MENU

Where the world comes to study the Bible

Mengetahui Kehendak Tuhan dengan Sempurna (Kol. 1:9)

Tinjauan Garis Besar:

I. Doktrin : Pribadi dan Karya Kristus (1:1-23)

A. Pendahuluan(1:1-14)

1. Salam Paulus kepada Jemaat di Kolose (1:1-2)

2. Ucapan Syukur Paulus untuk Jemaat di Kolose (1:3-8)

3. Doa Paulus untuk Jemaat di Kolose (1:9-14)

(a) Alasan Doa Paulus (1:9a)

(a) Isi dari Doa Paulus (1:9b-14)

(1) Akar dan Batang – “mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna” (ay. 9b)

Kata-kata Pendahuluan

Rasul tersebut memberi salam kepada jemaat di Kolose (1:1-2), bersyukur kepada Allah untuk iman dan kasih mereka (1:3-8), dan kemudian diikuti dengan suatu doa khusus untuk pertumbuhan mereka dalam pengetahuan tentang kehendak Allah (1:9-14). Banyak orang akan puas dengan fakta bahwa jemaat di Kolose sedang menunjukkan iman dan kasih, namun Rasul Paulus berdoa untuk pertumbuhan rohani yang lebih baik lagi, karena tanpa hal tersebut orang-orang Kristen akan menjadi mandek dan tidak produktif ( bnd. 2 Ptr. 1:4-11). Penekanan yang sama dapat dilihat dalam doa-doa Paulus dalam kitab Efesus dan Filipi ( bnd. Ef. 1:15-23; 3:14-19; Flp. 1:9-11). Dorongan doa-doa mengenai pertumbuhan rohani dan pengertian seharusnya mengajarkan kita bahwa ketidakseimbangan dan konflik-konflik yang bodoh sering terjadi dalam lingkungan Kristen dalam hal pemahaman Alkitab lawan ungkapan kasih. Dalam beberapa gereja , penekanannya adalah mengenai menyatakan kasih dalam hubungan-hubungan yang berarti di dalam dan di luar tubuh Kristus. Lainnya, penekanan mungkin pada kehidupan bersama tubuh Kristus, atau mungkin mengenai penginjilan, pengajaran, atau teologi. Yang satu sering digunakan untuk melawan lainnya seolah-olah semua itu bertentangan satu sama lain.

Semua tanggung jawab untuk tubuh Kristus diperlukan, dan seharusnya tak pernah dipertentangkan satu sama lainnya. Mereka terikat dan menyatu seperti sebuah tangan dalam sarung tangan. Prinsip pentingnya adalah bahwa mereka tidak saling ekslusif. Sebaliknya, mereka terjalin dan terkait, seperti sebab dan akibat ketika dipahami sebagaimana mestinya dan secara alkitabiah. Ayat-ayat pertama dari Kolose menggambarkan ini dengan indah. Rasul Paulus merasa bisa memuji jemaat Kolose untuk iman, kasih dan pengharapan mereka (1:4-5), namun ini tidak cukup. Perjalanan seseorang bersama Kristus bukanlah suatu hubungan yang statis. Selaku orang-orang Kristen, kita tak pernah bisa duduk tenang atau berhenti pada rangkaian kemenangan kita. Orang-orang cenderung untuk hidup pada masa lampau mereka atau bahkan pengalaman-pengalaman mereka sekarang ini dan terpaku pada apa yang nyaman bagi mereka. Karena tak seorang pun pernah sampai pada puncak kedewasaan rohani dalam hidupnya, selalu ada ruang untuk pertumbuhan rohani.

Jika kita terus menyenangkan Tuhan, menghasilkan buah dalam setiap pekerjaan baik dan sungguh-sungguh bertumbuh dalam Kristus, adalah perlu bahwa kita “menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna.” Mengapa ini benar? Pertama, karena kasih dan pelayanan tanpa wawasan alkitabiah dan pengetahuan akan kebenaran hanya akan menjadi peniruan yang tipis dan murah yang terutama dimotivasi oleh hal-hal yang mementingkan diri dan keinginan-keinginan. Karena kenyataan ini, Paulus memperingatkan untuk melawan kepura-puraan atau kasih yang pura-pura (Rm. 12:9). Dan kedua, karena tanpa wawasan alkitabiah dan motivasi, bahkan kasih Kristen yang tulus akan menjadi suram dan mati Tindakan-tindakan kasih Kristen dan pelayanan akan berubah menjadi membosankan dan pengunduran diri karena kapok, jika itu terjadi.

Tanpa kasih dan hubungan-hubungan yang erat dalam tubuh Kristus, pengetahuan yang kita peroleh melalui pemahaman Alkitab yang dalam akan selalu menjadi dingin, suka mengritik, membosankan, dan hanya intelektualisme saja. Pengetahuan tanpa penerapan tidak layak karena ini gagal menangkap arti dan tujuan mengenal Firman Allah. Pemahaman Alkitab tak pernah berakhir sampai di situ saja, namun ini adalah suatu elemen yang perlu dalam kehidupan orang percaya dan sesuatu yang terasa diabaikan dalam gereja sekarang ini. Seperti Rasul Paulus memperingatkan, pengetahuan tanpa pengertian dan kasih yang seperti Kristus menimbulkan kesombongan, kaku, kecongkakan, atau membesar-besarkan, dan gagal untuk memenuhi kehendak Allah (bnd. Kol. 2:18; 1 Kor. 8:1).1http://www.bible.org/node/1636 Jika pengetahuan kita tentang Juruselamat dan hidup kita di dalam-Nya tidak memimpin pada praktek kasih yang sejati, kita tidak ada apa-apanya (1 Kor. 13:2).

Karena itu, dalam ayat-ayat 9-14, rasul tersebut berpindah dari ucapan syukur kepada suatu permohonan yang sangat khusus yang menggambarkan tindakan praktis dari memiliki pengetahuan akan kehendak Allah dalam segala hikmat dan pengertian. Seperti yang ditekankan Johnson,

Orang-orang Kristen sering bertanya, “Bagaimana seharusnya saya berdoa, dan apa yang akan saya doakan?” Doa-doa Paulus merupakan pedoman-pedoman yang dapat dipercaya. Doa-doa tersebut singkat dan tegas, ditujukan pada keperluan-keperluan saat itu. Ia tidak “doa berkeliling dunia” sebelum mendoakan pokoknya. Ada suatu lelucon yang lucu tentang Billy Nicholson, penginjil Irlandia yang terkenal. Dalam suatu pertemuan akbar ia memanggil seorang saudara seiman yang dikenal karena suka menyebutkan semua misionaris yang dikenalnya dalam setiap doanya di muka umum. Pak Anu,” kata Billy, “tolong pimpin kami dalam doa, tetapi sebatas wilayah Donegal saja ya!”2

Doa-doa Paulus sangat berisi pelajaran dan sering berfungsi sebagai suatu teguran mengenai cara berdoa banyak orang Kristen. Doa-doa ini tidak hanya singkat dan tegas, namun bersifat strategi secara rohani. Mereka berfokus pada masalah-masalah rohani yang penting dalam menghadapi orang-orang percaya secara pribadi dan tubuh Kristus secara keseluruhan. Kehidupan Kristen adalah suatu peperangan rohani (Ef. 6:10-18), dan kehidupan doa kita seharusnya menggambarkan ini melalui cara kita berdoa. Dalam perang atau pertempuran militer, tujuan-tujuan biasanya dibagi ke dalam tiga bidang: strategis ( tujuan-tujuan penting dan utama), taktis ( operasi-operasi yang singkat dan cepat), dan logistik (distribusi keperluan-keperluan, orang-orang, dan bahan-bahan, dsb.). Sekarang ini, kehidupan doa banyak orang Kristen terutama berpusat pada logistik, pada kesehatan dan urusan-urusan kekayaan. Sebaliknya, doa-doa Paulus kebanyakan berfokus pada hal-hal strategis dan taktis.

Akhirnya, seperti dunia lakukan sekarang ini, bidat-bidat di Kolose menawarkan gereja pengetahuan palsu dan solusi-solusi palsu terhadap kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah orang-orang. Untuk menghadapi pengajaran palsu dari bidat-bidat Paulus berdoa untuk pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna. Dua istilah yang ia gunakan dalam bagian ini (ay. 9-14), “ memberi buah “ and “ bertumbuh ,” memberikan gambaran dari sebuah pohon untuk menguraikan keinginan Tuhan bagi mereka dan bagi kita sebagai sebuah gereja, tubuh Kristus. Ini disebut memperhatikan firman seperti dalam Yer. 17:8 dan Mazmur1:3 yang menggambarkan umat Allah sebagai umat Firman-Nya yang kudus: “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya…” ( Mzm. 1:3). Ketika para pria dan wanita secara teratur mengisi hati mereka dengan aliran-aliran Firman Tuhan yang segar, mereka menjadi berbuah tanpa peduli situasi-situasi kehidupan ( bnd. Dan. 11:32).

Alasan untuk Berdoa (ay. 9a)

1:9a Sebab itu sejak waktu kami mendengarnya, kami tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar3http://www.bible.org/node/1636 untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna.,

“Sebab itu” menghubungkan ayat-ayat 9-14 dengan bagian sebelumnya tentang ucapan syukur, khususnya (1) laporan tentang iman, kasih dan pengharapan mereka dan (2) suksesnya penginjilan di tengah-tengah mereka melalui pelayanan Epafras, rekan sekerjanya yang setia dan kawan pelayanan. Paulus bersyukur untuk apa yang Allah telah lakukan dalam hidup mereka, namun karena prinsip yang sudah didiskusikan mengenai pertumbuhan rohani, rasul tahu bahwa kasih mereka akan gagal dan mati tanpa terus bertumbuh dalam kebenaran Sang Juruselamat. Jadi, kita diperkenalkan dengan doa Paulus untuk lebih memperkaya mereka dan bertumbuh dalam pengetahuan akan kehendak Allah.

“Sejak waktu kami mendengarnya” menampilkan kepekaan dan kecepatan rasul untuk pergi ke takhta kasih karunia bagi tubuh Kristus. Ini menunjukkan pada kita bagaimana kehidupan Paulus asyik dengan memperhatikan orang-orang lain dan bagi kemuliaan Allah, dan bagaimana ia percaya dalam semua perkara Tuhan akan mencukupkan. Doa tak pernah jauh dari hatinya dan dari bibirnya karena Allah adalah keyakinannya dan orang-orang adalah kepeduliannya.

“Tiada berhenti-henti berdoa untuk kamu. Kami meminta” juga menarik perhatian kita, seperti dalam ayat 3, akan ketekunan kehidupan doa Paulus. Mengapa kita melihat begitu sedikit kelaparan akan Firman Tuhan dan begitu sedikit hasil-hasil dalam kehidupan orang-orang lain? Sudah pasti, satu alasan adalah karena kita gagal berdoa dan berdoa dan berdoa.

“Berdoa” bahasa Yunani-nya proseuchomai. Kata ini menunjuk pada hak istimewa untuk berdoa secara umum dan menekankan doa sebagai suatu tindakan ibadah dan pengabdian kepada Tuhan. Ini memandang doa sebagai sebuah pendekatan kepada Allah dari suatu pengenalan akan (1) kebutuhan seseorang dan ketidaklayakannya (2) akan kasih Allah dan semua karakter yang bijaksana dan kemahakuasaan atau persediaan total untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kata “meminta” bahasa Yunaninya aiteo, yang berarti “meminta, menginginkan, atau memohon.” Ini adalah kata lain untuk berdoa, sebuah sinonim, namun membawa keluar konsep mengenai kebutuhan-kebutuhan khusus dan keinginan-keinginan yang kita bawa ke hadapan Allah melalui permohonan-permohonan khusus.

Namun suatu perbandingan dari Mazmur 37:4 dengan Yakobus 4:3 mengingatkan kita bahwa seandainya kehidupan doa kita alkitabiah dan efektif, kesukaan kita haruslah dalam Tuhan dan tujuan-tujuan-Nya. Kesukaan akan Tuhan adalah apa yang memimpin keinginan-keinginan dan permohonan-permohonan kita sehingga semuanya tetap dalam alasan-alasan yang saleh. Tuhan tak pernah bermaksud doa menjadi sebuah cek kosong untuk mementingkan diri sendiri. Kita harus belajar dan berusaha berdoa dalam kehendak Allah sesuai tujuan dan nilai-nilai-Nya. Sebuah Mazmur yang indah yang menggambarkan prinsip ini adalah Mazmur 40:17:

“Biarlah bergembira dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari pada-Mu tetap berkata: “Tuhan itu besar!” ( membesarkan, NASB, mengagungkan, NIV) (Mzm 40:17)

Isi Doa Paulus (ay. 9b-14)

Akar dan Batang, “mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna” (ay. 9b)

1:9b supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna.

Gambaran pohon yang terlihat dalam istilah, “ memberi buah dan bertumbuh,” mengingatkan kita akan sebuah prinsip yang sangat penting dalam hidup, yaitu akar dan batang. Secara sederhana Anda tidak bisa berbuah tanpa akar menyediakan makanan yang diperlukan untuk menopang kehidupan dan sebuah batang yang kuat untuk memberikan kestabilan sehingga buah tidak jatuh ke tanah yang kotor atau batang tidak patah dan memotong suplai makanan ke buah. Bagaimanapun kita hidup di zaman sekarang, ketika orang-orang mau melewati sistem akar dan langsung ke buah. Sekarang ini, dalam banyak sekolah mereka yang berwenang sudah menghapuskan tinggal kelas dan lebih memperhatikan tentang memastikan anak-anak merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, bahkan jika mereka tidak bisa mengeja, membaca atau, menjumlahkan dan mengurangi. Namun ABC yang sederhana ini membentuk akar dan batang. Dunia nyata di luar sana tidak peduli dengan citra diri seseorang. Agaknya, dunia bisnis mengharapkan karyawan-karyawannya bisa menjumlahkan, mengurangi, mengeja, membaca dan menulis sehingga karyawan-karyawan ini bisa melakukan pekerjaan yang menjadi tugas mereka. Demikian juga, mengembangkan suatu sistem akar rohani yang sehat dan sebuah batang yang kuat penting untuk kehidupan Kristen yang berbuah.4http://www.bible.org/node/1636

Dengan kata-kata “supaya kamu menerima” dalam ayat 9, kita diperkenalkan pada isi dan tujuan doa Paulus. Secara harfiah, teks Yunaninya “ sehingga kamu boleh menerima.” Teks Yunani menggunakan suatu klausul hina dengan bentuk kasus pengandaian . Bentuk ini mungkin menyatakan isi (penggunaan kata benda hina) atau desain ( tujuan- hasil penggunaan hina) dari doa Paulus. Sementara bentuk ini mungkin paling dimengerti untuk menunjukkan isi (kata benda) dari doa mereka, sudah pasti Paulus dan rekan-rekannya memanjatkan doa ini, karena ini juga tujuan atau hasil yang mereka cari dari Tuhan dalam kehidupan jemaat Kolose. Intinya, Paulus berdoa untuk dua hal: (1) agar para pembacanya mengetahui kehendak Tuhan dengan sempurna (2) sehingga, sebagai hasilnya mereka boleh hidup dalam suatu cara yang menghargai Tuhan, menyenangkan Dia dalam setiap hal. Kedua permohonan, meskipun tersendiri, berhubungan erat dan terikat satu sama lain sebagai sebab dan akibat. Ayat 9 tanpa ayat 10 tidak lengkap dan jauh dari kehendak Allah, namun ayat 10 tanpa ayat 9 tidak mungkin.

Permohonan ini membentuk sasaran doa, namun intinya ini juga akar dan dasar bagi semua yang mengikuti. Permohonan ini menunjuk kita pada kebutuhan besar dalam setiap kehidupan orang percaya dan cara dengan mana kebutuhan ini dipenuhi. Penting bahwa para pembaca, dan dengan penerapan semua orang percaya untuk dipenuhi dengan pengetahuan akan kehendak Allah ( kebutuhan), namun tidak cara apa saja bisa memenuhi ini. Kita harus tak pernah mengisi kekosongan ini melalui hikmat kedagingan manusia atau imajinasi manusia (bnd. 2:2-3, 8, 18 dan Rm.1:18ff). Jadi, dengan kata-kata di dalam ( atau oleh) segala hikmat dan pengertian yang benar , rasul menunjuk pada semua cara yang penting.

Melalui surat ini, rasul menggunakan istilah-istilah alkitabiah seperti pengetahuan, menerima, rohani, pengertiandanhikmat. Istilah-istilah ini juga membentuk bagian dari kosa kata yang diambil oleh guru-guru palsu, namun apa yang mereka maksudkan dengan istilah-istilah ini adalah jauh berbeda dari doktrin yang kuat atau kebenaran alkitabiah. Seperti Wiersbe jelaskan, “Setan suka menipu! Ia suka meminjam kosa kata Kristen, namun ia tidak menggunakan kamus Kristen! Lama sebelum guru-guru palsu telah mengadopsi istilah-istilah ini, kata-kata itu sudah ada dalam kosa kata Kristen.”5 Dalam surat ini, rasul sering menggunakan tema “kepenuhan” atau “sempurna” untuk melawan klaim-klaim para guru palsu. Ini bisa dilihat dalam perbedaan, namun istilah-istilah yang sama yang digunakan dalam 1:9, 19, 24, 25; 2:2, 3, 9, 10; 4:12, 17. “Tampaknya bahwa guru-guru palsu menyombongkan bahwa mereka menawarkan kebenaran yang penuh dan kedewasaan rohani, sementara Epafras hanya menginstruksikan jemaat Kolose dalam langkah-langkah pertama (Beare, 156).”6

“…Supaya kamu menerima” juga bisa diterjemahkan, “… supaya kamu dipenuhi “ Seperti telah disebutkan sebelumnya, klausul ini melakukan lebih daripada acuan pada isi atau inti apa yang Paulus dan timnya doakan. Ini juga mengacu pada bentuk dan alasan untuk doa tersebut! Jemaat di Kolose sudah diberitahu bahwa mereka perlu lebih banyak pengetahuan dan hikmat yang lebih dalam melampaui apa yang mereka pelajari mengenai pribadi dan karya Kristus. Sekarang Paulus menunjukkan mereka sesungguhnya membutuhkan lebih banyak pengetahuan, namun pengetahuan yang benar akan kehendak Allah dengan memakai semua hikmat rohani dan pengertian.

Setan memiliki semua jenis tipu muslihat untuk mengganggu dan membuat orang berpaling dari Firman Tuhan. Terutama ia berusaha untuk menanamkan pengertian bahwa keselamatan saja dalam Kristus sudah cukup. “Supaya kamu dipenuhi “ melambangkan bentuk pengandaian dalam bahasa Yunani yang modusnya adalah kemampuan. Ini menunjuk pada apa yang Tuhan sudah rancang kemampuan untuk setiap orang percaya, misalnya dipenuhi dengan pengetahuan akan kehendak-Nya, tapi tidak perlu kenyataannya. Jadi, meskipun ada kemampuan dan rancangan Tuhan, ini mungkin tidak menjadi suatu kenyataan. Kenyataan ini dapat dirintangi oleh semua jenis gangguan, seperti kelalaian, kemalasan, kedagingan, materialisme, dan prioritas-prioritas yang salah. Atau, ini bisa dirintangi oleh ide-ide palsu yang berusaha menambahkan kepada atau mengurangi kepenuhan keselamatan sebagaimana dinyatakan dalam Kristus. Ini adalah apa yang jemaat di Kolose sedang hadapi dengan guru-guru palsu di Kolose. Tuhan menghendaki semua orang percaya dalam Kristus memiliki akar-akar mereka tertanam dalam-dalam dalam Firman-Nya seperti sebuah pohon yang ditanam di tepi air.

Saya dibesarkan di sebuah peternakan kecil di Texas timur. Di sekeliling rumah kami ada beberapa pohon oak yang tinggi yang merentangkan cabang-cabang mereka menyediakan naungan dan keindahan pada rumah kami. Tepat di belakang pohon-pohon oak ini ada kebun kami dimana ibu saya menanam sayur-sayuran seperti oyong dan ketimun. Nah, perlu bertahun-tahun untuk menghasilkan pohon-pohon oak yang sangat besar dan menyenangkan yang memberikan kami naungan dan keindahan tahun lepas tahun, namun hanya perlu beberapa minggu untuk menghasilkan sebuah oyong atau ketimun. Jadi , kita bisa bertanya, “Kita ingin menjadi orang Kristen macam apa? Apakah kita ingin seperti sebuah pohon oak atau sebuah oyong?” Pertumbuhan rohani yang mantap dan kuat membutuhkan waktu dan sebuah kehidupan yang segar yang dialiri oleh aliran Firman Tuhan, sumber pengetahuan akan kehendak-Nya.

“Dipenuhi” penuh-penuh dan berarti dan penting. Pertama, waktunya adalah aorist, yang melihat pada kulminasi efektif, hasil akhir dan rancangan untuk memperoleh pengetahuan akan kehendak Allah. Idenya adalah isi penuh dan sampai berlimpah. Tak seorang pun pernah mencapai sasaran ini, tetapi seharusnya ini tidak menjadi tujuan kita. Kedua, bidat-bidat secara teratur menggunakan kata kepenuhan. Ini adalah klaim mereka bahwa apa yang mereka sedang tawarkan sebagai suatu pengganti atau tambahan kepada Injil dan pada kehidupan orang percaya dalam Kristus akan membawa suatu tambahan kepenuhan hidup. Jangan percaya itu! Dunia dan setan selalu membuat klaim ini, namun ini adalah suatu dusta. Kepenuhan hidup hanya datang melalui suatu pengertian akan kepenuhan yang orang-orang Kristen secara otomatis miliki dalam Kristus sementara mereka terus bertumbuh dan menghubungkan hidup mereka kepada Dia melalui Firman (2:6-10). Ketiga, kata kerja tersebut dalam bahasaYunani pleroo, yang mungkin membawa tiga ide kunci, semua mungkin memiliki penerapan di sini meskipun arti pertama yang didaftarkan di bawah ini yang utama.

  • “ Untuk mengisi kekurangan.” Setiap orang percaya memiliki kekurangan-kekurangan dalam pengetahuannya akan Firman Tuhan dan kekurangan-kekurangan ini perlu disingkirkan melalui suatu penanganan yang seksama dan tepat dari Firman Tuhan ( bnd. 2 Tim. 2:15).
  • “ Untuk memiliki, mempengaruhi, mengendalikan, mengambil alih sepenuhnya.”Apa yang muncul pada pikiran Anda ketika Anda mendengar pernyataan, “ia dipenuhi dengan rasa takut?” Tidakkah Anda melihat seorang yang demikian dikendalikan dan dimotivasi oleh ketakutan sehingga gerakan dan tindakannya adalah hasil dari ketakutan tersebut? Demikian juga, pengetahuan akan kehendak Allah demikian meliputi keberadaan kita yang mengendalikan seluruh pikiran kita, pengaruh-pengaruh , tujuan-tujuan dan rencana-rencana kita. Semakin kita memiliki pikiran Kristus, semakin Allah melakukan pengendalian-Nya ke dalam hidup kita.
  • “ Untuk mengisi dengan suatu kualitas karakter tertentu .” Ketika sebuah rumah dipenuhi dengan keharuman tertentu, rumah itu memiliki kualitas keharuman tersebut ( bnd. Yoh. 12:3). Semakin hidup kita dipenuhi dengan Firman Tuhan, pikiran Kristus, semakin hidup kita memiliki kualitas dan karakter dari kehidupan Kristus ( bnd. Eph. Ef. 3:16-19).

“Pengetahuan” dalam bahasa Yunani adalah epignosis , suatu bentuk gabungan dari gnosis, “pengetahuan.” Sebuah studi konkordansi dari kata ini dalam Perjanjian Baru menyatakan bahwa ini hanya digunakan pada pengetahuan moral dan rohani ( pengetahuan tentang Allah dan kebenaran-Nya ), namun ada perdebatan yang serius mengenai arti tepatnya. Vaughn memiliki suatu ringkasan yang bagus dari masalah-masalah perdebatan ini:

…Armitage Robinson, misalnya , menyimpulkan secara sederhana , bentuk tak digabung (gnosis) [ Ini adalah sebuah kutipan. Apa yang Anda lakukan tentang kekurangan omega?] adalah kata yang lebih luas dan menunjukkan pengetahuan dalam “ pengertian paling penuh.” Bentuk gabungan yang digunakan di sini ia ambil menjadi “ pengetahuan yang diarahkan pada suatu obyek tertentu” ( Surat kepada jemaat di Efesus, hlm. 254). Sarjana-sarjana sebelumnya, sebaliknya, cenderung untuk melihat epignosis sebagai kata yang lebih luas dan lebih kuat. Meyer, misalnya, menetapkan ini sebagai “pengetahuan yang menggenggam dan masuk ke dalam sasaran” (hlm. 215). Lightfoot menyatakan bahwa “ ini terutama digunakan mengenai pengetahuan tentang Allah dan Kristus yang menjadi pengetahuan yang sempurna” (hlm. 138). Penafsir yang lebih berpengalaman yang mengerti firman menunjukkan dengan teliti pengetahuan, yaitu, suatu pemahaman yang dalam dan tepat, mungkin benar. Pengetahuan semacam itu tentang kehendak Allah adalah dasar dari semua karakter Kristen dan perilaku.7

Apakah epignosis menunjuk kepada pengetahuan yang diarahkan kepada sebuah bidang pengetahuan tertentu seperti pengetahuan tentang Allah dan hal-hal rohani atau kepada suatu pengertian pengetahuan yang lebih dalam mengenai pengetahuan yang sedang dipikirkan, ini menunjuk kepada suatu pengetahuan yang mempengaruhi kehidupan untuk perubahan rohani yang positif dan berkat. Dalam doa Paulus, masalahnya bukan sekedar pengetahuan, namun pengetahuan akan kehendak Allah. “Akan kehendak-Nya” menunjukkan kita pada bidang pengetahuan yang tepat dibutuhkan, namun dalam konteksnya , apa tepatnya yang ada dalam pikiran rasul tersebut?

Secara umum, pengetahuan akan kehendak Allah akan memperhatikan seluruh nasihat kebenaran Firman Tuhan sebagaimana ditemukan dalam Alkitab (sumber) mengenai pribadi dan karya Kristus (pokok utama). Seperti Wahyu 19:10 menjelaskan , “Sembahlah Allah! Karena kesaksian Yesus adalah roh nubuat” Poinnya sederhana dan jelas. Tujuan nubuatan, semua nubuatan, intinya menyaksikan Yesus Kristus dan memuliakan Dia. Firman Tuhan yang dinubuatkan, maksudnya dalam rencana Allah, adalah mengungkapkan keindahan pribadi dan karya Yesus Kristus. Dalam penantian yang pertama dan kedua, Ia adalah solusi Tuhan yang sempurna terhadap kejahatan-kejahatan dari dunia yang jatuh ke dalam dosa. Jadi semua firman Tuhan mutlak menunjuk pada pribadi dan karya Kristus dalam kemuliaan sebelum Dia menjelma, ketika menjelma dan melayani di bumi, kematian-Nya, kebangkitan, kenaikan ke surga, pertemuan, dan kedatangan-Nya kembali tak lama lagi. Inilah tepatnya poin Tuhan terhadap dua murid di jalan di Emaus. Lukas 24.

24:25 Lalu ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! 24:26 Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” 24:27 Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi (Lukas 24:25-27). (NASB)

Dalam konteks ini (ay. 9-14), pengetahuan akan kehendak Allah dalam semua hikmat rohani dan pengertian memiliki fokus hasil dinamik bahwa suatu pengertian yang layak akan pribadi dan karya Kristus seharusnya dimiliki pada perjalanan rohani seseorang. Dalam kasus ini, kehendak Allah menunjuk pada peraturan iman yang lengkap dan prakteknya. Ini adalah suatu pengetahuan yang seharusnya memimpin kepada kehidupan seperti Kristus dalam banyak dan berbagai situasi kehidupan. Seperti ayat 10 akan tunjukkan, pengertian yang layak akan kehendak Allah seharusnya menghasilkan buah dalam suatu perjalanan yang berharga yang menyenangkan Allah dalam setiap hal. Bagian ini tidak terutama bicara tentang kesan samar-samar yang orang miliki tentang kehendak Tuhan mengenai pertanyaan-pertanyaan yang mempersoalkan dimana seseorang seharusnya tinggal atau mobil apa yang seseorang harus beli atau seharusnya menikah dengan orang seperti apa. Sebaliknya, ini terutama menunjuk kepada prinsip-prinsip dan janji-janji Firman Tuhan yang menunjuk orang-orang percaya kepada teologia dan moral kehendak Allah. Inilah yang membentuk dasar untuk membuat pilihan-pilihan alkitabiah yang bijaksana. Pengetahuan semacam itu memberikan ketajaman dan memampukan orang-orang percaya untuk membuat pilihan-pilihan yang akan memuliakan Allah dalam semua pertanyaan dan masalah-masalah kehidupan. Dalam doa ini, obyek terbesar adalah bertumbuh dalam pengetahuan akan kehendak Allah sehingga memimpin untuk menyenangkan Dia, bukan diri kita sendiri. Barclay benar ketika ia mengatakan,

Kita berusaha untuk tidak begitu membuat Tuhan mendengarkan kita seperti kita menjadikan diri kita mendengarkan Dia; kita tidak berusaha membujuk Tuhan untuk melakukan apa yang kita kehendaki, namun mencaritahu apa yang Ia mau kita lakukan. Demikian sering terjadi bahwa dalam doa kita benar-benar berkata, “Buatlah perubahan Tuhan,” ketika kita seharusnya mengatakan, “Jadilah kehendak-Mu.” Tujuan doa yang pertama adalah tidak begitu banyak bicara kepada Tuhan seperti ketika mendengarkan Dia…8

Pertanyaan yang penting adalah bagaimana kita memperoleh pengetahuan semacam itu, dan bagaimana itu menyatakan dirinya sendiri? Bentuk-bentuknya seperti apa? Ini dijawab untuk kita dalam pernyataan berikut, “di dalam (atau ‘oleh’) semua hikmat rohani dan pengertian.” Beberapa hal perlu dipertimbangkan di sini.

Pertama, pengetahuan semacam itu bukanlah buah dari hikmat manusia atau dicari. Ini datang melalui penerangan Roh Kudus yang menanamkan “hikmat dan pengertian” dari Firman Tuhan, kehendak Allah yang dinyatakan kepada manusia. Paulus baru saja menyebutkan suatu “kasih dalam Roh” dan sekarang berbicara tentang hikmat rohani dan pengertian. “Rohani” adalah kata sifat, dalam bahasa Yunani pneumatikos , yang tegas dalam teks Yunani.9 Dalam Perjanjian Baru, kata sifat ini paling sering berarti “ digerakkan atau dikendalikan oleh Roh ilahi” atau “ menyinggung hal Roh ilahi (pneuma)” apakah benda-benda atau orang-orang. Di sini dalam ayat 1:9, ini berarti suatu hikmat dan pengertian yang diberikan oleh Roh Allah.10 Guru-guru palsu juga menyombongkan hikmat, namun ini hanya suatu pertunjukan hikmat manusia (2:23). Ini adalah suatu hikmat hampa yang termasuk dalam filsafat manusia dan bahkan produk dari khayalan roh-roh jahat (bnd. 2:8 dengan 1 Tim. 4:1). Sebaliknya, orang-orang percaya membutuhkan hikmat dan pengertian yang didapatkan dalam Firman Tuhan dan diajarkan oleh Roh Kudus, suatu tema penting dari Perjanjian Baru ( bnd. Yoh. 16:7-15; 1 Kor. 2:6-3:3; Ef. 1:17f; 3:16-19; 1 Yoh. 2:20, 27).

Kedua, apa artinya oleh “hikmat dan pengertian? “Hikmat” kata Yunaninya Sophia. Sophia menunjuk kepada dasar, ajaran-ajaran penting, fakta-fakta dan prinsip-prinsip pertama dari pokok apa pun. Dalam konteks ini, ini menunjuk kepada prinsip-prinsip dasar dan kebenaran-kebenaran Firman Tuhan yang setiap orang percaya seharusnya tahu dan hidup menurut itu. Bagaimanapun, ini bukan sekedar pengetahuan karena ini melihat pada suatu pengetahuan yang membuat seseorang bijaksana. Dan siapakah orang yang bijaksana? Ia adalah orang yang takut atau kagum akan Tuhan. Takut akan Tuhan merupakan awal dan inti hikmat ( Mzm. 111:10; Ams. 1:7; 4:7; 9:10). Namun takut semacam itu atau hikmat datang dari suatu pengertian akan keberadaan Tuhan – intisari ilahi-Nya atau karakter, terutama ketika Tuhan menyatakan diri-Nya dalam pribadi dan karya Kristus. “Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” (1 Kor. 1:30) (NASB)

Jadi, hikmat alkitabiah, adalah suatu pengetahuan yang menunjukkan seseorang bagaimana hidup sehingga hidup seseorang berarti dan baik, adil dan benar, efektif atau berbuah, bagaimanapun juga kehidupannya. Bagaimana, lalu, dapatkah kita mendefinisikan hikmat? Dua definisi bisa ditawarkan. Pertama, hikmat alkitabiah dicapai dengan memilih alat-alat terbaik menuju akhir terbaik. Efek dari hikmat adalah”…… untuk membuat kita lebih rendah hati, lebih bersukacita, lebih saleh, lebih cepat melihat kehendak-Nya, lebih pasti dalam melakukannya dan kurang masalah (bukan kurang peka, namun kurang membingungkan) daripada kita berada dalam perkara-perkara yang gelap dan menyakitkan dimana hidup kita dalam dunia yang sudah jatuh dalam dosa ini penuh…..”11 Kedua, “Hikmat adalah kemampuan yang Tuhan berikan untuk melihat kehidupan dengan sasaran luar biasa dan menangani hidup dengan kestabilan yang luar biasa.12 Namun, pengetahuan akan Tuhan sebagaimana Ia dinyatakan dalam Firman Tuhan selalu merupakan akar dari hikmat dan akibat-akibatnya. ( bnd. Mzm. 119:97ff).

Yang menarik, teks tersebut tidak mengatakan “semua hikmat dan semua pengertian” seolah-olah hal tersebut adalah dua perkara yang bebas dan tidak berhubungan , namun, semua hikmat dan pengertian karena mereka terikat erat bersama-sama. Ketika Anda memikirkan hikmat, kitab dalam Alkitab yang mungkin muncul di benak Anda adalah kitab Amsal. Sembilan pasal pertama kitab Amsal memberikan kita suatu rangkaian nasihat yang terus-menerus untuk mencari karunia Allah ini, namun seharusnya kita juga perhatikan bahwa Salomo menyebutkan dua hal ini bersama-sama hampir separuhnya. Dalam empat belas dari tiga puluh lima keterangan akan hikmat, ia memasukkan pengertian.

Kata “pengertian” dalam bahasa Yunani adalah sunesis, yang secara harfiah berarti “suatu ikatan, persatuan, sesuatu yang dibawa bersama-sama.” Ini memandang pada kemampuan memasukkan dua dan dua bersama-sama. Dalam sunesis Anda mengambil hikmat (kebenaran alkitabiah) dan menerapkannya pada detil-detil kehidupan Anda atau pada suatu masalah spesifik atau masalah untuk kritis secara tajam. Pengertian adalah apa yang mengizinkan seseorang untuk melihat dengan jelas untuk membedakan yang baik dari yang buruk dan yang terbaik di antara yang baik. Mengingat “hikmat” (sophia) melihat pada teori teologis, atau berbagai kebenaran Firman Tuhan, “pengertian” (sunesis) melihat pada hal yang praktis, penerapan hikmat.

Penerapan yang bijaksana dari kebenaran Tuhan adalah alasan untuk mempelajari dan hidup dalam Firman sehari-hari. Oh, kita mungkin menjadi terbeban dan lapar akan Firman Tuhan dan ini mungkin berakar di seluruh komunitas Kristen. Sebenarnya Tuhan berkata, “tinggallah dalam Firman-Ku dan Aku akan mengubah hidupmu.” Tuhan tidak menghargai kebodohan. Kebodohan bukan kebahagiaan. Tetap bodoh ketika Anda bisa mendapat pengetahuan dan belajar adalah bermain jadi orang gila ( bnd. Ams. 1:20-22 dengan 1:29f).

Ketiga, rasul berdoa agar mereka mungkin dipenuhi dengan “ segala hikmat…” Kata “segala” (pas) mungkin menunjuk pada setiap hal yang termasuk dalam jenis kata dimana ini digunakan misalnya, setiap jenis atau kategori atau bidang hikmat.13 Ada banyak bidang atau kategori hikmat Allah yang Allah ingin kita tahu dan miliki, dan ini tak diragukan terlibat di sini. Namun dalam konteks ini dengan istilah “dipenuhi” , mungkin ide utamanya adalah “tingkat tertinggi, maksimum.”14 Ini artinya pengetahuan akan kehendak Allah yang maksimum dalam semua kategori adalah sasaran pemohonan. Tuhan menghendaki kita memiliki suatu hikmat yang maksimum dan pengertian. Tuhan tidak ingin umat-Nya tetap menjadi bayi-bayi rohani atau remaja-remaja rohani. Susu bagus untuk bayi untuk sementara waktu, namun akhirnya, jika bayi itu bertumbuh dan menjadi kuat, ia membutuhkan suatu makanan keras yaitu daging dan kentang rohani( Ibr. 5:11-6:1). Tuhan ingin kita terus-menerus bertumbuh dalam pengetahuan dan penerapan akan kehendak-Nya dalam semua bidang kehidupan ( bnd. 1 Kor. 14:20; 1 Ptr. 2:2; 2 Ptr. 3:18). Seperti Wiersbe jelaskan dengan gaya humor:

Kecerdasan rohani adalah awal dari suatu kehidupan yang berhasil, yang berbuah. Tuhan tidak pernah memandang tinggi kebodohan. Saya pernah mendengar seorang pengkhotbah berkata, “Saya tidak pernah sekolah, Saya hanya seorang Kristen yang bodo, dan saya senang begitu! Seseorang tidak perlu ke seminari untuk memperoleh kecerdasan rohani, namun janganlah ia memperbesar “kebodoannya.”

Orang-orang besar Allah seperti Charles Spurgeon, G.Campbell Morgan dan H.A. Ironside tidak pernah mendapat hak istimewa masuk Seminari Theologia. Namun mereka adalah siswa-siswa Firman Tuhan yang setia, yang mempelajari kebenaran-kebenaran secara mendalam melalui studi berjam-jam, meditasi, dan berdoa. Langkah pertama menuju kepenuhan hidup adalah kecerdasan rohani – bertumbuh dalam kehendak Tuhan dengan mengenal Firman Tuhan.15

Kesimpulan

Seperti ayat berikut akan tekankan, pengetahuan akan Allah dalam semua hikmat rohani dan pengertian memampukan kita untuk berjalan dalam suatu cara yang layak sehingga kita bisa menyenangkan Tuhan dalam setiap situasi kehidupan dan menghasilkan buah bagi-Nya. Mungkin sebuah ilustrasi akan menolong. Kathie, isteri saya yang setia dan berharga dan rekan sekerja selama empat puluh satu tahun terakhir, di-diagnosa dengan pengerasan myeloma pada Juni 99, tepat tujuh belas bulan yang lalu. Penyakit myelomanya adalah jenis yang juga menyerang ginjal dan sekarang ia mengalami gagal ginjal. Kira-kira dua belas minggu yang lalu, dokter-dokter pikir ia hanya akan bertahan hidup empat sampai enam minggu, dan meskipun Tuhan terus memberikan ia hari lepas hari yang menyenangkan, kami tahu bahwa wakunya di bumi ini singkat, kecuali, tentu saja, ada sebuah mukjizat kesembuhan. Kami terpukul ketika ia didiagnosa dengan penyakit yang mengerikan ini dan dihadapkan dengan pilihan-pilihan mengenai bagaimana kami akan menanggapi Tuhan dan penyakit yang mengerikan ini. Akankah kami menjadi marah dengan Tuhan, mempertanyakan kasih dan hikmat-Nya? Bagaimanapun, bahkan ia belum enam puluh tahun dan anggota keluarga yang bersemangat dan sangat berguna bagi keluarga, gereja, teman-temannya dan staf BSF.

Sebagai orang-orang Kristen yang percaya Alkitab, kami sudah terus-menerus menyerahkan beban ini kepada Juruselamat dan berusaha mempercayai dan menghormati Dia sepanjang pencobaan berat ini. Karena prinsip-prinsip dan janji-janji Firman Tuhan dan apa yang Firman Tuhan ajarkan kepada kami tentang Allah dan kasih Juruselamat (hikmat Allah kepada kita), kami tahu bahwa Tuhan bisa menyembuhkan dia saat itu juga di mana saja dan masih bisa. Kami tahu bahwa bagi Tuhan tak ada yang mustahil ( Kej. 19:14; Mat. 19:26; Mrk. 14:36; Lukas 1:37), namun kami juga tahu dari firman Tuhan bahwa menyembuhkan dia mungkin bukan kehendak-Nya atau apa yang terbaik menurut hikmat-Nya yang tak terbatas dan rencana kekal-Nya. Tentu saja, hati saya hancur memikirkan kehilangan dia dan saya, beserta banyak orang-orang lain, berdoa setiap hari untuk kesembuhannya jika itu adalah kehendak-Nya dan akan paling memuliakan Dia. Sementara luka menjadi dalam dan air mata berderai, tangggung jawab alkitabiah kami ( pengetahuan akan kehendak Allah) adalah merendahkan diri kami di bawah tangan-Nya yang kuat, menginginkan kemuliaan dan hormat-Nya, dan beristirahat dalam pemeliharaan kasih-Nya dan hikmat yang sempurna(1 Ptr. 5:6-7) ( penerapan pengertian alkitabiah dan hikmat). Juga kebutuhan kami adalah untuk mengingat Mzm. 40:17:

Biarlah bergembira dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan daripadaMu tetap berkata: “Tuhan itu besar!” (membesarkan, NASB, mengagungkan, NIV).

