their cheap labor go. But the mistake could be corrected.” Gispen, pp. 141-142.
147 Ibid, p. 143.
148 I must, of necessity, point out that there are many attempts made to explain the passing through the sea in terms of natural causes. Davis warns us that, “A very popular view is that the Israelites crossed in a generally shallow and marshy district which could easily have been cleared of water and laid dry by the normal action of a strong wind.” Davis, p. 164.
I believe Gispen’s advice should be taken at this point: “No sound arguments can be brought against the historicity of this event. … We should stay with the text of Exodus for both the fact and their explanation…” Gispen, p. 136.
Another (often related) item of discussion among the scholars pertains to the place from which the Israelites crossed over the “sea”: “Broadly speaking, there are only three possible routes for the exodus, either near the Mediterranean coast (which is unlikely, because of the proximity of the Egyptian outposts) or directly across the Sinai peninsula to Kadesh (which not only seems to conflict with the biblical evidence, but would be very difficult from the point of view of the water supplies), or south to Sinai, and then north to Kadesh (which seems most likely on any score).” Cole, p. 117.
“… I am of the opinion that, even if the Gulf of Suez was still connected with the Bitter Lakes and the Lakes were thus part of the Gulf, the statements in the text more fully agree with a crossing through the Gulf of Suez where it is deeper, thus in the vicinity of present-day Suez. … The biblical data point to the Gulf of Suez, not to the Mediterranean Sea. It would also be difficult to imagine that Solomon’s fleet was stationed on Lake Serbonis (cf. 1 Kings 9:26).” Gispen, p. 137.
149 Davis concludes that while the wind is a ‘natural’ force, this ‘wind’ had to be supernatural: “This writer feels that the best interpretation of the ‘strong east wind’ is to regard it as a supernatural wind rather than a purely natural wind. There are at least four reasons for assuming this view. First, it is doubtful that a purely natural wind would make a ‘wall’ (v. 22). Second, if this wind came from the east (v. 21) it most likely would have walled up the water in the wrong direction; that is, north and south. Third, two walls are mentioned (v. 22) which indicates that the waters were divided by this special wind (cf. v. 16). … Fourth, if this were a natural wind capable of moving enough water so as to provide a depth to drown the Egyptians, could the people have walked through such an area, assuming that a natural wind would have come through the area with tremendous velocity?” Davis, pp. 165-166.
Cole adds, “Winds and fire are often described poetically in the Bible as almost personified messengers of the God who controls them (Ps. 104:4).” Cole, p. 121.
150 “Hebrew yam is a very general word which may be used of a lake, a sea (such as the Mediterranean), a river (such as the Nile, Isa. 19:5) or possibly other bodies of water. However, in Exod. 13:18 a body of water is referred to as the Red Sea, and that is the designation often used in other passages which speak of the crossing of the sea (Exod. 15:4, 22; Dt. 11:4; Jos. 2:10; 4:23; 24:6; Ps. 106:7, 9, 22; Neh. 9:9 etc.). The Hebrew in such passages is yam sup, which means literally ‘sea of reeds,’ or ‘sea of rushes.’ In Exod. 2:3, 5 sup is used of ‘the reeds’ in which Moses was placed. Yam sup could well be rendered ‘Reed Sea.’ The translation of RSV by ‘Red Sea’ is based upon the rendering in LXX, eruthra thalassa, and Vulgate, mare rubrum. In antiquity ‘the Red Sea’ was a general term including the Indian Ocean, the Persian Gulf, and perhaps even more. … The OT uses yam sup with more than one meaning. In 1 Kg. 9:26 it clearly refers to the Gulf of Aqaba, and probably also in Num. 21:4; Dt. 2:1. In Num. 33:10 (P) yam sup obviously means the Gulf of Suez, and is distinguished from ‘the sea’ through which the Israelites had passed just after leaving Hahiroth (33:8).” Hyatt, p. 158.
151 It is disappointing to read Cole’s conclusions about the “walls” of water on both sides of the Israelites: “This metaphor is no more to be taken literally than when Ezra 9:9 says that God has given him a ‘wall’ (the same word) in Israel. It is a poetic metaphor to explain why the Egyptian chariots could not sweep in to right and left, and cut Israel off; they had to cross by the same ford, directly behind the Israelites.” Cole, p. 121.
While the Bible often uses metophorical language, it seems to me that Cole is somehow trying too hard to find a phenomenon here that is too ‘natural’ and not enough ‘supernatural.’ Davis writes, “It appears that the basic sense of the use of the word wall (Heb. homah) is to designate a passageway between two generally perpendicular masses. On the basis of the Hebrew text alone, however, it is difficult to determine whether a literal perpendicular wall is necessarily implied. … In the light of the full context, however, preference certainly must be given to the former [perpendicular wall] viewpoint …” Davis, pp. 167-168.
152 “I Samuel 11:11 also mentions this, the last of the three watches, from 2 a.m. to dawn, about 6 a.m. This, the darkest hour before the dawn, was traditionally the time for attack, when men’s spirits are at their lowest.” Cole, p. 122.
153 “The expression ‘took off’ their chariot wheels (v. 25) is a translation of the Hebrew word sur meaning in the Hif’il stem to ‘take away or to remove.’ … The Septuagint, on the other hand, speaks of God ‘clogging their chariot wheels’ an idea which has been carried over into the Revised Standard Version.” Davis, p. 167.
154 I highly recommend that the reader look up the terms “suddenly” and “quickly” in their Bible concordance. You will be impressed with this emphasis on the judgment of God.
11. La Tyrannie de l’Urgent (Exode 18)
Introduction185
Il y a un terme qui est de plus en plus fréquemment utilisé dans le cercle chrétien, qui décrit un problème qui s’est répandu parmi les évangélistes – qui est presque devenu une épidémie. Le terme est épuisement. L’épuisement arrive fréquemment aux dirigeants chrétiens, qui s’efforcent d’accomplir des buts et des demandes impossibles, dont la réalisation permettrait de les montrer étant super spirituels et indispensables (ces deux évaluations sont trop souvent utilisées ensembles de nos jours). L’échec de réaliser ces buts et satisfaire ces demandes prouverait que ces personnes sont des fainéants, pas spirituels ou des ratés. L’épuisement arrive quand dans le surmenage et la frustration, quelqu’un perd tout espoir d’atteindre la norme qui leur est imposée (soit par lui-même, les autres ou les deux), et simplement abandonne. Par ma définition au moins, l’épuisement ne conduit pas à réévaluer et restructurer le travail, mais à l’arrêter.
L’épuisement n’est certainement pas juste un phénomène trouvé parmi les dirigeants chrétiens ou simplement parmi les Chrétiens. Le surmenage est probablement un facteur important dans ce qui est référé aujourd’hui comme étant « la crise de la quarantaine ». En dépit d’efforts appliqués et de beaucoup de sacrifices, les individus découvrent, à leur consternation, que leur poursuite fut, utilisant les mots de l’homme sage d’Ecclésiastes, de la vanité.