Kami juga tahu ia, seperti semua orang percaya dalam Kristus, memiliki suatu rumah kekal dan suatu harapan yang diletakkan baginya dalam surga dengan Tuhan dimana ada sukacita yang tak terkatakan dan kemuliaan yang melampaui imajinasi kami. Dalam mengenal dan bersandar dalam ini dan kebenaran-kebenaran lain dari Alkitab, kami tahu bahwa ada hal-hal yang berlangsung di balik sejarah manusia yang melampaui pengertian kami . Ini adalah salah satu pelajaran-pelajaran terbesar dalam kitab Ayub karena merupakan bukti dalam Ayub 1-2. Dan adalah menarik dan penting, bahwa ketika Ayub menjadi sedikit menuntut Tuhan, Tuhan tak pernah memberitahu Ayub tentang konflik malaikat di balik apa yang terjadi . Ia hanya mengingatkan Ayub tentang Siapakah Dia sebagai pencipta alam semesta yang bijaksana, berdaulat dan tak terbatas. ( lihat Ayub 38-41).

Ayub belajar banyak dari perjumpaannya dengan Tuhan dan menanggapi:

42:1 Maka jawab Ayub kepada Tuhan:

42:2 Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu;

dan tidak ada rencana-Mu yang gagal;

42:3 Firman-Mu,

‘Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? ‘

Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita

tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.

42:4 Firman-Mu:

‘Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman;

Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.’

42:5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau,

tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.

42:6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku,

dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu!

Ketika Ayub mengatakan, “Tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (ay. 5), ia tidak perlu mengatakan bahwa ia mendapatkan suatu penglihatan. Ia hanya mengatakan bahwa pengalaman dengan Allah ini nyata dan bersifat pribadi. Pada waktu lampau, pengetahuannya tentang Allah adalah apa yang ia sudah dengar. Jadi, melalui penderitaan yang ia sudah tanggung dan melalui perjumpaannya dengan Yang Mahakuasa, ia telah bertumbuh dalam pengetahuan dan pengertian tentang Allah.

Jadi, kemuliaan yang lebih besar dapat ditambahkan kepada Allah melalui penderitaan kita ketika orang-orang Kristen hanya bersandar kepada Allah dan hikmat-Nya yang tak terbatas dan kasih setia-Nya, meskipun mereka sendiri menderita atau kehilangan. Kathie telah membagikan pengalamannya dan kesaksian dalam berbagai pesan email kepada sejumlah orang di seluruh dunia. Ini telah menyentuh kehidupan orang-orang Kristen maupun non-Kristen. Kami mengenal dua orang di India, yang takut mati, ingin mengetahui lebih banyak ketika mereka mendengar damainya Kathie dalam menghadapi kematian. Kepada mereka yang tertarik, ia telah membagikan imannya dan pikiran-pikirannya dalam suatu dokumen di website kami yang berjudul, “Tenang di Tengah Badai.” Seluruh pengalaman ini sudah dipakai Tuhan dalam banyak kehidupan dengan cara-cara yang melampaui pengertian kita.


1 Kata kerja yang digunakan dalam pasal-pasal ini adalah phusioo, “membengkak, membesarkan seperti sebuah gelembung.” Ini kebanyakan dijumpai dalam literatur Kristen (BAGD) dan digunakan secara metafora untuk ide menjadi sombong, congkak, bangga.

2 S. Lewis Johnson, “ Studi mengenai Surat kepada Jemaat di Kolose, Bagian I,” Bibliotheca Sacra (Dallas Theological Seminary, vol. 118, #472, Oct. 61), 340.

3 Istilah “Allah” tidak tampak dalam teks Yunani, namun keterangan berikut mengenai “pengetahuan-Nya” menjadikan jelas bahwa “Allah” ada dalam pandangan sebagai obyek “berdoa dan meminta,” dan oleh karena itu seharusnya dimasukkan dalam terjemahan bahasa Inggris untuk kejelasan. (Catatan penerjemah dari NET Bible).

4 Untuk seri studi yang tekun mengenai ABC kehidupan Kristen, lihat studi penulis, The ABCs for Christian Growth, Laying the Foundation di website kami , www.bible.org.

5 Warren W. Wiersbe, Be Complete (Victor Books, Wheaton, Ill., 1986), Warren W. Wiersbe, Be Complete (Victor Books, Wheaton, Ill., 1986), 32-33.

6 Peter T. O’Brien, Word Biblical Commentary, Colossians, Philemon, gen. ed., Glenn W. Barker, NT., ed., Ralph P. Martin (Word Books, Publisher, Waco, TX, vol. 44), 20.

7 Curtis Vaughn, The Expositor’s Bible Commentary, gen. ed. Frank E. Gaebelein (Zondervan, Grand Rapids, 1976-1992), media elektronik.

8 William Barclay, Daily Study Bible Series: The Letters to the Philippians, Colossians, and Thessalonians (Revised Edition), ns (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2000, c1975), media elektronik.

9 Pneumatikos mengubah “ hikmat dan pengertian.” Ini mengikuti kata benda kedua karena ini tegas, namun secara logis diterapkan pada keduanya.

10 Walter Bauer, Wilbur F. Gingrich, and Frederick W. Danker, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (University of Chicago Press, Chicago, 1979), media elektronik. Selanjutnya keterangan-keterangan seperti BAGD.

11 J. I. Packer, Knowing God (InterVarsity Press, Downers Grove, 1973), 97.

12 Charles R. Swindoll, Living on the Ragged Edge (Word Books, Waco, 1985), 208.

13 BAGD, media elektronik.

14 BAGD, media elektronik.

15 Wiersbe, 35.


Related Topics: Theology Proper (God), Prayer, Faith

26. Le Principe d’Election Divine (Genèse 25:1–34)

Introduction

Durant ma première année d’enseignement à l’école, j’ai été choisi pour représenter notre école au comité du district pour l’association des enseignants. Malheureusement cette année là, il y avait une bataille féroce pour les salaires des enseignants, et je me suis trouvé en plein milieu. J’ai choisi de me ranger du coté de la majorité modérée qui était d’accord d’accepter l’offre du comité de l’école, une offre qui était très proche de ce que nous demandions. La petite minorité de jeunes enseignants en colère avait décidé de ne rien accepter de moins que la totalité de ce qu’ils demandaient.

Le problème devint si gros qu’on s’y est s’attaqué quand tous les enseignants se sont rassemblés pour voter. J’avais dit au président que j’avais l’intention de proposer qu’on accepte l’offre du comité. Cela voulait dire que l’opposition aurait à vaincre ma motion avant de soumettre la leur – quelque chose qui était pratiquement impossible à faire. Le président savait qui étaient ceux de la minorité qui opposeraient ça et qui essayeraient de prendre la parole en premier. Finalement quand le moment critique arriva, plusieurs se levèrent rapidement, demandant la parole. Je fis la même chose, mais plus rapidement qu’eux. Je n’oublierai jamais le sentiment satisfait et triomphant d’avoir le président me donnant la parole en premier, aux grognements de quelques membres hostiles de l’association.

Le président me donna la parole nettement car il savait que je voulais soumettre une motion qui reflétait les désirs de la majorité des enseignants. En faisant ça, il vaincut efficacement la faction rebelle de la minorité avec un coup parlementaire magistral. Certaines gens voient la doctrine d’élection divine comme opérant de la même façon dont j’ai expliqué les évènements de cette réunion des enseignants d’il y a des années. Dieu, comme le président de cette réunion, sait qui va faire quoi, en sachant à l’avance, IL choisit la personne qui va faire ce qu’IL désire. La personne choisie, dans un tel system, pourrait sentir la même satisfaction à propos de « l’appel » que j’ai ressentit cette après-midi quand le président m’a donné la parole.

Une autre vue de l’élection met le sujet presque entièrement dans les mains des hommes. Dans sa forme la plus criante on dit : Dieu vote pour nous ; Satan vote contre nous ; et nous avons le vote qui décide.

Aucune de ces vues n’est consistante avec la doctrine biblique de l’élection. Aucun passage du Vieux Testament ne met ce sujet dans sa propre perspective plus clairement que Genèse 25. Je peux dire ça avec toute confidence parce que l’Apôtre Paul a choisit d’utiliser les évènements de ce chapitre dans Romains 9 comme la meilleure illustration de la doctrine d’élection divine. Dans notre leçon, nous verrons la relation entre les choix de Dieu et la conduite de l’homme, entre la volonté divine et la volonté humaine.

La Mort d’Abraham et Ses Descendants (5:1-11)

Certainement, nous ne nous attendons pas à ce que nous trouvons dans le premier verset du chapitre 25.

«Abraham avait pris une autre femme nommée Qetoura »

Au cours des siècles un certain nombre d’experts de la Bible ont maintenu que ce mariage entre Abraham et Qetoura n’a jamais eu lieu après la mort de Sara. Plusieurs raisons peuvent être citées pour supporter cette conclusion :

Premièrement, le verbe traduit « avait prit » aurait aussi très bien pu être traduit « prit », comme indiqué dans la marge de la New International Bible.

Deuxièmement, Qetoura est référée comme épouse de second rang, une concubine, dans 1 Chroniques 1:32, ce qui est exactement son titre dans le verset 6 de notre passage. Une concubine tient une position un peu au-dessus d’un esclave, elle n’était cependant pas libre, elle n’avait non plus pas le statut ou les droits d’une femme. Le maître avait des relations sexuelles avec ses concubines. Les enfants avaient un statut inférieur à ceux nés de la femme, mais ils pouvaient être élevés à une position d’héritier complet à la volonté du maître. Pourquoi Qetoura serait-elle été appelée une concubine à moins que Sara ne soit toujours vivante et que ce mariage ne soit de moindre valeur ?

Troisièmement, les fils de cette union furent « renvoyés » (verset 6.) Cela ne pourrait absolument pas être fait aux enfants d’un vrai mariage, mais c’est tout à fait consistant avec les enfants d’une concubine. Ces enfants auraient été chassés de la même façon qu’Ismaël l’a été. Selon le Code d’Hammurabi les fils des concubine pouvaient être chassés, la compensation de ça étant qu’ils devenaient libres.208

Finalement, Abraham était vieux, il avait depuis longtemps dépassé l’âge d’avoir des enfants (Genèse 18:11.) Paul dit d’Abraham qu’il était « comme mort » (Romains 4:19) en ce qui concernait avoir des enfants. Ceux qui sont mentionnés ici auraient du être nés d’un homme d’au moins 140 ans si Abraham avait marié Qetoura après la mort de Sara et Isaac était marié à Rebecca. Ces enfants, listés dans le verset 3, auraient été plus un miracle qu’Isaac.

Le point des versets 1-6 est d’établir le fait qu’Abraham est bien le père de beaucoup de nations, mais que c’est par Isaac que les bénédictions et les promesses de l’Alliance avec Abraham seraient réalisées. Ainsi la promesse à Abraham dans Genèse 17:4 fut accomplie :

« ---Voici quelle est mon alliance avec toi: Tu deviendras l'ancêtre d'une multitude de peuples. »

Consistant avec sa foi en les promesses de Dieu, Abraham fit des cadeaux à ses autres enfants et les chassa, pour les éloigner d’Isaac (verset 6.)

Après avoir vécu une vie riche et longue, Abraham mourut à l’âge de 175 ans. Ceci, aussi, fut la réalisation de la parole de Dieu à Abraham :

« Quant à toi, tu rejoindras en paix tes ancêtres, et tu seras enterré après une heureuse vieillesse. » (Genèse 15:15)

Quelqu’un pourrait se demander si Abraham n’avait pas inclut Ismaël parmi ceux qui ont reçu des cadeaux pendant qu’il était vivant (verset 6.) Néanmoins, Ismaël revint pour enterrer son père en coopération avec Isaac (verset 9.) Au moins, une paix temporaire fut signée pour faciliter l’enterrement de leur père. Ils l’enterrèrent dans la grotte de Machpelah dans le champs qu’Abraham avait acheté pour Sara, lui-même, et leurs descendants (Genèse 23.)

Bien qu’Abraham soit mort, les buts et les promesses de Dieu demeuraient en vigueur. Dans le verset 11, Moïse nous rappelle de cette vérité :

« Après la mort d'Abraham, Dieu bénit son fils Isaac qui s'établit près du puits de Lachaï-Roï. »

Par Isaac, les promesses de l’alliance allaient être continuées. Le travail de Dieu n’arrête jamais, même quand les saints meurent. La torche a été passée du père au fils, d’Abraham à Isaac.

La Mort d’Ismael et Ses Descendants (25:12-18)

Si les premiers versets du chapitre 25 démontrent la fidélité de Dieu tenant les promesses de Genèse 17:4, les versets 12-18 révèlent la réalisation de Genèse 17:20 :

« En ce qui concerne Ismaël, j'ai aussi entendu ta prière en sa faveur. Oui, je le bénirai. Je lui donnerai aussi de très nombreux descendants: je le multiplierai à l'extrême. Douze princes seront issus de lui et je ferai de lui l'ancêtre d'une grande nation. »

Abraham a toujours eu une place spéciale dans son cœur pour son premier fils, Ismaël. Seulement avec réticence et sous beaucoup de pressions l’avait-il chassé. Abraham aurait été satisfait pour les buts et promesses de Dieu d’être réalisées par Ismaël. Il avait prié Dieu de prendre soin de ce garçon (17:18.) Dieu refusa de substituer cet enfant, qui ne comptait que sur lui, pour l’enfant de la promesse, mais IL promit de faire de lui une grande nation. Les versets 13-16 listent les noms des fils d’Ismaël, qui étaient les douze princes promis. Une fois encore, Dieu tint Sa promesse à Son serviteur Abraham.

Ismaël mourut à 137 ans et fut enterré. Remarquez qu’il n’est pas dit qu’il fut placé dans la grotte de Machpelah, car c’était un monument d’espoir pour le people de la promesse. Le pays de Canaan ne devait pas être possedé par Ismaël ni par ses descendants ; on nous dit:

« Ses descendants se sont établis de Havila jusqu'à Chour, aux confins de l'Egypte, en direction d'Ashour. Il vivait en hostilité avec tous ses semblables. » (Genèse 25:18)

Dans ce verset une promesse de plus est montrée être réalisée, la promesse que Dieu avait faite à Agar des années auparavant :

« Ton fils sera comme un âne sauvage: il s'opposera à tous et sera en butte à l'opposition de tous, mais il assurera sa place en face de tous ses semblables. » (Genèse 16:12)

Les Descendants d’Isaac (25:19-26)

Le processus d’élection a été apparent dans les versets précédents. Dieu a choisi Sara, pas Agar ou Qetoura, pour être la mère du fils de la promesse. De la même façon, Dieu choisit Isaac bien avant qu’il ne soit né pour être l’héritier d’Abraham. Bien qu’Abraham ait eu plusieurs épouses et beaucoup d’enfants, Isaac seulement devait être celui par lequel les bénédictions promises arriveraient. Dans les versets 19-26, nous voyons que le processus d’élection continue. Ici c’est Jacob qui est désigné comme l’enfant de la promesse, non pas son frère jumeau Esaü, celui qui, par un cours naturel d’évènements, aurait du être l’héritier de la promesse.

Isaac épousa Rebecca quand il avait 40 ans, mais ce ne fut que 20 ans plus tard qu’elle eut des enfants. Isaac, intercéda auprès de Dieu pour Rebecca, et elle devint enceinte en réponse à sa prière (verset 21.) Pendant sa grossesse, Rebecca était perplexe à cause des peines intenses209 dans ses entrailles, alors elle s’enquit auprès de Dieu pour en savoir la raison.210 La réponse du Seigneur vérifie l’importance de l’activité dans le ventre de Rebecca :

« qui lui répondit:
Il y a deux nations dans ton ventre,
deux peuples différents naîtront de toi.
L'un des deux sera plus puissant que l'autre,
et l'aîné sera assujetti au cadet. » (Genèse 25:23)

Sans tous les examens médicaux sophistiqués d’aujourd’hui, Dieu informa Rebecca qu’elle allait avoir des jumeaux. Chaque enfant serait le père d’un peuple. De ces deux peuples, un gagnerait sur l’autre. De ces deux fils, l'aîné ne deviendrait pas, comme était la coutume, prééminent. Normalement, le premier-né aurait du être l’héritier par qui les bénédictions de l’alliance seraient délivrées. Pendant qu’un père pouvait désigner un fils cadet comme le propriétaire du droit d’aînesse (Genèse 48:13-20), cela était l’exception, pas la règle. Le fils aîné pouvait aussi vendre son droit d’aînesse, comme l’avait fait Esaü.211

Cette prophétie est une révélation très importante, non seulement pour Rebecca, mais aussi pour les Chrétiens d’aujourd’hui car elle indique le principe de l’élection divine. Avant la naissance des enfants, Dieu détermina que ce serait le cadet qui possèderait le droit d’aînesse et par-là, serait l’héritier d’Isaac en ce qui concerne les promesses de l’alliance.

Dans Romains 9, l’Apôtre Paul se réfère à cet incident comme l’illustration du principe d’élection:

« Et ce n'est pas tout: Rébecca eut des jumeaux nés d'un seul et même père, de notre ancêtre Isaac.

Or, Dieu a un plan qui s'accomplit selon son libre choix et qui dépend, non des actions des hommes, mais uniquement de la volonté de Celui qui appelle. Et pour que ce plan demeure, c'est avant même la naissance de ces enfants, et par conséquent avant qu'ils n'aient fait ni bien ni mal, que Dieu dit à Rébecca: L'aîné sera assujetti au cadet. » (Romains 9:10-12)

Pendant que nous devons reconnaître que Dieu dans Son omniscience savait tout de ces deux fils, Paul dit que le choix de Jacob, envers Esaü, n’avait rien à voir avec leurs actions. Jacob a été choisi dans le ventre de sa mère et sans l’influence des choses qu’il ferait dans le futur. Autrement dit, l’élection212 de Dieu n’était pas basée sur « savoir à l’avance », contrairement à ce qui est quelquefois enseigné. Le choix de Dieu était déterminé par Sa volonté, pas par les actions de l’homme. Personnellement, je pense qu’Esaü était le mieux des deux. (Au moins Isaac serait d’accord avec moi sur ce point là.)

Les évènements autour de la naissance des jumeaux nous donnent plus d’évidences de la vérité des paroles du Seigneur dites à Rebecca avant leur naissance ;

« Quand le moment de l'accouchement arriva, il se confirma qu'elle portait des jumeaux.

Le premier qui parut était roux, le corps couvert de poils comme une fourrure, c'est pourquoi on l'appela Esaü (le Velu).

Après lui naquit son frère, la main agrippée au talon d'Esaü, et on l'appela Jacob (le Talon). Isaac avait soixante ans au moment de leur naissance. » (Genèse 25:24-26)

Esaü fut naît le premier, et il sortit du ventre de sa mère roux et poilu. Le mot hébreu pour décrire la couleur d’Esaü a un son similaire à Edom et aurait pu préparer le chemin pour son surnom, comme cela est décidé dans le verset 30. Le nom « Esaü » ressemble un peu au son du mot voulant dire « poilu. »

Jacob est sorti du ventre de sa mère empoignant le talon de son frère Esaü. Le nom de Jacob fut suggéré par le mot hébreu pour « talon. » Des évènements plus tard, tel que le marchandage pour le droit d’aînesse dans les versets 27-34, indiquent que le nom, prit au sens péjoratif, fait allusion à la nature décevante de Jacob.

Le Marchandage du Droit d’Aînesse

Dans la vie d’Abraham, la naissance d’Ismaël fut un évènement qui a apprit au patriarche que les bénédictions de Dieu ne sont pas les conséquences d’efforts humains mais celles de faire confiance à Dieu. Dans la vie de Jacob, l’incident dans lequel il manipula son frère à lui vendre son droit d’aînesse a servit au même but. C’était une affaire perspicace que Jacob avait conclut, mais ce n’était pas le moyen d’amener les bénédictions de Dieu.

En plus des évènements entourant la naissance des jumeaux, trois facteurs ont joué fortement dans la relation des deux garçons. Premièrement, les garçons avaient des dispositions très différentes. Esaü sembla avoir été un homme masculin, vivant en plein air, qui aimait faire les choses dont un père pouvait être fier. Il était un chasseur habile, et il savait comment se conduire dans la nature. Dans notre culture, je crois qu’Esaü aurait été un héro de football américain dans un collège et une université. Il aurait pu jouer pour les Cowboys de Dallas. Il était un vrai homme macho, le genre de fils dont un père serait gonflé de fierté de parler avec ses amis.

Jacob était complètement différent. Pendant qu’Esaü semblé avoir été agressif, audacieux, et flamboyant, Jacob apparaît être l’opposé : Tranquille, songeur, plus intéressé à rester à la maison que de s’aventurer dans la nature et de faire de grandes conquêtes. Ce n’est pas dire qu’il n’avait pas d’ambition de s’améliorer, plutôt le contraire ; mais Jacob ne voyait aucune raison d’aller marcher dans la nature juste pour tuer des animaux sauvages. Dans la solitude de sa tente, Jacob pouvait mentalement raisonner comment améliorer sa situation sans se salir les mains et sans prendre de risques.

Le deuxième facteur qui avait tendance à séparer les deux fils était la loyauté divisée entre leurs parents. Isaac semble avoir été lui-même un homme de plein air ; Au moins il avait un appétit pour le gibier qu’Esaü ramenait à la maison (verset 28.) Esaü était le genre de fils qu’Isaac pouvait fièrement emmener partout avec lui. Jacob, d’un autre coté, était le favori de Rebecca. Elle pensait probablement qu’Esaü était impoli et inculte. Jacob était un homme bien plus raffiné, doux et gentil, un genre de fils dont une mère serait fière. En outre, Jacob passait probablement plus de temps à la maison qu’Esaü. Chaque parent semble s’être trop identifié avec un des fils, créant ainsi la division qui se prouverait dévastatrice. Ce favoritisme amena aussi désaccord entre Isaac et sa femme. Plus tard Rebecca allait comploter avec Jacob pour décevoir son mari (chapitre 27.)

Le troisième facteur que Moïse a enregistré pour nous dans le chapitre 25 était les moyens sournois par lesquels Jacob a obtenu le droit d’aînesse de son frère. Pendant qu’Esaü était dans les champs, Jacob était à la maison préparant une soupe. Fatigué et affamé, bien que loin du seuil de la mort, Esaü fut séduit par la bonne odeur du plat. Esaü gloutonnement demanda « de ce roux. » Plutôt que de montrer de l’hospitalité qui serait du, même à un étranger, Jacob vu cela comme une opportunité pour prendre l’avantage. Ici la nature avide, avare de Jacob a fait surface. Sans un soupçon de honte, Jacob marchanda, « … ---Alors vends-moi aujourd’hui même ton droit de fils aîné. » (25:31.) Avec ça, la nature charnelle d’Esaü émergea, « ---Je vais mourir de faim, que m'importe mon droit d'aînesse ? » (25:32.) Avec une estimation exagérer de sa condition physique et de son besoin et une appréciation minimale de la valeur de son droit d’aînesse, Esaü voulut bien échanger son destin pour un dîner.

Jacob n’était pas disposé à permettre à Esaü de prendre l’occasion d’un air aussi détaché qu’il voulait le faire croire ; Donc, il lui fit jurer une promesse solennelle déclarant la vente du droit d’aînesse. Quand cela fut fait, le dîner fut servit, et Esaü s’en alla. Comme Moïse concluait son rapport de l’évènement, nous trouvons son estimation du caractère d’Esaü : « … C'est ainsi qu'Esaü méprisa son droit d'aînesse. » (25:34.) Et donc il est que l’auteur d’Hébreux peut parler d’Esaü comme un homme qui n’avait aucune appréciation du tout pour les choses spirituelles et éternelles:

« Veillez à ce que personne ne passe à côté de la grâce de Dieu, qu'aucune racine d'amertume ne pousse et ne cause du trouble en empoisonnant plusieurs d'entre vous[g].

Qu’il n’y ait personne qui vive dans l’immoralité ou qui méprise les choses saintes, comme Esaü qui, pour un simple repas, a vendu son droit d’aînesse. » (Hebreux 12:15-16)

Conclusion

On ne peut pas éviter le fait que ce chapitre enseigne clairement le principe d’élection divine. De tous les fils d’Abraham, Dieu choisit Isaac pour être l’héritier de la promesse et cela avant même la naissance de l’enfant (17:21.) Isaac, pas Ismaël, ni Zimrân ou Yoqchân ou Medân ou aucun des autres fils d’Abraham, devait être l’héritier de la promesse. Sara, pas Agar ni Qetoura, devait être la mère de cet enfant.

Le choix de Dieu n’est pas déterminé par Sa connaissance des bonnes actions que le choisi accomplira plus tard. Abraham, Sara, Isaac et Jacob avaient tous des défauts très visibles. Leurs conduites n’étaient souvent pas meilleures que celles de n’importe qui d’autres. Des fois, des autres apparaissaient être plus vertueux qu’eux (Abimélek dans Genèse 20.) Bien que nous soyons choisis « pour une vie riche d'oeuvres bonnes » (Ephésiens 2:10), ce n’est pas à cause de nos bonnes actions que nous avons été choisis. Jacob a été choisi avant sa naissance sans égards pour ses actions futures. (Romains 9:11.) En terminologie théologique, Dieu élit les hommes et les femmes inconditionnellement sans égards pour ce qu’ils/elles feront. Ça, c’est la grâce pure.

Certains concluent de ce fait que ceux qui ne sont pas parmi les élus sont perdus pour toujours parce que Dieu ne les a pas choisis. Il y a, bien sur, de la vérité dans cette conclusion (Proverbes 16:4 ; Apocalypse 17:8 ; 1 Pierre 2:6.) Bien que l’élection pour le salût ne soit jamais basée sur les bonnes actions, l’élection pour la damnation éternelle l’est. L’emphase de la Parole de Dieu n’est pas que les hommes vont aller en enfer parce que Dieu ne les a pas choisis, mais que les hommes souffrent éternellement par ce qu’ils n’ont pas choisi Dieu.

La vérité est précisément ce sur quoi Moïse a insisté. Dans tous ces versets le principe de l’élection est évident. Et pourtant, à la fin du compte rendu, Moïse n’a pas relaté qu’Esaü avait vendu son droit d’aînesse parce que Dieu n’avait pas prédéterminé que cela arriverait comme ça, mais parce qu’Esaü « méprisait son droit d’aînesse » (verset 34.)

L’élection est inconditionnelle. Dieu a choisit les hommes à cause de Son amour et de Sa grâce, pas à cause de leurs bonnes actions qu’ils feront dans le futur. Pendant que les bonnes actions ne nous donnent pas la raison de l’élection d’un homme à une place de bénédiction dans le plan de Dieu, les actes méchants sont une raison adéquate pour son rejet par Dieu.

Dr B.B. Warfield a déclaré cela d’une façon des plus claires :

Quand le Christ s’est tenu à la porte du tombeau de Lazare et a crié, « Lazare sors de là ! », seul Lazare, de tous les morts qui se trouvent dans l'obscurité de la tombe ce jour-là en Palestine, ou à travers le monde entier, a entendu Sa voix puissante qui ressuscite les morts, et est sorti. Devons-nous comprendre que l’élection de Lazare d’être appelé à sortir de la tombe relègue toute cette immense multitude de morts à la décadence physique pour toujours ? Cela ne leurs laissait aucuns doutes de la mort dans laquelle ils étaient condamnés et en tout ce qui en résulte. Mais ce n’était pas ce qui apporta la mort sur eux ou ce qui les garda en son pouvoir. Quand Dieu appelle de la race humaine, gisant morts dans leurs offenses et péchés, quelques-uns ici et quelques-uns là, une grande multitude que personne ne peut compter, pour les ressusciter par Sa grâce omnipotente de leur mort dans le péché et les amener à la gloire, Sa grâce élective est glorifiée dans le salût qu’elle crée. Cela n’a rien à voir avec la mort du pécheur, mais seulement avec la vie nouvelle du pécheur qu’elle ramène à la vie. Le travail et l’unique travail de l’élection est le salut.214

Dans Apocalypse 16, on nous parle du jugement qui est tombé sur ceux qui ont rejeté Dieu et adoré la bête. Ces mots parlés par l’ange de Dieu expressent la vérité que celui qui n’est pas choisi reçoit le jugement qu’il mérite :

« Alors j'entendis l'ange qui a autorité sur les eaux dire:
---Tu es juste, toi qui es et qui étais, toi le Saint, d'avoir ainsi fait justice.

Parce qu'ils ont versé le sang de ceux qui t'appartiennent et de tes prophètes, tu leur as aussi donné à boire du sang. Ils reçoivent ce qu'ils méritent. » (Apocalypse 16:5-6)

Le message de la Bible est que nous méritons tous la furie éternelle de Dieu pour nos péchés (Romains 3:10-18, 23 ; 6:23.) Le message de l’Évangile est que Dieu a fournit la solution pour les péchés de l’homme. Cette solution est le sacrifice de Jésus Christ sur la croix au Calvaire où IL a enduré la punition que nous méritons. IL nous offre la vertu que nous manquons (Romains 3:21-26 ; 2 Corinthiens 5:21.) Il est vrai que ceux qui sont sauvés sont ceux que Dieu a choisit de l’éternité passée (Actes 13:48 ; 16:14 ; Ephésiens 1:11, etc.…) Il est aussi vrai que tous ceux qui sont sauvés sont ceux qui ont personnellement cru en Jésus Christ comme leur Sauveur. Chaque personne qui L’appelle pour son salût sera sauvé.

« Certains pourtant l'ont accueilli; ils ont cru en lui. A tous ceux-là, IL a accordé le privilège de devenir enfants de Dieu.

Ce n'est pas par une naissance naturelle, ni sous l'impulsion d'un désir, ou encore par la volonté d'un homme, qu'ils le sont devenus; mais c'est de Dieu qu'ils sont nés. » (Jean 1:12-13)

Car,

« Tous ceux qui feront appel au Seigneur seront sauvés. » (Romains 10:13)

Comme Isaac, le monde dans lequel nous vivons préfère les Esaüs et méprise les Jacobs. Les modèles que les medias placent devant nous ne sont pas les Jacobs, mais les Esaüs, les « macho men, » les durs. Le monde nous dit, « vous n’êtes ici que pour peu de temps, vous avez tout intérêt à prendre tout ce que vous pouvez. » Ils ont volé les mots de la bouche d’Esaü. Ils veulent que nous oubliions l’avenir, que nous échangions notre destin éternel pour une bière ou notre estomac ou pour quelques plaisirs physiques temporaires. Si ça a bon goût, mangez-le. N’y croyait pas!

Je vois dans ce chapitre un exemple de deux mauvaises réponses à la souveraineté de Dieu sur le sujet de l’élection divine. La première est celle d’Isaac, qui a essayé de résister la volonté de Dieu comme elle a été révélée à sa femme Rebecca. Bien que je ne sache pas si les jumeaux, Jacob et Esaü, avaient connaissance de l’élection du plus jeune, j’ai du mal à imaginer que Rebecca n’ait pas informé Isaac de cette prophétie. En dépit de cette révélation, Isaac persistait à préférer Esaü, et il semblerait, d’après des évènements ultérieurs, qu’il aurait essayé de prononcer aussi la bénédiction sur lui. Je crois que tout comme Abraham a essayé de convaincre Dieu de choisir Ismaël comme héritier de la promesse (Genèse 17:18), Isaac espérait que Dieu changerait Son avis en ce qui concernait Esaü. La leçon a été dure à comprendre, mais elle a finalement été apprise.

Dans ses derniers jours, Jacob (appelé maintenant Israël) prononça une bénédiction sur les deux fils de Joseph. Joseph mit ses deux fils, Manassé et Ephraïm, devant son père avec le plus agé à la droite de son père et le plus jeune à sa gauche. Jacob, cependant, croisa ses mains pour que sa main droite repose sur la tête d’Ephraim plutôt que sur celle de Manassé. Joseph pensa que c’était une erreur causée par la mauvaise vue de son père, et il essaya de la corriger. Jacob informa alors son fils que cela n’était pas une erreur mais une indication que le fils le plus jeune serait le plus grand (Genèse 48:8-20.) A la fin, Jacob était venu à accepter le fait que l’élection de Dieu ne suit pas nécessairement les conventions humaines.

Rebecca a mal appliqué la doctrine d’élection, dans un autre sens. Je suis convaincu qu’elle justifia son favoritisme pour son fils Jacob à cause de son élection à être l’héritier de la promesse. Ça a du avoir eu un son très spirituel, mais c’était tout aussi faux que le favoritisme d’Isaac pour Esaü. Le choix de Jacob sur Esaü n’était pas basé sur de la discrimination contre Esaü ou pour pouponner Jacob.

Si cette hypothèse est correcte, alors elle a des sous-entendus extensifs pour nous, mes amis. Si la prophétie concernant l’élection de Jacob ne justifiait pas le favoritisme envers lui sur le dos d’Esaü, pourquoi est-ce que la prophétie concernant Israël justifie partiellement les Juifs sur le dos des Arabes? Nous avons été si désireux de « bénir » Abraham pour être bénis (Genèse 12:3), que nous avons négligé de condamner de nombreuses actions des Juifs qui ont été injustes, immorales et impies. Pourquoi somme nos si desireux de titrer une attacque arabe, une agression, et de défendre une attaque israélienne, comme défensive et mesure de représailles ?

Ce que je suggère est cela : Nous n’osons pas discriminer contre un pays, juif ou païen. Nous devrions bénir les Juifs et la nation Israël, mais cela ne nécessite pas notre acquiescement de ce qui est clairement un péché. Souvenons-nous qu’à cette période dans l’histoire d’Israël, ils rejetaient Dieu et Son Christ, Jésus le Messie. Pendant que nous pouvons applaudir le courage des Juifs et leur force morale, dans le processus, n’appelons pas le diable bon, et à la fin par inadvertance, discriminer contre les peuples arabes. Notre avidité d’approuver à la va-vite et sans esprit critique chaque action de la nation d’Israël doit être questionnée sur les points moraux et bibliques.

Finalement, il est notable d’observer que le « charlatan » le plus grand dans notre chapitre est un croyant. Pendant qu’Esaü ait été grossier, il n’était pas un charlatan. Je crois qu’il soit vrai aujourd’hui que les hommes d’affaires et employés Chrétiens sont malhonnêtes, comme Jacob l’était. Nous nous appelons malins, mais c’est seulement un euphémisme pour des pratiques pas légales. Une raison pour laquelle je pense que les Chrétiens peuvent être aussi malhonnêtes que Jacob est qu’ils sont convaincus de l’importance des fins qu’ils recherchent qu’ils éprouvent que tous les moyens pour les obtenir sont bons.

Jacob connaissait, à la différence d’Esaü, la valeur du droit d’aînesse. Il l’évaluait si hautement qu’il était d’accord de s’abaisser à ce niveau très bas pour l’obtenir. Beaucoup d’entre nous sommes convaincus que la plupart de l’argent que nous gagnons est utilisé pour les missions ou l’église ou les pauvres, etc. alors, nous blanchissons notre argent dans les ministères chrétiens. Le goal n’est jamais plus important que la piété, mes amis. En fait, le but du Chrétien est de travailler à ressembler au Christ (Romains 8:29 ; Ephésiens 4:15.) Jacob allait apprendre que la bénédiction provenait de suivre Dieu, pas de suivre les homes. C’est la leçon que nous aussi devons apprendre.


208 “The Code of Hammurabi declares that children of slaves not legitimized, though not sharing in the estate, must be set free”. Law 171, as referred to by Harold Stigers, A Commentary on Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 1976), p. 185.

209 The Hebrew term for the struggle implies an intense activity in the womb which Rebekah understood to be far greater than normal, and thus of great significance.

210 We would like to have had more details here to satisfy our curiosity. How did Rebekah inquire of the Lord? Bush’s remarks seem closest to the mark:

“There are very different opinions as to the manner in which she made this inquiry. Some think it was simply by secret prayer; but the phrase to inquire of the Lord, in general usage signifies more than praying, and from its being said that she went to inquire, it is more probable that she resorted to some established piece, or some qualified person for the purpose of consultation. We are told, I Samuel 9:9, that ‘Beforetime in Israel when a man went to inquire of God, thus he spake, Come and let us go to the seer; for he that is now called a prophet, was beforetime called a seer.’ As Abraham was now living, and no doubt sustained the character of a prophet, Genesis 20:7, she may have gone to him, and inquired of the Lord through his means”. George Bush, Notes on Genesis (Minneapolis: James and Klock Publishing Co., Reprint, 1976), II, p. 62.

211 “Now the sale of the birthright--or, as it was here, its exchange--was an accepted custom in the patriarchal period. At a later time the supplanting of the firstborn was forbidden (Deut. 21:15-17), but it has been pointed out above that exchange or sale of the birthright was done in Nuzu, explaining patriarchal custom. At Nuzu it is recorded that one Gurpazah traded his inheritance for immediate possession of three sheep from his brother Tupkitilla.” Harold Stigers, A Commentary on Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 1976), p. 211.

212 Election here, as I understand it, does not refer to the selection of only Jacob to be saved (although his salvation was certainly due to election), but of Jacob to be the son through whom the blessings promised to Abraham would be passed on. Paul refers to this incident to illustrate the principle of election, and then applies it to that election which ordains individuals to salvation.

214 B. B. Warfield, “Election,” Selected Shorter Writings of Benjamin B. Warfield, edited by John E. Meeter (Nutley, New Jersey: Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1970), Vol. 1, pp. 296-97).

Related Topics: Election

24. Négocier avec la Mort (Genèse 23:1–20)

Introduction

J’ai toujours aimé les challenges. Quand j’étais mécanicien, j’adorai fouiller dans les problèmes qui semblaient éluder les diagnostiques. Etant un pasteur, je m’enrichis sur les passages qui sont normalement ignorés. Il semblerait que je suis arrivé à un tel passage, parfait pour ma personnalité, comme j’approche le vingt-troisième chapitre de Genèse. Un Pasteur que je respecte profondément me confesse que c’est un texte il ne prêcherai pas dessus par choix. Lisant un sermon qu’il avait fait sur ce chapitre, je remarque que 4/5 de son sermon traite avec 1/10 du texte.

Nous ne devrions pas être choqués de trouver la mort de Sara enregistrée comme une partie de la biographie d’Abraham ; cependant, des vingt versets dans ce chapitre, moins de deux réfèrent à la réponse émotionnelle d’Abraham à la mort de sa femme. Aucun romantique ne tolèrerait cela ! Les dix-huit versets restant relatent l’achat d’une petite parcelle de terre où Sara est enterrée.

Je sais que « les imbéciles de précipitent là où les anges craignent de s’aventurer », mais je veux que nous abordions ce texte complètement convaincus que Dieu a une parole pour nous ici. En outre, je crois que nous devons rechercher la plus grande partie de notre instruction de la plus grande partie du passage – l’achat de la parcelle de terre sur laquelle Sara est enterrée.

Préparation pour le départ de Sara

Bien que la mort de Sara ne soit pas enregistrée avant le chapitre 23 de Genèse, le chapitre précédent a préparé Abraham, et nous, pour les évènements de notre passage. Le « sacrifice » d’Isaac sur le Mont Morija a amené Abraham à une foi ferme en le pouvoir de Dieu de ressusciter les morts (Hébreux 11:19.) Pendant que ça n’a pas été nécessaire dans le cas d’Isaac, il le serait avec Sara dans les années à venir. La volonté de tuer Isaac a permit à Abraham d’accepter le départ de sa femme Sara.

En outre, les derniers versets du chapitre 22 enregistrent un incident qui aura quelque chose à voir avec le futur :

« Après ces événements, on annonça à Abraham que Milka avait donné des enfants à Nahor, son frère:

Outs son premier-né, Bouz le second, Qemouel, père d'Aram,

Késéd, Hazo, Pildach, Yidlaph et Betouel.

Betouel fut le père de Rébecca. Ce sont là les huit fils que Milka avait donnés à Nahor, frère d'Abraham.

Son épouse de second rang Reouma lui donna aussi des enfants: Tébah, Gaham, Tahach et Maaka. » (Genèse 22:20-24)

Par la providence de Dieu, une femme pour Isaac avait déjà été pourvue bien avant que le besoin soit apparu. Dieu prend soin du futur à l’avance. Comme un ami l’a exprimé, « le bélier était déjà dans le buisson » (22:13.)

Au-delà de ça, le rapport résumé dans les versets 20-24 rappelait à Abraham que sa patrie et sa famille étaient très loin. Il n’y a aucun doute que les nouvelles de « la maison » lui rendirent le cœur lourd d’émotions. Quand Sara mourait, il y aurait de fortes raisons émotionnelles pour ramener son corps « à la maison » pour l’enterrer. Ces versets nous rappellent alors les liens forts qui restaient en Mésopotamie et la signifiance de la décision d’Abraham d’enterrer sa femme au pays de Canaan.

La Foi d’Abraham Exprimée dans Sa Réponse à la Mort de Sara (3:1-20)

Bien que notre foi ne soit pas basée sur nos sentiments, nous ne devrions pas la séparer de nos émotions. Les deux premiers versets founissent la toile de fond de notre chapitre et décrivent aussi le chagrin du patriarche :

« Sara vécut cent vingt-sept ans.

Elle mourut à, c'est-à-dire Hébron, dans le pays de Canaan. Abraham célébra ses funérailles et la pleura. » (Genèse 23:1-2)

Comme les commentateurs ont noté au cours de siècles, Sara est la seule femme dans la Bible dont l’âge a été révélé. Cent vingt-sept ans est une vieillesse bien avancée, mais la mort de Sara aurait semblé prématurée à cause de sa juvénilité. Même à l’âge de quatre-vingt-dix, elle était une femme assez séduisante pour attirer les yeux d’Abimélek (20:1-2.) Sara a du paraître avoir trouvé la fontaine de jouvence. Sa jeunesse et sa beauté auraient caché le fait que la mort allait arriver bientôt.

Abraham semble avoir été ailleurs au moment de la mort de Sara. Pendant que quelques explications imaginaires existent pour ce fait, il serait plus facilement expliqué par Abraham étant avec ses troupeaux ou quelque chose comme ça. Quand il apprit la mort de sa femme, il est venu à ses cotés pour la pleurer.

Pendant que l’accent du passage ne tombe pas ici, nous savons qu’Abraham a exprimé le chagrin commun à ceux qui font face à la mort d’une personne chère. La foi n’est pas exprimée par une attitude stoïque, froide, inoxydable face à la mort. Il y a des années, Jackie Kennedy a été louée pour sa « foi » quand elle « se comporta si bien » durant les funérailles de son mari. L’Histoire a assez bien fourni la preuve que le manque d’émotions de Jackie aux funérailles pouvait être attribué au manque de sentiments pour son mari. Nous avons seulement besoin de remarquer que notre Seigneur a pleuré à la tombe de Lazare (Jean 11:35.)