L’épuisement dont je parle est celui qui tourmente les Chrétiens, dirigeants ou simples gens (je déteste les deux étiquettes, mais je les utilise quand même ici). Ce n'est pas la pression des choses spirituelles par les choses (soi-disant) séculaires. C'est le fait d'étouffer l'essentiel spirituel fondamental par le volume absolu de la surabondance d'activités insignifiantes et de « ministères » que nous nous efforçons bêtement de maintenir.
Dans son excellent livre titré, Ordering Your Private World, Gordon MacDonald compare le phénomène de surmenage à un affaissement.186 Quand les rivières souterraines s’assèchent, la surface du sol commence à s’affaisser. Tout ce qui est placé sur ou près du sol est englouti remplissant le vide. MacDonald compare l’âme, le « monde privé » d’une personne à ces rivières souterraines. Nous détournons tant notre attention et notre énergie vers nos travaux et activités extérieures que nous manquons de nous occuper des besoins de notre âme. Eventuellement, MacDonald explique, la pression de ces activités, combinées avec le vide intérieur de nos vies, produit une dégradation spirituelle immense en nous.
Moïse était dangereusement près d’être victime de surmenage quand son beau-père arriva à son secours. Ce qui sembla être une visite importante d’un membre de sa famille est un vrai acte divin de délivrance de Moïse, pas de la furie de Pharaon, ni de l’attaque de l’armée égyptienne, mais de lui-même. Comme Jéthro l’expliqua lui-même, Moïse s’épuisait lui-même ainsi que les Israélites (18:18). Grâce au bon sens d’un beau-père sage, Moïse fut libéré de sa propre destruction, l’épuisement qui résultait d’une perception déformée et d’un travail trop exigeant.
Je dois m’arrêter ici pour indiquer que Moïse illustre un problème notoire qui s’est généralisé d’une façon épidémique dans les cercles chrétiens en Amérique, mais ce problème qu’avait Moïse n’est typique que seulement d’un segment des Chrétiens. Pour ceux qui liront ce message, votre problème n’est pas l’épuisement, de brûler la chandelle par les deux bouts, mais c’est que votre chandelle n’a jamais été allumée. Il y a de nombreux Chrétiens surmenés qui ont besoin d’apprendre la leçon que Jéthro a apprit à Moïse, mais la raison pour laquelle certains Chrétiens sont surmenés est parce que d’autres sont fainéants et inactifs. Si vous êtes neutres, non engagé et paresseux dans votre service chrétien, je vous exhorte de ne pas essayer d'utiliser ce texte comme un prétexte pour votre inaction. Dieu n’aime pas ce genre d’abus de Sa parole. Si vous faites parti des fainéants, je vous suggère de tourner vers la sagesse du Livre des Proverbes ou vers ces textes de la Bible qui parle de notre besoin d’engagement et d’obéissance.
La structure de ce chapitre est simple et franche. Le texte est divisé en deux parties égales : versets 1-12, que je résumerais par le titre : « L’arrivée de Jéthro » ; Et les versetss 13-27, qui décrivent « Le conseil de Jéthro ». Les deux parties sont très liées. Initialement, je regardais les 12 premiers versets comme une formalité, un genre de mise en scène. Cependant plus j’ai étudié le texte, plus je suis arrivé à voir que la première moitié du chapitre révèle plusieurs symptômes d’un problème sérieux dans la vie de Moïse, qui provoqua non seulement l’ « arrivée » de Jéthro aux camps des Israélites, mais aussi son « conseil ». Ecoutons bien les mots sages de ce Madianite, qui a beaucoup à enseigner à propos de gérer nos vies et notre travail. Pour ceux qui sont prédisposés aux affaires et à la sur-implication, ils peuvent nous épargner de la maladie mortelle d’épuisement.
L’Arrivée de Jéthro (18:1-12)
La première section (versets 1-12) se sépare en deux divisions égales. Les versets 1-6 pourraient être titrés « concentration sur la famille. Ils révèlent l’occasion de l’arrivée de Jéthro. Le verset 1 nous informe de la raison pour la décision de Jéthro de rendre visite à Moïse, alors que les versets 2-6 nous disent le but de cette visite. La seconde division, versets 7-12, concentre sur la foi de Jéthro. Elle décrit le résultat de son arrivée : (1) les rapports de Moïse de la bonne main de Dieu pour les Israélites ; Et (2) la réponse de Jéthro à la bonté de Dieu pour Israël – se réjouissant, déclarant l’excellence de Dieu, et Le vénérant avec Moïse et les anciens d’Israël.
Il est difficile pour moi de deviner comme Jéthro savait comment Moïse allait, mais le texte nous dit qu’il avait été bien informé. Le texte nous dit qu’il « apprit tout ce que Dieu avait fait en faveur de Moïse et d'Israël son people… » (v. 1). Peut-être que Jéthro invitait des voyageurs, même des caravanes, à partager un repas avec lui ou à passer la nuit dans sa tente, ce qui lui permettait d’apprendre ce qui se passait en Egypte. Aujourd’hui, Jéthro aurait dévoré le journal quotidien, et regardé les informations à la télé avec intérêts. Il aurait allumé « Radio Egypte » sur les ondes courtes de la radio. Et, à propos, Séphora et les deux fils de Moïse auraient ramassé un montant considérable d’information, car ils auraient dû avoir beaucoup d’intérêts pour le bien-être de Moïse, qui était le mari et le père.
Cependant, le point du message n’est pas comment Jéthro apprit comment Moïse allait, mais ce qu’il avait apprit. Jéthro avait apprit que Dieu avait protégé Moïse, et qu’Il avait libéré les Israélites d’Egypte. Il avait évidemment apprit (ou apprendrait) la location des Israélites, qui n’auraient pas été aussi loin que l’Egypte.
Jéthro avait apprit assez pour conclure que les circonstances étaient telles que Moïse et sa famille devraient être réunis. Les versets 2-6 indiquent le but de la visite de Jéthro à Moïse – pour réunir Séphora (sa fille, la femme de Moïse), Guerchôm et Eliézer (ses petits-enfants, les fils de Moïse) avec Moïse.
On ne nous dit pas précisément quand, ni pourquoi Moïse et sa famille furent séparés. Dans le chapitre 4, Moïse exigea, assez trompeusement, de retourner en Egypte avec sa famille (v. 18). Il y eut un évènement déplaisant avec Séphora, à propos de la circoncision du fils de Moïse, ce qui a presque couté la vie à Moïse (4:24-26). Certains ont conclu que Séphora, dans sa colère, retourna chez son pere à cette periode, mais notre texte nous dit que Moïse les emmena.187 Nous pouvons au moins supposer que Moïse renvoya sa famille chez Jéthro à un moment quand il eut peur pour leur sécurité. Peut-être, aussi, sentit-il que les pressions de confronter Pharaon et de guider Israël étaient trop grandes pour avoir en plus les responsabilités de mari et père.