L’Achat d’une Concession (3-20)

La mort de Sara a amené Abraham à prendre une décision. La question pratique était: «Où devrais-je enterrer Sara ?» Cependant, le problème principal était ceci : « Où devrais-je être enterré ? » La plupart du temps, quand une concession est achetée pour le premier époux, une autre est achetée à coté pour celui qui reste, et fréquemment une concession familiale est obtenue simultanément. Quand Abraham décida où Sara serait enterrée, il détermina aussi l’endroit de son enterrement et de ses descendants.

Abraham approcha alors les Hittites pour acheter une concession funéraire pour lui et sa famille. Cela a du être étrange pour Abraham d’implorer les Hittites pour une parcelle de terre en dépit des promesses, souvent répétées, de Dieu :

« Ce jour-là, l'Eternel fit alliance avec Abram et lui dit:
---Je promets de donner à ta descendance tout ce pays, depuis le fleuve d'Egypte jusqu'au grand fleuve, l'Euphrate,

le pays des Qéniens, des Qeniziens, des Qadmonéens,

des Hittites, des Phéréziens, des Rephaïm,

des Amoréens, des Cananéens, des Guirgasiens et des Yebousiens.» (Genèse 15:18-21)

Abraham se sentait contraint d’acheter une parcelle que Dieu avait promis de donner à lui et à ses descendants. De plus, il allait acheter le terrain d’un peuple que Dieu allait vaincre pour lui. C’est ironique qu’Abraham doive humblement s’incliner devant ce peuple et les pétitionner pour un morceau de terre.

Comme nous avons noté, la majorité du chapitre 23 est dévouée à la description juridique décrivant l’achat d’une concession funéraire dans le pays de Canaan. Nous ne pouvons comprendre complètement la transaction qu’en connaissant sa culture et son temps. C’était un processus juridique qui suivait précisément les pratiques des Hittites. Même mon ami, qui est avocat de biens immobiliers, n’aurait pas pu faire mieux.

Les transactions juridiques étaient généralement conduites aux portes de la ville où les dirigeants de la ville étaient présents et où les témoins étaient sous la main (Ruth 4:1.) Les termes de l’accord étaient déterminés par des négociations, complètement dans les coutumes et la culture du temps. Cela peut nous paraître « étrange », mais pas à Abraham ou aux Hittites. Les affaires d’Abraham étaient un modèle de dignité et de fair play.

La requête d’Abraham (3-4) : Abraham avait demandé que les fils d’Ephron (verset 3), le Hittite (verset 10), lui fournissent un endroit pour enterrer Sara. Il reconnaissait que son problème était sa situation comme « étranger et voyageur » parmi eux (verset 4.) Le résultat voulait dire qu’il n’était pas propriétaire et qu’aucune terre ne lui appartenait.

Une offre généreuse (5-6) : la demande d’Abraham a été prise au pied de la lettre. Il semblait qu’Abraham demandait seulement l’usage d’une concession funéraire. Une telle requête n’était pas à être refusée à un homme d’une telle stature. Abraham était considéré comme un « prince de Dieu. » Ces Cananéens reconnaissaient la main de Dieu sur cet homme et avaient tendance à le traiter favorablement, même Abimélek avait dit auparavant (21:22.)

Si Abraham espèrait obtenir l’usage d’une propriété funéraire, tout le monde serait content de lui prêter ce qu’ils avaient de mieux. Cependant, une tombe empruntée n’était pas acceptable pour Abraham. Il n’y a vraiment rien de mal avec une tombe empruntée ; notre Seigneur a été enterré dans une, si vous vous rappelez (Matthieu 27:60), mais notre Seigneur n’en avait besoin que pour trois jours, pendant qu’Abraham en avait besoin pour la postérité (Genèse 25:9 ; 50:3.) Rien de moins qu’une possession permanente ne satisferait Abraham.

Une clarification (7-9) : Les intentions d’Abraham n’étaient pas encore comprises. Il désirait une possession permanente, pas une tombe empruntée. Ce pays de Canaan devait devenir sa maison, pas simplement un arrêt sur le chemin. Conséquemment, Abraham demanda aux gens de presser Ephron de lui vendre la grotte de Machpelah, qui était située au bout du champ (verset 9.) Ce ne devait pas être un cadeau, mais un achat à valeur totale de la propriété.

Une modification (10-11) : Ephron, qui était assis parmi les dirigeants de la ville, répondit à la demande d’Abraham. La chose importante n’est pas l’offre de donner la terre à Abraham, car cela ne semble être qu’une simple formalité ; ce n’était pas une offre hypocrite autant qu’une que personne n’accepterait avec honneur. La modification est dans la quantité de terrain qui était incluse. Abraham ne demandait seulement que la grotte au bout du champ d’Ephron, mais Ephron spécifiait que le marché devrait être un paquet, le champ et la grotte. La signification de cela serait suggérée plus tard.

La réponse anticipée (12-13) : Comme attendu, Abraham refusa l’offre du cadeau mais accepta la modification du marché, et donc, la vente fut en route. Le champ avec la grotte serait vendu à Abraham, et le prix seul avait besoin d’être discuté.

Le prix discuté et agrée (14-16) : Certains doivent apprécier la beauté de la culture du Proche-Orient pour profiter de cet acte final de négociation. Ephron n’était pas un imbécile. Il insista dans son offre de donner à Abraham la terre gratuitement, mais il mit une valeur sur le cadeau qui était offert. Cela accomplit deux choses : ça donna un prix, généreux, et cela donnait la possibilité à Abraham de marchander sur le prix. Si Ephron est si généreux à offrir de donner la terre à Abraham, comment Abraham pourrait-il râler sur le prix ? Abraham paya le prix, et les deux hommes se séparèrent avec ce dont ils avaient espéré.

Un résumé final (17-20) : Encore une fois, dans ce qui semble être une terminologie très technique et juridique, la transaction est esquissée. Comme était la coutume, même les arbres sont mentionnés dans le titre de la propriété (verset 17.) Un site funéraire fut ainsi procuré, et Abraham enterra sa femme.

Conclusion

Pour Abraham, l’achat de la grotte de Machpelah était une expression de sa foi en Dieu. L’auteur d’Hébreux a fait allusion à cela quand il a écrit:

« C'est dans la foi que tous ces gens sont morts sans avoir reçu ce qui leur avait été promis. Mais ils l'ont vu et salué de loin, et ils ont reconnu qu'ils étaient eux-mêmes étrangers et voyageurs sur la terre.

Ceux qui parlent ainsi montrent clairement qu'ils recherchent une patrie.

En effet, s'ils avaient eu la nostalgie de celle dont ils étaient sortis, ils auraient eu l'occasion d'y retourner.

En fait, c'est une meilleure patrie qu'ils désirent, c'est-à-dire la patrie céleste. Aussi Dieu n'a pas honte d'être appelé «leur Dieu», et il leur a préparé une cité. » (Hebreux 11:13-16)

En déterminant que Sara, et plus tard lui-même et ses descendants, seraient enterrés dans le pays de Canaan, Abraham « a revendiqué son territoire » dans le pays que Dieu lui a promis. Le pays où il serait enterré sera la patrie de ses descendants. La place que Dieu lui a promis était la place où il doit être enterré.

Jérémie a exprimé une foi similaire quand il acheta le champ d’Anatoth (Jérémie 32:7.) Bien que Dieu allait juger Son people pour leurs péchés en les chassant de la terre promise, IL les ramènerait quand ils se repentiraient. L’achat du champ d’Anatoth démontre la conviction de Jérémie que Dieu ferait ce qu’IL avait promis (Jérémie 32:9-15.)

L’achat d’Abraham illustre non seulement son espoir pour un meilleur pays, un pays paradisiaque (Hébreux 11:16), il l’implique encore plus profondément dans le monde présent dans lequel il vivait comme un étranger et un pèlerin. Les pèlerins n’étaient pas propriétaires, mais maintenant Abraham l’était, par nécessité. Les étrangers et les pèlerins ne sont pas aussi impliqués ou n’ont pas autant d’obligations que les citoyens et les propriétaires. L’achat d’Abraham lui a donné une « double nationalité », à dire. Laissez moi suggérer comment.

On nous dit que selon la loi hittite, Abraham aurait été obligé au roi, s’il avait seulement acheté la grotte de Machpelah au lieu du champ et de la grotte.200 En achetant de la propriété comme il l’a fait, Abraham ainsi approfondit son engagement de foi en Dieu mais aussi prolongea ses obligations dans ce monde. Je crois que c’est important. Dans la première épître, Pierre instruit les Chrétiens sur leurs attitudes et leurs conduites envers ce monde présent puisque nous sommes des étrangers et des pèlerins :

« Mes chers amis, vous êtes dans ce monde comme des résidents temporaires, des hôtes de passage; c'est pourquoi je vous le demande: ne cédez pas aux désirs de l'homme livré à lui-même: ils font la guerre à l'âme.

Ayez une bonne conduite au milieu des païens. Ainsi, dans les domaines mêmes où ils vous calomnient en vous accusant de faire le mal, ils verront vos bonnes actions et loueront Dieu le jour où il interviendra dans leur vie.

Pour l'amour du Seigneur, soumettez-vous à vos semblables, qui sont des créatures de Dieu: au roi qui détient le pouvoir suprême,

comme à ses gouverneurs chargés de punir les malfaiteurs et d'approuver les gens honnêtes. ---

Car voici ce que Dieu veut: c'est qu'en pratiquant le bien, vous réduisiez au silence toutes les calomnies portées contre vous par les insensés, les ignorants.

Vous agirez ainsi en hommes libres, sans faire pour autant de votre liberté un voile pour couvrir une mauvaise conduite, car vous êtes des serviteurs de Dieu. ---

Témoignez à tout homme le respect auquel il a droit, aimez vos frères en la foi, «révérez Dieu, respectez le roi ! » (1 Pierre 2:11-17)

Les Chrétiens sont citoyens de deux mondes, pas seulement un. Bien que notre héritage, « qui ne peut ni se détruire, ni se corrompre, ni perdre sa beauté. » (1 Pierre 1:4), soit aux cieux, nous avons des obligations dans ce monde présent. Nous devons nous soumettre aux autorités de monde et aux institutions (1 Pierre 2:11.) Nous devons aussi obéir les lois du pays et payer nos impôts (Romains 13:1-7.)

Les Chrétiens ont souvent été accusés d’avoir « leurs têtes tant dans les nuages, ils sont des bons à rien sur la terre. » Si je comprends la Bible correctement, notre tête dans les nuages est ce qui nous rend utile dans le présent. Abraham vivait dans le présent en vue de l’avenir. Son futur héritage n’a pas diminué ses obligations présentes ; il a établit ses priorités. Le fait qu’il hériterait du pays de Canaan et « Ta descendance dominera sur ses ennemis » (Genèse 22:17) ne voulait pas dire qu’il ne pourrait pas acheter de la propriété et se soumettre devant l’autorité constituée (23:7,12), et ce aux portes de ceux que Dieu mettrait sous son autorité plus tard (15:20.)

L’achat d’une propriété funéraire d’Abraham fournit Israël avec des racines dans la terre promise. Jacob, qui est mort en Egypte, était enterré dans la grotte qu’Abraham avait achetée (Genèse 50:1-14.) Quand les Israélites furent libérés de l’esclavage égyptien, où retourneraient-ils, mais dans leur patrie ?

D’une façon intéressante, le pays de Canaan n’avait pas encore possédé quand ce Livre (Genèse) fut écrit. Mais ceux qui le recevraient des mains de Moïse étaient ceux qui anticipaient la conquête. A personne, excepté Caleb, ne fut donné le privilège de prendre la terre qu’Abraham avait achetée comme arrhes sur son héritage (Josué 14:13.) Quelle motivation cette histoire a du fournir aux armées d’Israël quand elles marchaient sur Canaan pour le posséder !

Pour les hommes aujourd’hui, cet évènement d’Histoire biblique ancienne a de nombreuses insinuations :

(1) Il indique que dans le Vieux Testament, tout comme dans le Nouveau, la tombe est le symbole d’espoir pour un nouveau croyant.

La grotte de Machpelah reste depuis des siècles un monument à la foi d’Abraham, Isaac, et Jacob. La tombe vide de notre Seigneur garantie le Chrétien que la tombe n’est pas notre destination finale mais une demeure pour le corps jusqu’ à ce que Jésus revienne pour les Siens (1 Corinthiens 15; 1 Thessaloniens 4.)

Qu’est ce que la tombe représente pour vous, mes amis? Est-ce la fin ou le commencement? Votre relation avec le Dieu d’Abraham et Son Fils, Jésus Christ, fait la différence.

(2) Où nous investissons notre argent démontre où nous prévoyons de passer notre futur !

Un des cinq hommes morts en martyr pour sa foi en Equateur, Jim Elliot, dit une fois : « Il n’est pas un imbécile celui qui abandonne ce qu’il ne peut pas garder pour gagner ce qu’il ne peut pas perdre. » Abraham croyait que les promesses de Dieu étaient vraies. Son investissement dans le pays de Canaan était le meilleur achat qu’il pouvait faire. Dans la terminologie du Nouveau Testament, il « amassa plutôt des trésors dans le ciel » (Matthieu 6:19-20.) Comment nous dépensons notre argent indique la réalité de notre foi.

(3) L’alliance de Dieu devrait être la base pour nos actions et décisions.

La foi d’Abraham était en Dieu, mais elle n’était pas nébuleuse, sans fondement. Il croyait en l’alliance que Dieu avait conclut et souvent rappelée. C’était la foi d’Abraham en la compétence de Dieu de tenir ses promesses qui provoquea son achat de la concession funéraire sur laquelle il serait enterré.

Souvent, les gens demandent pourquoi nous devons prendre la communion chaque semaine. Il y a au moins deux réponses. Premièrement, c’est ce que notre Seigneur commandait et ce que la première église pratiquait (Luc 22:14-20 ; 1 Corinthiens 11:23 ; Actes 2:42,46 ; 20:7.) Deuxièmement, c’est un aide-mémoire hebdomadaire de l’alliance que notre Seigneur a fait avec nous – la Nouvelle Alliance de Son sang (Luc 22:20.) Nos actions et nos décisions devraient être gouvernées par l’assurance que cette alliance sera totalement réalisée dans la vie du croyant. Ça, mes amis, est quelque chose dont on doit être rappelé fréquemment.

(4) L’enterrement d’une personne chère est une opportunité importante pour un Chrétien d’exprimer publiquement sa foi.

Fréquemment on nous dit que l’achat de la concession funéraire a été fait devant les Hittites (23:3,7,9,10,etc…) L’importance des actes d’Abraham n’est pas passée inaperçue aux Hittites. Ils le connaissaient comme « prince de Dieu. »

L’occasion de la mort d’une personne chère devrait toujours être vue comme une opportunité pour un témoignage chrétien. Ce que l’on dit à un moment comme ça est très important, mais n’oublions pas que ce que nous faisons est aussi vital. Les actions d’Abraham dans le chapitre 23 sont aussi importantes que ses déclarations.

Pendant que ce que j’ai à dire sur ce point est, au mieux, déductif, je crois que c’est vrai. Il y a un vrai besoin de balancer deux facteurs. Deux fois, Abraham a parlé d’enterrer ses morts (23:4,8.) Le corps d’un saint mort ne doit pas être vénéré ou traité comme quelque objet sacré. Le corps mort n’est qu’une coquille dans laquelle l’âme a résidée. Le corps doit être mis de coté. Certains feraient bien de réfléchir à ça.

D’un autre coté, le corps est celui que Dieu a modelé (Psaume 139:13-16), il a servit comme le “temple du Saint-Esprit” (1 Corinthiens 6:15, 19-20) ; Il sera levé de nouveau et sera transformé, incorruptible (1 Corinthiens 15:35-49.) A cause de cela, le corps ne devrait pas être disposé de telle façon d’ignorer la valeur qu'il lui a été donné par son Créateur.

Bien qu’on puisse protester le « coût cher de la mort », laissez moi suggérer que certains peuvent réagir aux coûts des enterrements d’une manière excessive qui pourra affecter leur témoignage chrétien. Les non-croyants, qui ne voient aucune vie après la mort, pas de résurrection, peuvent bien se débarrasser du corps aussi à bas prix et irrévérencieusement que possible. Cependant, le Chrétien devrait y réfléchir à deux fois.

Je ne crois pas qu’Abraham ait été extravagant pour l’enterrement de sa femme, mais je ne crois pas non plus qu’il cherchait à obtenir un enterrement à prix de soldes. La plupart des érudits suspectent que le prix de cette concession était cher.201 Abraham n’a pas fait de marchandage sur le prix. La motivation d'Abraham aussi bien que sa modération devrait être considérée par rapport aux funérailles. Pendant que notre foi n'a pas besoin de froufrous, ni nos consciences de cercueils incrustés d’argent, nous devons être prudents de ne pas refléter les valeurs d'une société décadente comme nous enterrons nos morts.


200 “The situation is clarified by the Hittite law code found at Hettueas, Bogaskoi, in Asia Minor, which throws considerable light on the transaction. Law 46 stipulates that the holder of an entire field shall render the feudal obligations, but not he who holds only a small part. A later version stipulates that notice of the sale be made to the king and only those feudal services stipulated at that time are to be given. According to Law 47 lands held as gifts from the king do not incur feudal obligations, while sale of all a craftsman’s lands do carry it. On the other hand, if the larger portion of his holding is sold, the obligation passes to the buyer. One who usurps a field or is given a field by the people bears the obligation. By these various conditions it is seen that the land itself bears the obligation which posses to the new buyer.” Harold G. Stigers, A Commentary on Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 1976), p. 193.

201 There is much difference of opinion as to how high a price Abraham paid for the burial plot. Both the relative value of the silver and the size of the field are unknown. Since Moses did not state that the price was exceptionally high, we should draw such conclusions with caution.


25. Comment Trouver Une Femme Pieuse (Genèse 24:1–67)

Introduction

Ann Landers reçut une lettre:

Chère Ann Landers,

Quel mari aimerait une femme paresseuse, sale, mentalement instable ? Sa maison ressemble à une étable. Elle ne cuisine jamais. Tout sort d’une conserve ou du congélateur. Ses enfants mangent des plats pré-fabriqués. Pourtant, le mari de cette bonne à rien la traite comme une reine. Il l’appelle « Chérie » et « Mon adorable petite femme » et place un oreiller sur le téléphone quand il va au travail pour qu’elle puisse dormir un peu plus longtemps. Le week-end, il fait la lessive et les courses.

Je me lève à 6 heures et prépare le petit déjeuner de mon mari. Je lui fais ses chemises car celles des magasins ne lui vont pas bien. Si mon mari vidait une poubelle, je m’évanouirai. Une fois, quand je l’ai appelé au téléphone à son bureau pour lui demander d’acheter du pain en sortant du boulot, il m’a insulté pendant 5 minutes. Le plus vous faites pour un homme, le moins il vous apprécie. Je me sens comme une bonne qu’on ne paye pas, pas comme une épouse. Qu’est ce qui se passe ?

Signé : la mule (c’est comme ça qu’il m’appelle.)

La réponse d’Ann est classique. Elle répondit :

Une licence de mariage n’est pas une garantie que le mariage va marcher, pas plus qu’une carte de pêche assure que vous attraperez du poisson. Elle vous donne simplement le droit d’essayer.202

Je partage ce petit peu de sagesse avec vous, car il fait apparaître un avertissement très pertinent pour le 24ème chapitre de Genèse. Nous savons tous que ce chapitre, le plus long dans ce Livre, est dévoué à la description du processus de trouver une épouse pour Isaac. Trouver l’épouse parfaite est absolument essentiel. Mais, aussi important que cela soit, trouver la personne parfaite n’assure pas que le mariage sera parfait. Comme Ann Landers dit, « Cela ne vous donne que le droit d’essayer. »

L’accentuation excessive de trouver la femme parfaite, ou le mari parfait, peut avoir quelques effets désastreux pour ceux déjà mariés. Il est possible pour quelqu’un de conclure qu’ils sont mariés à la mauvaise personne. Je connais un prêcheur très connu qui insiste très fortement que, si vous n’avez pas marié la personne parfaite, vous devriez divorcer et essayer à nouveau.

Nous, qui sommes mariés, avons besoin d’étudier ce passage pour ce qu’il nous enseigne sur le sujet de domesticité et la recherche de la volonté de Dieu. Quand on arrive sur le sujet du mariage, il y a beaucoup ici pour nous instruire, comme parents voulant préparer nos enfants pour le mariage. Mais pour autant que nos propres partenaires soient concernés, nous devons placer beaucoup plus d'accentuation sur la question d'être le partenaire parfait plutôt que sur trouver le partenaire parfait.

Le point de notre étude sera d’étudier la recherche pour l’épouse d’Isaac dans les limites de sa culture et le cadre historique et puis de regarder aux implications de ce passage pour la domesticité, recherchant la volonté de Dieu, et le mariage.

Le Serviteur Délégué (24:1-9)

Sara est morte depuis trois ans, et Abraham a maintenant 140 ans, « un vieillard très âgé » comme Moïse le décrit.203 Bien qu’Abraham soit encore à 35 ans de sa mort, il n’avait aucune raison de présumer qu’il vivrait jusqu'à un tel âge, alors il commença à faire les préparations pour ses funérailles. Son souci le plus grand était le mariage d’Isaac avec une femme qui l’aiderait à élever ses descendants dévots, bien que Dieu lui ait déjà clairement dit :

« Car je l'ai choisi pour qu'il prescrive à ses descendants et à tous les siens après lui de faire la volonté de l'Eternel, en faisant ce qui est juste et droit; ainsi j'accomplirai les promesses que je lui ai faites. » (Genèse 18:19.)

Abraham confia la responsabilité de trouver une épouse pour Isaac à personne d’autre que son plus vieux serviteur en qui il avait le plus confiance. Il est possible, bien que pas spécifié, que ce serviteur soit Eliézer de Damas. Si c’est vrai, l’importance de ce serviteur est encore plus frappante, car cette tâche était pour le bénéfice du fils d’Abraham, qui hériterait tout ce qui aurait pu être à lui :

« Abram répondit:
---Eternel Dieu, que me donnerais-tu? Je n'ai pas d'enfant, et c'est Eliézer de Damas qui héritera tous mes biens. » (Genèse 15:2.)

Le dévouement de ce serviteur pour son maitre et pour le Dieu de son maitre est un des points culminants de ce chapitre. Sa piété, vie spirituelle, et sagesse pratique met la barre à un haut niveau pour le croyant dans n’importe quelle période.

Le serviteur, quel que soit son nom, était délégué pour procurer une épouse au fils d’Abraham, Isaac. Seules deux stipulations furent formulées par Abraham : L’épouse ne doit pas être une Cananéenne (24:3), et Isaac ne doit pas, dans aucunes circonstances, retourner en Mésopotamie, d’où Dieu l’avait appelé (24:6.)

Ces deux obligations promouvaient la séparation, pendant qu’elles évitaient l’isolation. La présence d’Isaac dans le pays de Canaan, même quand il ne le possédait pas, témoigne de sa foi en Dieu et sa dévotion développée et sa dépendance en Dieu seul. Elles servent aussi comme moyens de proclamer aux Cananéens que Yahvé seul était Dieu.

Abraham et ses descendants étaient, dans ce sens, des missionnaires.

Pendant qu’ils vivaient parmi les Cananéens, ils ne devaient pas devenir un avec eux par mariage. Retourner en Mésopotamie résulterait à l’isolation. Vivre parmi eux mais marier quelqu’un qui respectait Dieu servirait à isoler Isaac d’une relation trop proche avec ces païens. Donc, une épouse doit être procurée par la famille d’Abraham pendant qu’en même temps, Isaac n’est pas autorisé à retourner lui-même là-bas.

La fondation pour la décision d’Abraham de procurer une épouse pour son fils et les stipulations faites sont expliquées dans le verset 7 :

« L'Eternel, le Dieu du ciel qui m'a fait quitter ma famille et le pays où elle s'était établie, qui m'a parlé et m'a promis par serment de donner ce pays-ci à ma descendance, te fera précéder par son ange pour que tu puisses emmener de là-bas une femme pour mon fils. » (Genèse 24:7.)

Avant tout, les actions d’Abraham étaient fondées sur une révélation. Dieu avait promis de faire d’Abraham une grande nation et par lui de bénir tous les pays. Il n’est pas difficile de conclure que le fils d’Abraham devait lui-même se marier et avoir des enfants. Donc, bien que n’étant pas un ordre spécifique, c’était la volonté de Dieu qu’Isaac se marie. De plus, il était déterminé qu’Isaac devait rester dans le pays de Canaan. Dieu avait promis « ce pays-ci » (verset 7) à Abraham et ses descendants.

En plus, Abraham indiqua à son serviteur de chercher une épouse pour son fils avec l’assurance que Dieu le guiderait divinement. « Son ange » serait envoyé devant lui pour préparer son chemin. Abraham ainsi agit sur une révélation qu’il avait reçue auparavant, sur que ce guidage divin serait accordé quand il serait nécessaire. Sa foi n’était pas supposition, cependant, car il a tenu compte de la possibilité que cette mission ne pourrait pas être les moyens de Dieu de réserver une femme dévote pour Isaac :

« Si cette femme ne consent pas à te suivre, tu seras dégagé du serment que je te demande de prêter; mais quoi qu'il arrive, tu ne ramèneras pas mon fils là-bas. » (Genèse 24:8.)

Quel exemple magnifique de foi en Dieu, Celui Qui guide Ses peuples ! Abraham a envoyé son serviteur, assuré que Dieu l’avait guidé par Sa parole. Abraham recherchait une épouse pour son fils, assuré que Dieu avait préparé le chemin et le ferait clairement voir. Abraham avait aussi tenu compte du fait que Dieu pourrait ne pas procurer une épouse dans le sens qu’il pensait qu’il la procurerait et donc il a tenu compte d’une intervention divine dans un autre sens.

Bien que le serment, qui a été juré, était inhabituel, arrivant autre part dans Genèse 47:29, il était, sans aucuns doutes, un acte sérieux, probablement commun à cette culture et à ce temps.204 Nous savons, par le contexte, que c’était un serment solennel et un qui devait être prit très au sérieux par le serviteur. L’importance de cette mission est ainsi soulignée.

La Recherche Accomplie (24:10-27)

Imaginez pour un moment qu’Abraham vous ait donné cette tache à accomplir. Comment feriez-vous pour trouver une épouse acceptable pour Isaac ? Quelle tâche impressionnante cela a du être ! Cela a du paraître comme chercher une aiguille dans une botte de foin. Naturellement, vous vous prépareriez correctement, tout comme le serviteur l’a fait, et voyageriez vers le pays d’où Abraham était venu et où sa famille vivait toujours. La « ville où habitait Nahor » (verset 10) pourrait être Harân ou près de là (11:31-32.)

Un serviteur plus jeune aurait probablement attaqué cette tâche d’une manière différente. Je pourrais l’imaginer arrivant dans la ville, annonçant le fait qu’il travaillait pour un étranger très riche qui avait un fils à marier, beau garçon, qui serait son seul héritier. Son intention de trouver une fille à marier aurait été proclamée sur les toits, et une seule fille chanceuse serait choisie. Pour sélectionner la postulante, le serviteur aurait pu faire un concours du genre « Miss Mésopotamie. » Seules les plus belles et les plus talentueuses jeunes filles pourraient y participer, et la gagnante deviendrait l’épouse d’Isaac.

La méthodologie de ce serviteur fidèle était si différente. Quand sa petite caravane arriva à la « ville de Nahor », immédiatement il s’enquit de la volonté et des conseils de Dieu en priant :

« Alors il pria:
---Eternel, Dieu d'Abraham mon maître, veuille témoigner ta bonté à mon maître en me faisant rencontrer aujourd'hui celle que je cherche.

Voici, je me tiens près de la source et les filles des habitants de la ville vont venir puiser de l'eau.

Que celle à qui je dirai: «S'il te plaît, penche ta cruche pour me donner à boire» et qui me répondra: «Bois, et je vais aussi faire boire tes chameaux», soit celle que tu destines à ton serviteur Isaac. Ainsi je saurai que tu témoignes de la bonté à mon maître. » (Genèse 24:12-14)

La sagesse l’avait amené jusqu’ici. Il était dans la bonne ville, et au bon endroit pour observer les femmes de la ville quand elles viendraient puiser de l’eau. Mais comment pourrait-il juger la plus importante qualité d’un caractère dévot et chrétien ? Des mois, peut-être des années, d’observation pourraient être requis pour discerner le caractère des femmes qu’il interviewerait.

Le plan que ce serviteur avait imaginé témoigne de sa sagesse et de sa maturité. Dans un sens, cela semble être le genre de toison mise devant le Seigneur. Elle servirait de signe au serviteur qu’elle serait la bonne fille à approcher pour son maître, comme épouse d’Isaac. En réalité, le serviteur préférait tester la femme lui-même, plutôt que de laisser Dieu s’en occuper. Les chameaux sont connus pour être très assoiffés, spécialement après un long voyage dans le désert. Donner à boire au serviteur était une chose. Donner à boire aux serviteurs et puis abreuver les chameaux était une autre chose. Le serviteur n’avait pas prévu de demander de l’eau pour ses chameaux, seulement pour lui-même. Elle pourrait donc facilement le satisfaire, en ne se sentant pas obligée de satisfaire tous les besoins de toute la caravane. Si une femme faisait plus que ce qu’il demandait, elle serait une femme de caractère inhabituel.

C’était un plan merveilleux, et le serviteur le présenta à Dieu en prière. Cette requête inhabituelle reflétait un aperçu très profond dans la nature humaine, ainsi que la dépendance aux conseils divins. Cette pétition ne devrait pas être refusée. Effectivement, elle y fut répondue avant même que la requête fut terminée :

« Il n'avait pas encore fini de parler, que Rébecca arriva, la cruche sur l'épaule. C'était la fille de Betouel, fils de Milka et de Nahor, le frère d'Abraham.

La jeune fille était très belle; elle était vierge, aucun homme ne s'était encore uni à elle. Elle descendit à la source, remplit sa cruche et remonta.» (Genèse 24:15-16)

Rébecca était, effectivement, la femme parfaite pour Isaac. Elle était la fille de Betouel, le neveu d’Abraham. En plus, elle était une femme très belle qui avait maintenu sa pureté sexuelle – essentielle à la préservation de la graine pure. Apparemment, elle était la première à apparaître et la seule femme là à ce moment. Tout ce que le serviteur vu suggérait que cette femme était une candidate pour le test qu’il avait imaginé.

Courant vers la femme, il demanda un peu d’eau à boire. Elle répondit rapidement, abaissant sa cruche, plus retournant maintes fois au point d’eau jusqu'à ce que les chameaux furent satisfaits. Le serviteur ne parla pas jusqu'à ce que tous les chameaux aient été abreuvés. Pendant que la beauté évidente de la femme aurait satisfait les standards des hommes normaux, le test a été permit de continuer. Couvrant la femme avec des cadeaux d’or, le serviteur chercha à déterminer l’origine de sa lignée. Quand il fut satisfait avec ce qu’il avait trouvé, il se prosterna devant Dieu, Le glorifia en le remerciant pour l’avoir conduit à Rébecca et pour Sa grâce.

« Alors le serviteur s'inclina pour se prosterner devant l'Eternel.

Il dit:
---Loué soit l'Eternel, le Dieu d'Abraham mon maître, qui n'a cessé de témoigner sa bonté et sa fidélité à mon maître. Il m'a conduit dans mon voyage jusque dans la parenté de mon maître.» (Genèse 24:26-27)

Garantissant le Consentement Parental

Quand le serviteur révéra Dieu, Rébecca courut en avant pour raconter ce qu’il s’était passé et pour commencer les arrangements pour les invités qui allaient arriver. Le frère de Rébecca, Laban, nous est présenté ici.205 Sa dévotion aux choses matérielles est suggérée par sa réponse:

« Car il avait vu l'anneau et les bracelets aux poignets de sa sœur et il avait entendu Rébecca raconter ce que l'homme lui avait dit; il alla donc trouver le serviteur qui se tenait avec les chameaux près de la source.

Il lui dit:
---Viens chez nous, homme béni de l'Eternel. Pourquoi restes-tu dehors? J'ai préparé la maison et fait de la place pour tes chameaux. » (Genèse 24:30-31)

Ayant trouvé la femme qui deviendrait l’épouse d’Isaac, le serviteur avait maintenant à convaincre la famille que le fils d’Abraham était l’homme parfait pour Rébecca. Le fait qu’elle devrait déménager loin était un obstacle qui devait être surmonté par de très bons arguments. Cette tâche délicate fut habilement manipulée par le serviteur. L’urgence de sa mission fut indiquée par son refus de manger avant que le but de son voyage ne soit expliqué.

Premièrement, le serviteur s’identifia comme le représentant d’Abraham, l’oncle de Betouel (verset 34.) Cela aurait mis de coté beaucoup d’objections de ces membres de la famille, qui étaient intéressés de protéger la pureté des descendants de Rébecca. Puis le succès d’Abraham fut rapporté. Abraham n’a pas été stupide de quitter Harân, car Dieu l’avait fait prospérer énormément. Par déduction, cela témoignait de l’aptitude d’Isaac de fournir abondamment pour les besoins de Rébecca, qui ne vivait pas dans la pauvreté (versets 29,61.) Il était dit qu’Isaac était l’héritier unique de la fortune d’Abraham (verset 36.)

Si la loi de proportion peut nous enseigner quelque chose, cela doit être que ce qui est décrit dans les versets 37-49 est bien plus vital aux buts du serviteur que les versets 34-36. L’argument le plus fascinant qu’il puisse fournir était le témoignage que c’était la volonté de Dieu pour Rébecca de devenir l’épouse d’Isaac. Il a accomplit cela en racontant tout ce qui c’est passé depuis sa délégation par Abraham à la conclusion de sa recherche au point d’eau. La conclusion de la présentation du serviteur est fascinante :

« Ensuite, je me suis incliné pour me prosterner devant l'Eternel, et j'ai loué l'Eternel, le Dieu de mon maître Abraham, pour m'avoir conduit sur le bon chemin chez la petite-nièce de mon maître, afin que je la ramène pour son fils.

Et maintenant, si vous voulez témoigner une véritable bienveillance à mon maître, dites-le moi. Sinon, dites-le aussi pour que je me tourne d'un autre côté. » (Genèse 24:48-49)

La vigueur de la présentation du serviteur n’a échappé à personne. Laban et son père répondirent :

« Laban et Betouel répondirent:
---Tout cela vient de l'Eternel. Que pourrions-nous dire de plus en bien ou en mal?

Voici Rébecca: elle est là, devant toi. Prends-la, emmène-la et donne-la comme épouse au fils de ton maître, comme l'Eternel en a décidé. » (Genèse 24:50-51)

Avec la permission donnée à Rébecca d’épouser Isaac, les cadeaux de la dot furent amenés et présentés aux membres de la famille (verse 53.) A nouveau, le serviteur reconnut la main de Dieu dans ces affaires et Le révéra gracieusement (verset 52.) Avec tout en ordre, ils mangèrent et burent et le serviteur et ses compagnons passèrent la nuit.

Au petit matin, quand le serviteur exprima son désir de retourner vers son maître, la mère et le frère de Rébecca exprimèrent leurs désirs de retarder son départ. Ils savaient, sans aucuns doutes, qu’il se pourrait qu’ils ne la revoient plus jamais, et ils voulaient un peu de temps pour faire leurs adieux. Cependant, le serviteur insista pour qu’ils la laissent partir immédiatement. Rébecca fut alors consultée sur cette question, et puisqu’elle désirait partir sans délais, ils les envoyèrent avec leur bénédiction.

Cette bénédiction, avec la réponse à la revendication du serviteur que Dieu l’avait conduit à Rébecca, m’aide à comprendre pourquoi Abraham avait insisté que l’épouse d’Isaac soit obtenue parmi les membres proches de sa famille de Mésopotamie. Dans une certaine mesure, Betouel et toute sa maison devaient partager une foi en le Dieu d’Abraham. Ils ont répondu rapidement à l’évidence d’une intervention divine, comme elle a été racontée par le serviteur (versets 37-49, 50-51.) Leur bénédiction de Rébecca est, à mon avis, un reflet de leur foi en le Dieu d’Abraham et Son alliance. La bénédiction qu’ils ont prononcée est trop parallèle à l’alliance que Dieu avait promis à Abraham pour être une simple coincidence206 :

« Je la bénirai et je t'accorderai par elle un fils; je la bénirai et elle deviendra la mère de plusieurs nations; des rois de plusieurs peuples sortiront d'elle.» (Genèse 17:16)

« Ils bénirent Rébecca et lui dirent:
Toi, notre sœur, puisses-tu devenir la mère de

milliers de milliers et que ta descendance se rende

maître de tous ses ennemis! » (Genèse 24:60)

« je te comblerai de bénédictions, je multiplierai ta descendance et je la rendrai aussi nombreuse que les étoiles du ciel et que les grains de sable au bord de la mer. Ta descendance dominera sur ses ennemis.» (Genèse 22:17)

Le Retour (24:61-67)

La mission fut accomplie, et maintenant Rébecca suivait les pas de son grand-oncle Abraham. Elle, comme lui, fut guidée par Dieu de quitter sa patrie et sa famille pour aller au pays de Canaan.

Isaac était dans les champs en train de méditer207 alors que la soirée approchait (verset 63.) Levant ses yeux, il remarqua la caravane qui arrivait. Bien que ce soit conjectural, je crois qu’Isaac, comme le serviteur auparavant, était en train de prier à propos de la tâche de lui trouver une épouse. Isaac n’avait pas pu ignorer la mission dont le serviteur avait été chargé, et sûrement il n’aurait pas pu être désintéressé de son résultat. Pour cette raison, je crois qu’Isaac priait pour le serviteur, pour que la mission réussisse. Comme dans le cas du serviteur, la prière d’Isaac a été entendue avant même qu’elle ne soit terminée.

Rébecca regarda avec intérêt l’homme qui les approchait. Elle posa des questions au serviteur à propos de lui et apprit que cet homme était son futur mari. Adéquatement, elle se couvrit avec son voile.

Le verset 66 peut sembler accidentel, mais je crois qu’il décrit un pas essentiel dans le processus de la recherche d’une épouse pour Isaac. Abraham était convaincu qu’Isaac avait besoin d’une épouse comme Rébecca. Le serviteur aussi était assuré qu’elle était celle pour Isaac et avait réussi à convaicre sa famille de ce fait. Cependant, nous ne devons pas oublier le fait qu’Isaac aussi avait besoin d’être convaincu que Rébecca était la femme que Dieu lui avait fournie. Le rapport du serviteur, bien qu’il ne fut pas répété, a du être identique à celui noté dans les versets 37-48. Nous savons du verset 67 qu’Isaac savait pour sûr que Rébecca était le bon et parfait cadeau de Dieu pour lui.

Beaucoup de choses sont comprimées dans le dernier verset de ce chapitre. Isaac a emmené Rébecca dans la tente de sa mère, et elle devint sa femme. Son amour pour elle fleurit et continua à grandir. Son mariage consola Isaac de la mort de sa mère.

Conclusion

Le chapitre 24 de Genèse est un chapitre qui est riche en leçons pour nos vies, mais j’aimerai me concentrer sur trois avenues de vérité contenues dans notre texte : la servitude, les conseils, et le mariage.

La servitude

Certains ont vu dans le chapitre 24 de Genèse un genre de Trinité. Abraham est un genre du Père, Isaac du Fils, et le serviteur du Saint Esprit. Bien que cela puisse être une bonne pensée religieuse, il ne me semble pas être le cœur du message pour les Chrétiens aujourd’hui. Aussi, l’analogie semble se décomposer fréquemment.

Plutôt que de le voir comme un genre d’Esprit, je vois le serviteur comme un modèle pour chaque Chrétien, car la servitude est un des caractères fondamentaux du service chrétien :

« Il ne doit pas en être ainsi parmi vous! Au contraire: si quelqu'un veut être grand parmi vous, qu'il soit votre serviteur,

et si quelqu'un veut être le premier parmi vous, qu'il soit l'esclave de tous. » (Marc 10:43-44)

Le serviteur d’Abraham a été remarqué par son obéissance avide et son application des instructions qui lui avaient été données. Il a diligemment poursuivit sa tâche, ne mangeant pas, ne se reposant pas avant qu’elle soit finie. Il y avait un sens d’urgence, peut-être une réalisation que son maître croyait qu’il ne restait pas beaucoup de temps. Au moins il était convaincu que son maître sentait que le sujet était urgent. La diplomatie du serviteur était évidente dans son traitement de Rébecca et de sa famille. Peut-être les deux traits les plus frappants de ce serviteur sont sa sagesse et son dévouement. Il est clair qu’Abraham a donné à cet homme une grande autorité, car il contrôlait tout ce qu’il possédait (24:2.) Pour cette tâche, il lui a été donné aussi beaucoup de liberté à utiliser comme il voulait pour trouver une épouse pieuse. Seule deux lignes de limite furent tirées : il ne pouvait pas choisir une femme cananéenne, et il ne pouvait pas ramener Isaac en Mésopotamie. Le plan que le serviteur conçu pour déterminer le caractère des femmes au point d’eau était un chef-d’œuvre.

Peut-être le trait le plus frappant de tout était son dévouement pour son maître et le Maître de son maître. La prière et la vénération marquent cet homme comme étant une tête au-dessus de ses collègues. Il était un homme avec une confiance personnelle en Dieu et qui donnait la gloire à Dieu. Ce serviteur dévot nous laisse avec un exemple de servitude surpassée seulement par le « serviteur souffrant », le Christ, notre Christ Jésus Christ.

Les conseils

La plupart d’entre nous avons déjà trouvé un (e) compagnon (e) pour notre vie mariée. Nous devrions donc considérer ce passage dans un contexte plus large de conseils que Dieu fournit à Ses enfants. Peut-être aucun autre passage du Vieux Testament n’illustre autant la main guidante de Dieu que cette portion du Livre de Genèse.

Premièrement, nous voyons que Dieu dirige les hommes par les Écritures. Nulle part n’est-il ordonné impérativement à Abraham d’aller chercher une épouse pour son fils, mais il agit sur la claire interférence d’une révélation. Abraham devait devenir une forte nation par son fils, Isaac. Donc, Isaac devait avoir des enfants, et cela nécessitait une épouse. Puisque ses descendants devraient être fidèles à Dieu et respecteraient Son alliance (18:19), l’épouse devait être une femme pieuse. Cela impliquait qu’elle ne pouvait pas être cananéenne. Et, puisque Dieu avait promit « ce pays-ci », Isaac ne devait pas retourner en Mésopotamie.