Des informations que Jéthro avait rassemblées, il conclut que les raisons pour la séparation de Moïse et de sa famille pouvaient être mises de cote en sureté. Le but de la visite de Jéthro a Moise était clairement pour le réunir avec sa famille. Il se peut qu’il y ait eu quelques frustrations, même quelques irritations, avec le devoir de supporter et d’élever les enfants de Moïse, et de s’occuper de sa femme. Peut-être Jéthro attendait-il avec impatience de bonnes nouvelles des Israélites pour qu’il puisse avoir un peu de paix à la maison. Cependant, le texte ne suggère jamais quelque chose comme ça, seulement les plus purs motifs pour les actions de Jéthro. Ici, et plus tard dans le chapitre, il agit de bon sens, de compassion, et parce qu’il était concerné par le bien-être de Moïse. C’était vraiment une action noble, spécialement après l’explication sournoise que Moïse lui avait donnée pour retourner en Egypte (Exode 4:18).188
L’arrivée de Jéthro, accompagné de Séphora, Guerchôm et Eliézer, fut apparemment une bonne surprise pour Moïse.189 Bien que je me serais attendu à ce que Moïse prête plus d’attention à sa femme et ses enfants, il nous est dit qu’il est allé à la rencontre de Jéthro, l’ait embrassé et soit ensuite allé dans la tente190 de Jéthro avec lui. Où étaient donc Séphora et les enfants ? Ils se trouvaient probablement là aussi, mais étant donné la culture de ce jour, c’était simplement comment les choses étaient faites. Rappelez vous aussi que Jéthro était un homme très important,191 méritant une réception formelle.
Dans la tente, Moïse et Jéthro suivirent les formalités de réception d’un invité spécial dans une culture orientale. Moïse informa Jéthro, dans tous les détails, comment Dieu avait délivré les Israélites et anéanti les Egyptiens (v. 8).
La réponse de Jéthro, décrite dans les versets 9-12, semble être bien plus que simple courtoisie orientale. Bien qu’il y ait quelques différences d’opinion sur le sujet,192 il semble que Jéthro professe ici une foi personnelle en le Dieu d’Israël, prouvé par le rapport de Moïse (vs. 9-10). Deuxièmement, Jéthro semble reconnaître, pour la première fois, la supériorité de Dieu sur tous les autres « dieux », dont on supposerait incluaient ses propres dieux païens.193 La foi de Jéthro est prouvée dans son offre de sacrifices à Dieu, et dans le repas sacrificiel, que Jéthro, Moïse, et tous les anciens d’Israël partagèrent (v. 12).
Ayant brièvement considéré l’arrivée de Jéthro et la famille de Moïse et l’affirmation de foi de Jéthro, une question agaçante me reste à l’esprit : Pourquoi est-ce que ce fut Jéthro qui dut initier la réunion de Moïse avec sa famille ? En d’autres mots, Pourquoi Moïse n’est-il pas allé chercher sa femme et ses fils, plutôt que d’attendre que Jéthro ne se pointe avec eux sans être annoncés ?
Ma question surgit d’un sentiment troublant, basé sur plusieurs observations des versets 1-12 :
(1) Moïse semble avoir renvoyer sa femme et ses fils chez Jéthro sans l’avoir prévenu, tout comme Jéthro semble les ramène à Moïse de la même façon.
(2) La motivation de Moïse de renvoyer ses enfants pourrait être discutable, spécialement à la vue des noms qu’il avait donnés à ses fils. Quelles raisons pourraient être justifiables pour Moïse de renvoyer sa femme et ses fils à Madian, pour être élever par un païen (à ce moment là) ? Moïse nomma son premier fils Guerchôm, dont notre texte nous dit est basé sur le fait que Moïse était (ou plus précisément) était devenu un étranger. Si Moïse se sentait « aliéné », comment pouvait-il aliéner sa famille en les envoyant loin de lui, et de la nation d’Israël. Moïse ressentait les tiraillements de cette séparation de « son peuple » et pourtant il envoya sa femme et ses fils loin de lui. Cela semblerait être inconsistant. Aussi, si Moïse avait appelé son deuxième fils Eliézer, basé sur sa propre délivrance de l’épée de Pharaon (v. 4), pourquoi alors ne pouvait-il pas faire confiance à Dieu de délivrer sa famille des dangers d’Egypte et de l’épée de pharaon ? Et si Moïse pouvait dire aux Israélites de faire confiance à Dieu quotidiennement pour leur nourriture et eau, pourquoi alors ne pouvait-il pas faire confiance à Dieu de fournir ce dont sa famille aurait besoin ? Il semblerait qu’il y ait une inconsistance ici.
(3) Moïse fut remarquablement lent pour aller chercher sa famille, quand on aurait pu s’attendre à ce qu’il soit impatient de les avoir près de lui. En lisant le premier verset du chapitre 18, la question qui semble être la plus importante dans l’esprit de la famille de Moïse (spécialement dans celui de Jéthro) est : « Comment va Moïse? » Comme le passage continue pour nous, et comme le temps passa pour la famille de Moïse, la question changea de « Comment va Moïse? » à « Où est Moïse? » Ce ne fut pas à l’initiative de Moïse qu’il fut réuni avec sa famille, mais à l’initiative de Jéthro, qui surprit Moïse avec une visite. Moïse n’était pas si loin que ça de sa famille, mais il semble presque les avoir oublié.194
Il y a une tendance parmi les Chrétiens à minimiser les échecs d’un homme comme Moïse dans cette situation, même à attribuer foi et confiance en lui, plutôt que doutes et échecs. L’hypothèse est que les saints qui sont décrits dans la Bible ont tendance à toujours faire la chose juste pour les bonnes raisons. Un exemple de cela est l’explication des actions de Moïse ici de telle façon à se concentrer sur sa piété :
L’absence de sa femme et de ses enfants nous cause à avoir un respect plus grand pour sa maturité et perspicacité spirituelle durant les moments les plus agités d’Israël. Aucunes indications ne nous sont données dans le texte biblique concernant un malaise personnel ou une insatisfaction avec cette situation. Apparemment, il avait remit sa femme et ses enfants entre les mains de Dieu et en avait conclu que dans le temps de Dieu ils seraient tous réunis. Donc, pour Moïse, ce fut non seulement une occasion joyeuse à cause de la victoire d’Israël sur Amalec mais à cause de sa réunion avec sa femme et sa famille.195
J’appelle cette tendance d’assumer le meilleur des caractères bibliques, l’« inclination pieuse ». Elle cherche à élever les caractères bibliques à un niveau bien au-dessus de notre performance et bien plus haut que ce que nous nous attendons, connaissant la nature de l’homme. En contraste de ça, j’ai tendance à interpréter les actions de Moïse selon ce que j’appelle le « syndrôme du pécheur ». Ainsi, ce ne sont pas les vertus de Moïse qui sont louées dans ce chapitre, mais ses défauts. Bon, voilà maintenant un homme (Moïse) avec qui je peux m’identifier, un homme avec des imperfections comme les miennes. Ces imperfections sont clairement observées par Jéthro, dont le conseil, dans les versets 13-27, est basé sur ses observations des bévues inconscientes de Moïse tant en ce qui concerne sa famille que sa fonction comme le dirigeant d'Israël (vs. 13-27). Continuons alors, pour voir comment les évènements des versets1-12 servent comme indices aux échecs auxquelles Jéthro cherche à remédier par son conseil.
Le Conseil de Jéthro (18:13-27)
Le lendemain matin, Moïse et les gens d’Israël commencèrent leur routine quotidienne. Le peuple qui cherchait à connaître la volonté de Dieu par Moïse commença à former une file à l’endroit désigné, peut-être juste à coté de la tente de Moïse. Avec une nation de près de 2 000 000 de gens (600 000 hommes, voir 12:37), on peut certainement imaginer que cette file était longue, et qu’elle devait commencer à se former de très bonne heure. Moïse, on nous dit, s’assit, siégeant en temps que seul juge d’Israël (vs. 13,14). Le peuple venait devant lui avec toutes sortes de problèmes demandant une décision, instruction ou un conseil. Le peuple se tournait vers Moïse seul pour une parole de Dieu pour leur donner des directions dans leurs vies. Au bout de la journée, la longue file d’Israélites patientant était toujours là. Le peuple était fatigué d’être debout pendant toute la journée, et il en était de meme pour Moïse (vs.14,18). Jéthro était capable d’identifier rapidement le problème, qui semblerait-il, était totalement invisible à Moïse.
Jéthro fut déconcerté par l’incompétence de ce qui arrivait pendant la journée. Peut-être qu’au cours du diner ce soir- là, il commença à poser des questions à propos de la logique de Moïse pour administrer la justice (juger) comme il le faisait. Il est apparent par l’interrogation de Jéthro qu’il n’était pas d’accord avec la façon dont Moïse s’occupait des choses. Même la façon dont les questions étaient écrites, vous pouvez imaginer le ton de voix avec lequel il parlait. (Les beaux-pères, vous savez, peuvent toujours mieux faire que les autres. Ça commence toujours avec une question comme, « Qu’est qui te fait croire que tu es un homme assez bon pour être le mari de ma fille ? »
Je crois que Moïse fut complètement prit à dépourvu par la désapprobation de Jéthro. Moïse était si englouti par son travail, essayant désespérément de ne pas se noyer, qu’il n’avait pas le temps de réfléchir et méditer sur ce qu’il faisait.
Jéthro, d’un autre coté, suspectait déjà le problème depuis quelques temps. Moïse avait non seulement envoyé sa famille chez lui pour qu’il s’en occupe, mais il n’avait eu que peu de contact avec eux, et il avait retardé la réunion avec sa famille. Ce matin, Jéthro commença à voir les morceaux du puzzle se mettre en place. Moïse n’était pas allé chercher sa famille car il n’avait pas le temps de s’occuper d’eux – même pas de penser à eux.
La réponse de Moïse révèle sa perception déformée, ce qui était le vrai problème. Pendant que Jéthro réalisa rapidement la situation, Moïse ne pensait pas très clairement à ce qu’il faisait. Sa réponse révèle plusieurs idées fausses sur son rôle de chef. Considérez-les avec moi pour un moment.
(1) Moïse croyait que chaque requête pour son aide le rendait responsable. Quand on lui demanda pourquoi il s’occupait des problèmes comme il le faisait, Moïse répondit, « Je le fais parce que le peuple me l’a demandé ». Je crois que Moïse était un homme obligeant, bienveillant, et compatissant. Je pense que les Israélites croyaient ça aussi. Pas étonnant qu’ils voulaient expliquer leurs problèmes à Moïse. Moïse ne pouvait refuser son aide à toute personne qui le lui demandait. Il tomba simplement dans le piège d’assumer que c’était sa responsabilité de trouver une solution à chaque problème qui lui été présenté. Si vous ne l’avez pas déjà remarqué, vous découvrirez que nous serons toujours conscients de plus de besoins qu’on puisse s’occuper personnellement. Moïse se rendait fou parce qu’il ne s’était pas encore rendu compte de son erreur.
(2) Moïse sembla assumer que parce que les gens venaient le voir personnellement pour demander de l’aide, c’était sa responsabilité de les aider personnellement. En réponse à la question de Jéthro, Moïse expliqua qu’il jugeait le peuple de l’aube au crépuscule parce qu’ils venaient vers lui pour demander son aide. Il assuma que quand il y avait un besoin, c’était son devoir d’y faire face. En fait, Moïse ne dirigeait pas du tout, car il était totalement incapable de refuser des nominations ou d’impliquer d’autres personnes pour s’occuper des besoins des Israélites. Qui voulait parler à Moïse (étant d’accord pour attendre son tour) pouvait lui parler !
(3) Moïse raisonna incorrectement que parce que sa tâche était de guider toute la nation, il devait le faire en traitant avec les gens une personne à la fois. Il ne sembla pas avoir réalisé qu’il devait s’occuper de ce travail sur une plus grande échelle, traitant avec des groupes, plutôt que des individus. Plutôt que d’enseigner une classe de 1000 (qui aurait été une petite classe pour lui), Moïse enseignait la même chose 10 fois à 100 personnes.
(4) Moïse sembla avoir assumé que personne d’autre n’était capable de faire ce qu’il faisait. Moïse dit à Jéthro que le peuple venait le voir pour « chercher la volonté de Dieu » (v. 15). Il semblerait comme si cela plaçait les besoins du peuple dans une catégorie dont seul Moïse était capable s’occuper.196
(5) Moïse sembla avoir perdu de vue sa vocation et ses dons uniques. Dieu n’a pas demandé que Moïse fasse tout lui-même, mais seulement certaines choses. Moïse fut donné la responsabilité de guider toute la nation d’Israël, et donc, sa tâche était très différente de celles des autres, qui pouvaient s’occuper du peuple au niveau plus personnel, plus intime.
Je crois que nous pouvons tirer plusieurs principes importants de gestion des paroles de Jéthro, qui furent adressées à Moïse. Considérons-les avec beaucoup d’attention. Ces principes et leur adaptation pratique fournissent la solution aux problèmes de Moïse.
(1) Pour être un dirigeant, une personne doit contrôler. Ici, je fais allusion au fait que Moïse devrait être au contrôle de son ministère et de son emploi du temps, pas autant qu’il devrait être au contrôle d’Israël. Il n’était pas au contrôle de son ministère. En tant que dirigeant d’Israël, il aurait dû avoir contrôle de son emploi du temps, mais il est évident qu’il ne l’avait pas. Du matin au soir, il était prisonnier de la foule qui voulait ses conseils. Pour mettre le problème en termes contemporains, plus le niveau d’un dirigeant est élevé, plus il est difficile d’obtenir un rendez-vous avec lui. Notre texte implique que Moïse ne refusait aucunes entrevues. Jéthro lui conseilla vivement d’exercer son autorité en gagnant contrôle de son temps, et de la façon dont il guidait le peuple.
(2) Pour être un dirigeant chrétien efficace, une personne doit balancer le principe de servitude avec celui de gérant. Pendant qu’il est possible que les motifs de Moïse n’aient pas été complètement purs (ceux de qui le sont ?), Je suis disposé à croire que la motivation principale de Moïse pour s’occuper des Israélites comme il le faisait était qu’il se souciait véritablement d’eux et voulait les servir. Moïse, on nous dit, était connu par son humilité (Nombres 12:3). J’assume donc que c’était un vrai cœur de serviteur qui motivait son travail et qui causa à Jéthro de se poser des questions à propos de son inefficacité.