Deuxièmement, nous voyons que Dieu guide Ses enfants une fois qu’ils sont en route par « Son ange » (24:7.) Je crois que tous les vrais Chrétiens sont guidés par le Saint Esprit (Romains 8:14.) IL nous prépare le chemin pour que nous marchions selon Sa volonté et pour sentir Ses directions. Nous devons continuer à marcher dans la foi, tout comme Abraham l’a fait, sachant que Dieu nous dirige.

Troisièmement, la volonté de Dieu fut reconnue par la prière. Le serviteur a soumit un plan à Dieu dans lequel la femme qui devait devenir l’épouse d’Isaac serait évidente. Ce n’était pas une blague, mais plutôt un test de caractère. Le serviteur pouvait ici déterminer le caractère des femmes qu’il rencontrerait. Providentiellement, Dieu (à travers des circonstances) amena la femme parfaite au serviteur, et par son action généreuse d’abreuver les chameaux, elle prouva qu’elle était Son choix pour être l’épouse d’Isaac.

Finalement, la volonté de Dieu fut reconnue par la sagesse. Il n’y a aucuns doutes qu’Abraham envoya son serviteur, le plus vieux et celui en qui il avait le plus confiance, à cause de son jugement. Il obéit et est allé à la « ville de Nahor » et s’installa à coté du point d’eau où toutes les femmes de la ville devaient venir quotidiennement. Humblement il pria pour des conseils, mais sagement il proposa un plan qui testerait le caractère des femmes qu’il rencontrerait. Il n’y eut pas de révélations spectaculaires, il n’y en avait pas besoin. La sagesse pouvait détecter une femme de grande valeur.

Le mariage

Pour ceux d’entre nous qui ne sommes pas mariés ou qui sont et ont des enfants qui font face à ce choix, beaucoup de principes fournissent des évidences pour cette histoire de la sélection d’une épouse dévote pour Isaac.

Premièrement, un (e) compagnon (e) dévot (e) ne devrait être recherché (e) que quand il est certain que le mariage accomplira les buts que Dieu a pour nos vies. Isaac avait besoin d’une femme car il devait devenir un mari et père pour réaliser sa part dans le fonctionnement de l’alliance de Dieu avec Abraham. Bien que ce soit normal pour les hommes de se marier, n’oublions pas que la Bible nous informe que de temps en temps le but de Dieu est de garder quelque uns de Ses serviteurs célibataires (1 Corinthiens 7:8-24.) Le mariage ne devrait être recherché que pour ceux qui accompliront le but de Dieu en ayant un (e) compagnon (e) et, peut-être, une famille.

Deuxièmement, si nous devons avoir un (e) compagnon (e) dévot (e), nous devons attendre le moment que Dieu choisira. Si souvent j’ai vu des hommes et des femmes qui se marient trop vite, craignant que le temps pour se marier les passe. Ils ont marié ceux qui sont non-croyants ou pas prêts à s’engager parce qu’ils ont conclu que n’importe qui est mieux que personne. Isaac avait 40 ans quand il s’est marié. Par certains standards, c’était à peu près 10 ans trop tard (Genèse 11:14,18,22.) Il vaut mieux attendre pour le (a) compagnon (e) que Dieu a choisit.

Troisièmement, si nous devons avoir un (e) compagnon (e) dévot (e), nous devons chercher au bon endroit. Abraham instruisit son serviteur de ne pas chercher une épouse parmi les Cananéenes. Il savait que sa famille révérait Dieu et que leurs descendants partageraient la même foi. C’est là que le serviteur alla chercher. Pas d’importance qu’il ait eu beaucoup de kilomètres poussiéreux entre eux.

Je ne sais pas pourquoi les Chrétiens pensent qu’ils trouveront un (e) compagnon (e) croyant (e) dans un bar pour célibataires ou d’autres endroits comme ça. Je n’ai pas de problèmes avec des Chrétiens allant dans un collège chrétien ou faisant partis d’un groupe d’une église chrétienne dans l’espoir de trouver là un partenaire. Si nous espérons trouver un (e) compagnon (e) dévot (e), cherchons où les vrais Chrétiens devraient être. Si Dieu n’en fournit pas un (e) de cette façon, IL peut certainement en fournir un (e) par Sa façon souveraine.

Quatrièmement, si vous voulez un (e) compagnon (e) dévot (e), vous devez chercher des qualités pures. Je remarque que le serviteur d’Abraham n’a pas évalué Rébecca sur son apparence physique. S’il l’avait fait, elle aurait gagné haut la main (24:16.) Pour le serviteur, la beauté était quelque chose de bien, mais ce n’était pas fondamental. La femme qu’il cherchait devait être une qui croyait en le Dieu d’Abraham et qui était vierge. Essentiellement, elle devait être une femme qui manifestait un caractère chrétien, comme reflété dans sa réponse à la requête pour de l’eau. Le serviteur connaissait par expérience et sagesse les qualités qui sont les plus importantes dans un mariage heureux. Etre seulement une femme qui croyait en le Dieu d’Abraham ne suffisait pas. Simplement parce que quelqu’un est Chrétien ne le (la) qualifie pas pour le mariage.

Cinquièmement, celui (le) qui trouverait un (e) compagnon (e) dévot (e) devrait être disposé à faire attention aux conseils de Chrétiens plus vieux et plus sages. Avez-vous remarqué qu’Isaac n’a presque rien eu à faire en ce qui concerne se chercher une épouse ? Isaac, s’il avait été laissé à lui-même, n’aurait jamais trouvé Rébecca. La première fille mignonne ou la première femme qui aurait proclamé sa foi en Dieu aurait été adéquate. Le serviteur ne voulait pas se contenter de seconde classe. Non seulement Abraham et son serviteur faisaient parti de l’affaire, mais la famille de Rébecca a aussi du être convaincue de l’intervention de Dieu. Toutes personnes refusant les conseils de dévots Chrétiens, qui sont plus agés et plus sages, sont en route pour avoir leurs cœurs brisés.

Finalement, celui qui trouverait un (e) compagnon (e) dévot (e) devrait agréer à mettre leurs émotions en dernière position. Regardez à nouveau au verset 67 :

« Là-dessus, Isaac conduisit Rébecca dans la tente de Sara[d], sa mère; il la prit pour femme et il l'aima. C'est ainsi qu'il fut consolé de la mort de sa mère. » (Genèse 24:67)

Avez-vous remarqué que l’amour vient en dernier, pas en premier, dans ce chapitre ? Isaac a apprit à aimer sa femme au cours du temps. L’amour est venu après le mariage, pas avant. Cela m’amène à un principe que beaucoup de conseillers chrétiens soulignent souvent : L’AMOUR ROMANTIQUE N’EST JAMAIS LA BASE POUR UN MARIAGE – MARIAGE EST LA BASE POUR L’AMOUR ROMANTIQUE.

Ici nous voyons une très bonne raison pour un Chrétien décidant de ne jamais fréquenter un non-croyant. Un Chrétien devrait examiner soigneusement toutes personnes avant qu’il ou qu’elle ne commence à considérer à sortir avec eux. Fréquenter souvent entraîne problèmes émotionnels et attractions physiques. L’amour romantique est un sentiment émotionnel merveilleux, mais il ne soutiendra jamais un mariage. Ne vous mettez jamais dans une situation où l’amour romantique peut grandir avant que vous ne soyez certains que vous voulez qu’il grandisse.

Tout dans notre culture va au contraire de ce principe. Les sentiments romantiques sont exploités par Madison Avenue et nous sont continuellement jetés aux yeux, dans un spot light excitant, sur notre poste de télé. L’amour est merveilleux, un don de Dieu, mais laissez l’amour venir en dernier, pas en premier, si nous voulons trouver un (e) compagnon (e) dévot (e).

Je crois que Dieu a une personne spéciale choisie de l’éternité passée comme compagnon (e) pour ceux à qui IL a un mariage prévu. Je crois que Dieu nous guidera sûrement vers cette personne en utilisant les Ecritures, les prières, les conseils, la sagesse et Son intervention providentielle. Je crois que nous serons capables de reconnaître cette personne, convaincus surtout par le fait qu’elle a manifesté un caractère dévot. Que Dieu nous aide à encourager nos enfants et nos amis à faire confiance à Dieu et à LUI obéir dans la sélection d’un (e) compagnon (e). Pour ceux d’entre nous qui sommes mariés, que Dieu nous permette d’être le (a) compagnon (e) dévot (e) que Sa Parole nous dit nous devrions être.


202 Ann Landers, “Men vs. Women--and Vice Versa,” Reader’s Digest, March, 1969, p. 59.

203 A nearly identical expression is to be found in Genesis 18:11, referring to Abraham’s agedness at 100. Later, in 25:8 Abraham is said to have died at a “ripe old age” of 175.

204 Some explanations of this oath have gone beyond the facts. The remarks of Stigers seem to reflect the most careful and balanced explanation: “Genesis 24:2 and 47:29 have a strange form of the oath, the hand of the one from whom an oath is taken being put under the thigh of the person taking the oath. No data from contemporary times have as yet come to light to explain this action, but conceivably it might appear one day from the land of Haran from which Abraham came, or perhaps from Canaan. But--and this is important--no explanation of the meaning of the manner is presented; however, it does appear to represent a serious, important matter going beyond the casual promise. It is related not to show its importance, but as part of an understood, legitimate custom, though unexplained, which no second party legitimately could refuse, and therefore we must perceive this to be an eyewitness account.” Harold G. Stigers, A Commentary on Genesis (Grand Rapids: Zondervan, 1976), p. 16.

205 Students of Scripture have observed that Laban, the brother, seems to wield more authority than Bethuel, the father. Stigers remarks help explain this phenomenon:

The response of the family is interesting, for not the father, but the brother, speaks first. We may conclude then, that Laban has the stronger position and a definite function in the family equal to that of the father. Afterward, it was Laban and the girl’s mother who received gifts. The Nuzu tablets throw light on the arrangement. What is seen in Rebekah’s household is a fratriarchy or the exercise of family authority in Hurrian society by which one son has jurisdiction over his brothers and sisters. So Laban with his mother decides to put the matter of prompt departure up to Rebekah (v. 58). This independence of action is also reflected in the Nuzu documents concerning the wife of one Hurazzi who said, ‘With my consent my brother Akkuleni gave me as wife to Hurazzi.’ This parallels the biblical incident as to circumstances of the question to the bride, the decision by Laban to ask her, and her answer. (Stigers, Genesis, p. 201.)

206 I must therefore disagree with Kidner, who views the similarity as accidental or unintentional: “The family of Rebekah little knew that their conventional blessing echoed God’s pregnant words to Abraham (22:17).” Derek Kidner, Genesis (Chicago: Inter-Varsity Press, 1967), p. 149. Rather, I would concur with Stigers, who writes: “When they called for a myriad of thousands for Rebekah, they were asking for boundless numbers of God’s people, in harmony with 12:2a and 22:17. When they spoke of descendants possessing the gates of their enemies, they were calling for, even predicting, the ultimate triumph of the people of God, the Israelites (cf. Rev. 4:10; 12:5; 20:4). It is thus seen why Abraham sent to Padan-Aram for a wife for Isaac: these people shared the same hope.” Stigers, Genesis, p. 201.

In the light of Joshua 24:2, we must not make too much of the “faith” of Abraham’s relatives in Mesopotamia: “. . . Thus says the LORD, the God of Israel, ‘From ancient times your fathers lived beyond the River, namely, Terah, the father of Abraham and the father of Nahor, and they served other gods.’” We know, for example, that Laban possessed household gods, which Rachel took when Jacob left to return to Canaan (Genesis 31:30-32). Nevertheless, it seems that Bethuel and Laban acknowledged the God of Abraham (cf. 24:51) and were thus somewhat less affected by the pagan religions than the Canaanites.

207 “The verb translated meditate (suah) is found as yet only here, so its meaning is uncertain. But as LXX understood it so, and a similar form siah can mean this, the translation is eminently reasonable.” Kidner, Genesis, p. 149.


Related Topics: Christian Home

Djela apostolska: Uvod, teza i kratak pregled

Related Media

I. Uvod

A. Naslov

Natpis »Djela apostolska« vjerojatno seže unatrag sve do početka drugoga stoljeća poslije Krista, budući da se nalazi u gotovo svim rukopisima koji sadrže tu knjigu, kao i u antimarcionskom prologu Luki (oko 150.-80.). Iako je bilo prijedloga da se naslov koji uopće ne sadrži članove Pravxei" jApostovlwn čita »Neka djela nekih apostola«, to bi se zaista osjećalo kao umjetno u grčkome jeziku.1 Dovoljno je reći da je naslov samo djelomično točan, jer se samo Petar i Pavao ističu u ovoj knjizi iz razloga koji će postati jasnijima kada se budemo bavili namjerom/prigodom pisanja.

B. Autor

2. Vanjski dokazi

Potvrdu Lukina autorstva nalazimo u Muratorijskom kanonu, antimarcionskom prologu Luke, kod Ireneja, Klementa Aleksandrijskog, Origena, Tertulijana, Euzebija i Jeronima. Svi ovi ne samo da potvrđuju Luku kao autora Djela, nego i kao autora knjige koja nosi njegovo ime. Dakle, vanjski dokazi su i jednoglasni i rani. »Nikada nije bilo sumnji u pogledu tog pripisivanja (Evanđelja i Djela) Luki, a zasigurno nitko nije pokrenuo raspravu o bilo kakvim alternativama. Predaja ne može biti čvrstija . . .«2 Kao i kod Marka, uistinu bi bilo vrlo čudno da bi predaja tako jednoglasno govorila o nečemu što ne bi bilo istina, jer Luka nije bio apostol, niti je uopće bio blisko povezan s nekim od dvanaestorice. Caird uočava nešto zanmljivo:

Ne trebaju se sve predaje rane crkve shvatiti doslovno, ali postoje dobri razlozi da prihvatimo ovu. . . . knjiga koja se namjeravala izdati morala je od početka u sebi sadržavati autorovo ime. U tome su pogledu ta rana ograničenja prvoga stoljeća bila strožija od naših, koja dopuštaju autoru da se skriva iza pseudonima. Ukoliko to nije bilo tako, teško bi bilo shvatiti kako se Lukino ime moglo povezati uz knjige koje mu predaja pripisuje. Luka se teško može opisati kao istaknuta ličnost u analima kršćanstva prvoga stoljeća.3

Postoji još jedan vanjski dokaz koji potkrjepljuje Lukino autorstvo, odnosno Luku-Djela u Kodeksu Cantabrigiensisu (D), dvojezičnom 'zapadnom' izdanju iz petoga stoljeća. Proučavanja napravljena na pojedinačnim čitanjima rukopisa D (od G. E. Ricea, E. J. Eppa itd.) pokazuju da je imao određene teološke tendencije. Među njima je i antisemitski ton, koji je tu puno istaknutiji nego u aleksandrijskim ili bizantskim rukopisima. No, antisemitski ton rukopisa D gotovo se isključivo vidi u Luki-Djelima. To će reći da je u različitim čitanjima koja su jedinstvena za ovaj rukopis, antisemitski ton prisutan samo u ove dvije knjige. Kako to objašnjavamo? Budući da rukopis sadrži sva četiri Evanđelja i Djela, ne možemo taj fenomen pripisati prepisivaču rukopisa D, jer bi inače zasigurno bio dosljedniji u otkrivanju svojega teološkoga gledišta u svih pet knjiga. Također, ne možemo to pripisati ni samome Luki, jer je Zapadni tekst nesumnjivo lošiji i sekundaran u odnosu na aleksandrijski, unatoč svojoj drevnosti.4 Ukoliko teološka misao rukopisa D u Luki-Djelima nije bila ni Lukina ni prepisivačeva namjera, vjerojatno ju je stvorio raniji prepisivač koji je prepisao samo Luku i Djela te nije imao ostala Evanđelja u istom uvezu. Ono što je u vezi toga toliko važno jest da su Evanđelja, koliko nam je poznato, bila transkribirana kao četverostruka jedinica od sredine drugoga stoljeća.5 To bi značilo da je prethodnik rukopisa D koji je prepisao Luku i Djela to vjerojatno učinio prije 150. g. n. e. Prepisivači rijetko idu prije učenjaka, dakle, mogli bismo nagađati da su patristički pisci pretpostavljali da je Luku i Djela napisao isti autor već unutar dva ili tri desetljeća nakon njihova izdavanja.6

3. Unutarnji dokazi

Tri su unutarnja dokaza koji potkrjepljuju vanjske dokaze: jedinstvo autorstva Luke i Djela, dokaz da je autor bio Pavlov suputnik te dokazi na temelju indicija.7

a. Jedinstvo autorstva Luke i Djela8

Guthrie koristi pet argumenata kako bi pokazao zajedničko autorstvo:

(1) Obje knjige posvećene su istome čovjeku, naime Teofilu; (2) Djela spominju prvu raspravu što se sasvim prirodno razumijeva kao Evanđelje; (3) knjige sadrže velike sličnosti jezika i stila; (4) obje sadrže zajedničke interese; (5) Djela prirodno slijede Lukino Evanđelje . . . Može se sa sigurnošću zaključiti da su dokazi u prilog povezivanju tih dviju knjiga kao djela jednoga čovjeka vrlo čvrsti, što je zaključak kojemu bi se malo današnjih stručnjaka usprotivilo.9

Osim toga, može se upotrijebiti i šesti argument: postoje znatne paralele u strukturi i sadržaju Luke i Djela. Uzmemo li samo jedan primjer, »ne samo da je Isusovo putovanje u Jeruzalem paralelno Pavlovome, nego su slični i događaji u trenutku kada ta dva čovjeka uđu u grad, a i poslije toga«.10 Talbertov je zaključak (koji pretpostavlja jedinstvo autorstva) da »se zaključak čini neizbježnim. Taj arhitektonski obrazac u kojemu Evanđelje i Djela u mnogim točkama odgovaraju jedno drugome po sadržaju i slijedu rezultat je namjerne uredničke djelatnosti autora Luke-Djela.«11 Radi se o tome da je arhitektonska sturktura Luke-Djela tako divno izvedena da bi nijekanjem zajedničkog autorstva morali drugome, anonimnom piscu (Djela) pripisati iste bitne značajke kao i prvome piscu (koji je napisao Evanđelje).12

b. Dokazi da je autor bio Pavlov suputnik

»Mi« odlomci u Djelima (16,10-17; 20,5-15; 21,1-18; 27,1–28,16), prima facie, sugeriraju postojanje Pavlova pratioca. Na temelju toga, taj određeni pratilac

(1) najprije se pridružuje Pavlu u Filipima [sic: Troadi]; (2) ponovno se javlja kada se Pavao vraća u Filipe; (3) prati apostola na putovanju prema Jeruzalemu i ostaje s Filipom u Cezareji, te (4) nakon Pavlova dvogodišnjeg boravka u zatvoru u Cezareji, tijekom čega ne postoje određeni podaci u pogledu autorova mjesta stanovanja, pridružuje se Pavlu na putu u Rim i zajedno s njim doživljava brodolom. To bi značilo i da autor ne može biti neki od onih Pavlovih pratilaca koji koji se poimence spominju u ovim odjeljcima (Sila, Timotej, Sopater, Aristarh, Sekund, Gaj, Tihik, Trofim).13

c. Neizravni dokazi u prilog Lukina autorstva

Četiri su glavna neizravna dokaza koji podržavaju Luku kao autora.

Prvo, u Pavlovim zatvorskim poslanicama čitamo o nekoliko ljudi koji su bili s njim kada je bio u rimskome zatvoru. Svakako je moguće da je među njima bio autor Luke-Djela. Isključimo li ona imena koja su već poimence navedena u »mi« odlomcima Djela, spominju se sljedeća imena: Marko, Isus, Just, Epafra, Dema, Luka, Epafrodit.

Drugo, »ni u jednoj poslanici koja je napisana na drugom i trećem putovanju (Solunjanima, Galaćanima (?), Korinćanima, Rimljanima ne spominje se Luka, no budući da nijedna nije pisana tijekom razdoblja koja pokrivaju »mi« odlomci, to potkrjepljuje predaju.«14

Treće, prema Kološanima 4,10 i Filemonu 24, Luka i Marko bili su u bliskome kontaktu. Pretpostavimo li Markovo prvenstvo u sinoptičkom problemu, možemo objasniti kako je Luka došao do Markova Evanđelja. No, to nije sve: također, Djela imaju 'Markov okus' u prvih nekoliko poglavlja.

Četvrto, Kol 4,14 nazivaju Luku 'ljubljenim liječnikom’. Godine 1882. W. K. Hobart napisao je svoje znamenito djelo The Medical Language of St. Luke u kojemu je tvrdio da ondje gdje Matej i Marko koriste obične, svakodnevne izraze, Luka često koristi medicinske nazive u opisu Isusovih iscjeljenja. Međutim, to je tri desetljeća kasnije (1920.) doveo u pitanje H. J. Cadbury,15 koji je istaknuo da se Lukin jezik nije razlikovao od jezika bilo koje obrazovane osobe. Kao što Caird domišljato primjećuje, kada bismo se sada pozivali na Hobartovo djelo, »to bi od gotovo svih starih pisaca učinilo liječnike . . .«16 No ipak, treba se priznati da je Lukino nazivlje primjereno obrazovanoj osobi, te da bi liječnik vrlo dobro odgovarao toj slici. Nadalje, kada usporedimo Marka 5,26 s Lukom 8,43, zanimljivo je da Marko spominje da je žena životnu ušteđevinu potrošila na liječnike, a da joj je bilo samo gore, dok Luka izostavlja taj »udarac«.

U zaključku, unutarnji dokazi svakako ništa ne govore protiv Lukina autorstva, iako je jasno da za to nema definitivnih dokaza. To je razlog više da prihvatimo Lukino autorstvo, jer je to jednoglasno svjedočanstvo otaca: »Uzevši da je drevni učenjak mogao iz prologa Evanđelja zaključiti da autor nije apostol, a iz »mi« odlomaka Djela da je bio Pavlov pratilac, on još uvijek ne bi mogao imenovati autora da nije postajala valjana predaja koja je povezivala knjige s Lukinim imenom.«17

Pretpostavljajući da je Luka napisao Evanđelje koje nosi njegovo ime, što znamo o njemu (osim njegova zanimanja)? Prvo, vjerojatno je bio poganin budući da se ne spominje među »obrezanima« u Kološanima 4.18 Drugo, možda je bio iz Troade jer »mi« odlomci tamo počinju.19 Izvan ovoga ne nalazimo mnogo podataka u NZ. Međutim, antimarcionski prolog Luke (koji se nerijetko nalazio u prilogu latinskim rukopisima Evanđelja) dodaje neke zanimljive podatke: (1) Luka je bio stanovnik Antiohije, (2) napisao je Evanđelje u Ahaji, (3) nikada se nije ženio, (4) a umro je u osamdeset četvrtoj godini u Beociji. Budući da isti izvor dodaje druge, krajnje upitne informacije, sve navedeno također je vrlo sumnjivo.20

4. Argumenti protiv Lukina autorstva

U načelu, postoje tri argumenta protiv Lukina autorstva.

a. Povijesna nesuglasja

Mnogi su istaknuli prividna nesuglasja između Pavlovih biografskih bilježaka u njegovu Hauptbriefe te drugih sigurnih poslanica i informacija o Pavlu koje se nalaze u Djelima. Tri navodna nesuglasja posebno su uočljiva: (1) broj Pavlovih posjeta Jeruzalemu koji se iznosi u djelima i onaj koji čitamo u Galaćanma;21 (2) sastav obraćenika u Solunu;22 te (3) Pavlov stav prema SZ Zakonu.

U odgovoru trebamo napomenuti dvije točke: (1) Čak i ako su takva nesuglasja uistinu točna, to ne bi nužno govorilo protiv Lukina autorstva, iako bi reklo nešto o pouzdavanju u njega kao povjesničara.23 (2) Sva navodna nesuglasja mogu se drukčije objasniti, zbog čega predstavljaju »nesiguran temelj za odbacivanje predaje«.24

b. Različita tumačenja tzv. »mi« dijelova

Naravno, moguće je da je upotreba prvoga lica množine bila književna konvencija ili čak neispravljeni izvor koji je autor koristio. Sve u svemu, njemački i američki stručnjaci radije prihvaćaju bilo koju od te dvije mogućnosti nego prima facie gledište (posebice zbog navodnih povijesnih nesuglasja), dok britanski stručnjaci preferiraju potonje. Što se tiče hipoteze o književnoj konvenciji, čovjek se pita zašto se onda tako rijetko koristila (samo u nekim dijelovima pet poglavlja), te zašto počinje tek u šesnaestome poglavlju. Što se tiče hipoteze o dnevniku, ukoliko je Luka koristio više izvora i za Evanđelje i za Djela zašto bismo vidjeli »mi« odlomke samo ovdje? Zacijelo je primio mnoge izvještaje u prvome licu (i pisane i usmene) za sastavljanje obje knjige.25 Ovo gledište sugerira da je on pažljivo zamijenio prvo lice množine u svim dijelovima Luke i u Djelima sve do šesnaestoga poglavlja! Iako su ova gledišta moguća, stvaraju više problema no što ih rješavaju.

c. Teološke poteškoće

Ovo se uobičajeno smatra najtežom poteškoćom u zadržavanju Lukina autorstva Luke-Djela. Treba se pozabaviti s dvije glavne poteškoće: (1) Pavlovo rješenje problema SZ Zakona i (2) govori koji se u Djelima pripisuju Pavlu.26

(1) Površno čitanje Djela sugerira da se Pavao iz Djela razlikuje od Pavla iz poslanica i to u pogledu obrade SZ zakona. Na primjer, u Djelima on daje da se obreže Timotej, dok u Galaćanima govori kako se ne treba obrezivati. No, dva podatka moraju se ovdje imati na umu: (a) razlog Timotejeva obrezanja i Djelima bio je vezan uz mogućnost evangelizacije, dok se Galaćanima Pavao protivi onima koji se žele na to osloniti kao nešto bez čega se ne može spasiti. Obje te radnje sasvim su dosljedne s Pavlovim autoportretom u 1. Kor 9,19-23 (gdje vidimo da se zbog evanđelja Pavao može prilagoditi i Židovima i poganima, već po potrebi). (b) Namjera Djela apostolskih razlikuje se od namjere poslanica. Dok se Pavao žarko želi odvojiti od judaista (ponekad koristeći prilično živopisan rječnik!), Lukina je namjera predstaviti Pavla kao dobroga Židova koji je također bio kršćanin, te pokazati da u tome čovjeku nije bilo želje za huškanjem svoga naroda na javne izgrede. Dakle, Luka predstavlja novonastalo kršćanstvo kao pokret koji je začet u uskoj vezi s judaizmom (mogli bismo ga nazvati i »mesijanskim judaizmom« ili »nazarenskom sljedbom judaizma«) što su drugi Židovi pogrešno shvatili kao uvredu, dok je Pavla više zanimalo propovijedanje evanđelja poganima. Ta različita perspektiva/namjera lijepo je opisana u Longeneckerovoj izjavi:27

Nesumnjivo, postoje razlike između Pavla njegovih vlastitih pisama i Pavla u očima njegova »biografa«, te nema sumnje da su pavlovsko kršćanstvo i rano židovsko kršćanstvo imali svoje očigledne razlike. Međutim, previše se olako igramo dokazima kada nastojimo između njih napraviti procjep. Pavao piše kao evangelizator i pastor svojim obraćenicima, potvrđujući osnovne dijelove svoje poruke unutar konteksta osobne poniznosti, dok Luka piše kao povjesničar i netko tko je apostolu divio, s osjećajem za povijesno razvijanje evanđelaj i željom isticanja onoga što smatra junačkim. Iako u tim različitim portretima trebamo tražiti određeno slaganje, ne možemo razumno tražiti identičnost detalja ili suglasnost gledišta.28

(2) Pavlovi govori u Djelima ne zvuče poput njegovih pisama. Neki su tvrdili da je Lukin historiografski uzor bio Tukidid koji je izmislio govore kako bi doprinio raznolikosti svojih pripovijesti. Međutim, ta tvrdnja nije pravedna ni prema Tukididu ni prema Luki. Pažljivo čitanje Tukididove izjave29 oktkriva da on govore nije izmislio ex nihilo, nego je povremeno iznosio sažetke ili vlastitim riječima opisivao što se reklo u određenim prigodama. Dakle, ukoliko je točno da su Luki kao obrazac poslužila Tukididova djela (a vjerujemo da je tako), on nije izmislio govore, iako je zasigurno smatrao da ih smije oblikovati.30 No ipak, vrijedno je spomenuti da nekoliko govora, posebice Petrovih i Jakovljevih, sadrže snažne usmene paralele s poslanicama koje se pripisuju tim autorima (1. i 2. Petrova te Jakovljeva).31 Nadalje, iako većina Pavlovih govora u Djelima ne pokazuje mnogo sličnosti s poslanicama, govor koji je uputio vjernicima (u Djelima 20) vrlo im je sličan.32

U zaključku, Lukino autorstvo i za treće Evanđelje i Djela ima izvrsne vanjske preporuke i potkrjepljujuće unutarnje dokaze. Poteškoće s ovim gledištem, iako ne sasvim trivijalne, nikako ne uspijevaju uvjeriti koga u bilo koju alternativu. Uistinu, upravo zato što postoje teološke i povijesne poteškoće između Djela i Pavla tvrdnja da je Luka napisao Luku-Djela još je vjerojatnija: koji bi kasniji pisac (jer svi oni koji odbacuju Lukino autorstvo kasno datiraju Luku-Djela), koji je imao pristupa Pavlovim pismima, stvorio toliko nesuglasja u portretu svoga junaka apostola Pavla?33

C. Datiranje

Brojni čimbenici i pretpostavke utječu na datiranje ove knjige. Među najvažnijima su: (1) autorstvo; (2) rješenje sinoptičkoga problema; (3) je li Govor na Maslinskoj gori bio uistinu proročki ili vaticinium ex eventu; te posebice (4) datiranje Djela. Iako većina stručnjaka datira ovu knjigu oko 80.-90. g., naš je zaključak da se treba datirati dosta ranije.

(1) Pretpostavimo li da je Luka autor, ne možemo prekasno datirati ovu knjigu. To će reći, budući da je Luka zasigurno bio odrastao kada se pridružio Pavlu na drugom misijskom putovanju,34 vjerojatno je imao između trideset i pedeset godina kako bi dovršio ovo djelo. Međutim, osim F. C. Baurovog radikalnog datiranja Djela u poodmaklome drugom stoljeću, ovaj raspon ne predstavlja problem za bilo kakav vjerojatan datum.

(2) U našemu rješenju sinoptičkoga problema, Matej i Luka neovisno su koristili Marka. Najvjerojatnije Marko nije bio svjestan Lukina djela kao ni Luka Markova. Ukoliko je tako onda su obojica bili napisani u otprilike isto vrijeme. Datiramo li Mateja oko 60.-65. g., onda bi se Luka po svoj prilici trebao datirati slično tome.35

(3) Je li Govor na Maslinskoj gori bio a vaticinium ex eventu (proročanstvo nakon činjenice)? Možemo sa sigurnošću reći da je pretpostavka da je to uistinu bio, najvažniji razlog za rušenje ranog datuma (prije 70.) Luke (kao i za Mateja i Marka). Ovime smo se bavili u raspravi o Matejevu datiranju te ovdje samo trebamo sažeti dvije točke: (a) samo bi poricanje mogućnosti da je Isus mogao davati proročanstva pretkazivanja moglo uvjetovati kasni datum; (b) sinoptička Evanđelja neprecizna su i nejasna u svojim proročanstvima ukoliko pretpostavimo da su ta proročanstva bila ispunjena u Židovskome ratu; ali ukoliko se još uvijek trebaju ispuniti te ukoliko je Govor na Maslinskoj gori održan prije 66. g., onda diskurs ima smisla.

(4) Djela sadrže nekoliko unutarnjih dokaza važnih za određivanje datuma ovoga dvotomskog djela. Guthrie navodi šest,36 među kojima je posljednji ujedno najvažniji.

(a) Nepostojanje spomena važnih događaja u razdoblju između 60. i 70. g. Pad Jeruzalema (66.-70.), Neronovo proganjanje kršćana (64.) i Jakovljevo pogubljenje od ruke Velikoga vijeća (62.) ne spominju se. Što se tiče ove posljednje točke, tišina je znakovita, jer »nikakav događaj nije bolje mogao poslužiti Lukinim apologetskim namjerama od činjenice da su Židovi, a ne Rimljani bili istinski neprijatelji evanđelja«.37

(b) »Najstarija« narav sadržaja. Posebice je »dominantna židovsko poganska polemika te svi ostali dokazi izvan Djela sugeriraju da je to bilo ključno pitanje samo u razdoblju prije pada Jeruzalema«.38

(c) Prvobitni oblik teologije. Izrazi poput »Krist«, »učenici«, »Put« te spomen prvoga dana u tjednu za vrijeme kada su se kršćani okupljali kako bi zajedno lomili kruh, podrazumijevaju najstarije kršćanstvo.

(d) Stav države prema crkvi. Vlada je prilično nepristrana u pogledu crkve, što je situacija koja nije više vrijedila poslije 64. g. kada su počela Neronova progonstva. Značajno je da Luka završava ovu knjigu pišući da se evanđelje »bez zapreka« (ajkwluvtw") širilo.

(e) Odnos Djela prema Pavlovim poslanicama. Luka ne pokazuje bilo kakvu svijest o Pavlovim književnim pokušajima. To bi svakako sugeriralo datum prije sastavljanja Pavlova korpusa. Nadalje, postoje dokazi da je takva zbirka postojala već 70-ih godina.39 U najmanju ruku, to sugerira da svrha Djela nije bila obnavljanje položaja Pavlovih pisama, kako su neki predlagali.

(f) Nepostojanje bilo kakva spomena Pavlove smrti. Knjiga Djela apostolskih, koja započinje praskom a završava šaputanjem, te koja tako pažljivo bilježi događaje koji su vodili do Pavlova suđenja u Rimu, ostavlja nas pod dubokim dojmom da Pavlovo suđenje još uvijek nije bilo završilo. Drugim riječima, vrlo je prijeporno tvrditi da je ova knjiga napisana poslije 62. g. Često se navode dva razloga zašto je Luka baš tu prestao s pisanjem.

[1] Nije htio spominjati ishod suđenja. Ponuđena mišljenja za ovo suzdržavanje uistinu su mnogobrojna, što je zapravo argument protiv njih. Neki se slažu da bi to stavilo prevelik naglasak na čovjeka, a ne na njegovu misiju; da bi se to pokazalo kao paralela s Kristovom smrću, što bi bilo neprikladno; da su čitatelji znali ostatak priče te im Luka stoga nije o tome trebao govoriti itd. Kao što Guthrie primjećuej: »S druge strane, nije dovoljno predložiti teoriju o autorovoj namjeri ukoliko ne ponudimo prikladan motiv te namjere, a pitanje je u kolikoj je mjeri taj uvjet ispunjen.«40

[2] Luka je namjeravao napisati treći svezak. Takvo gledište drže Spitta, Zahn, Ramsey i W. L. Knox. Ono se temelji na upotrebi prw'to" u Djelima 1,1—riječi koja je u klasičnome grčkom najprije označavala »prvog od posljednje troje«. To ne vrijedi za helenistički grčki, što možemo vidjeti iz podatakanavedenih u BAGD-u. Nadalje, činjenica da Luka ne koristi superlative kao prave superlative vidljiva je iz njegove rasprave o prvom Kvirinijevom popisu stanovništva u Luki 2,2: znanstvenici su se dovoljno namučili pokušvajući locirati dva Kvirinijeva popisa stanovništva, a kamoli tri! Nadalje, čak i ako je Luka ponekad koristio prw'to" kao pravi superlativ, zašto bi baš ovdje napravio prekid prije trećega sveska? Ovo objašnjenje čini se prilično očajničkom smisalicom.41

Sve u svemu, činjenica da Djela završavaju ondje gdje završavaju vrlo je neugodno onima ne Djela ne datiraju prije 64. g. Robinson, koji većinu svojega djela Redating the New Testament temelji na ranom (62.) datiranju Djela, vrlo vješto zagovara to gledište.42 Posebice, on ističe da Adolpha von Harnacka »čija golema stručnost i objektivnost prosudbe stoje u opreci s mnoštvom onih koji su došli poslije njega«, još uvijek vrijedi citirati upravo zato što »je po tom pitanju morao sporo i bolno promijeniti mišljenje«.43 Dva isječka iz Harnackova djela The Date of Acts44 morat će poslužiti: »U cijelih osam poglavlja Sv. Luka drži čitateljeve misli na napradovanju suđenja Sv. Palvu, samo kako bi ih na kraju potpuno razočarao, jer o konačnom ishodu suđenja ne saznaju ništa!« »Što se jasnije vidi da je suđenje Sv. Pavlu, a, iznad svega, njegovo pozivanje na Cezara, glavni predmet posljednje četvrtine Djela, to se beznadnijim čini da možemo objasniti zašto pripovijest završava kako završava ikako drugačije osim da pomislimo kako suđenje još uvijek nije bilo dovršeno. Nema smisla boriti se s ovim zaključkom.«

U isto vrijeme, moramo se zapitati koliko kasnije su Djela došla poslije Evanđelja. Po našemu mišljenju, to se dvoje događalo gotovo istovremeno, budući da su bez sumnje bili pisani na svicima.45 Obično su najdulji iskoristivi svici bili dugi oko deset metara. Luka i Djela zauzeli bi preko sedam i pol metara, te se zato ne bi mogli zgodno smjestiti na samo jedan svitak. Ta činjenica, zajedno s unutarnjim kontinuitetom između dvije knjige,46 snažno sugerira da su se trebale čitati doslovno kao jedan dokument, napisan gotovo istovremeno i sa istom svrhom (ili svrhama).47

U zaključku navodimo sljedeće točke: (1) Luka ovisi o Marku i zato ga ne smijemo datirati prije 50ih godina. Datum Marka, dakle, pruža nam terminu a quo za datiranje Luke. (2) Luka nije poznavao Markovo djelo, niti je Marko poznavao njegovo. Datiramo li Mateja oko 60.-65. g., onda je Luka vjerojatno napisan u istome vremenskom okviru. (3) Luka je napisan prije početka Židovskoga rata zato što Govor na Maslinskoj gori sadrži nejasne i još uvijek neispunjene materijale. (4) Datiramo li Djela 62. g., onda im Luka mora prethoditi, iako je malo vjerojatno da je napisan puno prije, budući da su to zapravo dvije polovice istoga djela. Naš je zaključak da je Luka napisan netom prije Pavlova prvog utamničenja u Rimu, oko 61.-62. g.

D. Odredište

I Evanđelje i Djela naslovljeni su određenom Teofilu. Nazivaju ga »preuzivšenim« (kravtiste), obično ukazuje na neku vrstu državnog službenika ili barem na visoki društveni status.48 Moguće je ime držati simboličkim (»onaj koji voli Boga« ili »onaj kojeg Bog voli«), kao da je prava osoba morala iz nekog razloga ostati anonimnom. No, budući da je ovo ime bilo u opticaju gotovo tri stoljeća prije no što je Luka pisao, sasvim je moguće da mu je to zaista bilo ime. Ukoliko je Teofil bio rimski službenik, onda je svakako bio poganin, te sadržaj Evanđelja, kao i Djela, nosi rječito svjedočanstvo o poganskome čitateljstvu.49 Kao što ćemo vidjeti u raspravi o namjeri Djela, Teofil nije bio samo rimski službenik (po svoj vjerojatnosti), nego je i bio u Rimu.

Iako su Luka i Djela upućeni Teofilu, mora se nešto reći o vjerojatnosti da je Luka namjeravao ovo djelo izdati te da je potom predviđao publiku brojniju od jednoga čovjeka. Njegov prolog Evanđelju i Djelima toliko oponaša predgovore starih povjesničara da je prilično očigledno da je djelo htio izdati. U tome, opet, vidimo da je moguće da su ljudi kojima je htio pisati bili rimski pogani. Međutim, dosta je teško procijeniti jesu li prvenstveno trebali biti vjernici ili nevjernici. Zapravo, teško je procijeniti i je li Teofil bio vjernik ili ne!50 Ključno je pitanje značenje kathchvqh" (»o kojoj si bio obaviješten« ili »o kojoj si bio poučen«; od kathcevw) u Luki 1,4. Naziv se može odnositi na kršćansko poučavanje (Djela 18,25; Gal 6,6) ili jednostavne informacije, pa čak na negativan izvještaj (Djela 21,21. 24). Prema tome, čak i u ključnom nazivu nailazimo na slijepu ulicu. Po našemu mišljenju, ovdje se radi o nečemu sličnom dvostrukom značenju: Teofil je visoki rimski službenik koji je također kršćanin. Ukoliko je njegovo ime simbolično, onda je to gotovo sigurno tako.51 No, budući da je moguće da je on državni službenik, onda je bio »obavješten« o kršćanstvu. Po našem razumijevanju (jedne od) namjere(a) Djela, Luka je pripremao sudski izvještaj za sudsko saslušanje na kojem se Pavao trebao pojaviti. U tom slučaju Luka bi sigurno htio na svojoj strani imati duhovno srodnoga rimskog službenika. kathchvqh", dakle, znači da je Luka htio točno objasniti podrijetlo kršćanstva (stoga, »obavijesti«), dok »Teofil« sugerira da je ovaj određeni primalac bio i više no obaviješten—on je uzvjerovao.52

E. Prigoda i namjera

Naše je gledište da je specifična prigoda koja je požurila ovo djelo u dva sveska bilo Pavlovo skoro sudsko saslušanje u Rimu. Po našemu mišljenju, to također čini dio prvobitne namjere, iako ne obuhvaća ukupnu namjeru Djela.