Chaque dirigeant doit être un serviteur, mais nous devons être le serviteur du Seigneur, faire Sa volonté, pas les serviteurs des hommes, réalisant toutes leurs espérances et leurs désirs. Comme serviteurs du Seigneur, nous ne pouvons avoir qu’un maitre (Matt. 6:24), à qui nous devrons rendre des comptes de notre gestion (Matt. 25:14-40 ;1 Cor. 3:10-15 ; 4:1-5). Dieu nous tiendra responsable de comment nous avons traité ce qu’Il nous a ordonné de faire. Donc, dans nos attitudes, nous devons être intégralement des serviteurs, mais nous ne devons pas permettre aux autres de dicter ou de déterminer comment notre gestion devrait être gérée.
En d’autres mots, Moïse devait être un serviteur, mais il devait servir en guidant. Comme tel, il devait prendre charge, il devait déterminer sa vocation, il devait établir des priorités, et il devait d’y tenir, même quand les autres essaieraient de modifier son travail. Moïse devait servir les Israélites, mais il devait le faire de la façon dont Dieu voulait qu’il le fasse. Avoir un esprit de serviteur est donc une attitude essentielle pour un dirigeant chrétien, mais les actions de ce dirigeant doivent être déterminées par d’autres facteurs.
(3) Diriger est comme être un berger et être un berger implique un troupeau. Moïse traitait avec les Israélites individuellement, mais Jéthro recommandait de traiter avec eux collectivement (vs. 19-20). C’est une bonne chose pour un chef de désirer connaître tous les gens qu’il dirige personnellement, mais c’est franchement une mission impossible quand le groupe est très grand. Nous ne pouvons certainement pas lui en vouloir pour ne pas connaître intimement chacun des presque 2 millions d’Israélites. Moïse dit aux Israélites que leur grand nombre était la raison pour laquelle il accepta de faire ce que Jéthro recommandait :
« ---A cette époque-là, je vous ai dit: «Je ne peux pas, à moi seul, assumer la responsabilité de vous tous[f].
L'Eternel votre Dieu vous a multipliés, au point que vous êtes aujourd'hui aussi nombreux que les étoiles du ciel. » (Deut. 1:9-10)
Il y a des raisons pour lesquelles nous arrivons à nous attendre à ce que nos dirigeants nous connaissent intimement, bien que cela soit impossible. Une des raisons est que nous n’avons pas interprété ou appliqué correctement l’image du berger de la Bible. Quand être un berger est décrit comme un boulot pour des chefs humains, ils sont dits être des bergers d’un troupeau, pas des bergers pour une brebis seule (Ps. 77:21 ; 78:52 ; 80:2 ; Ésaïe 63:11-14).
Une autre raison est que nous avons échoué à faire la différence entre guider le troupeau en suivant les hommes et guider le troupeau en suivant Dieu. Cependant, quand notre Seigneur est le berger, nous trouvons que la relation décrite est bien plus personnelle et intime (Ps. 23 ; Jean 10), autant qu’elle puisse être, car notre Seigneur n’a pas les limitations humaines des bergers de la terre.
Une autre erreur, à mon avis, est que nous avons tendance à confier la tâche de conduire le troupeau aux anciens seuls. Comprenant le concept de l’église comme étant un corps, je vois que c’est le travail de l’église de prêcher à elle-même. Nous sommes tous des prêtres, non seulement quelques sélectionnés (1 Pierre 2:5). Les anciens sont ordonnés de conduire le troupeau de Dieu (1 Pierre 5:1), mais cela ne veut pas dire qu’ils doivent faire tout le boulot. Je crois que cela veut dire qu’ils sont responsables pour s’assurer que tout le troupeau de Dieu soit guidé. Le management de l’église locale implique plus que les anciens. Donc l’auteur d’Hébreux évite de mettre les dirigeants de l’église au même niveau que les anciens (Héb. 13:7,17).
Cela explique pourquoi on nous parle des bergers au pluriel au lieu du singulier (à commencer avec Moïse et Aaron – Ps. 77:21) et plus loin à la pluralité des anciens/dirigeants dans le Nouveau Testament (Actes 20:17 ; Philippiens 1:1 ; 1 Pierre 5:1-2). Le travail de berger est au-delà de la capacité d’un seul homme à accomplir.
Quand Moïse essayait de régler les disputes, il traitait avec les Israélites sur la base individuelle. Quand il enseignait le peuple les principes et les préceptes de Dieu, il pouvait le faire en larges groupes, fonctionnant donc plus comme un berger.
(4) Parce que diriger exige une pluralité de chefs, cela exige aussi que les chefs soient responsables. Moïse n’était pas capable de gérer son ministère parce qu’il ne réalisa pas que son ministère avait besoin d’être gérer. Une des fonctions essentielles de la direction est la gérance. Moïse traitait avec près de 2 millions de gens, mais il essayait de le faire par lui-même. Il ne voyait pas le besoin de délégation – la nécessité d’utiliser les autres pour couvrir tous les besoins des Israélites. Le Nouveau Testament parle fréquemment de la fonction de gérance des dirigeants de l’église. Donc, les termes « gérer », « être à la charge de », et « superviser » sont fréquemment utilisé en références aux dirigeants de l’église. Moïse oublia que diriger implique gérer.
(5) Diriger implique des obligations à la fois privées et publiques, aucune de deux ne pouvant être totalement sacrifiée pour l’autre. Moïse devint si enchevêtré dans ses affaires publiques (jugeant les Israélites) qu’il avait involontairement négligé sa famille et lui-même. Selon Jéthro, il allait finir « par s’épuiser » (v. 18). De plus, Moïse semblait avoir oublié sa famille. Qui savait combien de temps ils seraient rester chez Jéthro, si cet homme sage n’avait pas prit l’initiative de réunir la famille de Moïse?
Une balance délicate doit être maintenue entre les responsabilités publiques et privées. Moïse avait permit à son sens de devoir public d’éclipser son sens de responsabilités personnelles. Un dirigeant est quelqu’un qui doit bien gérer sa famille, une condition préalable à sa prise en main de son rôle de dirigeant de l’église (1 Timothée 3:4,12). Ceux-ci sont ceux (moi inclus des fois) qui utilisent leurs devoirs publics comme excuses pour éviter leurs obligations privées. Il y a des façons qui ont des sons très pieux pour faire ça, mais la vérité est que souvent nous évitons les choses auxquelles nous ne voulons pas faire face en conjurant un « lion sur la route » (Prov. 26:13),197 ce qui nous donne une bonne raison pour notre inaction. Les scribes et les pharisiens étaient des experts à ça (Marc 7:9-12). Donc, Paul vit la nécessité de souligner l’importance de nos responsabilités familiales (1 Timothée 5:8).