Guthrie tvrdi da je »Lukina prvobitna namjera bila povijesne naravi te se to mora smatrati glavnim ciljem Djela, bez obzira na bil kakve sporedne motive koji su možda pridonijeli njihovoj proizvodnji«.53 No ipak, Guthrie hita dodati ostalih pet mogućnosti za namjeru Djela apostolskih (povijesna pripovijest, evanđelje Duha, obrana vjere, obrana za Pavlovo suđenje, te teološki dokument [napisan ili da govori o pobjedama kršćanstv ili odgađanju parousie]).54

No, ne bi se svi složili s Guthriejevom osnovnom pretpostavkom da je prvobitna namjera bila povijesna u općenitom smislu, odnosno da je prava napetost u pogledu namjere ovoga djela negdje između povijesti i apologetike. Međutim, sve više znanstvenika zaključuju da povijest i apologetika ne stoje ni u kakvoj napetosti, kao da točan povjesničar ne bi mogao imati apologetsku namjeru, ili da apologet ne bi mogao napisati točnu povijest. Već se dugo zna da je prošlostoljetni povijesni pozitivizam Ernsta Troeltscha sasvim izišao iz mode—odnosno da povijest nikada nije pisana s nepristranim motivima. Ukoliko je tako, onda optužiti Luku za apologetske motive ne znači da mu nužno moramo zanijekati povjesničarsku točnost.

Nema sumnje da je Luka namjeravao iznijeti velik broj podataka u pogledu tanih početaka crkve, a većina njih ne ukapa se nužno u apologetski kalup. Na primjer, kako se spominjanje izbora sedam poslužitelja oko stolova (Djela 6) uklapa u apologetsku radnju? Veći je problem to što ovaj spis ima dva dijela te se Lukino Evanđelje također mora uzeti u obzir.

No ipak, i u tome djelu osjeća se vrlo čvrst apologetski ton. Neki su primijetili da se apologetski ton račva u nekoliko smjerova: kako bi ustanovio da je kršćanstvo vjera koja se pokorava zakonu, kako bi pokazao da je kršćanstvo svjetska religija te čak kako bi na neki način dokazao Pavlovo apostolstvo.

Tvrdimo da su Djela apostolska i povijesan i apologetski spis, da je Luka i jedno i drugo napisao za Teofila (apologetsko dio) te za druge čitatelje (iz apologetskih i povijesnih razloga). Međutim, ona početna namjera, koja je vazana uz Teofila, nesumnjivo je apologetska. Djela su specifično, i prvobitno,55 napisana kao spis za Pavlovo suđenje. Navodimo sljedeće dokaze:

1. Početak Luke, u kojemu se Teofilu obraća kao »preuzvišenome« (kravtiste). Već smo istaknuli da se taj naziv koristio za vladine dužnosnike. No, ne samo to: u papirusima se vokativ gotovo svaki put koristi samo u molbama, što temeljim na otkrićima vlastita, iako letimična, istraživanja (istražio sam prva dva sveska na papirusima u LCL-u). Ukoliko je to ovdje slučaj, onda se u Luki i Djelima implicira molba, iako se nigdje izrijekom ne spominje.

2. Završetak knjige, koji je gotovo sigurno datira u vrijeme netom prije kraja Pavlova prvog boravka u rimskome zatvoru. Taj bi završetak bio vrlo čudan ukoliko nije trebao poslužiti kao poticaj Teofilu da učini nešto za Pavla. Datiranje Djela apostolskih i razlozi iz kojih knjiga završava upravo ovdje najsnažnije upućuje na to da je ovo djelo vrsta pismenog sažetka glavnih elemenata Pavlove parnice. Općenita apologetika mogla se napisati bilo kada; ali se sudski spis morao napisati odmah.

3. Spomen da je Pavao bio u kućnome pritvoru »dvije godine« u Djelima 28,30. Iako je Cadbury iz toga previše zaključio, tvrdeći da se nakon dvije godine zatvorske kazne, zatvorenik morao ili dovesti pred sud ili pustiti na slobodu, dokazi nisu ni izbliza uredni kako je on pretpostavio.56 No ipak, možda bi se moglo pozvati na rimski zakon »brzog suđenja«. Možda se radi o tome da Luka podsjeća Teofila da će Pavlov slučaj uskoro započeti te da se za to treba pripremiti. Nadalje, kako Sherwin-White ističe, nema razloga vjerovati da bi Pavlovi tužitelji imali priliku odustati od optužbi. Morali su se pripremiti kako su znali i umijeli. Referencija na »dvije godin« vjerojatno je služila kako bi potakla na suosjećanje: »Pavao je dovoljno dugo bio u zatvoru—vidi što možeš učiniti kako bi ga oslobodio!«

4. Značajne paralele između Petra i Pavla svjedoče u prilog apologetike za Pavla. Čak i Guthrie priznaje da »povijest zapisana prije pripovijesti o Pavlu donekle je fragmentirana i ostavlja dojam da je autorova namjera što prije doći do Pavla«.57 C. H. Talbert prilično je uvjerljivo tvrdio da se u Luki i Djelima može otkriti vrlo snažan arhitektonski obrazacu u kojemu knjige odražavaju jedna drugu, kao u zrcalu, a oba dijela Djela zrcale se jedno u drugome.58 Razlog za to čini se to što je Teofil već prihvaćao Petra kao legitimnog apostola dok su Pavlu trebale preporuke. Luka je upotrijebio deja vu pristup i pokazao kako je Pavao jednako toliko apostol koliko i Petar, zato što je činio ista čuda i upućivao iste poruke. Nadalje, kak osmo predložili, razlog zašto je Petra Teofil već prihvatio bio je taj što je već imao pristup Markovu Evanđelju u kojemu je jedan od istaknutih likova Petar.

5. Zajedno s izvanrednim paralelama između ova dva apostola tu je i činjenica da je posljednji komentar o Petru (osim njegove poruke u Djelima 15) njegovo izbavljenje od sigurne smrti u Djeliam 12 (pripovijest se potom ponovno nastavlja na Pavlvoim misijskim putovanjima). Vrlo je vjerojatno da iza toga stoji namjera da se potakne Teofila da isto tako dovrši Pavlovu priču.

6. Daljnji dokazi vide se u nevjerojatnoj količini prostora posvećenoj suđenjima/saslušanjima na kojima je Pavao bio prije no što je došao u Rim. Posljednjih osam poglavlja Djela (Djela 21–28) obrađuju tek četiri godine, dok prvih dvadeset poglavlja pokrivaju otprilike dvadeset i četiri godine. Materijal je više no dvostruko kompaktniji jer se sada usredotočava na Pavlova suđenja i materijal koji bi mogao biti koristan u dokazivanju njegove nevinosti.

7. Upotreba prw'ton u Djelima 1,1 može biti književno sredstvo slično završetku Marka (u 16,8), čime bi djelo imal ootvoren završetak. Mnogi stariji komentatori su predlagali da je taj superlativ bio korišten kao pravi superlativ, dakle »prvi od barem tri«. Ukoliko je tako, onda su Djela mogla završiti gdje su završila samo zato što je Luka namjeravao napisati treći svezak. Već smo razgovarali o ovom gledištu i zaključili da ima nedostatke. Međutim, privlačno zvuči i modifikacija navedenoga: Je li moguće da je Luka htio da Teofil »napiše treći svezak«, odnosno da učini što je u njegovoj moći da se Pavlova služba nastavi? Međutim, ta mogućnost nije dovoljno realna jer pati od istoga lingvističkog problema kao i starije gledište, naime, Luka je već pokazao da superlativ koristi kao komparativ, što je u skladu s ostalim piscima na Koine grčkom.

8. Konačno, iako se Djela 27 naizgled ne uklapaju u ideju o sudskome spisu, u posljednje su vrijeme znanstvenici istaknuli kako je postojalo rašireno »pogansko vjerovanje da je preživljavanje brodoloma sugeriralo nečiju nevinost«.59

Kada se sve uzme, ovim osam (ili barem sedam) razloga čine snažan argument da su Djela uistinu trebala poslužiti kao pismeni sažetak glavnih elemenata Pavlove parnice.

U isto vrijeme, ovdje trebamo spomenuti jednu kritiku: Ako su Djela uistinu trebala (djelomično) poslužiti kao pismeni sažetak za Pavlovo suđenje, kako se onda Luka uklapa u cijelu tu sliku? Budući da oba djela zapravo pripadaju zajedno, namjera Djela čini se namjerom Luke i Djela. U odgovoru se treba samo spomenuti da je sudski izvještaj za Pavlovo suđenje jedna od namjera Djela apostolskih. Istina je da se Luka naizgled ne uklapa u tu namjeru, iak ose to uklapa u širu sliku obrane kršćanstva pred rimskom vlašću. Prigoda Djela apostolskih uvjetovala je izdavanje Luke, ali nije diktirala Lukinu namjeru.

F. Tema

Tema Djela apostolskih u sebi je vezana s njihovom namjerom. Ukratko, tema bi bila: »Počeci Crkve i širenje misije poganima«.

II. Teza

U drugome svesku Lukina djela, on nastavlja ondje gdje je u prvome završio, naime, kod Gospodinova uznesenjem (1,9-11). Luka započinje prologom (1,1-2) sličnim onome u prvome svesku. Uznesenje, koje samo Luka bilježi, postaje ključnim motivom jer je nužno za nastavak službe učenika, koji su trebali nastaviti ono što je Isus započeo. Zato Luka o prvome svesku govori kao o detaljnom opisu onoga što je »Isus počeo činiti i poučavati do dana kad je uznesen na nebo« (1,1-2a; doslovan prijevod teksta).

Nakon toga kratkog prologa, počinje glavni dio djela. Moguće je organizirati Lukinu misao na nekoliko različitih, više-manje legitimnih načina. Mogla bi se organizirati osobno, odnosno usredotočavajući se na Petra i Pavla (te bi imala dvije polovice). Mogla bi se organizirati geografski, od Jeruzalema do Judeje i Samarije i sve do kraja zemlje (usp. 1,8) (te bi imala tri dijela). Ili bi se pak mogla organizirati u odnosu na Lukine izvještaje onapretku (te bi tako imala sedam dijelova). Razlog za takvu raznolikost vezan je uz različite Lukine namjere. Njegovo je djelo i povijesno i apologetsko, a u svojoj apologetici on se bavi Pavlovom legitimnošću, kao i njegovom misijom. Uzet ćemo pristup na temelju izvještaja o napretku, ali uvažavajući da je Lukina organizacijska shema puno složenija.

U tom »progresivnom« pristupu postoji sedam jedinica misli ili »knjiga«. U Prvoj knjizi, Luka se dotiče rođenja Crkve u Jeruzalemu (1,1–2,47).Odmah nakon toga nam daje tračak jedne svooje organizacijske sheme, jer je rođenje Crkve aralelno s Kristovim rođenjem. To se nadalje može vidjeti u tome što se na Isusovu krštenju, dok se on moli, Duh spusti u tjelesnom obliku, a dok se učenici mole, Duh se opet spusti u tjelesnom obliku. Mogu se otkriti i mnoge druge paralele između ova dva sveska, od kojih svaka nosi različite razine uvjerljivosti.60 Iako su to značajni podmotivi, po našemu mišljenju se ne radi o vrsti upravljanja naracijom koja prožima svaki dio. To je tako zbog činjenice da je teško organizirati Luku i Djela (u okvirima makrostrukture) po istim smjernicama. No ipak, ima nešto u arhitektonskom pristupu Luki i Djelima i ponekad ćemo to spomenuti u predstavljanju naše teze.

Ova Prva knjiga, kako smo rekli, nastavlja se na pripovijest o Isusovu uskrsnuću do vremena njegova uznesenja (1,3-11), razdoblje od četrdeset dana. Tijekomtog razdoblja, Isus daje nalog apostolima da mu budu svjedoci u sve širim krugovima (1,8). Poslije njegova uskrsnuća, nastupa desetodnevno čekanje do dana Pedesetnice (1,12-26). Tijekom tog razdoblja čekanja apostoli također postavljaju Matiju kao zamjenu za Judu (1,15-26).

Na dan Pedesetnice apostoli su bili zajedno (2,1). Na njih silazi Duh Sveti (2,1-13) poput pojedinačnih plamičaka vatre (2,2-3). Važnost toga mogla bi se povezati s aspektom kraljevstva nebeskog koji bismo mogli nazvati »već, ali ne još«. Kada je Duh sišao na Isusa na njegovu krštenju, te kada je glas s neba objavio da je on Božji Sin, to je izgledalo kao neko postavljanje na prijestolje (slično upotrebi psalama te tematike u SZ [usp. posebice Psalam 2,7!] i motiva Duha koji počiva na kralju [usp. Psalam 51]), čime se inauguriralo kraljevstvo. Prije Isusova uznesenja na nebo, učenici su se najčešće pitali: »Gospodine, hoćeš li sada obnoviti kraljevstvo u Izraelu?« (1,6). Isusov odgovor je bio »već, ali ne još«: kada Duh dođe oni će primiti silu kralja, iako je dovršenje kraljevstva još uvijek bilo u budućnosti.

Bog je svakako činio novo djelo na dan Pedesetnice. Apostoli su govorili na stranim jezicima (2,4), iako se mnoštvo sačinjeno od hodočasnika i stanovnika Jeruzalema pitalo što bi to moglo značiti (2,5-13). Petrova propovijed objasnila je što se dogodilo i on je uhvatio priliku da zadobije obraćenike za Isusa iz Nazareta (2,14-39). U ovoj poruci nalazi se naglasak na Kristovu uskrsnuću (2,23-32), i na krivnji mnoštva za razapinjanje (2,36-37), kao i obećanju Duha onima koji se budu pokajali i povjerovali (2,33-39). Očigledno je da je Sveti Duh uistinu sišao na Petra, jer je oko tri tisuće ljudi povjerovalo njegovoj poruci (2,40-41).

Prva Knjiga završava prvim izvještajem o napretku, nakon sažetka koji govori o jedinstvu i rastu novonastale Crkve (2,42-47a): »A Gospodin je svaki dan pripajao Crkvi one koji se spasavahu« (2,47b).

Druga Knjiga bavi se rastom Crkve u Jeruzalemu (3,1–6,7). Luka je materijal uredio po obrascu A B A B. Prvo, Petar liječi hromoga čovjeka što je popratio velik odjek (3,1–4,31): propovijeda mnoštvu (3,11-26), uhite ga zajedno s Ivanom (4,1-4), brani se pred Velikim vijećem i biva oslobođen (4,5-22). Svemu tome postoje paralele u trećem dijelu Druge Knjige (5,12-42): apostoli liječe ljude, vlasti ih zatvore a oni onda pobjegnu (5,17-24), pojavljuju se pred Velikim vijećem (5,25-40), i bivaju oslobođeni (5:40). Luka bjelodano oblikuje te dvije epizode kako bi pokazao da je, iako je Teofil prihvatio Petra kao Božjeg poslanika, drugi apostol zaslužio isto poštovanje. Neposredno nakon ovih epizoda slijede vinjete o zajednici mlade Crkve. Prva se bavi strogom disciplinom u slučaju kad se s raspodjelom imovine postupalo prijevarno (4,32–5,11), a druga se bavi karanjam ili popravljanjem u slučaju kada se s raspodjelom hrane postupalo nerazumno (6,1-6). Obje perikope jasno prikazuju autoritet i prioritete apostola. Druga Knjiga završava sažetkom: »Riječ se Božja širila bez prestanka, a broj učenika u Jeruzalemu silno rastao. I mnogi su svećenici prihvaćali vjeru « (6,7). S tim dodatkom o obraćenju svećenika Luka kao da govori da su apostoli učinili sve što su mogli u Jeruzalemu. To se posebno vidi u sljedećem odjeljku, odnosno Trećoj Knjizi, gdje je očigledno da oni religijski vođe koji nisu poslušali i ne namjeravaju poslušati.

U Trećoj Knjizi vidimo širenje crkve izvan jeruzalemskih zidina sve do Judeje i Samarije (6,8–9,31). Ta knjiga navjiše se bavi trima neapostolima: Stjepanom, Filipom i Savlom. Ovdje je značajno da su ta trojica, više no svi ostali apostoli zajedno, odigrala ključne uloge u ispunjavanju naloga da budu svjedoci u Judeji i Samariji (Dj 1,8). Baš kao što su i drugi apostoli pokazali da posjeduju »silu« koju je Petar imao (usp. Dj 1,8a), tako su i ovi neapostoli pokazali da su »svjedoci« (usp. Dj 1,8b) u istoj mjeri kao i dvanaestorica. Štoviše, Savao se pokazao kao netko tko je, i ne znajući, pomagao u ispunjenju Velikoga naloga čak i prije obraćenja, jer se Crkva proširila na Samariju i Judeju zbog njegovih progonstava (8,1)! Stoga, namjera ove Knjige jest nagovijestiti i Pavlov puni apostolski status i njegovu nadmoć nad svim ostalim izvornim apostolima u izvršavanju mandata Djela 1,8.

U Trećoj Knjizi prvi na scenu stupa Stjepan, prvi mučenik Crkve (6,8–8,1a). Poput apostola prije njega, bio je uhićen zbog svojih čuda i izjava (6,8-15). Međutim, za razliku od drugih apostola, njegovo pojavljivanje pred Velikim vijećem rezultiralo je njegovom smrću, a ne oslobađanjem. U svoju obranu (7,2-53), on daje kratak pregled narodne povijesti (sa žarištem na patrijarsima Mojsiju i Davidu) sve do njihova ubojstva »Pravednika« (7,52), što je paralelno Petrovoj propovijedi na dan Pedesetnice. Dakle, iako je Stjepan bio svjedok u istoj mjeri kao što je to bio Petar,61 odgovor na njegovu propovijed bio je drukčiji. Sa Stjepanovom smrću, Luka upućuje na to da je plodna služba u Jeruzalemu završila.

Prijelaz ne sljedeću pojavu na sceni, pojavu Filipa (8,1b-40), događa se preko Pavla (8,1): zbog njegove uloge u Stjepanovoj smrti i kasnije uloge u proganjanju Crkve, Filip i ostali »raspršiše se po krajevima judejskim i samarijskim« (8,1). Filip, poput Stjepana, činio je čuda i naviještao Krista (8,4-8). No, za razliku od Stjepana, u Samariji je naišao na vrlo pozitivan odaziv (8,7-8. 12) – iako ne uvijek. Iako je Filip bio vrlo vješt u propovijedanju, izvjesni vračar po imenu Šimun »uzvjerovao« je samo kako bi dobio silu koju je vidio u Filipu (8,13). Apostoli Petar i Ivan došli su iz Jeruzalema u Samariju kako bi istražili taj fenomenalan odaziv (8,14). Položili su na njih ruke i tada su primili Duha Svetoga (8,15-17). Tim je događajem razotkrivena Šimunova zloća (8,18-24), a Petrovo i Ivanovo razumijevanje naraslo je (8,25). Luka potom piše još dvije vinjete o Filipovoj službi, pokazujući kako se evanđelje širilo (8,26-40).

Savlovo obraćenje zaključuje Treću Knjigu (9,1-30). Luka dosta vremena troši kako bi publici opisao Savlovo obraćenje (to se ponavlja tri puta u Djelima apostolskim), s posebnim naglaskom na objavi uskrsloga Krista Savlu (9,4-5) kao i Gospodinovom objavom Ananiji da se Savao uistinu obratio te da će mu biti »izabrano sredstvo da donese moje ime pred pogane« (9,10-15). Prema tome, vidimo da Savao nije imao samo izvanredno iskustvo obraćenja, nego i da je od početka bio onaj koji je trebao postati primjerom mandata u Djelima 1,8.

Treća knjiga, koja je počela crkvom proširenom zbog progonstava sada završava riječima: »Crkva po svoj Judeji, Galileji i Samariji bijaše na miru; izgrađivala se i živjela u strahu Gospodnjemu te se povećavala utjehom Duha Svetoga« (9,31).

Kako bi se pobrinuo da Teofil ne dođe u prigodu da mora birati između Petra i Pavla, Luka sada, u Četvrtoj Knjizi, pokazuje da je i Petar promicao poslanje poganima (9,32–12,24). No, nije samo Petar to promicao, nego i sam Gospodin. Luka započinje potvrdom Petrova apostolstva u iscjeljivanju Eneje (9,32-35) te podizanju Tabite od mrtvih (9,36-43). Dok je bio u Jopi (gdje je Tabita odrasla), Petar je imao viđenje u kojemu su nečiste životinje silazile s neba praćene glasom koji ga je nukao da zakolje i jede (10,8-23a). Poruka je bila jasna: »nečisti« pogani ne smiju se isključiti iz kraljevstva (10,15. 28). Petar je poslije toga otišao u kuću rimskoga stotnika Kornelija i navijestio evanđelje njemu i njegovim prijateljima (10,23b-48). Odgovor pogana bio je jednak odgovoru prvih slušatelja na dan Pedesetnice (10,44-48); pogani su čak primili dar Svetoga Duha. Petar je zbog toga bio uvjeren da je misija poganima bila Božji nalog.

Ne samo da je Petar morao biti pripremljen na misiju poganima, nego je to morala učiniti i crkva u Jeruzalemu (11,1-18). Budući da su svi priznavali Petra kao legitimnoga Božjeg glasnogovornika, trebao je samo ispričati što se dogodilo u Kornelijevoj kući i židovski su vjernici povjerovali.

Jedanaesto poglavlje završava izvještajem o osnivanju crkve u Antiohiji (11,19-30), osnivanju koje je paralelno osnivanju crkve u Jeruzalemu. Kako bi pokazao da više nema neprijateljstva između te dvije crkve, antiohijski kršćani poslali su financijsku pomoć za jeruzalemsku crkvu preko Savla i Barnabe (11,27-30).

Četvrta Knjiga, koja je započela mirom u Judeji i Samariji, sada doseže ironični vrhunac s progonstvom u Jeruzalemu (12,1-23). Ovoga puta progonitelj crkve nije Savao, nego Herod. On najprije pogubi Jakova (12,1-2), a potom uhiti Petra (12,3-19). No, Petar čudesno bježi iz zatvora (12,6-11) a Herod umire (12,20-23). To je posljednji put da Petra vidimo kao evangelizatora.62 Dakle, tako je sagrađena pozornica za usporedbu i kontrast s Pavlom, čovjekom o kojemu govori ostatak Djela apostolskih. Ono što je možda važno jest to da nema paralela s Pavlom, na stranicama Djela, u vezi Petrova konačnog uhićenja i oslobađanja. Uvjerenja smo da je Luka tako napisao ovu knjigu kako bi pozvao Teofila da »napiše posljednje poglavlje«.

Četvrta Knjiga završava riječima: »Riječ je Božja rasla i sve se više širila« (12,24).

Peta Knjiga bavi se širenjem Crkve sve do Male Azije, no mogla bi se sasvim ispravno nazvati »Knjigom ustanovljavanja Pavlova apostolstva« (12,25–16:5). Ovdje opet počinjemo primjećivati pojavu deja vu obrasca. No knjiga se ne bavi usporedbom Luke i Djela, niti Petra i ostalih apostola, nego usporedbom Petra i Pavla.

Peta Knjiga počinje nalogom Duha Barnabi i Savlu da krenu na prvo misijsko putovanje (12,25–13,3). Apostolstvo Savla, koji se također zvao Pavao (13,9), ovjerovljeno je na Cipru i pizidijskoj Antiohiji. Na Cipru (13,4-12) ga vidimo kao »svjedoka«, baš kao što je i Filip bio svjedok, te kao nekoga tko ima Petrovu moć rasuđivanja, jer u svome sukobu s vračarem (13,6-12; usp. 8,9-13), Pavao, poput Petra, izriče osudu nad tim čovjekom, što je popraćeno čudesnim oslijepljivanjem.

U Antiohiji u Pizidiji (13,13-52) vidimo da je Pavao jednako dobar govornik kao Stjepan ili Petar (13,14b-41). Zapravo, njegova poruka mješavina je i Stjepanove i Petrove propovijedi. U ove prve dvije priče vidimo da je Pavao bio ravnopravan u odnosu na Filipa i Petra, a potom Stjepana i Petra.

Kada Pavao otputuje u južnu Galaciju (13,51–14,21a), u grad Listru (14,8-18), vidimo da posjeduje iste čudesne moći kao i Petar (usp. 3,1–4,31). Paralele su vrlo očigledne: (1) i Petar i Pavao iscijelili su čovjeka koji je bio invalid od rođenja (3,1-8/14,8-10); (2) mnoštvo je dalo pozitivan odgovor (3,9-10/14,11-14); (3) obojica su se obratili mnoštvu (3,11-26/14,15-18); (4) obojicu je pratio apostol (Ivan, Barnaba); i (5) obojicu su napali Židovi, iako je Pavlova patnja bila puno teža (4,1-4/14,19). Očigledno, Pavao je bio isto toliko apostol koliko i Petar.63

Poslije kratkog povratka u Antiohiju (14,21b-28) gdje je pitanje misije poganima došlo do vrhunca (15,1-5), Pavao se vraća u Jeruzalem gdje su se apostoli i starješine susreli kako bi razmotrili cijelu stvar. Tu je jeruzalemski sabor odobrio Pavlovu misiju (15,6-21)—sabor u kojemu je sudjelovao Petar (15,7b-11). Pavao i Barnaba izabrani su kao nositelji pisama (15,22), te su trebali donijeti dobru vijest saborske odluke natrag u Antiohiju i na druga mjesta. To je u oštroj opreci s onim posljednjim Pavlovim nošenjem saborskoga pisma (9,2)!

Drugo misijsko putovanje (15,36–18,22) počinje nakon kratkog odmora u Antiohiji, no Pavao je umjesto Barnabe i Marka poveo Silu zbog Markova ranijeg napuštanja u Pamfiliji (15,36-41). Na ovome putovanju Pavao ide sjevernim putom, dopuštajući Barnabi i Marku da idu njihovim stopama idući još jednom na Cipar (15,39b). Putovanje započinje potvrdom crkava u južnoj Galaciji (16,1-4). S pozitivne strane, Peta Knjiga završava: »A crkve se utvrđivahu u vjeri i svaki dan bivahu brojnije« (16,5).

Na Pavlovu drugom misijskom putovanju, njegova se sve šira mreža sada protegla do egejskoga kraja, koji je tema većine Šeste Knjige (16,6–19,20). Ustanovivši da je Pavao autentičan apostol te da je njegovu poruku odobrio sam Petar, Luka se sada posebice koncentrira na povijesnu stranu svoga djela. Ne postoji dihotomija između Lukine povijesti i apologetike, ali naglasak je sada na prvome, dok je u Petoj Knjizi bio na potonjemu. No ipak, čak se i ovdje mogu vidjeti paralele između Pavla i Petra (usp. npr., Pavlovo viđenje da dođe u Makedoniju [16,8b-10] s Petrovim viđenjem prihvaćanja »nečistih« pogana [10,8-23]; dvanaest Ivanovih učenika u Efezu koji su progovorili u jezicima kada su primili Duha [19,1-7] s dvanaest apostola koji su progovorili u jezicima na dan Pedesetnice kada su primili Duha [2,1-4] itd.).

Pavlova misijska putovanja odvela su ga u Filipe (16,6-40) u Makedoniji gdje je osnovao malu crkvu. Luka potom bilježi da su Pavao i Sila zaobišli Amfipol i Apoloniju (17,1a) jer tamo nije bilo sinagoge. To postaje motivom ostatka Djela apostolskih: Pavao je uvijek prvo posjećivao Židove a potom pogane, sve do samoga kraja (28,17-28). No, jednako tome, motiv je i židovsko neprijateljstvo u svakome kraju koji je apostol posjetio.

Sljedeća postaja bila je napredna metropola Solun (17,1-9), gdje je Pavao propovijedao tri subote prije no što su ga potjerali iz grada. Kratak boravak u Bereji (17,10-14), opet zbog progonstva koje su inicirali Židovi, završio je seljenjem u Atenu (17,15-34). Nakon relativno neuspješne službe s tamošnjim filozofima, otputovao je u Korint (18,1-18a), gdje se mogao smjestiti po prvi put zbog Božje zaštite nad njegovom službom (18,5-11). Poslije pojavljivanja na sudu pred prokonzulom Galionom, kada je optužba bila odbačena (18,12-18a), Pavao se vratio u Antiohiju, svoju početnu bazu (18,18b-22).

Poslije vrlo kratkog boravka u Antiohiji, Pavao je krenuo na treće misijsko putovanje (18,23–21,16). Priscilu i Akvilu, dvoje svojih suradnika, bio je ostavio u Efezu kada se vraćao u Antiohiju. Sada se vratio u Efez, preko južnogalacijskoga kraja (18,23). Tamo je ostao ukupno tri godine i za to je vrijeme Efez postao ono što je Antiohija prije bila: baza djelovanja za njegove misijske pothvate.

Šesta Knjiga završava s Pavlovom uspješnom službom u Efezu; uspješnom, ali ne bez sukoba (usp. 19,8-9a. 11-19). Međutim, zbog konačne pobjede nad jednim protivnikom, naime, okultnim, »riječ Božja silno (se) nastavila širiti i pokazivati svoju snagu« (19,20).

Nakon pokazivanja nekih Pavlovih misijskih pokušaja u Šestoj Knjizi, prvenstveno s povijesnom namjerom, Luka se tada vraća svome apologetskom naglasku. Međutim, umjesto daljnjih usporedbi između Pavla i Petra, njegov je glavni cilj priprema sudskog izvještaja za Pavla. Budući da je Teofil bio, barem se tako čini, utjecajan rimski činovnik te čovjek koji je bio u najmanju ruku sklon kršćanstvu, posebice u Petrovim oblicima,64 trebao je imati što više podataka na raspolaganju koji će mu biti korisni na sudu.

Sedma Knjiga (19,21–28,31) pruža upravo takve informacije. Knjiga započinje Petrovim proglasom da će ići u Rim (19,21-22) a završava njegovim dolaskom tamo. No, ovdje vidimo ironiju, jer su Djela započela rastom crkve koji je bio iniciran progonstvima Židova Savla; a završava slikom Crkve koja se proteže sve do Rima zbog uhićenja kršćanina Pavla.

Neredi u Efezu zbog »štetnog« utjecaja Pavlova evanđelja na idolopoklonstvo (19,22-41) potaknuli su Pavla da se nastavi kretati. No, prije no što je mogao ići u Rim, prijestolnicu poganskoga svijeta, smatrao je nužnim da ode u Jeruzalem, prijestolnicu židovskoga svijeta. To je svakako bilo u skladu s njegovim misijskih načelom, naime, »prvo k Židovima, a onda Grcima«.

Putovanje u Jeruzalem (20,1–21,16) uključivalo je kružnu rutu u kojoj je Pavao putem tješio svoje obraćenike. Prošao je kroz Makedoniju i Grčku (20,1-6) i došao u Troadu, gdje je podigao Eutiha od mrtvih (20,7-12; usp. 9,36-43). Odatle je otplovio za Milet i posljednji se put susreo s efeškim starješinama (20,13-38). Iz Mileta je Pavao putovao za Tir (21,1-6) a potom u Cezareju (21,7-14). U Cezareji je Agab pretkazao da će Pavao biti zarobljen ukoliko bude otišao u Jeruzalem (21,10-14).

Agabovo proročanstvo pokazalo se istinitim. Kada je Pavao stigao u Jeruzalem, uhitili su ga u hramu na temelju izmišljenih optužbi da je oskvrnuo hram dodoveći sa sobom poganina (21,27-36). Pripovijedanje o njegovom obraćenju (22,1-21) samo je još više razljutilo mnoštvo (22,22), što ga je potaknulo da traži zaštitu na temelju svoga rimskog državljanstva (22,23-29). Potom je uslijedio niz suđenja uredno dokumentiranih kako bi pokazali Pavlovu nevinost.

Pavla su najprije doveli pred Veliko vijeće (Sanhedrin) (22,30–23,10) u kojemu su gotovo izbili neredi (22,30–23,10). Židovska zavjera da ga ubiju (23,12-22) uzrokovala je veću rimsku zaštitu (23,23-30) dok su ga vodili u Cezareju kako bi dobio suđenje pred rimskim upraviteljem Feliksom.

Pavlu su tada nekoliko puta sudili: pred Feliksom (24,1-26), Festom (24,27–25,12) i Agripom II (25,23–26,32) u razdoblju od dvije godine. Ironično je to da bi ga bili proglasili nevinim, ali su zbog njegova pozivanja na Cezara (26,22-23) bili prisiljeni poslati ga u Rim (26,30-32). Najvjerojatnije je Pavao uložio taj priziv jer je vjerovao da će dobiti pravednije suđenje pred rimskom vladom nego pred vladom svojih sunarodnjaka. Zapravo, čini se da svugdje u Djelima Luka zauzima isti stav.

Putovanje u Rim (27,1–28,10) počinje brodolomom (27,1-44) u kojemu Pavla vidimo i kao preživjeloga i spasitelja. Pogani tog vremena vjerovali su da oni koji prežive brodolom moraju biti nevini.65 Bez obzira je li se Teofil držao takvih praznovjerja, to je svakako moglo pomoći u suđenju.

Knjiga Djela apostolskih završava s Pavlovim dolaskom u njegovo konačno odredište, dakle, Rim (28,11-31). Kada je tamo stigao, iako je bio u lancima, najprije je propovijedao Krista Židovima (28,16-24), a zatim poganima (28,25-28). Sedma Knjiga završava Pavlovim utamničenjem na dvije godine (28,30), iako je »sasvim slobodno i bez zapreka propovijedao o kraljevstvu Božjem i izlagao nauku o Gospodinu Isusu Kristu« (28,31). Nije slučajno da se ne spominje ishod suđenja: ono se još nije odigralo. No, poput Petrova anđela u dvanaestom poglavlju, Luka želi da Teofil učini sve što može kako bi izvukao Pavla iz zatvora te kako bi se evanđelje moglo i dalje širiti. Na kraju krajeva, pogani će evanđelje i prihvatiti (28,28).

Stoga, u majstorskoj seriji od sedam knjiga, Luka nije samo pokazao kako je Crkva rasla od svojih skromnih početaka, nego je i opravdao, dokazao i Pavlovo apostolstvo i nevinost. Njegovi književni napori da oslobodi Pavla bili su uspješni: apostol pogana bio je pušten na slobodu. Još je tri godine služio i napisao još tri poslanice prije no što ga je Neron pogubio odsjekavši mu glavu ljeta 64. godine.

III. Kratak pregled66

I. Prva Knjiga: Rođenje Crkve u Jeruzalemu (1,1–2,47)

A. Prolog (1,1-2)

B. Očekivanje: Od uskrsnuća do Pedesetnice (1,3-26)

1. Od uskrsnuća do uznesenja: Kristova četrdesetodnevna služba (1,3-11)

a. Nalog apostolima (1,3-8)

b. Uznesenje (1,9-11)

2. Od uznesenja do Pedesetnice: Apostoli čekaju deset dana (1,12-26)

a. Molitva u gornjoj sobi (1,12-14)

b. Biranje zamjene za Judu (1,15-26)

C. Ostvarenje: Dan Pedesetnice (2,1-41)

1. Silazak Duha (2,1-13)

a. Odgovor apostola: Govorenje u jezicima (2,1-4)

b. Reakcija mnoštva (2,5-13)

2.Petrovo naviještanje (2,14-39)

a. Uvod: Ispunjenje proročanstva (2,14-21)

b. Tijelo: Isus je Mesija (2,22-39)

1) Dokaz: Čuda (2,22-32)

a) Tijekom njegova života (2,22)

b) Nakon njegove smrti: Uskrsnuće (2,23-32)

2) Obećanje: Sveti Duh (2,33-39)

3. Odgovor mnoštva (2,40-41)

D. Zaključak Prve Knjige (2,42-47)

II. Druga Knjiga: Širenje Crkve u Jeruzalemu (3,1–6,7)

A. Petar ozdravljuje te što je to uzrokovalo (3,1–4,31)

1. Ozdravljenje čovjeka hroma od rođenja (3,1-8)

2. Odgovor mnoštva (3,9-10)

3. Petrova poruka (3,11-26)

4. Uhićenje Petra i Ivana (4,1-4)

5. Petar i Ivan pred Velikim vijećem (4,5-22)

a. Petrova obrana (4,5-12)

b. Debata u Velikom vijeću (4,13-17)

c. Puštanje Petra i Ivana (4,18-22)

6. Zahvaljivanje svetih (4,23-31)

B. Zajedništvo i stega (4,32–5,11)

1. Dijeljenje sve imovine (4,32-37)

2. Ananijina i Safirina prevara (5,1-11)

C. Apostoli ozdravljuju te što to uzrokuje (5,12-42)

1. Apostoli ozdravljuju, odgovori mnoštva (5,12-16)

2. Uhićenje i bijeg (5,17-24)

3. Apostoli pred Velikim vijećem (5,25-40)

a. Ukor Velikog vijeća (5,25-28)

b. Obrana apostola (5,29-32)

c. Rasprava unutar Velikog vijeća (5,33-39)

d. Oslobađanje apostola (5,40)

4. Radost apostola (5,41-42)

D. Zajednica: Pomoć i raspodjela (6,1-6)

E. Zaključak Druge Knjige (6,7)

III. Treća Knjiga: Širenje Crkve u Judeju i Samariju (6,8–9,31)

A. Stjepanovo mučeništvo (6,8–8,1a)

1. Njegovo uhićenje (6,8-15)

2. Njegova obrana (7,1-53)

a. Pitanje velikog svećenika (7,1)

b. Stjepanov odgovor (7,2-53)

1) Doba patrijarha (7,2-8)

2) Narod u Egiptu (7,9-19)

3) Narod odbija Mojsija (7,20-39)

a) Mojsijeva mladost (7,20-29)

b) Bog poziva Mojsija (7,30-34)

c) Odbacivanje naroda u pustinji (7,35-39)

4) Bog odbacuje narod (7,40-43)

5) Šator sastanka i hram (7,44-50)

6) Narod odbacuje Krista (7,51-53)

3. Njegova smrt (7,54–8,1a)

B. Filipova služba (8,1b-40)

1. Pozadina: Savlova progonstva (8,1b-3)

2. Filip u Samariji (8,4-25)

a. Filipove aktivnosti (8,4-8)

b. Šimunov odgovor (8,9-13)

c. Dolazak Petra i Ivana (8,14-25)

1) Mnoštvo prima Duha (8,14-17)

2) Otkrivena opakost vračara Šimuna (8,18-24)

3) Apostoli se vraćaju u Jeruzalem (8,25)

3. Filip i Etiopljanin na putu prema Gazi (8,26-39)

4. Filip na obali Palestine (8,40)

C. Savlovo obraćenje (9,1-30)

1. Gdje: Na putu za Damask (9,1-2)

2. Pavlovo obraćenje na cesti (9,1-9)

3. Ananijin dolazak u Damask (9,10-19)

4. Sučeljavanje s Židovima u Damasku (9,20-25)

5. Savlov dolazak u Jeruzalem (9,26-30)

D. Zaključak Treće Knjige (9,31)

IV. Četvrta Knjiga: Širenje Crkve u Antiohiju (9,32–12,24)

A. Petrova priprema za poslanje poganima (9,32–10,48)

1. Petar u zapadnoj Judeji: S Enejom i Tabitom (9,32-43)

a. U Lidiji: Ozdravljenje Eneje (9,32-35)

b. U Jopi: Uskrisivanje Tabite (9,36-43)

2. Petar u Cezareji: S Kornelijem (10,1-48)

a. Kornelijevo viđenje: Poslan Petru (10,1-7)

b. Petrovo viđenje: Prihvati pogane (10,8-23a)

c. Petar u Kornelijevoj kući (10,23b-48)

1) Pozadina (10,23b-27)

2) Prepričavanje Petrova viđenja (10,28-29a)

3) Prepričavanje Kornelijeva viđenja (10,29b-33)

4) Petrova poruka (10,34-43)

5) Odgovor pogana (10,44-48)

a) Dar Duha (10,44-46)

b) Vodeno krštenje (10,47-48a)

c) Zajedništvo (10,48b)

B. Priprema vođa jeruzalemske crkve za misiju poganima (11,1-18)

1. Optuživanje židovskih vjernika (11,1-3)

2. Petrovo objašnjenje (11,4-17)

a. Prepričavanje Petrova viđenja u Jopi (11,4-10)

b. Prepričavanje Petrova posjeta Korneliju u Cezareji (11,11-16)

c. Petar priznaje legitimnost misije poganima (11,17)

d. Odgovor židovskih vjernika (11,18)

C. Priprema crkve u Antiohiji za misiju poganima (11,19-30)

1. Rađanje crkve u Antiohiji (11,19-21)

2. Odgovor Jeruzalema na Antiohiju: Slanje Barnabe (11,22-24)

3. Barnaba i Savao u Antiohiji (11,25-26)

4. Odgovor Antiohije Jeruzalemu: Slanje Barnabe i Savla (11,27-30)

a. Agabovo proročanstvo: Svjetska glad (11,27-28)

b. Siromaštvo judejskih crkava: Skuplja se pomoć (11,29-30)

D. Herodovo progonstvo crkve u Jeruzalemu (12,1-23)

1. Herod uzrokuje Jakovljevo mučeništvo (12,1-2)

2. Herod uhićuje Petra (12,3-19)

a. Uhićenje i utamničenje (12,3-5)

b. Anđeo i bijeg (12,6-11)

c. Odgovor crkve (12,12-16)

d. Petrovo povlačenje (12,17)

e. Herodova reakcija (12,18-19)

3. Herodova smrt (12,20-23)

E. Zaključak Četvrte Knjige (12,24)

V. Peta Knjiga: Širenje Crkve na Malu Aziju (12,25–16,5)

A. Slanje Barnabe i Savla u Antiohiju (12,25–13,3)
[Pavlovo prvo misijsko putovanje (13,4–14,28)]

B. Barnabina i Pavlova misija u Maloj Aziji (13,4–14,28)

1. Cipar (13,4-12)67

a. Od Antiohije do Seleucije pa do Cipra (13,4)

b. Na otoku Cipru (13,5-12)

1) U sinagogi u Salamini (13,5)

2) U Pafu: Sučeljavanje s lažnim prorokom Barjesusom (13,6-12)

2. Antiohija pizidijska (13,13-52)

a. Iz Pafa do Perge u Pamfiliji: Odlazak Ivana Marka (13,13)

b. Iz Perge u Antiohiju u Pizidiji (13,14a)

c. U Antiohiji u Pizidiji (13,14b-52)

1) Pavlova poruka u subotu (13,14b-41)

a) Pozadina (13,14b-15)

b) Uvod (13,16)

c) Glavni dio (13,17-37)

        1] Priprema za Krista u SZ (13,17-22)

        2] Naviještanje Krista slušateljima (13,23-37)

d) Primjena (13,38-41)