Il devrait être ajouté rapidement que certain prêtent tant d’attention à leurs affaires personnelles qu’ils excluent leurs obligations publiques. Les « soucis de ce monde » peuvent étouffer ce qui pourrait être appelé « les soucis du Royaume » (Marc 4:19). Les soucis que quelqu’un peut avoir avec sa famille peuvent ralentir son engagement de suivre Christ (Luc 9:57-62 ; 1 Cor. 7:32-35). A mon avis, il y a une tendance parmi les Chrétiens aujourd’hui de devenir bien trop introvertis, utilisant leurs responsabilités familiales pour excuser leur manque d’attention à pénétrer le monde comme « sel » et « lumière ».
Le conseil de Paul à Timothée peut être appliqué à tous les Chrétiens, car il souligne le besoin de prendre soin de nos responsabilités personelles autant que de nos devoirs publics :
« Veille sur toi-même et sur ton enseignement. Sois persévérant en cela. En agissant ainsi, tu assureras ton salut et celui de tes auditeurs.» (1 Timothée 4:16)
Prendre soin de notre propre « homme intérieur » est vital, non seulement parce que nous devons continuer notre propre parcours avec le Seigneur, mais aussi parce que nous pouvons rapidement utiliser nos réserves spirituelles en prêchant aux autres. L’exhortation de Paul à Timothée nous rappelle de l’importance pour chacun de nous de prendre soin de notre nourriture spirituelle, ainsi que de celle des autres. L’œuvre de Gordon MacDonald, Ordering Your Private World, est dévoué aux disciplines de ce ministère personnel. Je recommande fortement que vous lisiez et appliquiez les conseils de MacDonald.
(6) Diriger doit traiter avec les problèmes, mais nous doit faire attention de ne pas nous laisser consommer par eux. Moïse gravitait dans le rôle de « celui qui résout les problèmes d’Israël ». En faisant plus attention au texte biblique, il semblerait que Moïse était essentiellement consommé avec l’arbitration de disputes.198 Il était devenu plus un arbitre qu’autre chose. Son rôle était presque complètement directif (résolvant les problèmes), plutôt que préventif (prévenant les problèmes). Le conseil de Jéthro était que Moïse réarrange son emploi du temps pour que la priorité soit donnée à enseigner les principes et préceptes de Dieu au peuple, ce qui préviendrait les problèmes, et de prescrire des directives pour résoudre les problèmes quand ils surviendraient.
A mon avis, quand nous sommes obsédés à résoudre tous les problèmes, nous sommes souvent si occupés que nous perdons notre sens de direction. Moïse semble avoir été complètement pris pas surprise par la réponse de Jéthro. Il apparaît avoir été totalement ignorant de son propre échec ou du fait que les besoins des Israélites n’étaient pas correctement pourvus. Je crois que c’est parce qu’il était trop occupé avec les menus détails de son travail et pas assez impliqué avec la gérance de son ministère.
Le Conseil de Jéthro et le Christianisme Contemporain
Il y a une façon par laquelle nous avons tous été affectés par le conseil que Jéthro donna à Moise il y a des siècles. Je n’y ai pas pensé, mais un de mes amis y a pensé, et il l’a partagé avec moi alors que nous étudions ce texte. Il remarqua que le conseil de Jéthro était probablement lié à la rédaction du Pentateuque par Moïse. Moïse écrivit les cinq premiers Livres du Vieux Testament – le Pentateuque. C’est un chef d’œuvre littéraire, sans mentionner son statut de révélation divine. L’œuvre du Pentateuque fut la réalisation du conseil de Jéthro :
« Tu dois aussi leur communiquer ses ordonnances et ses lois, leur enseigner la voie à suivre et la conduite à tenir. » (Exodus 18:20)
La façon dont Moïse fut consommé par ses devoirs comme juge, il n’aurait jamais eu le temps d’écrire le chapitre que nous avons venons d’étudier, et duquel nous pouvons tant apprendre. Nous avons bénéficié si directement du conseil de Jéthro à Moïse. Des millions ont été bénis à cause des changements que la visite de Jéthro a amenée dans la vie de Moïse.
Sans aucun doute, beaucoup de nos lecteurs se sentent confortable en considérant ce passage d’Ecritures. En premier lieu, c’est un texte qui pourrait sembler sans rapport avec Chrétiens du Nouveau Testament à cause de son ancienneté. Deuxièmement, c’est un texte qui traite avec les dirigeants, et donc ceux qui ne sont pas dirigeants officiels de l’église peuvent se sentir exempts de toutes implications du texte, même si elles sont pertinentes. Je voudrais suggérer que cette conclusion est fausse. Explorons les raisons pour lesquelles le conseil de Jéthro est aussi pertinent à tous les Chrétiens d’aujourd’hui qu’il était à Moïse il y a des siècles. Je vais chercher à montrer la pertinence du conseil de Jéthro en établissant trois principes ci-dessous.
(1) Les principes et actions recommandés par Jéthro sont ceux que nous trouvons utilisés par l’église du Nouveau Testament. Les parallèles entre Exode chapitre 18 (incluant sa mise en œuvre dans Deutéronome 1:9-18) et Actes 6 sont très étranges. Les incidents d’à la fois le Vieux et Nouveau Testament proviennent de problèmes qui étaient le résultat d’une croissance rapide, d’un grand nombre de gens, et pas assez de dirigeants. Ces évènements exigèrent que la direction s’agrandisse, et pour ceux au plus haut niveau de la direction de se consacrer à leur première vocation, et de déléguer les autres travaux à d’autres hommes très qualifiés. Le conseil de Jéthro était que Moïse nomme d’autres gens pour s’occuper des problèmes qui surviendraient, et pour lui de se dévouer à intercéder pour les gens (v. 19) et à l’instruction (v. 20). La même méthode peut être vue dans le Nouveau Testament. Les apôtres furent rendus conscients de la discrimination qui arrivait pendant la distribution de nourriture aux veuves, mais ils déléguèrent rapidement la solution de ce problème à d’autres personnes, plutôt que d’être distraits de leurs responsabilités primaires de prières et de proclamer la Parole de Dieu au monde (Actes 6:1-6).
Le chapitre 6 d’Actes est un exemple de comment la première église utilisa les principes administratifs d’Exode 18 et Deutéronome 1. En effet, plus j’étudie l’incident d’Actes, plus je suis enclin à conclure que les apôtres avaient trouvé le précédent dans ces textes du Vieux Testament pour leur décision. Si les apôtres et la première église pouvaient trouver la solution à leur dilemme dans Exode chapitre 18, pourquoi ne pouvons-nous pas non plus appliquer ce texte à notre église d’aujourd’hui ?
(2) Les principes que Jéthro recommanda à Moïse sont ceux que nous trouvons les dirigeants individuels dans le Nouveau Testament appliquent à leurs ministères. En lisant le Nouveau Testament, nous trouvons que les grands dirigeants de ces jours règlementaient leurs travaux d’une façon qui était consistante avec le conseil que Jéthro donna à Moïse.
On pourrait ne pas penser que notre Seigneur soit un exemple ici quand nous arrivons à certains versets dans le Nouveau Testament qui décrivent une demande incroyablement lourde pour le temps et l’énergie de notre Seigneur. Par exemple, nous lisons :
« Jésus alla à la maison et, de nouveau, la foule s'y pressa au point que lui et ses disciples n'arrivaient même plus à manger.