2) Početni odgovor Židova na Pavlovu poruku (13,42-43)

3) Kasniji odgovor pogana i protivljenje Židova Pavlovu evanđelju (13,44-50)

3. Južna Galacija: Ikonij, Listra i Derba (13,51–14,21a)

a. U Ikoniju: Odgovor Židova i pogana (13,51–14,5)

b. U Listri i Derbi (14,6-21a)

1) Od Ikonija do Listre i Derbe (14,6-7)

2) Ozdravljenje u Listri (14,6-18)

a) Ozdravljenje čovjeka hroma od rođenja (14,8-10)

b) Odgovor mnoštva (14,11-14)

c) Pavlova i Barnabina poruka (14,15-18)

d) Kamenovanje Pavla (14,19)

3) Bijeg u Derbu (14,20-21a)

4. Povratak u Antiohiju (14,21b-28)

C. Sabor u Jeruzalemu o misiji poganima (15,1-35)

1. Povod: judaisti u Antiohiji (15,1-5)

2. Susret apostola i starješina u Jeruzalemu (15,6-21)

a. Pozadina (15,6-7a)

b. Petrova poruka (15,7b-11)

c. Barnabino i Pavlovo svjedočanstvo (15,12)

d. Jakovljeve konačne misli (15,13-21)

3. Pismo Sabora poganskim vjernicima (15,22-35)

a. Biranje Barnabe i Pavla kao nositelja pisma (15,22)

b. Sadržaj pisma (15,23-29)

c. Odgovor u Antiohiji (15,30-35)

D. Potvrda crkava u Maloj Aziji (15,36–16,4)
[Pavlovo drugo misijsko putovanje [15,36–18,22]

1. Nesuglasica između Pavla i Barnabe oko Ivana Marka (15,36-41)

a. Želja za povratkom (15,36)

b. Rasprava o Ivanu Marku (15,37-39a)

c. Barnaba i Marko odlaze za Cipar (15,39b)

d. Pavao i Sila odlaze za Tarz (15,40-41)

2. U južnoj Galaciji (Derbi, Listri): Timotej se pridružuje Pavlu i Sili (16,1-4)

E. Zaključak Pete Knjige (16,5)

VI. Šesta Knjiga: Širenje Crkve na egejsko područje (16,6–19,20)

A. Filipi (16,6-40)

1. Diljem frigijsko-galacijskog područja (16,6)

2. Do Troade u Miziji (16,7-8a)

3. Pavlovo viđenje: Pređi u Makedoniju (16,8b-10)

4. Iz Troade u Samotraku, pa u Neapol, pa u Filipe (16,11)

5. U Filipima (16,12-40)

a. Lidijino obraćenje (16,12-15)

b. Egzorcizam mlade ropkinje (16,16-18)

c. Obraćenje filipljanskog tamničara (16,19-34)

1) Uhićenje Pavla i Sile (16,19-24)

2) Potres: Spadanje okova (16,25-28)

3) Odgovor tamničara (16,29-34)

d. Odgovor Pavla i Sile (16,35-40)

B. Solun (17,1-9)

1. Kroz Amfipol i Apoloniju (17,1a)

2. U Solunu (17,1b-9)

a. Pavlovo naviještanje u sinagogi (17,1b-3)

b. Obraćenje nekih Židova i Grka (17,4)

c. Neprijateljstvo ostalih Židova (17,5-9)

C. Bereja (17,10-14)

D. Atena (17,15-34)

1. Rasprava na Agori (17,15-18)

2. Rasprava na Aeropagu (17,19-34)

a. Pavlova poruka (17,19-31)

b. Reakcija Atenjana (17,32-34)

E. Korint (18,1-18a)

1. S Akvilom i Priscilom: Pravljenje šatora i propovijedanje (18,1-4)

2. Sa Silom i Timotejem: osamnaest mjeseci u službi (18,5-11)

3. Pred Galionom (18,12-18a)

F. Povratak u Antiohiju (18,18b-22)

1. Iz Kenhreje do Efeza i do Cezareje (18,18b-22a)

2. Dolazak u Antiohiju (18,22b)

G. Efez (18,23–19,19) [Pavlovo treće misijsko putovanje (18,23–21,16)]

1. Povratak u galacijsko-frigijsko područje (18,23)

2. Apolon u Efezu: Pavlov glasnik (18,24-28)

a. Apolonov dolazak u Efez (18,24)

b. Akvila i Priscila poučavaju Apolona (18,25-26)

c. Apolonov odlazak za Korint (18,27-28)

3. U Efezu (19,1-19)

a. S dvanaest Ivanovih učenika (19,1-7)

b. U židovskoj sinagogi (19,8-9a)

c. U Tiranovoj školi (19,9b-10)

d. U sukobu s okultnim (19,11-19)

H. Zaključak Šeste Knjige (19,20)

VII. Sedma Knjiga: Širenje Crkve na Rim (19,21–28,31)

A. Najava plana (19,21-22)

B. Neredi u Efezu (19,22-41)

1. Optužbe srebrnara (19,22-27)

2. Pokazivanje u kazalištu (19,28-34)

3. Gradski tajnik ušutkava rulju (19,35-41)

C. Putovanje u Jeruzalem (20,1–21,16)

1. Kroz Makedoniju i Grčku (20,1-6)

2. U Troadi: Uskrisivanje Eutiha (20,7-12)

3. Iz Troade do Mileta (20,13-17)

4. U Miletu: Oproštajna poruka efeškim starješinama (20,18-38)

a. Pavlova poruka (20,18-35)

b. Odgovor starješina (20,36-38)

5. Iz Mileta u Tir (21,1-6)

6. Iz Tira u Cezareju (21,7-14)

a. Boravak s Filipom (21,7-9)

b. Agabovo pretkazanje (21,10-14)

7. Dolazak u Jeruzalem (21,15-16)

D. Pavao u Jeruzalemu (21,17–23,30)

1. Susret s Jakovom i starješinama (21,17-26)

2. Uhićenje Pavla u hramu (21,27-36)

3. Pavlovo obraćanje mnoštvu (21,37–22,21)

a. Zahtjev da govori (21,37-40)

b. Prepričavanje njegova obraćenja (22,1-11)

c. Prepričavanje njegova poziva (22,12-21)

4. Objava Pavlova rimskoga državljanstva (22,22-29)

5. Pavao pred Velikim vijećem (22,30–23,10)

a. Sučeljavanje s velikim svećenikom (22,30–23:5)

b. Rasprava oko uskrsnuća (23,6-10)

6. Noćno viđenje Gospodina (23,11)

7. Urota da ubiju Pavla (23,12-22)

a. Židovska urota (23,12-15)

b. Otkrivanje Rimljanima (23,16-22)

8. Rimska zaštita (23,23-30)

a. Osigurana zaštita (23,23-24)

b. Napisano »zaštitno« pismo (23,25-30)

E. Pavao u Cezareji (23,31–26,32)

1. Rimljani sprovode Pavla do Cezareje (23,31-35)

2. Suđenje pred Feliksom (24,1-26)

a. Židovske optužbe (24,1-9)

b. Pavlova obrana (24,10-21)

c. Feliksova odgoda (24,22-23)

d. Razgovori s Feliksom u međuvremenu (24,24-26)

3. Suđenje pred Festom (24,27–25,12)

a. Feliksa zamijenio Fest (24,27)

b. Dolazak Festa u Jeruzalem (25,1-5)

c. Pavao pred Festom: Pozivanje na Cezara (25,6-12)

4. Festovo savjetovanje s Agripom II. (25,13-22)

5. Pavao pred Agripom (25,23–26,32)

a. Festov izvještaj (25,23-27)

b. Pavlova obrana (26,1-23)

1) Uvod (26,1-3)

2) Židovska nada u uskrsnuće (26,4-8)

3) Pavlovo progonstvo kršćana (26,9-11)

4) Pavlovo obraćenje (26,12-18)

5) Pavlov nalog poganima (26,19-20)

6) Pavlovo uhićenje u Jeruzalemu (26,21)

7) Završna izjava (26,22-23)

c. Razgovor između Festa, Pavla i Agripe (26,24-29)

d. Pavlova nevinost i ironija prizivanja na Cezara (26,30-32)

F. Putovanje u Rim (27,1–28,10)

1. Brodolom (27,1-44)

a. Pozadina (27,1-12)

1) Iz Cezareje u Miru (27,1-5)

2) Iz Mire u Dobra pristaništa na Kreti (27,6-8)

b. Upozorenja na neminovni brodolom (27,9-26)

1) Vrijeme: Poslije dana Velikog posta (27,9a)

2) Pavlovo upozorenje (27,9b-12)

3) Oluja (27,13-20)

4) Pavlovo viđenje (27,21-26)

c. Brodolom na Malti (27,27-44)

1) Bijeg mornara osujećen (27,27-32)

2) Posljednje jelo na brodu (27,33-38)

3) Brod nasukan (27,39-41)

4) Svi na sigurnom na obali (27,42-44)

2. Na Malti (28,1-10)

a. Pavla ugrizla zmija (28,1-6)

b. Pavlova čuda (28,7-10)

G. Pavao u Rimu (28,11-31)

1. Dolazak u Rim (28,11-16)

2. Pavlovo naviještanje Židovima (28,16-24)

3. Pavlovo naviještanje poganima (28,25-28)

H. Zaključak Sedme Knjige (28,30-31)


1PosebieIn particular, Apollonius’ Canon and its corollary suggest that (1) in Greek, normally both the nomen regens and the nomen rectum either have the article or lack it; and (2) when both lack it, the sense is still usually definite for both (hence, “The Acts of the Apostles”).

2 Guthrie, 114.

3 G. B. Caird, Saint Luke, 16-17.

4 Usp. različite studije Horta, Metzgera, Alanda, Snodgrassa, Holmesa i posebice Thomasa Geera.

5 Tako B. M. Metzger, osoban razgovor (ožujka 1989.); usp. također njegovo djelo The Canon of the New Testament i The Text of the New Testament.

6 Iako tek pomoćan ovoj radnji, taj zaključak također pomaže u određivanju Zapadnoga teksta kao vrlo ranoga, jer ga smješta duboko u drugo stoljeće (contra Aland-Aland, Text of the New Testament).

7 Vidi Guthrieja za širu obradu, 115-19. Ovaj dio je samo vrlo skraćen prikaz Guthriejevih argumenata.

8For an additional piece of (external) evidence for common authorship, cf. the last paragraph in our discussion of external evidence.

9 Guthrie, 115-16.

10 C. H. Talbert, Literary Patterns, Theological Themes and the Genre of Luke-Acts, 17. Talbert primjećuje, na primjer, da i Isusa i Pavla narod vrlo dobro prima; obojica ulaze u hram na prijateljski način; saduceji ne vjeruju u uskrsnuće, ali književnici podržavaju Isusa/Pavla; obojica »uzimaju kruh te ga, nakon što zahvale, lome«; svjetina grabi Isusa/Pavla; Isusu/Pavlu svećenikov pomoćnik daje pljusku; obojici se sudi četiri puta.

11 Ibid., 23. Iako bismo potvrdili ovu Talbertovu izjavu, postoji jedna opomena: Talbert ide dalje i predlaže da je Luka napravio većinu svog materijala, dok bismo mi rekli da ga je odabrao i uredio. Svrhu ovoga vidjet ćemo kada budemo razmatrali Djela, no dovoljno je reći da bi u Teofilu zacijelo proizvelo simpatije prema Pavlu.

12 To se dalje može vidjeti u tome što samo Evanđelje prikazuje nevjerojatnu unutarnju strukturu, baš kao i Djela. Prema tome, pretpostavka da su dva različita autora napisala ove knjige znači da je imitator nadareniji od izvornog autora!

13 Guthrie, 116.

14 Ibid., 117.

15Style and Literary Method of Luke.

16 Caird, Luke, 17.

17 Ibid.

18 Još je jedan suptilni pokazatelj Lukine narodnosti. U Djelima 16, nakon početka prvoga »mi« dijela (16,11-17), Luka spominje da je bio s Pavlom u Filipima do onda kada je Pavao istjerao zlog duha iz ropkinje (s. 17—»idući iza Pavla i nas«). Potom, u 16,19, lice se mijenja sa prvoga na treće (»njezini gospodari ... zgrabiše Pavla i Silu«). U stihovima 20-21, postaje jasno zašto su Pavao i Sila bili izdvojeni: »Ovi ljudi, koji su uz to i Židovi, bune naš grad tim što šire običaje kojih mi Rimljani ne smijemo ni prihvatiti ni vršiti.« Uzevši da se »mi« odlomci trebaju uzeti doslovno, te da je Luka bio poganin, činjenica da Luka nije bio zarobljen sasvim je jasna—jer je žaoka stihova 20-21 činjenica da su Pavao i Sila bili Židovi. (To nadalje može potvrditi to što je Timotej bio polu-Židov.) U najmanju ruku, želi li netko poreći da je Luka bio poganin, mora objasniti zašto se prvo lice koristi u 16,17, ali se odmah mijenja u treće lice kada Filipljani počnu optuživati misionare na temelju njihove narodnosti.

19 Guthrie pogrešno veli da je Luka vjerojatno bio iz Filipa, pretpostavljajući da »mi« odlomci tamo počinju (118-19).

20 Međutim, više crkvenih očeva vjerovalo je da Luka potječe iz Antiohije. Čak i kodeks D to sugerira, jer počinje s »mi« materijalom u Djelima 11,28!

21 Ovim ćemo se baviti u uvodu u poslanicu Galaćanima.

22 Ovim ćemo se baviti u uvodu u Prvu poslanicu Solunjanima.

23 Ono što se uobičajeno radi u kritičarskim krugovima kada se naiđe na takva nesuglasja jest davanje prednosti Pavlu, budući da je njegov materijal autobiografski. To je nesumljivo djelomično valjano, iako se ne smije zaboraviti činjenica da je Luka selektivan u portretiranju Pavla—te da je zapravo i Pavao selektivan u onome što želi reći! Njihov odabir različitih detalja ne dokazuje da jedan od njih nužno griješi.

24 Guthrie, 120.

25 Posebice mislimo na Luku 2,19 (»A Marija je pamtila sve te događaje i razmišljala o njima u srcu svome«), gdje je Lukin izvor za rani Mesijin život bila Isusova majka. (Ne samo da to sugerira Luka 2,19, nego i potkrjepljuje vrlo semitski grčki ta prva dva poglavlja, koji nestaje kada Luka stigne do trećega poglavlja.)

26 Još je jedno nesuglasje (ili tišina) između Pavla i Luke-Djela o kojemu se naklapalo na sastancima SBL-a posljednjih godina: nedostatak zamjeničkog pomirenja u Luki-Djelima (posebice zamijetite Lukino izostavljanje Marka 10,45), iako je Pavao vrlo rječit po tom pitanju. Moguće je da za Luku to nije bila bit Kristove smrti, čak iako ga je prigrlio (tj. zamjeničko pomirenje); ili možda nije sasvim shvatio njegovu važnost; ili je smatrao da Teofil ne bi cijenio njegovu važnost (ili čak da je bilo tek pomoćan u glavnoj biti Luke-Djela).

27R. N. Longenecker, The Acts of the Apostles, in vol. 9 of The Expositor’s Bible Commentary, 226. Valja primijetiti da Longenecker naglašava različitu točku gledišta (on se bavi poviješću, a ne teologijom per se, te Pavlovim autobiografskim izjavama u suprotnosti s Lukinim biografskim zapažanjima vezanim uz Pavlova čuda), no njegova su zapažanja ipak valjana i u teološkom pogledu.

28Longenecker dodaje korisnu analogiju: »Situacija se donekle može usporediti s Plutarhovom obradom članova rimske obitelji Grakho u njegovim Paralelnim životima te Apijevom opisu istih tih vođa u njegovim Građanskim ratovima. Iako su obojica pisali u drugome stoljeću posliej Krista, Plutarha su Grakhovi zanimali prvenstveno kao državnici, dok su Apija zanimali kao generali. Stoga, njihovi su različiti interesi drastično utjecali na izbor i oblikovanje materijala te na utjecaj njihovih djela. No ipak, postoje velika preklapanja, suglasja između Plutarhove i Aprijeve obrade obitelji Grakho« (226-27).

29Relevantan je tekst u Tukididu I.22:1-4 (vlastiti prijevod): »A u pogledu onoga što je svaki od ovih uistinu rekao, bilo kada su se spremali za bitku ili kad su već u njoj bili, precizna točnost onoga što su rekli pokazala se tešk zapamtljivom—i za mene, odnosno onoga što sam svojim ušima čuo, i u pogledu izvještaja koje sam dobio s drugih lokaliteta. No, budući da mi se činilo da je svaki od tih ljudi rekao nešto posebno prikladno o tadašnjim okolnostima, [govore] sam zabilježio pridržavajući se, koliko je bilo u mojoj moći, općeoj namjeri onoga što je uistinu bilo rečeno.«

Za razliku od popularnog shvaćanja velikog broja NZ stručnjaka, iz ove je izjave jasno da Tukidid nije izmišljao svoje govore ex nihilo. Moje čitanje teksta predlaže da su govori uistinu postojali, iako je njihov točan izgled često bio previše neuhvatljiv da bi se zapisao. No ipak, koliko god je bilo teško zapisati ipsissima verba, Tukidid je pokušao iznijeti ipsissima vox.

30Plutarh je još jedna paralela nekoga tko je htio iznijeti ipsissima vox, iako ne nužno i ipsissima verba. Usp. Plutarhove Živote: Aleksandar 1.1-3 (vlastiti prijevod): »U ovoj knjizi pišemo o životu kralja Aleksandra i životu Cezara, koji je razorio Pompeje. Zbog golemog broja djela koja se moraju iznijeti, unaprijed nećemo reći ništa drugo osim da čitatelja molimo da ne kritizira [naša nastojanja] ukoliko detaljno ne prenesemo njihova dobro poznata djela, nego većinu njih sažmemo. Jer ne bavimo se ovdje povijestima nego biografijama. A u najistaknutijim djelima [ovih muškaraca] nema uvijek dokaza izvrsnosti niti dokaza zla. No, često se znalo dogoditi da bi me se neznatan čin ili duhovita dosjetka ili neki običaj dojmio u pogledu nečijega karaktera mnogo više od bitaka u kojima su izginuli deseci tisuća ili čak i najvećih pohoda ili opsada gradova. Prema tome, isto onako kako slikari pažljivo rišu lice i njegove detalje, jer se u njima otkriva karakter osobe, i crtaju sliku s minimalnim razmišljanjem o ostalim dijelovima [tijela]; tako se i nama mora dopustiti da suđemo kroz prozore duše i da kroz njih portretiramo svaki život, ostavljajući uspone i padove [tih pojedinaca] drugima.« Ovdje je ključno to da je Plutarh smatrao kako je sasvim prikladno ne »prenijeti sve detaljno . . . nego većinu sažeti«.

31Vidi našu raspravu o nekim jezikoslovnim sličnostima u uvodima ovih knjiga.

32Guthrie piše: »Jedini govor u Djelima koji sadrži neke analogije u odnosu na situaciju iza Pavlovih poslanica jest njgovo obraćanje efeškim starješinama u Miletu. Znakovito je da je taj govor najbliži Pavlovom izražavanju i razmišljanju« (123, n. 5).

33 Nisam vidio ovu tvrdnju u pismenom obliku, iako mislim da je prilično snažna. Uistinu je očigledno da je pisac Djela imao visoko mišljenje o Pavlu. Ukoliko je bilo tako, i ukoliko je imao pristup Pavlovim pismima (pretpostavka koja postaje to vjerojatnija što se kasnije knjiga datira), zašto bi naizgled proturječio Pavlu u mnogim točkama? Povjerujemo li skepticima, on jest proturječio Pavlu—ali je također pisao trideset godina nakon što su Pavlove izvorne poslanice (the Hauptbriefe) bile objavljene! Ovo je napadno samoproturječna pretpostavka. Nadalje, tvrdnja koju neki predlažu, naime da su Djela napisana kako bi se ponovno postavila Pavlova pisma među crkvama, pati od iste autodestruktivne nedosljednosti—osim što se ovdje pretpostavlja eksplicitno poznavanje Pavlovih poslanica!

34 Svakako je upitno da je kasnije postao liječnik!

35 Ovo nije ni izbliza snažan argument kao onaj obrnuti, naime da Mateja treba datirati u Lukino vrijeme. Zasigurno postoji neka cirkularnost ukoliko nijedno Evanđelje nema bolje argumente u prilog ranome datiranju od ovoga! Međutim, po našemu mišljenju, datiranje Djela postaje najvažniji čimbenik u datiranju sinoptičkih Evanđelja. Budući da se Djela izravno vežu na Luku, argument Lukina kasnog datiranja izveden iz vremena Matejeva pisanja gubi na težini (iako se ipak mora dati određena važnost poteškoći stavljanja Matejeva Evanđelja nakon 70. g. u svjetlu posebnih problema koji se tiču Govora na Maslinskoj gori).

36Guthrie, 355-61.

37Robinson, 89.

38Ibid., 359.

39Vidi našu raspravu o autorstvu 2. Petrove za podatke.

40Guthrie, 358.

41Međutim, moguće je da ovaj prijedlog ima smisla. Luka je možda htio da prw'to" označava treći svezak—retorički, ne doslovno. Za detalje ovoga prijedloga, vidi našu raspravu o namjeri/prigodi.

42Robinson, 89ff.

43Robinson, 90.

44Citirano u Robinsonu, 89-90.

45Oblik kodeksa bio je izmišljen sredinom prvoga stoljeća. Dakle, iako je moguće da ga je Luka koristio, to je krajnje nepouzdano—posebice zato što njegov prolog Djelima spominje »prvu knjigu« svjesno oponašajući stare povjesničare koji su pisali svoja velika djela u nastavcima na svicima. Nadalje, iako su gotovo svi postojeći NZ rukopisi u obliku kodeksa (svi osim tri), najraniji je nastao oko 100.-150. g. (P52), što nam ne pomaže u određivanju prakse prvoga stoljeća. Konačno, golema većina postojećih (sekularnih) spisa iz drugoga stoljeća u obliku je svitaka, što nam govori da se kodeks, iako možda izmišljen u prvome stoljeću, nije »primio« sve do drugoga ili trećega stoljeća. (Usput budi rečeno, velika vjerojatnost da je Marko bio napisan na svitku poništava bilo kakvu zamisao da je završetak njegova Evanđelja nekako izgubljen. Htio ga je završiti u 16,8.)

46Evanđelje završava uznesenjem, a Djela počinju točno od toga trenutka.

47Zapravo, nema pravoga razloga da odbacimo mogućnost da su Luka i Djela mogli biti poslani Teofilu u isto vrijeme. Prisutnost nekog prijelaza između Luke i Djela (ponavljanje uznesenja) bila bi sasvim prirodna ukoliko je Luka očekivao da će djelo biti prepisivano na dva svitka, no to ponavljanje ne mora upućivati na neku prazninu u datiranju – na primjer, ako bi kod nekoga suvremenog autora početni odlomak, recimo, četvrtog poglavlja, bio sažetak trećega poglavlja, to ne bi nužno podrazumijevalo bilo kakav interval između njih.

48 Usp. njegovu upotrebu u Djelima 23,26; 24,3 te 26,25 kada govori o rimskim upraviteljima Feliksu i Festu.

49 Posebice, oslobađanje Rimljana gotovo na svakom koraku i teško optuživanje Židova u oba djela, zajedno s prilično sveopćom perspektivom (koja kulminira u ispravnosti Pavlove misije poganima), čine ovaj sud sigurnim.

50 Usp. korisnu raspravu u Cairdovu Luke, 44.

51 Iako Teofil može značiti »onaj kojeg Bog voli«, budući da NZ nigdje ne govori da Bog osjeća filevw prema nevjernicima, nazvati ovoga čovjeka »onim kojeg Bog voli« vjerojatno podrazumijeva da je bio vjernik. S druge strane, ukoliko Teofil znači »onaj koji voli Boga«, onda to također sugerira da je vjernik. Činjenica da se Luka igra značenjem imena u drugome svesku (usp. Talbertovo djelo i bilješke studenata Zanea Hodgesa u »Acts« [Dallas Seminary, 1978]) sugerira da je ime i ovdje simbolično.

52 Ovo je pitanje dosta složeno i ne može se razdvojiti od pažljivo nijansiranoga gledišta o višestrukim namjerama/svrhama i Luke i Djela apostolskih. Jedno pitanje koje se čini zapostavljenim jest količina vremena koju Luka posvećuje Petru u Djelima, a onda radi paralelu u događajima iz Pavlova života. Čini se kao da Luka pokušava pokazati da je Pavao u svakom pogledu apostol, baš kao i Petar. Ukoliko je to točno, onda to pretpostavlja da je Teofil već prihvatio »petrinski« oblik kršćanstva. O tome ćemo raspravljati kada budemo pregledavali Djela, ali ovdje je dovoljno reći da je Teofil po svoj vjerojatnosti vjernik, iako je imao neke sumnje o Pavlu.

53Guthrie, 365.

54Vidi Longeneckerovu obradu za širi popis mogućnosti.

55Ponovno, time se Luki ne opovrgava dugoročnija perspektiva koja bi uključivala više apologetski ili više povijesni cilj. Međutim, mi tvrdimo da je glavni poticaj za pisanje Djela bilo skoro Pavlovo suđenje.

56Vidi posebice A. N. Sherwin-White, Roman Society and Roman Law in the New Testament, 108-19.

57Guthrie, 365.

58C. H. Talbert, Literary Patterns, Theological Themes and the Genre of Luke-Acts.

59Guthrie, 373. Guthrie citira D. Ladouceura, “Hellenistic Preconceptions of Shipwreck and Pollution as a Context for Acts 27–28,” HTR 73 (1980) 435-49; i G. B. Miles and G. Trompf, “Luke and Antiphon: The Theology of Acts 27–28 in the Light of Pagan Beliefs about Divine Retribution, Pollution and Shipwreck,” HTR 69 (1976) 259-67.

60Za najbolju obradu ove teme, usp. C. H. Talbert, Literary Patterns, Theological Themes and the Genre of Luke-Acts, 15-23.

61Izgleda da je Lukina namjera izvući tu paralelu. U zaključku svake poruke, autor nam veli da se »duboko potresoše u srcu« (2,37; 7,54, iako se svaki put koristi drugi glagol). Čini se da je poanta u tome da razlog Stjepanove smrti nije ležao u njemu, nego u njegovoj publici koja je pogrešno reagirala.

62On se u Djelima 15 pojavljuje kako bi sankcionirao misiju poganima. Tamo nije imao ulogu »svjedoka«.

63Ovo čitanje Djela izvedeno je iz autorove namjere, a to vidimo po tome što uvodi isti motiv u Djelima 10–11: budući da su pogani iskusili isto što i židovski kršćani, njihova vjera mora biti u istoj mjeri istinska. Zapravo, moguće je da je događaj s Kornelijem, budući da je Petar bio uključen u oba slučaja (u sam događaj i njegovo prepričavanje), Lukin način primicanja Teofila k prihvaćanju legitimnosti Pavla i njegova poslanja.

64Vidi uvod za detaljniju raspravu o našim pogledima.

65Vidi naš uvod (pod »Namjerom«) za raspravu i bibliografiju.

66Nekoliko je različitih načina sastavljanja pregleda Djela, a svaki je dovoljno dobar: (1) osoban pregled: bavi se dvama glavnim apostolima, Petrom i Pavlom; (2) geografski pregled: iz Jeruzalema do Judeje, Samarije i do kraja svijeta; (3) progresivan pregled: usredotočen na sedam Lukinih »izvještaja o napretku«. Svaki od ovih je legitiman i, kao što smo predložili za ostale NZ knjige, Lukina je organizacijska shema višestruko koncentrična a ne linearna. To će reći, Luka razvija tri osobita motiva odjednom: ulogu Petra i Pavla (dakle, mogu se otkriti dva glavna dijela), širenje kršćanstva u skladu s pregledom iz Djela 1,8, te napredovanjem u određenim trenucima vrhunaca. Idealan način ocrtavanja ove knjige, kao što je slučaj s mnogim djelima stare književnosti, bio bi crtanje tri preklapajuća kruga, od kojih se svaki koncentrično širi dok se knjiga odmotava. Bilo kakav linearni pregled (poput ovoga koji ovdje koristimo) ne može prikladno obuhvatiti sve motive.

67Pregled će od ove točke biti geografski i najviše će se baviti Pavlovim misijskim putovanjima. Ponekad će biti vrlo pedantan (pa će čak i podtočke sadržavati isti sadržaj kao i glavne točke). Međutim, to bi trebalo istaknuti velika mjesta koja je Pavao posjetio, kao i pokazati put kojim je išao kako bi tamo stigao.


Related Topics: Introductions, Arguments, Outlines

From the series: 1 Samuel (Portuguese)

1. Introdução a I Samuel

Não estamos preparados para o livro de I Samuel até que tenhamos lido o livro de Juízes. Os dias dos juízes foram dias obscuros para a nação de Israel. Deus havia libertado os israelitas do cativeiro do Egito. Devido à sua incredulidade, a primeira geração de israelitas não entrou na terra prometida. A segunda geração entrou em Canaã e, sob a liderança de Josué, foram razoavelmente bem. No entanto, após a morte de Josué, as coisas começaram a desmoronar. Israel passou por repetitivos ciclos de bênção e castigo, como resultado de sua obediência ou rebelião. Quando desobedeciam, Deus entregava a nação a um inimigo opressor. Quando se arrependiam e clamavam a Deus, Ele enviava um “juiz” para livrá-los. Quando o juiz morria, o povo voltava ao pecado. O ciclo parecia interminável.

Após ler o livro de Juízes, alguns poderiam concluir que o problema fosse a ausência de um rei em Israel: “Naqueles dias, não havia rei em Israel; cada um fazia o que achava mais reto” (Juízes 21:25). Em I Samuel, Israel terá seu rei. Saul, o primeiro rei, será um rei do jeito que o povo quer, e provará ser o rei que Israel merece. Davi, o segundo rei, substituirá Saul. Ele é um rei do jeito de Deus, um homem segundo o Seu coração. I Samuel conta a história de pessoas fascinantes como Ana e Samuel, como Saul e Davi. Não há nenhum momento monótono nesta história magistralmente bem escrita. O livro termina com a morte de Saul e, desta forma, com o fim das fugas de Davi de suas mãos, pois Saul procura matá-lo como a um inimigo.

Embora as pessoas e os acontecimentos de I Samuel estejam há muitos anos atrás e num lugar muito distante, as lutas que estes homens e mulheres enfrentaram são as mesmas que enfrentamos hoje, procurando agradar a Deus vivendo num mundo caído. Há muitas maneiras pelas quais podemos nos identificar com os antigos israelitas e muitas lições que podemos aprender com seus sucessos e fracassos. Enquanto embarcamos em nosso estudo, vamos fazê-lo com expectativa, orando para que Deus nos modifique e trabalhe em nossa vida da mesma forma Ele fez na vida dos homens e mulheres daquela época. Que Deus possa utilizar este livro para nos fazer homens e mulheres segundo o Seu coração.

From the series: 1 Samuel (Portuguese)

Related Topics: Introductions, Arguments, Outlines

From the series: 1 Samuel (Portuguese)

2. O Filho e o Salmo de Ana (I Samuel 1:1-2:10)

Introdução

Quando os Jogos Olímpicos foram em Atlanta, Geórgia, o mundo inteiro conheceu o nome e a fama da jovem Kerri Strug. Kerri foi a chave para que a equipe americana de ginástica feminina recebesse a medalha de ouro. Se ela se saísse bem ao realizar seu salto, sua equipe ganharia a medalha de ouro; se não, elas teriam que se contentar com outra posição. Seu primeiro salto não foi bom, o que resultou num tornozelo torcido. Só um segundo salto excelente poderia ganhar a medalha de ouro. Enquanto ela voltava com dificuldade à linha inicial, o mundo se perguntava se ela tentaria outro salto e, se tentasse, será que conseguiria? Todos sabemos que ela tentou, e que realizou um salto excelente, às custas de uma lesão ainda maior. O resultado foi a medalha de ouro, e mais, muito mais. A foto de Kerri estampou a página principal de quase todos os jornais do mundo. Num instante ela se tornou uma heroína, não só porque seu salto fez com que sua equipe ganhasse a medalha de ouro, mas porque ela o executou em meio a uma grande adversidade. Se não fosse por sua lesão anterior, sua performance teria sido esquecida. Por causa dela, Kerri Strug sempre será lembrada por sua coragem e habilidade num momento difícil e decisivo.

A história de Ana é muito parecida com a de Kerri Strug. Ana foi uma grande mulher, mãe de Samuel, um dos maiores profetas de Israel. Se não fosse por uma vida cheia de agonia e adversidade, o nascimento de seu primeiro filho teria sido esquecido. No entanto, seus anos de agonia e suas lágrimas de aflição fazem do nascimento de seu filho Samuel um acontecimento a ser lembrado. Estes anos formam o universo de seu salmo de louvor, que tem sido consolo e inspiração para os crentes ao longo dos séculos. Maria, a mãe de nosso Senhor, estava atenta a ele, conforme vemos em seu próprio Salmo em Lucas 1:46-55. Vamos examinar o nascimento do filho de Ana e seu salmo, pois temos muito a aprender para aplicar em nossa vida.

O Contexto

Em nossa Bíblia, o livro de I Samuel vem em seguida ao de Rute. Nos manuscritos do Antigo Testamento, I Samuel vinha imediatamente após o livro de Juízes. Sendo assim, as últimas palavras escritas na Bíblia hebraica antes de nosso texto em I Samuel são:

“Naqueles dias, não havia rei em Israel; cada um fazia o que achava mais reto.” (Juízes 21:25)

Aqueles dias” estavam longe de ser os mais relevantes da vida espiritual de Israel como nação. O livro de Juízes descreve os dias caóticos em que os israelitas foram oprimidos pelas nações circunvizinhas. Deus enviava um juiz para livrá-los, mas sua liberdade só durava enquanto o juiz vivesse. Até mesmo seus juízes não foram exatamente modelos de santidade. Sansão, por exemplo, foi um homem cuja vida foi dominada pela carne, não pelo Espírito. O escritor de Juízes relaciona a decadência espiritual e o caos político de Israel à falta de um rei. O livro de I Samuel registra o processo pelo qual Deus providenciou um rei para Seu povo. Da mesma forma que Isabel no Novo Testamento, Ana é mãe do profeta que indicará o rei escolhido por Deus. Saul será ungido como o primeiro rei de Israel. E então, após sua rejeição por Deus, Davi será ungido como precursor de uma dinastia eterna. Em meio à anemia espiritual de Israel, Ana e seu marido, Elcana, estão muito acima de seus pares. Vamos ouvir esta história e o salmo de louvor, que é o seu clímax.

Recontando a história

Elcana é um piedoso descendente de Levi que vive na região montanhosa de Efraim. Por causa da região onde vive, ele é conhecido como efraimita, embora seja realmente da tribo de Levi (ver I Crônicas 6:33-38). Elcana tem duas esposas, Ana e Penina. Penina tem filhos de Elcana, mas Ana não (1:2), pois Deus fechou seu ventre (1:6).

Todos os anos, Elcana, Penina e seus filhos, e a estéril Ana vão a Siló, 20 milhas ou mais ao norte de Jerusalém, onde fica o tabernáculo. Eles vão celebrar uma das três festas anuais de Israel (1:3; ver Êxodo 23:14-17; Dt. 16:16). Esta época especial deve ser de alegria, e a tristeza é proibida:

“Nas tuas cidades, não poderás comer o dízimo do teu cereal, nem do teu vinho, nem do teu azeite, nem os primogênitos das tuas vacas, nem das tuas ovelhas, nem nenhuma das tuas ofertas votivas, que houveres prometido, nem as tuas ofertas voluntárias, nem as ofertas das tuas mãos; mas o comerás perante o SENHOR, teu Deus, no lugar que o SENHOR, teu Deus, escolher, tu, e teu filho, e tua filha, e teu servo, e tua serva, e o levita que mora na tua cidade; e perante o SENHOR, teu Deus, te alegrarás em tudo o que fizeres.” (Dt. 12:17-18)

Para Ana e, provavelmente, para Elcana também, regozijar-se diante do Senhor é muito difícil. Primeiro, os dois filhos de Eli, Hofni e Finéias, ministram ali como sacerdotes (1:3). Para aqueles que são verdadeiramente justos, estes sacerdotes patéticos lançam uma nuvem negra sobre a genuína adoração (ver 2:12-17. 22-25). No entanto, a fonte principal do sofrimento de Ana nesta jornada anual até Siló é Penina, que se aproveita da oportunidade para atormentá-la ano após ano, sem cessar (ver 1:4-7). Isto resulta em muitas lágrimas para Ana e a incapacidade de se juntar à refeição festival (1:7).

Não é que Elcana, seu marido, não tente consolá-la ou vir em seu auxílio. Elcana declara seu amor por ela dando-lhe porção dupla da carne que foi sacrificada (1:5). Ele faz um esforço sincero para compensá-la de sua esterilidade, relembrando-a do que ela significa para ele e do que ele é para ela (1:8). A despeito de todas estas coisas, Ana teme a peregrinação anual a Siló, onde deve conviver de perto com Penina, seu tormento.

Não é difícil imaginar o que acontece. Durante o ano, provavelmente, Ana e Penina vivam em tendas separadas, bem distantes uma da outra. Elas nem comem na mesma mesa. No entanto, na jornada anual a Siló, todos devem viajar e comer juntos. Quando a refeição sacrificial é servida, cada esposa tem sua porção. Mesmo que Ana receba porção dupla, Penina recebe para si e para seus filhos. Até posso ouvi-la cruelmente atormentando Ana: “Ó, Elcana, que pedação delicioso de carne para mim e para as crianças! Ó, querida, que pedacinhos saborosos para você também, Ana.”

Nesta viagem, em particular, Ana mal consegue fazer a refeição. De alguma forma ela se fortalece contra os gestos e observações cruéis de Penina. Mas, depois de comer e beber, ela se afasta depressa em direção ao tabernáculo, onde derrama a alma perante Deus. Em seu íntimo ela ora silenciosamente, enquanto Eli, sentado junto à porta, observa com interesse. Ele vê o movimento de seus ombros, enquanto ela soluça em grande aflição e chora amargamente (1:10). Não ouvindo suas palavras, Eli tira a conclusão errada, presumindo que ela tenha festejado demais e que sua alegria seja pura embriaguez. Ele a repreende pela embriaguez e lhe diz para abandonar a bebida (1:13-14).

Rapidamente Ana lhe assegura que não está embriagada, mas que está derramando sua alma perante o Senhor (1:15). Ela suplica que ele não a julgue como filha de Belial (1:16). Ironicamente, a expressão usada por Ana (“filha de Belial”) é o mesmo termo usado pelo autor no capítulo 2 (verso 12) para descrever os dois filhos de Eli. Ela lhe diz que, até agora, esteve expressando a agonia de sua alma.

Todos sabemos, como talvez Eli também soubesse, que entre as palavras soluçadas por Ana está um voto. Ela promete a Deus que, se Ele lhe conceder um filho, ela o devolverá a Ele como nazireu (1:11, ver Nm. 6:1-21; Jz. 13:2-7). Eli lhe assegura que Deus lhe concederá seu pedido e a abençoará (1:17). Desse momento em diante, Ana já pode participar da cerimônia de adoração. Ela faz a refeição e seu rosto agora irradia alegria e não tristeza.

Levantando-se de madrugada, eles adoram o Senhor antes de pegar o caminho de volta a Ramá. Algum tempo depois, Ana concebe e dá à luz o filho prometido. Ela dá à criança o nome de Samuel. Embora os estudiosos discutam os termos e seus significados, está escrito o que este nome significa para ela. Ela sabe que este é o filho que pediu ao Senhor, e que ele é a resposta à sua oração (1:20). O nome Samuel é um lembrete constante de sua origem e de seu destino.

Enquanto a criança ainda está sendo amamentada, chega a época da família fazer a viagem anual a Siló. Elcana sobe com o restante da família, mas Ana fica para trás. Ela não está tentando evitar o cumprimento de seu voto (ver 1:21-23). Muito pelo contrário! Pelas palavras ditas a seu marido, concluo que ela não queira subir com Samuel e depois voltar com ele, uma vez que ele ainda está sendo amamentado e não pode ser deixado em Siló tão novinho. Sua intenção parece ser ficar em casa este ano e desmamar o menino para o ano seguinte. Ela, então, o levará consigo quando chegar a época da próxima jornada, não retornando com ele a Ramá. Talvez Ana não quisesse estabelecer um precedente, indo a Siló com Samuel e depois voltando com ele, por temer ficar tentada a descumprir seu voto.

Chega a época em que a criança é desmamada, e Ana deve levar Samuel consigo para Siló e deixá-lo com Eli. Ele ainda é muito novinho, mas tem idade suficiente para ser cuidado por outra pessoa que não seja sua mãe (ver 1:24). Um novilho de três anos é levado com eles para ser abatido e entregue a Eli. Ana relembra a Eli que ela é a mulher que esteve ali, orando com tanto fervor que ele lhe garantiu que Deus lhe concederia seu pedido. Ela diz que, para cumprir seu voto, trouxe seu filho para dá-lo ao Senhor. Em outras palavras, ela deixará a criança aos cuidados de Eli. Antes de partir, ela faz uma oração louvando ao Senhor, uma oração pela qual será lembrada durante muito tempo.

O Salmo de Ana
(2:1-10)

“Então, orou Ana e disse: O meu coração se regozija no SENHOR, a minha força está exaltada no SENHOR; a minha boca se ri dos meus inimigos, porquanto me alegro na tua salvação. Não há santo como o SENHOR; porque não há outro além de ti; e Rocha não há, nenhuma, como o nosso Deus. Não multipliqueis palavras de orgulho, nem saiam coisas arrogantes da vossa boca; porque o SENHOR é o Deus da sabedoria e pesa todos os feitos na balança. O arco dos fortes é quebrado, porém os débeis, cingidos de força. Os que antes eram fartos hoje se alugam por pão, mas os que andavam famintos não sofrem mais fome; até a estéril tem sete filhos, e a que tinha muitos filhos perde o vigor. O SENHOR é o que tira a vida e a dá; faz descer à sepultura e faz subir. O SENHOR empobrece e enriquece; abaixa e também exalta. Levanta o pobre do pó e, desde o monturo, exalta o necessitado, para o fazer assentar entre os príncipes, para o fazer herdar o trono de glória; porque do SENHOR são as colunas da terra, e assentou sobre elas o mundo. Ele guarda os pés dos seus santos, porém os perversos emudecem nas trevas da morte; porque o homem não prevalece pela força. Os que contendem com o SENHOR são quebrantados; dos céus troveja contra eles. O SENHOR julga as extremidades da terra, dá força ao seu rei e exalta o poder do seu ungido.”