Quand les membres de sa famille l'apprirent, ils vinrent pour le ramener de force avec eux. Ils disaient en effet: «Il est devenu fou.» » (Marc 3:20-21)
Avant d’examiner les façons par lesquelles notre Seigneur fut un exemple pour les dirigeants, rappelons-nous les façons par lesquelles notre Seigneur était unique comme patron. Premièrement, Il était Dieu incarné. Deuxièmement, Il était un homme qui n’avait pas d’épouse ni d’enfants. Troisièmement, Il savait que Ses jours étaient comptés, qu’Il allait mourir sur la croix du Calvaire après un ministère de courte durée. En d’autres mots, notre Seigneur put « brûler la chandelle par les deux bouts », Il put pousser son corps aux limites de la faim et de la fatigue parce qu’Il n’avait pas à contrôler son allure pendant la période de son ministère sur terre. Jésus courrait le 100 mètres, et donc Il mit tout ce qu’Il avait dans la distance à parcourir. Nous, nous courrons un marathon, et nous devons donc nous contrôler différemment.
Néanmoins, notre Seigneur exerça Sa direction d’une façon qui illustre beaucoup les principes que Jéthro enseigna à Moïse. Notre Seigneur n’avait pas pour intention d’enseigner seul. A la place de faire ça, Il appela 12 disciples pour Le suivre, et les forma pour continuer sans Lui. Par la suite, eux aussi feraient d’autres disciples. Bien que notre Seigneur fut constamment affairé, Il n’oublia jamais Ses priorités. Bien qu’Il fut toujours en demande comme guérisseur, Il restreint Ses guérisons pour que son travail principal de proclamer l’Evangile puisse être réalisé (Marc 1:32-39).
Bien que notre Seigneur prêchait aux foules, Il s’éloignait fréquemment pour des périodes de solitude avec Son Père. Son travail public fut entrecoupé avec des périodes de relation intime avec Dieu (Matt. 4:12 ; 12:15 ; 14:13 ; 15:21 ; Luc 9:10 ; 22:41 ; Jean 6:15). C’était à ces moments là que des décisions critiques furent prises. Donc notre Seigneur eut toujours un sens très fort de Sa vocation et de Son but. Il ne pouvait être dissuader d’accomplir son travail par Satan, ni par les circonstances ou ni même par de mauvais conseils de Ses disciples qui pensaient bien faire. Notre Seigneur sut toujours ce qu’Il avait été envoyé pour faire, et ne changea jamais de direction.
Je crois qu’une étude de la vie de Paul montrerait la même sorte de direction.200 Dans les deux cas il y avait des problèmes et des pressions constantes. Je ne crois pas que les efforts de Chrétiens contemporains pour vivre leur vie à une vitesse plus ralentie est vraiment réaliste. Cependant, je crois qu’il y a un besoin pour une paix intérieure, un sens fort de direction, et des priorités très claires qui gouvernent nos décisions en ce qui concerne quelles taches nous allons faire quand il y a plus de demandes que de temps pour les accomplir. Je crois que dans ces temps, quand la vie est inévitablement effrénée, nous devons avoir un sens clair de notre vocation et du fait que nous devons travailler avec une paix intérieure pour faciliter notre travail. Nous devrions être comme un docteur qui est appelé à l’hôpital quand un désastre frappe. Bien qu’il puisse y avoir beaucoup de personnes se mourant, il ne peut que s’occuper d’eux d’une façon ordonnée. S’occupant de chacun d’entre eux, il doit le faire avec une paix intérieure et confiance. S’il était paniqué, il ferait beaucoup de mal. En restant calme, il peut fournir beaucoup d’aide, mais seulement dans ses limites. Je vois ce genre de paix intérieure dans notre Seigneur et dans l’apôtre Paul, même dans les moments de grandes demandes ou de beaucoup de stress.
(3) Les principes que Moïse apprit de Jéthro sont applicables à chaque Chrétien, qu’il soit dirigeant ou pas. Les principes que nous avons appris de Jéthro sont des principes de gérance. Que nous ayons une position de dirigeant dans l’église ou non, la plupart d’entre nous avons quelques responsabilités de guides. Les hommes ont des responsabilités de guides dans le mariage. Les mères ont des responsabilités de guides dans la maison. Les femmes chrétiennes qui sont plus âgées que d’autres ont un rôle de guides avec les femmes plus jeunes. Beaucoup de gens ont des rôles de guides dans leur boulot ou dans la communauté. Dans tout ce qu’on fait nous avons un rôle de guide, les principes que nous trouvons dans Exode 18 sont applicables.
Au-delà de ça, les principes que nous trouvons dans notre texte s’appliquent à tous les Chrétiens, car nous sommes tous des serviteurs du moment, des dons, et des opportunités que Dieu nous a données. En d’autres mots, nous devons accepter la responsabilité dans nos vies, ce qui implique gérer ces choses dont Dieu nous rendit serviteurs. De différentes façons, notre jugement devant le siège du Christ (1 Cor. 3:12-15) sera une évaluation par notre Seigneur de notre gestion de ce qu’Il nous a confié. Fréquemment dans les Evangiles, il y a un portrait de serviteurs de Dieu Lui rendant des comptes (Matt. 25:14-30). Si nous étions de bons serviteurs, nous devrions être de bons gestionnaires, de notre temps, de nos dons et capacités, et de nos opportunités données par Dieu.
Pratiquement parlant, une bonne gestion est nécessaire pour notre survie spirituelle dans une culture qui semble être confinée sur l’ « autoroute ». Pour certains Chrétiens, il y a un besoin de contrôler nos ministères, pour qu’ils soient plus efficaces et qu’ils ne nous dépouillent pas de l’accomplissement de nos responsabilités personnelles et privées. Certains ministères sont dans un tel état que notre monde privé est en train de s’effondrer. Pour d’autres, il y a un besoin désespéré de regagner contrôle de nos vies privées et personnelles pour que nous puissions accomplir les ministères publics que Dieu nous a donnés. Il y a d’innombrables Chrétiens dont les ministères sont non-existants parce qu’ils sont écrasés par d’autres pressions. Dans les deux cas, nous avons besoin de reprendre le contrôle de nos vies et de nos ministères.
L’aptitude de gestion n’est pas innée, mais elle est apprise. Les bons dirigeants ne sont pas nés, ils sont faits. Moïse fut appelé à guider les Israélites, mais même avec des années d’éducation en Egypte et d’expérience pratique, Moïse avait encore beaucoup à apprendre. Ça, ça devrait encourager ceux d’entre nous qui croyons que l’administration n’est pas notre fort. Apprenons de Moïse que nous pouvons devenir de meilleurs gestionnaires, meilleurs administrateurs, et meilleurs dirigeants.
Pour finir, considérons plusieurs pas initiaux qui pourraient nous aider à nous mettre en route sur le chemin de devenir de meilleurs dirigeants et gestionnaires.