Neste Salmo de louvor há uma porção de coisas dignas de nota. Enquanto as examinamos, talvez elas o estimulem a fazer um estudo pessoal e mais profundo deste texto.

Primeiro, a oração de Ana é um salmo. Várias traduções indicam isto pela maneira como o texto é disposto. A oração de Ana se parece com um dos salmos do Livro de Salmos. A oração de Ana emprega paralelismo e simbolismo, que são típicos de um salmo.

Segundo, o salmo de Ana é uma oração, uma oração que talvez ela tenha preparado para fazer antes da adoração.Diante da majestade destas palavras, não podemos nos esquecer que esta é uma oração de louvor. É um salmo, mas, como os salmos, é uma oração dirigida a Deus, uma oração de louvor e agradecimento. Algumas pessoas, quase automaticamente, presumem que Ana tenha emprestado este salmo como expressão de seu louvor a Deus. Os salmos da Bíblia colocam de forma maravilhosa nossas orações em palavras para, com muita habilidade, descrever aquilo que está dentro do nosso coração, mas não há nenhuma indicação de que este não seja um salmo composto pela própria Ana. Será que a julgamos incapaz de uma obra tão magnífica? Ou será que pensamos que Deus não possa colocar tal louvor dentro do nosso coração? Vamos em frente.

Terceiro, o salmo de Ana agora faz parte das Escrituras. Seu salmo não é mais algo seu, particular, mas é uma parte permanente das Escrituras Sagradas para todos nós lermos e repetirmos (se quisermos), e para a edificação de nossa alma.

Quarto, o salmo de Ana, portanto, é um salmo inspirado por Deus. “Toda a Escritura é inspirada por Deus e útil para o ensino, para repreensão, para correção, para educação na justiça...” (II Tm. 3:16). Uma vez que este salmo faz parte das Escrituras, sabemos que é inspirado pelo Espírito Santo de Deus (ver I Co. 2:10-13; II Pe. 1:21). Será que as palavras de Ana estão além de sua capacidade natural de expressão? Todas as palavras de cada autor inspirado das Escrituras são assim. É exatamente esta a razão pela qual podemos facilmente aceitar que Ana tenha escrito este salmo, pela capacitação do Espírito Santo.

Quinto, o salmo de Ana é fruto de suas experiências.As Escrituras não são transmitidas mecanicamente por seus autores humanos. De alguma forma misteriosa (tão misteriosa quanto Jesus é tanto divino quanto humano), a revelação de Deus é gerada mediante instrumentos humanos, com suas próprias histórias e experiências, expressando suas personalidades individuais e, ainda assim de forma a transmitir exatamente e inerrantemente as palavras de Deus.

Sexto, o salmo de Ana também parece refletir as experiências de Israel com Deus no passado. A Escritura inspirada tem sua própria forma de se relacionar com o restante das Escrituras. As palavras de louvor do salmo de Ana parecem fluir, em parte, das experiências de Israel no passado, particularmente da época do êxodo. Muitas vezes as palavras ou expressões inspiradas de um escritor são emprestadas de outro texto bíblico e, às vezes, parecem ser quase uma parte inconsciente da estrutura do pensamento do autor. Ana se refere a Deus como sua “rocha” (verso 2). Em Deuteronômio 32:30-31, Deus é descrito como a “Rocha” de Israel. No verso 1, Ana diz que sua “força” (chifre) é exaltada em Deus; Moisés usa o simbolismo do “chifre” em Deuteronômio 33:17. Quando Ana fala sobre o pobre e o necessitado sendo elevados ao poder e à proeminência, não foi isto o que aconteceu a Israel no êxodo? Quando fala dos famintos sendo alimentados, não foi o que aconteceu no êxodo? Quando fala dos poderosos sendo humilhados, não foi o que aconteceu ao Egito no êxodo? Creio que Ana via o trabalho de Deus em sua vida sob a perspectiva da obra de Deus na vida de Israel no êxodo.

Sétimo, a oração de Ana vai muito além de sua própria experiência, enfocando o caráter do verdadeiro Deus a quem ela adora e a quem louva.Diferentemente do “salmo” de Jonas (Jonas 2), mas muito parecido com os salmos do Livro de Salmos, o salmo de Ana não se concentra apenas em sua tristeza, em seu sofrimento, ou mesmo em suas bênçãos. O salmo de Ana se concentra em seu Deus. Em meio ao seu sofrimento e à sua exaltação, ela passa a ver Deus mais claramente e, como conseqüência, ela O louva por quem e pelo que Ele é. Seu salmo se refere a Deus como santo (verso 2), fiel (“rocha”, verso 2), onisciente (conhecedor de todas as coisas, verso 3), gracioso (verso 8), todo-poderoso (verso 6), soberano, o grande modificador das circunstâncias (versos 6-10). Quanta coisa há sobre Deus em tão poucos versos!

Oitavo, a oração de Ana vai muito além de suas experiências, de seu passado e presente, antecipando um futuro distante. O salmo de Ana é profético; é uma profecia. O salmo fala com ansiedade da época em que Israel terá um rei (verso 10). Creio que o salmo fala da vinda do derradeiro “Rei”, nosso Senhor Jesus Cristo, que é o cumprimento final de sua profecia messiânica. Não é por isso que o ”salmo” de Maria nos soa tão familiar (ver Lucas 1:46-55)? É bem verdade que Maria talvez veja outros paralelos entre a sua bênção e a de Ana, mas não acho que a ligação messiânica seja ignorada.

Nove, não devemos nos esquecer que, ainda que o salmo de Ana seja expressão de seu louvor e alegria, ele é oferecido na época em que ela deixa seu filho para trás, jamais tendo-o consigo novamente. Esta é a época em que Ana expressa sua alegria e gratidão a Deus pela vida de Samuel, a resposta às suas orações. É a época em que Ana expressa sua fé em Deus e sua devoção a Ele. Mas também é a época da separação, quando ela deixará Samuel em Siló e voltará para Ramá. A fidelidade de Deus no passado é a garantia de Sua fidelidade no futuro e, assim, ela pode entregar seu filho a Deus.

Conclusão

Nosso texto revela a piedade de Ana e Elcana em contraste com a lamentável paternidade de Eli e a inutilidade de seus filhos, Hofni e Finéias. Elcana é um marido piedoso, sensível à angústia de sua esposa. Ele realmente procura animá-la (dando-lhe porção dobrada da refeição sacrificial e dizendo-lhe palavras bondosas e gentis de incentivo, garantindo-lhe seu amor, mesmo que ela não tenha filhos). Ele gentilmente lhe recorda que seu espírito abatido é impróprio à adoração. Ele lhe dá liberdade para adorar sem oprimi-la ou dizer-lhe o que deve fazer. Ele deixa que ela vá adorar sozinha, quando ela faz seu voto. Ainda que ele pudesse ter anulado o voto, ele não o faz. Ele lhe dá liberdade para decidir quando subirá a Siló com Samuel.

Elcana também é piedoso em seu relacionamento com Deus. Ele cuida para que sua esposa faça as coisas direito diante de Deus. Ele é fiel ao fazer sua jornada anual a Siló, mesmo que haja boas razões para não fazê-la. Ele poderia alegar falta de tempo ou que a viagem é muito dispendiosa. Melhor ainda, ele poderia apontar a corrupção dos sacerdotes, especialmente de Hofni e Finéias, alegando não querer expor sua família à hipocrisia, à imoralidade e à brutalidade. Ele também sabe que na época do sacrifício anual Penina torna as coisas bem mais difíceis para Ana e para ele. Apesar de todas estas razões, ele pode ser visto em Siló ano após ano.

Ana é um exemplo de mulher e esposa piedosa. Ela suporta anos de sofrimento silencioso devido à sua esterilidade e à crueldade de sua rival, Penina. Ela sempre acompanha seu marido e sua família (incluindo Penina) a Siló, sabendo o quanto isto é doloroso. Seu sofrimento silencioso é enorme, sem nenhuma indicação de retaliação contra sua adversária, Penina. Ela adora a Deus fielmente, derramando suas lágrimas e súplicas. E, quando Deus responde suas orações, ela não só mantém seu voto, mas louva a Deus de tal forma que seu louvor continua inspirando e encorajando os crentes ao longo dos séculos. Tão certo quanto as falhas paternas de Eli fazem parte da conduta vergonhosa de seus filhos como sacerdotes, da mesma forma a piedade de Ana e de seu marido influencia positivamente o sacerdócio de Samuel. E, ainda hoje, também nos influencia positivamente como exemplos de fé e devoção.

Nosso texto estabelece o contexto para o desenrolar dos eventos descritos em I e II Samuel.O último verso do livro de Juízes uma vez mais menciona o fato de Israel não ter um rei nestes dias. O salmo profético de Ana fala da vinda de um rei. Ana e Elcana, como seus pares do Novo Testamento, Isabel e Zacarias (Lucas 1), não têm filhos. As duas esposas estéreis se tornam mães de um profeta que indica o rei prometido. Da mesma forma que Samuel indica tanto Saul quanto Davi, João Batista indica Jesus, o Nazareno, como o Messias e Rei de Deus.

A adoração de Ana traz grande compreensão sobre o papel da mulher na adoração nos tempos do Antigo Testamento. Seu papel não é algo público ou oficial; no entanto, ela continua tendo grande impacto espiritual na vida dos crentes ao longo dos séculos. O status público e oficial de Eli, ao contrário, nada faz por sua vida espiritual ou pela de seus filhos. Ana, em seu sofrimento silencioso, e em seu ministério oculto e discreto a Samuel, tem um impacto importante e duradouro em sua época e na nossa também. A súplica de Ana, onde ela profere seu voto, é silenciosa; no entanto, suas conseqüências têm importância nacional. Seu louvor faz parte das Escrituras Sagradas e é fonte de grande instrução, conforto e encorajamento. Mesmo não tendo posição oficial de liderança e sendo seu ministério particular, ela teve grande impacto espiritual. Que os homens e mulheres que desejam proeminência, posição e status aprendam com a maneira como Deus usou Ana e seu ministério.

O sofrimento de Ana e seu salmo são exemplos da maneira como Deus Se revela nas Escrituras. O salmo de Ana, como o restante das Escrituras, é produto do esforço humano, supervisionado e divinamente capacitado pelo Espírito Santo. O salmo é tanto produto do esforço humano quanto expressão de sua personalidade, composto pelas coisas que Ana vivenciou. Ela não poderia ter escrito esta parte das Escrituras sem ter sofrido o que sofreu às mãos de Penina, devido à sua esterilidade. Nem poderia ter escrito o que escreveu acerca do futuro sem a inspiração divina. Suas palavras que foram registradas para nós também são a Palavra de Deus.

O salmo de Ana, como qualquer outra parte das Escrituras, é o escrito de uma pessoa que reflete sua educação, sua personalidade e a história de suas experiências. É também obra do Espírito Santo, que transmite o “pensamento de Deus” para nós. Exatamente como nosso Senhor foi totalmente divino e perfeitamente humano numa só Pessoa, assim as Escrituras são produto do homem e obra de Deus num mesmo trabalho.

O salmo de Ana não poderia ter sido escrito sem o sofrimento que o precedeu. Foi Deus quem fechou o ventre de Ana. Foi Deus quem intencionalmente a fez sofrer nas mãos de uma rival cruel, Penina. Foi Deus quem orquestrou todos os momentos de sua vida, tanto dolorosos, quanto agradáveis, a fim de que resultassem num salmo que se tornou uma obra-prima. É desta forma que Deus emprega o humano e o divino na composição das Escrituras. Ainda que você e eu não escrevamos as Escrituras hoje, creio que Deus orquestra nossa história e nossa vida de maneira a nos preparar e equipar de forma única para o ministério que ele tem para nós. Que nos recusemos a ver as nossas dificuldades do passado como entraves ao presente ou ao futuro. Ao olharmos as recordações dolorosas do nosso passado, vamos encará-las como pedras fundamentais para o nosso ministério presente e futuro, regozijando-nos, portanto, em nossas tribulações e provações à luz da maneira como Deus propõe usá-las para o nosso bem e para a Sua glória.

Nosso texto é um retrato da maneira como Deus proporciona Suas bênçãos e manifesta Sua graça em meio à tristeza, ao sofrimento e às fraquezas humanas. Tendo acabado de concluir um estudo sobre I e II Coríntios, não posso deixar de ver os paralelos entre as experiências e o salmo de Ana e as experiências e as epístolas de Paulo. Considere estas palavras da pena de Paulo à luz do sofrimento de Ana e seu salmo:

“... foi-me posto um espinho na carne, mensageiro de Satanás, para me esbofetear, a fim de que não me exalte. Por causa disto, três vezes pedi ao Senhor que o afastasse de mim. Então, ele me disse: A minha graça te basta, porque o poder se aperfeiçoa na fraqueza. De boa vontade, pois, mais me gloriarei nas fraquezas, para que sobre mim repouse o poder de Cristo. Pelo que sinto prazer nas fraquezas, nas injúrias, nas necessidades, nas perseguições, nas angústias, por amor de Cristo. Porque, quando sou fraco, então, é que sou forte. ” (II Co. 12:7b-10)

Como Paulo deixa bem claro em suas epístolas, o poder de Deus é demonstrado em nossas fraquezas. Isso é graça. A graça de Deus não procura ressaltar nossos pontos fortes, Sua graça busca nossos pontos mais fracos, para que fique absolutamente claro para todos que é Deus quem realiza grandes coisas por meio de nós. As coisas que causam a Ana as maiores tristezas, as maiores dores, são exatamente as mesmas coisas que Deus usa para lhe trazer grandes alegrias. Para aqueles que confiam Nele, sempre será desse jeito:

“Sabemos que todas as coisas cooperam para o bem daqueles que amam a Deus, daqueles que são chamados segundo o Seu propósito. Porquanto aos que de antemão conheceu, também os predestinou para serem conformes à imagem de seu Filho, a fim de que ele seja o primogênito entre muitos irmãos. E aos que predestinou, a esses também chamou; e aos que chamou, a esses também justificou; e aos que justificou, a esses também glorificou.” (Rm. 8:28-30)

Você ama a Deus? Você é um de Seus filhos pela fé na morte, sepultamento e ressurreição de Jesus Cristo em seu lugar? Estas são as boas novas do evangelho. O evangelho não é boa-nova para aqueles que se acham justos. Para eles é uma ofensa. Essas pessoas acham que Deus lhes deve a vida eterna e desdenham a graça salvadora de Deus em Cristo como ”caridade”. Mas é caridade! Aqueles que abraçam alegremente as boas novas do evangelho sabem que não têm esperança e estão desesperadamente perdidos em seus pecados, dignos da ira eterna de Deus. Eles se regozijam no fato de não poderem comprar a salvação de Deus, pois Cristo já o fez por eles pela Sua morte, sepultamento e ressurreição. Eles recebem com gratidão o perdão dos pecados e o dom da justiça como caridade divina. E aprendem que o mesmo princípio da graça divina pelo qual foram salvos é o princípio com que Deus continua operando em nossa vida. Oro para que você tenha recebido a graça de Deus pelo dom da salvação pela fé em Jesus Cristo. Senão, oro para que você a receba e a Ele neste exato momento.


From the series: 1 Samuel (Portuguese)

Related Topics: Prayer, Suffering, Trials, Persecution, Comfort

From the series: 1 Samuel (Portuguese)

3. Samuel e os Filhos de Belial (I Samuel 2:11-36)

Introdução

Quando eu era seminarista, um casal de outra igreja morava nas proximidades do Seminário. Certa vez, sua igreja organizou uma semana de encontros com um pregador muito conhecido em todo o país, e eles prontamente se ofereceram para pegá-lo no aeroporto. Seus três filhos foram com eles. Ao chegarem a casa, perguntaram ao orador sobre o tema da semana e ele respondeu que ainda não se decidira. Na primeira reunião, quando anunciou que “O Senhor o levara a falar sobre educação de filhos”, imediatamente souberam que ele tomara sua decisão com base na conduta de seus filhos na volta do aeroporto. O mau comportamento de seus filhos, e sua falta de controle sobre eles, levaram-no a se decidir pelo assunto. Eles também sabiam que se o homem falava para alguém, era para eles.

O leitor rapidamente perceberá que o tema principal de nossa passagem é o relacionamento entre pais e filhos. Espero que fique claro que este assunto emerge diretamente do texto. Se vou expor I e II Samuel sistematicamente, não posso deixar de lado este texto ou o assunto da educação de filhos. Não pense, por favor, que eu me sinta totalmente à vontade para ensinar sobre este assunto só porque que minha filha mais nova terminou a Faculdade e está saindo de casa para lecionar em outro Estado. Talvez pareça que nosso trabalho paterno já esteja feito e até mesmo que nossos filhos tenham se saído muito bem. Duas coisas devem ser ditas a esse respeito. Primeiro, como a maioria dos pais descobre a esta altura, nosso trabalho realmente não termina, nunca. Nosso papel como pais muda e diminui, mas ainda temos certas responsabilidades, da mesma forma que nossos filhos ainda têm certas responsabilidades para conosco (tal como em nossa velhice, que ainda está bem longe!). Não podemos levar o crédito por todas as coisas boas que acontecem na vida de nossos filhos, tal como alguns de vocês não deveriam levar toda a culpa pelas coisas que saíram erradas na vida de seus filhos. No que se refere a nossos filhos andarem com Deus, é pela graça e para a glória de Deus. Não ousamos tomar o crédito por Sua obra. Finalmente, estamos muito perto de entrar no excitante mundo dos avós que, com certeza, trará novos desafios.

Por isso, você pode ver que estou tão “ameaçado” e “intimidado” pelo texto quanto você. Não tenho nenhum prazer em pregá-lo, embora ele me permita lhe dar minha opinião sobre o que fazer como pais. Entendo que o padrão de paternidade estabelecido em nosso texto é aquele todos nós temos que aceitar, mas que nem sempre conseguiremos manter. A morte de Eli e seus dois filhos (brevemente descrita em I Samuel 4) é um claro aviso sobre o alto preço que os pais pagam por não guardar as instruções de Deus com relação à educação de seus filhos. Devemos considerar este texto com a maior seriedade e nos esforçar para entender o que Deus nos diz sobre a impressionante tarefa de educar nossos filhos.

Visão Geral de I Samuel 2:11-4:22

Precisamos ler, interpretar e aplicar nosso texto à luz de seu contexto. O texto do capítulo 2 estabelece o cenário para os acontecimentos do capítulo quatro, fazendo o contraste entre a vida de Samuel e a vida dos dois filhos de Eli, Hofni e Finéias. Alternando entre Samuel eos dois “filhos de Belial”, nosso texto faz o contraste entre eles. Gosto do jeito como Dale Ralph Davis ilustra a mistura de Samuel e os filhos de Belial:

    Samuel servindo, 2:11

      pecados litúrgicos, 2:12-17

    Samuel servindo, 2:11

      pecados morais, 2:22-25

    Samuel crescendo, 2:26

profecia do julgamento, 2:27-36

    Samuel servindo, 3:1a

O escritor descreve no capítulo 3 a ascensão de Samuel aos ofícios de sacerdote e profeta. No final do capítulo, toda a nação o aceita e o respeita como verdadeiro profeta de Deus. O capítulo 4 descreve o cumprimento das advertências proféticas de Deus a respeito de Eli e seus filhos (feitas por um profeta desconhecido no capítulo 2 e por Samuel no capítulo 3). Israel é derrotado pelos filisteus e a Arca da Aliança é tomada e levada, e Eli e seus dois filhos morrem, junto com sua nora. Os avisos e profecias dos capítulos 2 e 3 devem ser interpretados à luz de seu cumprimento no capítulo 4.

Entendendo o Sacerdócio

Precisamos conhecer mais sobre os sacerdotes levitas para uma compreensão total do que vai acontecer com os filhos de Eli. Arão e seus filhos foram os primeiros a serem designados por Deus para servir como sacerdotes. Nadabe e Abiú, os dois filhos mais velhos de Arão, são mortos por não exercerem seu sacerdócio corretamente. Eles oferecem “fogo estranho” e são mortos por isso. Assim, são substituídos pelos outros filhos de Arão, Eleazar e Itamar (Lv. 10:1-3; Nm. 3:4; 26:60-61).

Os sacerdotes têm diversos deveres. Eles cuidam do tabernáculo e de seu funcionamento (Ex. 27:21; Lv. 24:1-7; Nm. 18:1-7). Entre seus deveres está a manutenção do altar. Eles devem retirar as cinzas e manter o fogo aceso (Lv. 6:8-13). Deus promete se encontrar com eles à porta da tenda da congregação (Ex. 29:42-46). Devido à sua posição privilegiada e à sua proximidade com o Deus Santo, eles devem ser muito meticulosos para não se contaminar de forma que impeça seu serviço. Isto inclui evitar bebidas fortes (Lv. 10:8-11), o que pode ter sido o fator contribuinte para o “fogo estranho” de Nadabe e Abiú (10:1-3). Eles não devem se contaminar pelo contato com os mortos, por tomar prostitutas como esposas, ou por ter uma filha prostituta (Lv. 21:1-9). Um sacerdote não deve ter nenhum defeito físico ou conduzir seus deveres sacerdotais quando estiver cerimonialmente impuro (Lv. 21:1-10-22:9). Os sacerdotes são responsáveis por inspecionar diversas doenças para determinar se é lepra, infecção ou contaminação (ver Lv. 13-16). Eles devem tocar as trombetas que convocam os israelitas (Nm. 10:8). Os deveres sacerdotais vão ainda mais além, pois eles devem ensinar ao povo de Israel a Lei de Moisés e também julgá-los (Dt. 17:8-13; 33:8-11). As falhas dos sacerdotes em fazer estas coisas trazem severo juízo sobre eles (Malaquias 2:1-10). Suas vestes, que incluem uma túnica e uma sobrepeliz, também são símbolos da santidade de seu ofício e de seus deveres (Ex. 28:40-43).

Deus não dá uma herança aos sacerdotes, como faz com as outras tribos (NM. 18:24). Em vez disto, Ele cuida deles de forma especial. Uma parte da carne oferecida pelos israelitas é dada a eles, bem como o restante dos dízimos e sacrifícios que são trazidos pelo povo como oferta a Deus (Nm. 18:8-32). A eles também é dado o pão colocado no santuário (Lv. 24:8-9). Deus especifica a parte do animal sacrificado que é dada aos sacerdotes: o peito e a coxa direita, mas somente depois que a gordura for queimada no altar (Lv. 7:31-34; ver também 3:3-5, 14-17; 7:22-25).

Cadê o bife?
(2:12-17)

“Eram, porém, os filhos de Eli filhos de Belial e não se importavam com o SENHOR; pois o costume daqueles sacerdotes com o povo era que, oferecendo alguém sacrifício, vinha o moço do sacerdote, estando-se cozendo a carne, com um garfo de três dentes na mão; e metia-o na caldeira, ou na panela, ou no tacho, ou na marmita, e tudo quanto o garfo tirava o sacerdote tomava para si; assim se fazia a todo o Israel que ia ali, a Siló. Também, antes de se queimar a gordura, vinha o moço do sacerdote e dizia ao homem que sacrificava: Dá essa carne para assar ao sacerdote; porque não aceitará de ti carne cozida, senão crua. Se o ofertante lhe respondia: Queime-se primeiro a gordura, e, depois, tomarás quanto quiseres, então, ele lhe dizia: Não, porém hás de ma dar agora; se não, tomá-la-ei à força. Era, pois, mui grande o pecado destes moços perante o SENHOR, porquanto eles desprezavam a oferta do SENHOR.”

Já vimos como Deus cuida das necessidades dos sacerdotes. Quando eles oferecem um sacrifício, devem primeiro queimar a gordura como oferta a Deus. Aquele que estiver fazendo o sacrifício recebe uma parte da carne sacrificada para ser comida com sua família (ver 1:5). O sacerdote recebe o peito e a coxa direita (ver acima). É assim que está prescrito na Lei de Moisés, mas que não é feito pelos sacerdotes. Estes homens “não se importavam com o SENHOR”, nem com o ”costume dos sacerdotes” (versos 12-13). Estes filhos, que “não se importavam com o SENHOR”, são chamados de “filhos de Belial” (literalmente), ou “homens sem valor” (verso 12). É interessante notar que, embora os filhos de Eli sejam chamados de “filhos de Belial”, o juízo apressado que ele faz de Ana, e sua repreensão, sugerem que ela seja “filha de Belial” (ver 1:16), acusação negada por ela.

O que será que estes “filhos de Belial” fazem que seja tão errado? O escritor nos diz. Primeiro, eles se recusam a aceitar as partes que são designadas a eles e insistem em examinar o “tacho” para selecionar seu pedaço de carne. Quando a carne está cozinhando na caçarola e alguém vem oferecer o sacrifício, o sacerdote envia seu servo com um garfo de três pontas para pegar qualquer coisa que consiga espetar (2:13-14). Este pedaço de carne, então, é levado ao sacerdote como a parte designada a ele do animal sacrificado.

Devo confessar que sou cínico. Não creio que a carne pega pelo servo fosse realmente ao acaso. Quando eu era pequeno, costumávamos comer frango frito - geralmente um frango inteiro. Eu gostava de carne branca e não ligava para a coxa ou sobrecoxa. Meu pai era sempre servido primeiro, e ele costumava dizer que comia “qualquer pedaço que Evalyn (minha mãe) lhe desse”. “Dá prá ele o curanchim ou o pescoço, mãe”, eu pedia, mas ela nunca dava. De alguma forma, meu pai sempre ficava com o maior pedaço de carne branca. O pedaço de frango que meu pai conseguia de maneira alguma era pego ao acaso, e todos nós sabíamos disso.

Também não creio que o pedaço de carne dado aos sacerdotes fosse uma questão do acaso. Para eles, o peito ou um pedaço da coxa não significavam uma chuleta, pois esta era retirada da parte traseira - alcatra, sim, carne assada, sim, mas filé-mignon, não - a menos, é claro, que o servo do sacerdote “acabasse” tirando-o da panela. Duvido que estes camaradas cometessem algum engano quanto ao pedaço de carne pego para o sacerdote. Não haveria nenhum bife de acém para eles, nem osso do pescoço. Da forma como escolhiam a carne, os sacerdotes desprezavam a lei, satisfazendo seus desejos ao pegar os melhores pedaços.

Os sacerdotes parecem achar que carne cozida é muito sem graça, querendo churrasco (ou carne grelhada) em vez disto. Seus servos se aproximam dos ofertantes antes que a carne seja cozida, antes mesmo que a gordura seja oferecida a Deus, e exigem o melhor pedaço para os sacerdotes. Israelitas piedosos, como Elcana e Ana, sabem que, antes de tudo, a gordura deve ser queimada no altar. Quando pessoas como eles dizem ao servo do sacerdote que espere até a gordura ser queimada, o servo fica violento. Ele exige a carne imediatamente, ameaçando tomá-la à força, se necessário.

Podemos imaginar o impacto negativo que isto causa na adoração a Deus em Siló. Os israelitas piedosos fazem a jornada anual a Siló para adorar a Deus no tabernáculo e não encontram sacerdotes dedicados que os auxiliem, mas sacerdotes vorazes que deturpam a adoração. Deliberadamente ou por ignorância (isto ficará evidente numa das traduções dos versos 12 e 13), os sacerdotes agem com total desrespeito ao ofício sagrado do sacerdócio do Antigo Testamento, o que talvez faça com que alguns israelitas abandonem completamente a adoração no tabernáculo. Nestes dias, não há rei em Israel, e cada um faz o que é certo aos seus próprios olhos, incluindo os sacerdotes que deveriam ensinar e julgar Israel de acordo com a lei de Deus.

O verso 17 nos dá uma avaliação de Deus da conduta dos sacerdotes: ”Era, pois, mui grande o pecado destes moços perante o SENHOR, porquanto eles desprezavam a oferta do SENHOR.” Os intérpretes traduzem este verso de diferentes formas. Alguns o interpretam para mostrar que, em conseqüência da corrupção do ministério dos sacerdotes, o povo também começa a seguir seus líderes, menosprezando os sacrifícios:

17 “Era, pois, muito grande o pecado destes mancebos perante o Senhor, porquanto os homens vieram a desprezar a oferta do Senhor.” (Almeida Atualizada)

Outros o traduzem para mostrar que o pecado dos sacerdotes era muito grande, pois eles (os sacerdotes) desprezavam as ofertas do Senhor:

17 “Assim, o pecado destes jovens era muito grande aos olhos do Senhor, pois tratavam com desprezo as ofertas que o povo trazia perante Deus.” (O Livro)

Desconfio que as duas versões estejam certas. Os sacerdotes não respeitam os sacrifícios e ofertas que fazem em favor dos homens em Siló e, como conseqüência, muitas pessoas também começam a desprezá-los. Este pecado realmente é muito grave, tanto para os sacerdotes que levam outros a pecar, como para aqueles que os seguem. Estes são dias realmente tristes na história de Israel. Como as palavras ditas por Malaquias muitos anos mais tarde se aplicam bem aos dias dos juízes:

“Agora, ó sacerdotes, para vós outros é este mandamento. Se o não ouvirdes e se não propuserdes no vosso coração dar honra ao meu nome, diz o SENHOR dos Exércitos, enviarei sobre vós a maldição e amaldiçoarei as vossas bênçãos; já as tenho amaldiçoado, porque vós não propondes isso no coração. Eis que vos reprovarei a descendência, atirarei excremento ao vosso rosto, excremento dos vossos sacrifícios, e para junto deste sereis levados. Então, sabereis que eu vos enviei este mandamento, para que a minha aliança continue com Levi, diz o SENHOR dos Exércitos. Minha aliança com ele foi de vida e de paz; ambas lhe dei eu para que me temesse; com efeito, ele me temeu e tremeu por causa do meu nome. A verdadeira instrução esteve na sua boca, e a injustiça não se achou nos seus lábios; andou comigo em paz e em retidão e da iniqüidade apartou a muitos. Porque os lábios do sacerdote devem guardar o conhecimento, e da sua boca devem os homens procurar a instrução, porque ele é mensageiro do SENHOR dos Exércitos. Mas vós vos tendes desviado do caminho e, por vossa instrução, tendes feito tropeçar a muitos; violastes a aliança de Levi, diz o SENHOR dos Exércitos. Por isso, também eu vos fiz desprezíveis e indignos diante de todo o povo, visto que não guardastes os meus caminhos e vos mostrastes parciais no aplicardes a lei.” (Malaquias 2:1-9)

Pequeno Lorde Fontleroy?
(2:18-21)

“Samuel ministrava perante o SENHOR, sendo ainda menino, vestido de uma estola sacerdotal de linho. Sua mãe lhe fazia uma túnica pequena e, de ano em ano, lha trazia quando, com seu marido, subia a oferecer o sacrifício anual. Eli abençoava a Elcana e a sua mulher e dizia: O SENHOR te dê filhos desta mulher, em lugar do filho que devolveu ao SENHOR. E voltavam para a sua casa. Abençoou, pois, o SENHOR a Ana, e ela concebeu e teve três filhos e duas filhas; e o jovem Samuel crescia diante do SENHOR.”

Há um filme muito engraçadinho chamado “Pequeno Lorde Fontleroy”, no qual um nobre senhor europeu descobre que tem um herdeiro vivendo nos Estados Unidos. Ele leva o garoto para morar com ele, a fim de que um dia assuma seu lugar de posição e prestígio. Relutantemente, este senhor também leva a mãe do garoto, mas faz com que ela viva longe de sua mansão. Este rapazinho, que costumava correr pelas ruas com suas roupas maltrapilhas, agora está vestido como um nobre - pequeno Lorde Fontleroy. Ele conquista não só o coração das pessoas, pelas quais tem compaixão e demonstra generosidade (como sua mãe), mas também conquista o coração de seu avô mesquinho e carrancudo. No final, o garotinho transforma o avô num homem bondoso e gentil.

Quando leio os versos de nosso texto, não consigo deixar de pensar no “Pequeno Lorde Fontleroy”. Este texto parece muito singelo e sentimental. O retrato que nosso autor faz deste garotinho é tocante. Até posso ouvir alguém dizendo: “Não é um doce...?” É. Ana teve que deixar seu único e precioso filho em Siló, para manter seu voto. Todos os anos ela vem para a adoração, mas também vem para ver seu querido filho. E, todos os anos, ela traz uma pequena túnica carinhosamente confeccionada nos meses anteriores. É provável que ela tenha que fazer algumas alterações em suas roupas tentando calcular seu tamanho no próximo ano, para poder confeccioná-las antes de vir. Você não vê o pequeno Samuel todo bem vestido em sua roupa nova? Não é um doce?

Sim, é; o fato é que a cada ano, pelos próximos anos, Ana será acompanhada por outro filho, terminando com 3 meninos e 2 meninas - seis no total, contando com Samuel. Eli vê a triste partida de Elcana e Ana e pronuncia uma bênção sobre eles, pedindo a Deus que substitua o filho que Ana dedicou ao Senhor. Deus responde, concedendo-lhes graciosamente cinco filhos a mais. Eli também percebe que, em lugar de seus filhos inúteis, Deus lhe deu um filho para educar, um filho que deve ter sido uma alegria para o coração deste velho sacerdote.

No entanto, eis aqui mais do que um mero sentimento afetivo. Poderíamos pensar que, uma vez que Samuel vive tão longe da casa de seus pais, Ana e Elcana tenham pouca influência sobre sua vida. Creio que eles têm muita influência sobre Samuel. Se lermos I Samuel 2:19 à luz dos ensinamentos da Lei a respeito das vestes sacerdotais, Ana não está só costurando roupas para o seu garotinho, ela está costurando vestes sacerdotais para ele. Você pode ouvir Ana falando a Samuel sobre a dignidade e os deveres dos levitas sacerdotes? Não pode vê-la instruindo-o sobre a grandeza do seu chamado e o que as vestes sacerdotais pretendem transmitir? Creio que Ana tem um impacto tremendo na vida de seu filho pelas coisas que faz e, sem dúvida, por aquilo que diz. Como é que uma simples costura pode ter impacto espiritual? É melhor perguntar a Ana, ou melhor ainda, a Samuel.

Fraca Demais e Tardia Demais:
A Débil Repreensão de Eli
(2:22-25)

“Era, porém, Eli já muito velho e ouvia tudo quanto seus filhos faziam a todo o Israel e de como se deitavam com as mulheres que serviam à porta da tenda da congregação. E disse-lhes: Por que fazeis tais coisas? Pois de todo este povo ouço constantemente falar do vosso mau procedimento. Não, filhos meus, porque não é boa fama esta que ouço; estais fazendo transgredir o povo do SENHOR. Pecando o homem contra o próximo, Deus lhe será o árbitro; pecando, porém, contra o SENHOR, quem intercederá por ele? Entretanto, não ouviram a voz de seu pai, porque o SENHOR os queria matar.”

Os versos 12 a 17 falam sobre o pecado dos sacerdotes em relação à carne oferecida como sacrifício a Deus. Agora, os versos 22 a 25 falam de sua imoralidade com as mulheres que servem à porta da tenda. Estas ”mulheres" parecem ser as mesmas mencionadas em Êxodo:

“Fez também a bacia de bronze, com o seu suporte de bronze, dos espelhos das mulheres que se reuniam para ministrar à porta da tenda da congregação (Êx. 38:8).”

Hofni e Finéias são culpados de imoralidade sexual, e sabemos que pelo menos Finéias é casado (ver I Sam. 4:19). Isto é adultério e é um pecado punível com a morte. É um pecado ainda mais grave se considerarmos quem o comete e onde é cometido. Considere a perversidade dos filhos de Eli à luz da promessa de Deus aos levitas sacerdotes:

“Este será o holocausto contínuo por vossas gerações, à porta da tenda da congregação, perante o SENHOR, onde vos encontrarei, para falar contigo ali. Ali, virei aos filhos de Israel, para que, por minha glória, sejam santificados, e consagrarei a tenda da congregação e o altar; também santificarei Arão e seus filhos, para que me oficiem como sacerdotes. E habitarei no meio dos filhos de Israel e serei o seu Deus. E saberão que eu sou o SENHOR, seu Deus, que os tirou da terra do Egito, para habitar no meio deles; eu sou o SENHOR, seu Deus (Êx. 29:42-46, ênfase minha).

A porta da tenda da congregação é o lugar onde Deus se encontra com os sacerdotes, o lugar onde Deus revela Sua glória. Ali, Arão e seus filhos foram consagrados, separados para seu ofício sacerdotal. Agora, não muitos anos depois, este lugar se transforma num lugar de encontro de um tipo muito diferente, um lugar onde os filhos de Eli têm encontros com mulheres com quem cometem imoralidade sexual.

Refiro-me a esta passagem como a “repreensão de Eli” mas, na verdade, não é dito que ele repreenda seus filhos. Eli certamente nada faz para conter ou impedir a conduta pecaminosa de seus filhos. Suas palavras não têm nenhum impacto sobre sua rebeldia. Pior ainda, suas palavras são autocondenatórias. Parece que ele quer fazer seus filhos se sentirem culpados, o que obviamente não funciona. Suas palavras, no entanto, ressaltam sua própria culpa. O autor nos diz que Eli “ouvia tudo quanto seus filhos faziam a todo o Israel”. Não é por ignorância que Eli deixa de agir com rigor. Ele conhece tudo o que eles fazem, e também sabe que agem de modo arrogante, com todo o Israel. Seus pecados não são lapsos momentâneos de caráter ou conduta; são um padrão habitual, um estilo de vida.

Não é interessante que, embora Eli demonstre grande desaprovação quanto à imoralidade sexual de seus filhos, não haja menção (pelo menos em nosso texto) quanto aos pecados relativos à carne dos sacrifícios? A razão, como iremos propor adiante, talvez esteja nos versos 27-29. Enfim, as palavras de Eli a seus filhos revelam que ele entende muito bem a gravidade de seus pecados. Estes pecados não são contra o homem, mas contra Deus. São pecados deliberados, para os quais não há compensação. Estes filhos de Belial agitam os punhos na face de Deus; eles conhecem seu pecado (se não for por outra razão, é porque Eli acaba de lhes dizer ), e Eli também. No entanto, a despeito de tudo o que Eli sabe, ele não chega ao ponto de verdadeiramente fazer alguma coisa sobre isso. Amo o comentário de Dale Ralph Davis desta parte do texto:

“Eli tinha repreendido seus filhos por suas ofensas morais (v. 22-25); talvez - embora não possamos dizer pelos versos 23-25 - ele também os tenha reprovado por suas ofensas litúrgicas (v. 13-17). De qualquer forma, ele não tomou nenhuma atitude para expulsar Hofni e Finéias do ofício sacerdotal. Eli podia protestar, mas seus filhos não iam ficar desempregados. Não havia disciplina na igreja.”

“Por isso, o homem de Deus (o profeta dos versos 27-36) condena o pecado da racionalização, da disposição em tolerar o pecado, permitindo que a honra de Deus seja colocada em segundo plano, preferindo “meus filhos” a “meu Deus”. Para Eli, o sangue falou mais alto que a fidelidade.”

“Como é fácil exercer uma compaixão medrosa que nunca quer ofender ninguém, que confunde escrúpulos com amor e, por isso, ignora a lei de Deus e, principalmente, despreza sua santidade. Nem sempre buscamos a glória de Deus quando poupamos os sentimentos humanos.”

Outro Contraste com Samuel
(2:26)

“Mas o jovem Samuel crescia em estatura e no favor do SENHOR e dos homens.”

Como o sacerdócio se tornou pecaminoso! Crentes piedosos como Elcana e Ana devem ranger os dentes quando vão adorar a Deus em Siló. As coisas parecem ir de mal a pior. Eli está velho e próximo da morte. Seus dois filhos são os próximos na linha de sucessão. Com certeza os justos tremem ante este pensamento. E, mesmo assim, neste dia obscuro para Israel, um garotinho está crescendo. Os filhos de Eli estão condenados à vista de Deus; Ele tem intenção de matá-los (verso 25). Eles não são benquistos pelos crentes. Assim, há Samuel. Este jovenzinho encontra o favor de Deus e dos homens - se pelo menos os homens soubessem o que o futuro deste jovem reserva para eles e para a nação. Num dos dias mais negros da história de Israel, quando tudo parece estar se desmoronando, Deus levanta alguém que pretende usar para servi-Lo fielmente, e aos homens também. Este é Samuel. Os filhos de Eli estão em queda; Samuel está em ascensão.

Este verso soa estranhamente familiar, não é? Sabemos que Lucas usa palavras muito parecidas ao se referir a Jesus de Nazaré, quando Ele está crescendo:

“E crescia Jesus em sabedoria, estatura e graça, diante de Deus e dos homens.” (Lucas 2:52)

Por que as palavras são tão parecidas? Por que Lucas emprega a mesma descrição que o autor de I Samuel emprega ao falar do desenvolvimento de Samuel quando criança? Os dias em que nosso Senhor nasceu também foram dias negros na história de Israel. O sistema religioso se desviara da Palavra de Deus, da mesma forma que nos dias de Samuel. Mesmo assim, embora as coisas parecessem muito sombrias para Israel, um Jovem estava crescendo, praticamente desconhecido e despercebido pela nação. Esta criança era o Messias. Ele salvaria Seu povo de seus pecados. Algum dia Ele se sentaria no trono de Seu pai, Davi. E Ele, como seu tipo, Samuel, exerceria o sacerdócio de forma as libertar o povo de Deus de seus pecados.