(1) Trouvez un Jéthro. Ceux qui ont des ministères hors de contrôles pourraient, comme Moïse, ne pas réaliser leurs difficultés. Dieu donna à Moïse un Jéthro pour lui signaler ses problèmes. Heureusement, Dieu m’a donné un Jéthro, un cher ami et frère chrétien, qui me montra le désordre de ma vie, et qui gentiment me poussa à regagner contrôle. Si vous n’avez pas d’ami comme ça, cherchez-en un.
(2) Déterminez pieusement les choses qui devraient être sous votre contrôle, mais ne le sont pas, et demandez à Dieu de vous permettre de résoudre le problème.
(3) Déterminez les dons que Dieu vous a confiés, et réfléchissez à la meilleure façon de les utiliser pour le royaume de Dieu.
(4) Etablissez des buts pour votre vie, et formulez un plan pour les réaliser avec la grâce de Dieu. Dieu pourrait superbement intervenir pour changer ces plans, mais c’est mieux d’avoir un plan qu’on puisse changer que de n’en avoir aucun.
(5) Etablissez un plan pour à la fois votre monde privé et votre ministère public, et prenez une décision de ne pas les négliger.
(6) Evaluez les priorités qui vont gouverner les choses que vous allez faire et celles que vous allez refuser. De toutes les choses que vous pourriez faire, cherchez à identifier et à finir celles que vous devriez faire.
(7) Cherchez à différencier entre les difficultés et la vocation de votre vie ; Minimisez le premier et maximalisez le dernier.
(8) Facilitez le travail des autres, spécialement en les encourageant et en les équipant pour faire ce qu’ils font de mieux. En autres mots, commencez à agir comme un Jéthro pour les Moïses autour de vous.
(9) Désirez grandir à la fois dans votre foi et votre humilité. La foi est exigée pour croire que Dieu vous permettra de faire ce qu’Il vous demande. La foi est aussi exigée pour vous permettre de laisser aux autres ce que vous ne devriez pas faire. L’humilité vous empêchera de faire confiance à vous-même, et vous empêchera de recevoir des accolades pour ce que Dieu a fait. Elle vous permettra aussi de résister les suggestions flatteuses que vous êtes la seule solution d’un problème.
185 I might as well confess that after I decided on the title “The Tyranny of the Urgent” for this chapter, I was tempted to change the title of the messages on chapters 16 and 17 to be: “The Tyranny of the Urges.”
186 Gordon MacDonald, Ordering Your Private World (New York: Oliver Nelson, 1984), pp. 13-18.
187 While this expression (“send her away”) can be used as a technical term for divorce, it is obviously used in its neutral sense here. Gispen informs us of Calvin’s explanation: “Calvin believed that Moses took Zipporah and her two sons with him to Egypt, but that he had allowed them to visit Jethro during the wilderness journey; Jethro then brought them back to Moses. The expression ‘after sending her away’ argues against this view, but it also contradicts the idea that Zipporah voluntarily left in anger to return to her father after the circumcision of her son. Moses had sent them away, and Jethro wanted to return them to Moses, now that the situation for Moses and Israel seemed to be more hopeful than Zipporah might have anticipated.” W. H. Gispen, Exodus, trans. by Ed van der Maas (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1982), p. 173.
188 Jethro had good reason to be upset with Moses. He did not tell him of the call of God, nor of the real purpose of his return to Egypt, which would have endangered his daugher and grandchildren. Neither does it seem that he asked Jethro’s permission to send his family back to the land of Midian. To top matters off, Moses seemed to be in no hurry to call for his family, once the dangers of Egypt were a thing of the past.
189 The impression I gain from the text is that Jethro did not send word to Moses of his arrival until he was almost to the camp of Israel. Moses, therefore, would have been taken largely by surprise by the arrival of his family. Further explanation will reveal why.
190 On initial reading, one would tend to conclude that Moses took Jethro into his tent, in the Israelite camp, but the text tells us that Moses had gone out to meet Jethro. It was there, it would seem, that Moses kissed Jethro, and then entered into Jethro’s tent, to share what God had done for Israel. It is no wonder then, that it is not until the next day, when Moses is entertaining Jethro at his own tent that the administrative and ministerial nightmare is spotted by Jethro. One can learn a lot by a visit to the home of another.
191 Jethro is identified in verse 1 as “the priest of Midian.” This seems to signal the fact that he was not just a priest, but one of the most prominent (if not the most prominent) leaders. A similar situation can be found in John chapter 3, where Nicodemus is called “the teacher of Israel” (v. 10, cf. v. 1). Cole, observes: “The whole scene is typical of eastern courtesy. Both men are now great chiefs in their own right, and behave accordingly.” R. Alan Cole, Exodus: An Introduction and Commentary (Downers Grove: InterVarsity Press, 1973), p. 138.
192 Cole writes: “This may not be true monotheism (the belief that there is only one god), but it certainly leads to monolatry (the worship of one god to the exclusion of others) as a logical sequence. … Was Jethro ‘caught up’ into the worship of YHWH, a ‘new convert,’ as doubtless others were later? Or had he already known and worshipped YHWH previously? Jethro’s own words here seem to favour the view that YHWH was a new god, as far as he was concerned.” Cole, p. 139.
193 Davis reminds us that, “Jethro must be considered unique, for it is clear from Scripture that the Midianites generally were idolaters (cf. Num. 25:17-18; 31:16).” John J. Davis, Moses and the Gods of Egypt (Grand Rapids: Baker Book House, 1971), p. 188.
194 It occurred to me that Jethro may have been inspired to reunite Moses with his family because he became aware of the fact that Moses was now heading toward Canaan without his family. After the exodus of Israel from Egypt, Moses kept getting closer and closer to Midian and to his family. All during this time, the hopes of Moses’ family of being reunited with him were rising. If reports now placed Moses at locations which were growing more distant, one can see how Jethro would have been motivated to seek Moses out and to renite him and his family. Jethro could have feared that Moses would actually lead Israel into the promised land without taking his family along. Moses might have rationalized that this would be the “safest” thing to do. All of this is conjecture, but it is within the realm of possibility.
195 Davis, p. 187.
196 I believe that Davis is wrong when he concludes that Moses was wrongly involving himself here with civil disputes and judgments, rather than spiritual matters. He writes, “Apparently a good deal of Moses’ time was devoted to civil problems judging from the language of verse 13. … As Jethro sized up the situation he rightly concluded that Moses could not exercise effective leadership if he were constantly bogged down with civil matters.” Davis, p. 188.
197 The sluggard’s “lion in the road” is not (as I first supposed) a weakly fabricated excuse, which is easily seen through (there were lions in Israel in those days), but a compelling excuse. If there was a lion in the road, who in their right mind would go outside? Thus, the sluggard’s mind is always searching for compelling reasons for inaction.
198 The fact that Moses was occupied with the task of settling disputes is seen in Exodus 18:16 and Deuteronomy 1:12.
200 Especially 2 Corinthians, chapters 4-7, where Paul’s ability to endure under opposition and adversity is the result of his sense of direction and calling, and from the inner strength which comes from the renewal and growth of the inner man.