A "Visita" de um Homem de Deus Não Identificado
(2:27-36)

“Veio um homem de Deus a Eli e lhe disse: Assim diz o SENHOR: Não me manifestei, na verdade, à casa de teu pai, estando os israelitas ainda no Egito, na casa de Faraó? Eu o escolhi dentre todas as tribos de Israel para ser o meu sacerdote, para subir ao meu altar, para queimar o incenso e para trazer a estola sacerdotal perante mim; e dei à casa de teu pai todas as ofertas queimadas dos filhos de Israel. Por que pisais aos pés os meus sacrifícios e as minhas ofertas de manjares, que ordenei se me fizessem na minha morada? E, tu, por que honras a teus filhos mais do que a mim, para tu e eles vos engordardes das melhores de todas as ofertas do meu povo de Israel? Portanto, diz o SENHOR, Deus de Israel: Na verdade, dissera eu que a tua casa e a casa de teu pai andariam diante de mim perpetuamente; porém, agora, diz o SENHOR: Longe de mim tal coisa, porque aos que me honram, honrarei, porém os que me desprezam serão desmerecidos. Eis que vêm dias em que cortarei o teu braço e o braço da casa de teu pai, para que não haja mais velho nenhum em tua casa. E verás o aperto da morada de Deus, a um tempo com o bem que fará a Israel; e jamais haverá velho em tua casa. O homem, porém, da tua linhagem a quem eu não afastar do meu altar será para te consumir os olhos e para te entristecer a alma; e todos os descendentes da tua casa morrerão na flor da idade. Ser-te-á por sinal o que sobrevirá a teus dois filhos, a Hofni e Finéias: ambos morrerão no mesmo dia. Então, suscitarei para mim um sacerdote fiel, que procederá segundo o que tenho no coração e na mente; edificar-lhe-ei uma casa estável, e andará ele diante do meu ungido para sempre. Será que todo aquele que restar da tua casa virá a inclinar-se diante dele, para obter uma moeda de prata e um bocado de pão, e dirá: Rogo-te que me admitas a algum dos cargos sacerdotais, para ter um pedaço de pão, que coma.”

Com poucas exceções, a expressão “homem de Deus” é quase sempre empregada se referindo a um profeta. Os dias em que “a palavra do SENHOR era mui rara” (I Sam. 3:1) foram uma verdadeira ocasião para um profeta falar aos homens diretamente da parte de Deus. Em nosso texto, um profeta sem nome aparece para censurar as falhas de Eli - ou melhor, sua recusa - em lidar decididamente com seus filhos. Nos versos 27-29, o profeta coloca o sacerdócio dentro da perspectiva histórica e teológica correta. Ele relembra o passado, no tempo em que o sacerdócio araônico e levítico foi estabelecido no êxodo. Daí, nos versos 30-34, ele reflete sobre o futuro, profetizando a respeito do castigo que Deus suscitará sobre Eli e sua casa. Então, nos versos 35 e 36, ele se refere a um futuro um pouco mais distante, quando Deus edificará uma nova casa de sacerdotes. Vamos considerar os três pontos da mensagem deste profeta sem nome.

Certa vez ameacei escrever um trabalho intitulado “Pensamento Bíblico”. As Escrituras empregam diversas linhas de pensamento; uma delas é o que chamo de “idéia original”. A idéia original consiste no raciocínio que volta à origem da questão e segue daí em diante. Por exemplo, quando Jesus foi questionado pelos fariseus a respeito do divórcio, eles Lhe perguntaram: “É lícito ao marido repudiar a sua mulher por qualquer motivo?” (Mt. 19:3). Alguns pensavam que o marido poderia se divorciar de sua esposa por uma razão qualquer. Outros eram mais rigorosos. Mas, todos os que ali estavam ficaram chocados com a firmeza da posição assumida pelo Senhor. Quero chamar a atenção para o raciocínio de Jesus:

“Então, respondeu ele: Não tendes lido que o Criador, desde o princípio, OS FEZ HOMEM E MULHER e que disse: POR ESTA CAUSA DEIXARÁ O HOMEM PAI E MÃE E SE UNIRÁ A SUA MULHER, TORNANDO-SE OS DOIS UMA SÓ CARNE? De modo que já não são mais dois, porém uma só carne. Portanto, o que Deus ajuntou não o separe o homem.” (Mateus 19:4-6)

O raciocínio dos fariseus está fora do contexto de sua própria cultura, de seus dias e de sua época, e de seus próprios valores. Jesus os desafia a pensar na questão do divórcio com base na “idéia original”. No princípio, quando Deus criou o mundo e a raça humana, Ele também criou a instituição do casamento. “Como”, Jesus pergunta a seus oponentes, “se pretendia que o casamento funcionasse originalmente? O que Deus pretendia que o casamento fosse quando o criou?” Deus queria que um homem e uma mulher se unissem e jamais se separassem, exceto pela morte. “Pode um homem se divorciar de sua esposa por qualquer motivo?” A resposta de Jesus nos força a concluir que, de acordo com a idéia original, “Deus nunca pretendeu que o homem se divorciasse de sua esposa, por qualquer motivo que fosse”.

Mediante um profeta sem nome, Deus desafia Eli (e o leitor) a pensar na idéia original. Os problemas de Eli, e de seus filhos, são problemas relativos ao sacerdócio. A solução para estes problemas é um novo sacerdote (Samuel) e uma nova casa (ou dinastia) de sacerdotes. “Portanto”, desafia o profeta, “como era originalmente o sacerdócio?” O sacerdócio levítico foi introduzido quando os israelitas ainda estavam no cativeiro do Egito. É lá que Deus designa Arão como sacerdote.

É lá que a “casa” sacerdotal de Arão é estabelecida. A palavra “casa” é repetida diversas vezes por boas razões. Deus não designa só Arão como sacerdote, ele também designa seus filhos e os filhos de seus filhos, a “casa” de Arão. Como é que Eli pode ter pleno conhecimento dos pecados cometidos por seus filhos como sacerdotes e não ficar preocupado o suficiente para tratar adequadamente de sua “casa”? O sacerdócio não é apenas um assunto individual, é um assunto da “casa”, que envolve todos os membros da família (ver Levítico 21:1-9). Deus constituiu uma “casa” para Arão e seus descendentes, e Eli faz parte desta casa. Ele precisa urgentemente administrar sua “casa”.

Os pronomes pessoais abundam nos versos 27-29, e a maior parte deles se refere a Deus. Três vezes nos versos 27 e 28 Deus diz por meio do profeta: “Eu não...”. Deus Se revela a Arão. Deus escolhe Arão e designa sua casa para que O sirvam como sacerdotes. Deus dá aos sacerdotes uma “porção” dos sacrifícios para sustentá-los em seu ministério. A idéia original requer a conclusão de que o sacerdócio é “de Deus”, que o criou, estabeleceu e atribuiu regras e regulamentos que o governam. Conseqüentemente, Deus fala em “Meu sacrifício”, “Minha oferta”, “Minha morada”, “Meu povo” e, por inferência, “Minha glória”, a glória que é devida a Ele pelos sacerdotes por tudo o que Ele fez em relação ao seu sacerdócio.

É aí que Eli erra. Eli honra mais a seus filhos do que a Deus (verso 29). Ele parece temer enfrentar seus filhos e tratá-los com rigor, pois eles poderiam odiá-lo e até mesmo desprezá-lo. Sendo o tipo de filhos que são, poderiam até matá-lo. Eli teme mais a seus filhos do que a Deus. Ele quer sua aprovação e afeição mais do que a aprovação e afeição de Deus... Como pode? O verso 29 sugere o porquê de Eli ser tão omisso e passivo quanto aos pecados de seus filhos. Deus diz: “Por que pisais aos pés os meus sacrifícios e as minhas ofertas de manjares, que ordenei se me fizessem na minha morada? E, tu, por que honras a teus filhos mais do que a mim, para tu e eles vos engordardes das melhores de todas as ofertas do meu povo de Israel?” (verso 29).

Sei que serei visto como politicamente incorreto, mas creio que interpreto acuradamente o que Deus diz a Eli pelo profeta. Não falo por maldade, mas Eli é um homem muito gordo (ver 4:18). Não estou fazendo nenhuma alusão negativa sobre pessoas acima do peso (entre as quais devo estar incluído). Mas parece que Deus diz a Eli: “Olhe-se no espelho, Eli. Você engordou como sacerdote! Pense no que teria acontecido. Você e seus filhos se tornaram obesos por causa da carne que têm comido, a carne que conseguiram injustamente como sacerdotes.”

Nosso texto nos diz que Eli ouvia “tudo” o que seus filhos faziam a todo Israel. Portanto, ele sabe como seus filhos conseguem a carne. Ele conhece sua imoralidade. Em nosso texto, ele repreende seus filhos pela imoralidade sexual, mas não diz nada a respeito dos métodos usados para conseguir carne. Talvez Eli esteja velho e seus sentidos estejam embotados, mas creio que ele sabe a diferença entre carne grelhada e carne cozida. Tenho certeza que ele conhece a diferença entre uma carne assada e um filé. Talvez ele não diga nada sobre o pecado de seus filhos com relação aos métodos de conseguir da carne porque ele também a come. Ele se beneficia pessoalmente dos pecados de seus filhos e, em vez de tomar uma atitude enérgica quanto a eles, ele é passivo. Deus o relembra de que todos os benefícios e bênçãos de seu sacerdócio vêm Dele - não de seus filhos. Por isso, Eli fará bem se honrar a Deus mais do que a seus filhos, em vez de continuar a honrá-los (os filhos de Belial) mais do que a Deus, deixando de discipliná-los por seus pecados. Eli injustamente censura Ana por achar que ela esteja embriagada, mas não consegue repreender seus próprios filhos pela maneira como adquirem a carne. Ele está relutante em dar um fim ao sistema que o sustenta, ao sistema que o faz engordar.

O pecado de Eli é exposto e explicado. As bênçãos do sacerdócio vêm de Deus. Deus é o único a quem ele deve honrar. Os filhos de Eli precisam ser repreendidos. Mas, devido às “vantagens” que ele goza com o pecado de seus filhos - e que ele tem medo de perder - ele se recusa a tratar o pecado de seus filhos como deveria. Assim, O julgamento de Deus vem não só sobre ele, mas sobre sua “casa”, um julgamento descrito nos versos 30-34:

“Portanto, diz o SENHOR, Deus de Israel: Na verdade, dissera eu que a tua casa e a casa de teu pai andariam diante de mim perpetuamente; porém, agora, diz o SENHOR: Longe de mim tal coisa, porque aos que me honram, honrarei, porém os que me desprezam serão desmerecidos.” (I Sam. 2:30)

Deus quebrará Sua promessa? De forma alguma. Em primeiro lugar, precisamos lembrar que a promessa de Deus é uma aliança que Eli e seus filhos quebram em virtude de seus pecados. Deus diz que alguns de sua “casa” irão morrer. Especificamente, Hofni e Finéias irão morrer, no mesmo dia (verso 34). Mas Deus não cortará todos os descendentes de Eli:

“O homem, porém, da tua linhagem a quem eu não afastar do meu altar será para te consumir os olhos e para te entristecer a alma; e todos os descendentes da tua casa morrerão na flor da idade.” (verso 33)

Eli e seus filhos “engordaram” com os sacrifícios? Eles só comem as melhores partes? Isso vai mudar:

“Será que todo aquele que restar da tua casa virá a inclinar-se diante dele, para obter uma moeda de prata e um bocado de pão, e dirá: Rogo-te que me admitas a algum dos cargos sacerdotais, para ter um pedaço de pão, que coma.” (verso 36)

Deus vai empobrecer a “casa” de Eli, mas eles ainda vão servir como sacerdotes. Deus tirará sua “força” e os tornará “fracos” (verso 31). Não será uma bela visão, mas todos verão que Deus não permitirá que Seu sacerdócio seja manchado indefinidamente.

Os versos 30-34 descrevem o juízo que Deus está prestes a trazer sobre Eli e seus filhos, a “casa” de Eli. Os versos 35 e 36 falam da bênção que Deus trará sobre Israel pela ascensão de um “sacerdote fiel” e de uma “casa estável” de sacerdotes (verso 35). Se a “casa” de Eli receber alguma bênção, será somente pela submissão a este “sacerdote fiel” (verso 36).

Isto levanta duas questões: quem é este “sacerdote fiel”, e qual é esta ”casa estável” de sacerdotes? As palavras do verso 35 soam familiares àquelas de II Samuel 7, conhecidas como a “Aliança Davídica”:

“Prepararei lugar para o meu povo, para Israel, e o plantarei, para que habite no seu lugar e não mais seja perturbado, e jamais os filhos da perversidade o aflijam, como dantes, desde o dia em que mandei houvesse juízes sobre o meu povo de Israel. Dar-te-ei, porém, descanso de todos os teus inimigos; também o SENHOR te faz saber que ele, o SENHOR, te fará casa. Quando teus dias se cumprirem e descansares com teus pais, então, farei levantar depois de ti o teu descendente, que procederá de ti, e estabelecerei o seu reino. Este edificará uma casa ao meu nome, e eu estabelecerei para sempre o trono do seu reino. Eu lhe serei por pai, e ele me será por filho; se vier a transgredir, castigá-lo-ei com varas de homens e com açoites de filhos de homens. Mas a minha misericórdia se não apartará dele, como a retirei de Saul, a quem tirei de diante de ti. Porém a tua casa e o teu reino serão firmados para sempre diante de ti; teu trono será estabelecido para sempre. Segundo todas estas palavras e conforme toda esta visão, assim falou Natã a Davi.” (II Sam. 7:10-17)

A “casa” de Eli é como a “casa” de Saul, exceto que, enquanto a casa de Eli continua em declínio, a casa de Saul chega ao fim com relação ao seu reino. No entanto, ainda que os descendentes de Eli continuem a servir como sacerdotes, eles estarão sujeitos a um sacerdote superior. Quem é este sacerdote superior? E por que Deus faz uma aliança que terá uma “casa estável”?

A resposta tem duas partes. Creio que haja um cumprimento imediato e outro mais distante, eterno, para a aliança sacerdotal feita por Deus em nosso texto. Primeiro, Deus proverá Seu povo com uma “casa” de sacerdotes superior à casa de Eli e seus filhos, e isto acontecerá num futuro de Israel não muito distante (da perspectiva de Eli). O sacerdócio levítico vem da linhagem de Arão, um descendente de Levi (ver Êxodo 2:1 e ss). Quando Arão é feito sumo sacerdote, seus dois filhos, Nadabe e Abiú servem sob ele. Quando eles são mortos devido ao “fogo estranho” que oferecem, os dois outros filhos de Arão, Eleazar e Itamar, são designados em lugar de seus irmãos (Levítico 10). A linhagem sacerdotal de Arão, portanto, continua por meio destes dois filhos sobreviventes, Eleazar e Itamar. Originalmente, o sumo sacerdócio vem pela descendência de Eleazar, mas Eli, que serve como sumo sacerdote, é descendente de Itamar. A profecia deste profeta sem nome parece inicialmente ser cumprida quando Samuel se torna sacerdote em lugar de Eli; tempos depois, no reinado de Davi, Zadoque, descendente de Eleazar, será feito sumo sacerdote (I Reis 1:7-8; I Crônicas 16:4-40). No Reino do Milênio, os “filhos de Zadoque” servirão como sacerdotes (Ezequiel 44:15; 48:11).

Segundo, creio que o cumprimento final desta profecia é nosso Senhor Jesus Cristo, tal como Ele é o cumprimento final da aliança do Senhor com Davi. A história de Israel mostra que nenhum rei humano é digno de um reino eterno, de um reino sem fim. Ninguém é digno - nem Davi, nem Salomão, nem qualquer outro, exceto o "Rei dos Judeus", nosso Senhor Jesus Cristo, que veio para "se sentar no trono de Seu pai, Davi". Ele é o cumprimento total e final da Aliança Davídica. Da mesma forma, nosso Senhor é o cumprimento total e final da aliança sacerdotal de nosso texto. Jamais houve na história de Israel um sacerdote digno de servir eternamente como sacerdote - nem Eli, e nem Samuel. Mesmo que Deus esteja prestes a dar a Israel sacerdotes superiores a Eli e seus filhos, Ele dará a Seu povo, num dia ainda por vir, um sacerdote perfeito, o Senhor Jesus Cristo, o último e perfeito profeta, sacerdote e rei.

Conclusão

Como mencionei no início desta lição, nosso texto tem muito a nos ensinar sobre educação de filhos. Mais precisamente, nosso texto chama a atenção para a maneira como os pais lidam com filhos adultos que são rebeldes e desobedientes a Deus. Podemos dizer que muitos dos problemas tratados de maneira errada por Eli com relação a seus filhos são conseqüências de suas falhas em tratá-los adequadamente quando crianças. Mas também é possível que filhos educados num lar bastante piedoso possam se desviar do caminho, como os filhos de Eli. A questão em nosso texto é que Eli não consegue lidar com seus filhos de forma apropriada como sumo sacerdote e juiz da nação de Israel. Eli deveria ter tratado seus filhos da mesma maneira que teria tratado qualquer outro homem que fosse sacerdote e fosse sexualmente imoral, que desonrasse a Deus, profanasse o sacerdócio e não atendesse à sua admoestação. Eli não consegue lidar direito com seus filhos porque são seus filhos, e ele permite que este fato seja um fardo para todos os outros. Vamos rever primeiramente o fracasso de Eli em lidar com seus filhos.

(1) Eli não consegue instruir seus filhos na Lei do Senhor, especialmente nos costumes dos sacerdotes.

(2) Eli parece “cego” aos pecados que estão bem debaixo do seu nariz - pecados sobre os quais ele deve ouvir de muitos israelitas. Esses pecados ocorrem nos mesmos lugares em que Eli esteve, ou deveria estar, em seu ministério sacerdotal. É quase inconcebível que ele não tenha percebido. Contudo, devo dizer que vejo muitos pais cujos filhos agem de forma errada diante deles, mas eles não conseguem ver seus erros. Receio que todos nós sejamos tentados a fazer vista grossa para as coisas que simplesmente não queremos ver. Eli está literalmente cego mas, com certeza, não está surdo. Ele não tem como deixar de saber o que acontece, a menos, é claro, que ele realmente não queira saber.

(3) Eli espera demais para corrigir os pecados de seus filhos. Mesmo depois de todo o Israel lhe contar sobre os pecados de seus filhos, Eli não age com muita rapidez. Sua tímida palavra de desaprovação e advertência é fraca demais e tardia demais. Tem-se a nítida impressão de que os pecados que se tornaram uma prática normal na vida de seus filhos são os mesmos evidenciados muito tempo antes, quando poderiam ter sido “cortados pela raiz”. Paternidade e procrastinação não se misturam.

(4) Eli não faz nada a seu alcance para corrigir seus filhos - ou, pelo menos, para opor-se à sua conduta pecaminosa. Uma coisa é Eli não saber o que seus filhos estão fazendo. Pelo menos seria compreensível se ele ignorasse a seriedade de seu pecado. Mas, pelas suas próprias palavras, sabemos que ele tem pleno conhecimento da sua gravidade. Ele sabe que a atitude dos filhos é pecaminosa, e que são pecados contra Deus. No entanto, quando seus filhos desprezam sua admoestação, ele simplesmente deixa de empregar outros meios à sua disposição. Ele deveria, e poderia, ter apedrejado seus filhos. Ele poderia tê-los removido do sacerdócio. Mas ele nada faz para pará-los depois que eles rejeitam sua admoestação.

Hoje, vejo pais torcendo as mãos da mesma forma que Eli, quando seus filhos se recusam a obedecê-los. Seus filhos não são todo músculos, com 2 metros de altura e 115 kg. Muitas vezes são crianças de 5 anos de idade, e os pais têm muitas opções. No entanto, depois de uma repreensão, quando a criança obstinadamente se recusa a obedecer, eles erguem os ombros como se dissessem: “O que mais posso fazer?” Preciso mesmo lhe dizer? Leia Provérbios; você pensará em alguma coisa.

(5) Eli não quer fazer com seus filhos aquilo que tem autoridade para fazer - porque não quer pagar o preço. Vamos admitir. Quando você e eu deixamos de disciplinar nossos filhos não é porque não tomamos a atitude que podemos tomar; não é porque não sabemos o que deveríamos fazer. É porque não estamos dispostos a pagar o preço de fazer a coisa certa - de fazer o que é melhor para nossos filhos e para nós. Talvez Eli receie perder o pequeno relacionamento que tem com seus filhos. Talvez tema perder o respeito por tomar uma atitude pública. Ele pode muito bem estar receoso de ter que voltar a comer o tipo de carne que não gosta. Ele tem medo de disciplinar seus filhos porque precisa demais daquilo que eles lhe dão, e que ele não quer perder.

(6) Eli não lida apropriadamente com seus filhos, mesmo quando é claramente advertido e instruído por Deus por meio de profecias, nem mesmo quando tem pleno conhecimento das conseqüências da falta de arrependimento e obediência com relação a seus filhos. Eli não pode alegar ignorância. Ele sabe que seus filhos são culpados. Ele será repreendido duas vezes por um profeta de Deus (o profeta sem nome do capítulo 2 e Samuel no capítulo 3). Ele não faz a coisa certa nem quando o próprio Deus chama sua atenção por sua desobediência.

(7) Eli honra muito mais a seus filhos do que a Deus. Este é o ponto principal, à vista de Deus. Eli está mais preocupado com seu relacionamento com seus filhos do que com seu relacionamento com Deus. Nosso Senhor Jesus deixou bem clara a questão dos relacionamentos:

"Não penseis que vim trazer paz à terra; não vim trazer paz, mas espada. Pois vim causar divisão entre o homem e seu pai; entre a filha e sua mãe e entre a nora e sua sogra. Assim, os inimigos do homem serão os da sua própria casa. Quem ama seu pai ou sua mãe mais do que a mim não é digno de mim; quem ama seu filho ou sua filha mais do que a mim não é digno de mim; e quem não toma a sua cruz e vem após mim não é digno de mim. Quem acha a sua vida perdê-la-á; quem, todavia, perde a vida por minha causa achá-la-á.” (Mateus 10:34-39)

Nosso texto bate “em nossa porta” em diversos aspectos. Talvez pensemos que a conduta de Eli e seus filhos como sacerdotes não tenha nada a ver conosco, cristãos contemporâneos. Precisamos relembrar que também somos sacerdotes:

“Também vós mesmos, como pedras que vivem, sois edificados casa espiritual para serdes sacerdócio santo, a fim de oferecerdes sacrifícios espirituais agradáveis a Deus por intermédio de Jesus Cristo.” (I Pedro 2:5)

Também devemos relembrar que, embora Eli e seus filhos (e Samuel) ministrem no “templo de Deus” (I Samuel 3:3), o “lugar da morada de Deus”, nós somos “templo de Deus”, Sua “morada” e, quando causamos algum dano à Sua “morada”, esta é uma das coisas mais graves para Deus:

“Assim, já não sois estrangeiros e peregrinos, mas concidadãos dos santos, e sois da família de Deus, edificados sobre o fundamento dos apóstolos e profetas, sendo ele mesmo, Cristo Jesus, a pedra angular; no qual todo o edifício, bem ajustado, cresce para santuário dedicado ao Senhor, no qual também vós juntamente estais sendo edificados para habitação de Deus no Espírito.” (Efésios 2:19-22)

“Não sabeis que sois santuário de Deus e que o Espírito de Deus habita em vós? Se alguém destruir o santuário de Deus, Deus o destruirá; porque o santuário de Deus, que sois vós, é sagrado.” (I Co. 3:16-17)

Não é de se estranhar que a conduta dos cristãos de Corinto (ver I Co. 5 e 6) e, especialmente sua conduta na igreja (ver I Co. 11:17 e ss), seja tão grave para Deus.

Nós, como Eli, precisamos educar nossos filhos na “disciplina e instrução do Senhor” (Ef. 6:4). Não devemos apenas instruir e admoestar nossos filhos, precisamos corrigi-los. Isto inclui o uso da “vara” de Provérbios. Esta não é uma licença para excessos e abusos, e os abusos não são desculpas para deixar de castigar um filho desobediente, quando a vara é um dos meios mais eficazes de correção. Muitos pais são controlados por seus filhos ao invés de mantê-los sob controle. E, mesmo quando nossos filhos estiverem crescidos, ainda seremos responsáveis por tratar biblicamente de seus pecados.

Para nós, pais, o ponto de partida é abrir mão de nossos filhos. Nosso Senhor diz que devemos tomar nossa cruz, que devemos morrer para nós mesmos, que devemos perder nossa vida para ganhá-la. Precisamos fazer o mesmo com nossos filhos. Estou começando a entender porque o grande teste de fé de Abraão foi se dispor a sacrificar seu filho (Gênesis 22). Vejo porque Jacó, que não queria perder seu filho José, e que se recusou a perder seu filho Benjamim, teve que abrir mão deles para poder ser “salvo” da fome (ver Gn. 37-45). Devemos fazer o mesmo. Não devemos achar que nossos filhos são a nossa vida, mas nosso Deus e, especialmente, nosso Salvador, Jesus Cristo. Em comparação com nosso amor por Deus, devemos “detestar” nossos filhos. Só assim ficaremos livres para tratá-los de forma que seja para o seu bem e para o nosso, e para a glória de Deus.

Pode acontecer dos filhos terem que disciplinar seu pai ou sua mãe. Como igreja, temos a dolorosa experiência de exercer a disciplina sobre o pecador renitente (ver Mateus 18:15-20). Quando aquele que está sob disciplina é um pai (ou mãe), há implicações e obrigações para os filhos, especialmente para os filhos mais velhos. Um filho ter que corrigir o pai não é nem um pouco mais fácil do que um pai ter que corrigir o filho. Mas, quando temos conhecimento do pecado - e das Escrituras que prescrevem nossa atitude diante dele - somos forçados a agir. Se nos recusarmos, como Eli, então nossa falha também será pecado.

A disciplina de que falamos se aplica à “família” maior, a igreja. Quando um “irmão” peca (ver Mateus 18:15), é nossa obrigação repreendê-lo, com vistas a seu arrependimento. Muitos cristãos preferem, como Eli, fechar os olhos e esperar que o problema se vá. Ele não irá; só ficará maior. Nossa culpa só aumenta com o tempo que deixamos passar sem agir em obediência à Palavra de Deus.

Que Deus possa nos conceder a graça de aprendermos de Eli e seus filhos, em vez de aprendermos com eles. Graças a Deus que Aquele que nos ordena a instruir e corrigir nossos filhos tem nos dado o exemplo pela maneira que nos trata como Seus filhos. Agradeçamos a Deus que Aquele que requer de nós que eduquemos nossos filhos de maneira piedosa é Aquele que nos dá a graça para fazê-lo. A Deus seja a glória!

From the series: 1 Samuel (Portuguese)
From the series: 1 Samuel (Portuguese)

4. A Ascensão de Samuel e a Queda dos Filhos de Eli (I Samuel 3:1 - 4:22)

Introdução

Talvez você já tenha ouvido a história de um homem que passou seu primeiro dia na prisão. Ao anoitecer, os internos se reuniram no pátio. Enquanto um homem gritava um número, o restante caía na risada. Outro número era chamado, e mais risadas ainda. E assim foi a noite. Quando o homem retornou à sua cela, virou-se para seu companheiro e perguntou: “O que foi que aconteceu lá fora?” “Oh”, respondeu o outro “é assim que contamos piadas por aqui. Veja, nós já conhecemos todas as piadas, e já as ouvimos centenas de vezes. Assim, em vez de perder tempo contando-as de novo, nós colocamos números nelas. Quando alguém grita um número, todo mundo sabe qual é a piada, e todo mundo ri”.

Na noite seguinte, aconteceu a mesma coisa. Depois que alguns números foram chamados e todo mundo riu, o neófito pensou que poderia experimentar a brincadeira. Num momento de silêncio, ele gritou um número. Ninguém riu. O novo interno ficou confuso, mas ficou em silêncio até retornar à sua cela. “O que aconteceu?”, perguntou a seu companheiro de cela. “Por que ninguém riu?” “Bem!”, disse o outro, “Sabe como é... algumas pessoas podem dizer, outras não.”

Quando chegamos à história do chamado de Samuel em I Samuel 3, sinto-me quase como se pudesse gritar um número:

Um - Noé e a arca

Dois - Moisés no cestinho no Rio Nilo

Três - Davi e Golias

Quatro - Jonas e o grande peixe

Cinco - a travessia do Mar Vermelho

Seis - Daniel na cova dos leões

Sete - o chamado de Samuel

Todos nós pensamos que conhecemos muito bem a história do chamado de Samuel. Já a ouvimos, ou contamos, muitas vezes. Tudo o que preciso fazer é gritar um número, e esta lição estará pronta. Talvez não devamos ser tão apressados, pois podemos apenas pensar que a conhecemos muito bem. Nossa lição focaliza algumas dimensões um tanto incomuns deste acontecimento, as quais podem ser a chave para o entendimento do significado e da mensagem do texto.

Vemos em I Samuel 3 o relato da ascensão de Samuel à posição de profeta, um fato reconhecido e aceito por todos os israelitas. No capítulo 4, chegamos à narrativa da derrota de Israel e da morte de Eli, seus dois filhos e sua nora. Nos capítulos 2 e 3, Deus anuncia por meio de profecia o juízo sobre Eli e sua casa. Este juízo ocorre no capítulo 4. No capítulo 3, vemos as mãos de Deus em ação, preparando Samuel para um importante papel na liderança de Israel, e no capítulo 4, vemos o afastamento de Eli e seus filhos, a fim de que Samuel assuma a liderança para a qual Deus o preparou.

O Chamado de Samuel
(3:1-14)

“O jovem Samuel servia ao SENHOR, perante Eli. Naqueles dias, a palavra do SENHOR era mui rara; as visões não eram freqüentes. Certo dia, estando deitado no lugar costumado o sacerdote Eli, cujos olhos já começavam a escurecer-se, a ponto de não poder ver, e tendo-se deitado também Samuel, no templo do SENHOR, em que estava a arca, antes que a lâmpada de Deus se apagasse, o SENHOR chamou o menino: Samuel, Samuel! Este respondeu: Eis-me aqui! Correu a Eli e disse: Eis-me aqui, pois tu me chamaste. Mas ele disse: Não te chamei; torna a deitar-te. Ele se foi e se deitou. Tornou o SENHOR a chamar: Samuel! Este se levantou, foi a Eli e disse: Eis-me aqui, pois tu me chamaste. Mas ele disse: Não te chamei, meu filho, torna a deitar-te. Porém Samuel ainda não conhecia o SENHOR, e ainda não lhe tinha sido manifestada a palavra do SENHOR. O SENHOR, pois, tornou a chamar a Samuel, terceira vez, e ele se levantou, e foi a Eli, e disse: Eis-me aqui, pois tu me chamaste. Então, entendeu Eli que era o SENHOR quem chamava o jovem. Por isso, Eli disse a Samuel: Vai deitar-te; se alguém te chamar, dirás: Fala, SENHOR, porque o teu servo ouve. E foi Samuel para o seu lugar e se deitou. Então, veio o SENHOR, e ali esteve, e chamou como das outras vezes: Samuel, Samuel! Este respondeu: Fala, porque o teu servo ouve. Disse o SENHOR a Samuel: Eis que vou fazer uma coisa em Israel, a qual todo o que a ouvir lhe tinirão ambos os ouvidos. Naquele dia, suscitarei contra Eli tudo quanto tenho falado com respeito à sua casa; começarei e o cumprirei. Porque já lhe disse que julgarei a sua casa para sempre, pela iniqüidade que ele bem conhecia, porque seus filhos se fizeram execráveis, e ele os não repreendeu. Portanto, jurei à casa de Eli que nunca lhe será expiada a iniqüidade, nem com sacrifício, nem com oferta de manjares.”

O verso um se refere a Samuel como “jovem”, um termo de uso bastante flexível, podendo se referir a um recém nascido ou a um garoto. Aqui em nosso texto, entendo que se refira a Samuel como um garoto de uns 12 anos de idade. Parece que muitos anos se passaram desde o final do capítulo 2 e que o capítulo 3 encontra Samuel em sua adolescência.

O escritor nos informa que “Naqueles dias, a palavra do SENHOR era mui rara; as visões não eram freqüentes” (verso 1). Naquela época, os homens não escutavam a Deus e Deus não falava com muita freqüência. Este “silêncio” quase sempre era uma forma de juízo divino e, se não fosse quebrado, significava a ruína de Israel (ver I Sam. 28; Sl. 74:9; Is. 29:9-14; Mq. 3:6-7; também Pv. 29:18). Está escrito que a profecia era rara para que vejamos o chamado de Samuel como o fim do silêncio de Deus (ver I Sam. 3:19-21).

Os detalhes fornecidos nos versos 2, 3 e 7 nos ajudam a entender o contexto dos acontecimentos do capítulo 3. Samuel está deitado no lugar de costume no tabernáculo, não muito longe da Arca da Aliança, que fica dentro do Santo dos Santos. Eli dorme em outro lugar, não muito distante, para que Samuel possa ouvi-lo quando ele chamar. Como o autor nos informa, os olhos de Eli estão bem ruins, de modo que sua visão já está bastante afetada (ver também 4:15). Devido à sua idade, peso e dificuldades visuais, Eli precisa do auxílio de um jovem como Samuel. Samuel pode levar-lhe água ou prestar-lhe outros serviços. Nada mais natural para Samuel do que presumir que um chamado tarde da noite venha de seu mestre, Eli.

Pela afirmação do autor no verso 3, sabemos que o chamado de Samuel acontece de madrugada, pois ele nos diz que “antes que a lâmpada de Deus se apagasse.” A lâmpada é o candelabro de ouro, com suas sete lâmpadas que devem “ficar continuamente acesas” (Ex. 27:20-21). Não quer dizer que elas fiquem acesas 24 horas por dia, mas que de noite estão sempre acesas. As palavras de II Crônicas 13:11 deixam isto bem claro:

“Cada dia, de manhã e à tarde, oferecem holocaustos e queimam incenso aromático, dispondo os pães da proposição sobre a mesa puríssima e o candeeiro de ouro e as suas lâmpadas para se acenderem cada tarde, porque nós guardamos o preceito do SENHOR, nosso Deus; porém vós o deixastes.”

De dia não é necessário que a lâmpada fique acesa; no entanto, o óleo é preparado durante o dia para que as lâmpadas sejam acesas antes de escurecer. Elas ficarão acesas à noite toda e serão apagadas ao amanhecer. Uma vez que a lâmpada de Deus não foi apagada, sabemos que Deus chama Samuel quando ainda está escuro, de madrugada.

Como os filhos de Eli, Samuel não conhece o Senhor (compare I Sam. 2:12 com 3:7). A diferença entre eles é que Samuel ainda não conhece o Senhor. É óbvio que os filhos de Eli não conheciam a Deus, e nunca O conheceriam. É importante notar, no entanto, que Samuel ainda não é salvo na época de seu chamado. Ele, como Saulo (Paulo) no Novo Testamento (ver Atos 9), é salvo e chamado durante seu encontro com Deus.

Nas duas primeiras vezes em que é chamado por Deus, o jovem Samuel presume que esteja ouvindo a voz de Eli, seu mestre. Faz sentido, principalmente se Eli de vez em quando pedir a ajuda de Samuel durante a noite. Somente no terceiro chamado Eli, finalmente, compreende a situação e percebe que Deus está chamando Samuel para lhe revelar Sua Palavra. Quando Deus o chama novamente, Samuel responde de acordo com as instruções de Eli. Uma parte dessa primeira revelação (se não toda ela) está registrada nos versos 11-14.

Deus anuncia a Samuel que o que Ele está prestes a fazer fará tinir os ouvidos daqueles que ouvirem as novas, ambos os ouvidos! Isto não é nenhum exagero. Quando Eli ouve, ele desmaia, resultando na sua morte (ver 4:18). A mensagem dirigida a Eli parece ser pessoal. É mais ou menos como a profecia revelada por Deus em 2:27-36, exceto que este profeta é identificado. Na verdade, o profeta será o substituto de Eli na função de profeta, sacerdote e juiz. A profecia do capítulo 2 é mais distante, devendo ter sido entregue muitos anos antes da derrota de Israel descrita no capítulo 4. A profecia dada por Samuel parece falar da derrota de Israel e da morte dos filhos de Eli como um acontecimento iminente.

A mensagem entregue a Samuel se concentra mais no pecado de Eli do que nos pecados de seus filhos. Mais especificamente, Deus revela que está julgando Eli e sua casa porque Eli conhece os pecados de seus filhos e nada faz para impedi-los. Em termos contemporâneos, Eli é um “facilitador”. Ele facilita o comportamento pecaminoso de seus filhos em vez de resistir e se opor a ele.

Fico desapontado com a tradução do verso 13 da versão NASB:

“Pois lhe digo que estou prestes a julgar sua casa pela iniqüidade que ele bem sabe, pois seus filhos trouxeram maldição sobre si mesmos e ele não os repreendeu.”

Parece claro que Eli realmente admoesta seus filhos, conforme lemos em 2:22-25. Embora a palavra “repreensão” esteja ausente, este é o sentido de suas palavras. Não creio que Deus julgue Eli por deixar de repreender seus filhos, mas por deixar de ir além de uma simples repreensão verbal quando se recusam a escutá-lo.

O contexto certamente levanta questões quanto à palavra “repreender” em 3:13, e um estudo de concordância mostra que estas questões merecem consideração. O termo usado é digno de nota. Em nenhum outro lugar do Velho Testamento (na versão NASB) é traduzido por “repreender” e aqui não deveria ter sido interpretado assim. Curiosamente, é a mesma palavra encontrada no verso 2 do mesmo capítulo (3) com referência à deficiência visual de Eli. É usado com relação à visão de Moisés, que é boa (Dt. 34:7), e à visão enfraquecida de Isaque (Gn. 27:1) e de Jó (17:7). O termo tem o sentido normal de enfraquecimento, escurecimento ou debilidade. É o termo usado em Isaías 42:3 para o pavio queimado, que o Senhor não extinguirá, e para o espírito do Messias, que não será abatido.

Como, então, os tradutores chegaram ao termo “repreender”? Receio que tenham sido influenciados demais pela tradução da LXX (a tradução grega do Antigo Testamento Hebraico). Os tradutores da Septuaginta (LXX) optaram por traduzir o termo hebraico de nosso texto com a palavra grega noutheo, a palavra que Jay Adams emprega para caracterizar seu método de aconselhamento, que ele chama de aconselhamento nouthético. Noutheo significa admoestação ou repreensão. Este, no entanto, não parece ser o sentido principal do termo hebraico ou do significado exigido pelo contexto.

Creio que as melhores traduções sejam as da Versão King James, Nova Versão King James, NVI (principalmente), Versão Padrão Americana, Versão Revista, Nova Versão Revista e outras; todas as que empregam o termo “refrear”. Em nosso texto, é como se o autor fizesse um jogo de palavras. Os olhos de Eli estão obscurecidos; mal podem enxergar. Ele não vê com clareza a conduta de seus filhos. Usando a analogia da luz, os pecados de seus filhos são como um farol alto. Talvez ele não possa apagar a “luz” de seus pecados, mas ele pode diminuir seu efeito. Ele pode fazer algumas restrições como, por exemplo, tirá-los do sacerdócio. Ele pode criar-lhes dificuldades para pecar. Em vez disso, Eli facilita seus pecados, e é por isto que Deus o trata, e a toda a sua casa, com tanta severidade.

O verso 14 demonstra que o pecado da casa de Eli está agora além do arrependimento; o juízo de Deus é iminente. Não há nenhum sacrifício ou expiação que endireite a situação, só o juízo. Em termos simples, Eli e seus filhos fizeram “um caminho sem volta”. Eles se recusam a se arrepender e o juízo está próximo. E isto porque os pecados de Eli e seus filhos são cometidos com “arrogância”; pecados da soberba.

A Hesitação de Samuel e a Persistência de Eli: A Profecia é Proferida
(I Samuel 3:15-18)

“Ficou Samuel deitado até pela manhã e, então, abriu as portas da Casa do SENHOR; porém temia relatar a visão a Eli. Chamou Eli a Samuel e disse: Samuel, meu filho! Ele respondeu: Eis-me aqui! Então, ele disse: Que é que o SENHOR te falou? Peço-te que mo não encubras; assim Deus te faça o que bem lhe aprouver se me encobrires alguma coisa de tudo o que te falou. Então, Samuel lhe referiu tudo e nada lhe encobriu. E disse Eli: É o SENHOR; faça o que bem lhe aprouver.”

Quando amanhece, Samuel parece evitar Eli. Ele cuida das coisas rotineiras como sempre faz, como se nada tivesse acontecido. Eli sabe que tem alguma coisa errada. Sabe que Deus chamou Samuel três vezes durante a noite. Sabe que Deus deve ter-lhe revelado alguma coisa. Ele não sabe o que é, embora certamente tenha seus temores. A última mensagem recebida de um profeta fora um prenúncio. Portanto, ele pressiona Samuel para que lhe diga tudo o que Deus lhe disse. Eli não deixa que Samuel se retraia. Por isso, relutantemente, Samuel lhe conta tudo.

O que é mais perturbador, pelo menos para mim, é a reação de Eli à profecia. Ele é informado de que o juízo está próximo, e o tempo pelo menos, não pode ser parado. O juízo de Deus não pode ser evitado, mas Eli pode, pelo menos, se arrepender de seus pecados de negligência. Em vez disto, ele diz palavras que têm um tom religioso e parecem ser uma evidência de sua submissão à soberana vontade de Deus, mas que, na verdade, são expressão de seu desejo de continuar em pecado. O que lemos não é uma expressão de fé na soberania de Deus, mas uma expressão de fatalismo dito em termos religiosos.

A Confirmação de Samuel Como Profeta de Deus
(3:19-21)

Crescia Samuel, e o SENHOR era com ele, e nenhuma de todas as suas palavras deixou cair em terra. Todo o Israel, desde Dã até Berseba, conheceu que Samuel estava confirmado como profeta do SENHOR. Continuou o SENHOR a aparecer em Siló, enquanto por sua palavra o SENHOR se manifestava ali a Samuel.”

Creio que o primeiro encontro de Samuel com Deus seja sua experiência de conversão, e também seu chamado como profeta. Conforme mencionado anteriormente, esta experiência é bem parecida com a de Paulo no caminho de Damasco (ver Atos 9). Assim sendo, o autor nos informa que este encontro, e o conseqüente recebimento da palavra de Deus, é o primeiro de muitos. O verso 21 fala especificamente da segunda aparição de Deus a Samuel em Siló, e a conclusão é que haverá outras. É aqui, na primeira aparição de Deus a Samuel, que ele se torna não apenas crente (nas palavras do Autor, ele veio a conhecer o Senhor), mas também profeta. Logo ele também se tornará sacerdote e juiz.

A maneira de um verdadeiro profeta ser reconhecido está descrita em Dt. 13:1-5 e 18:14-22. Um verdadeiro profeta fala de forma que exorte os homens a seguirem a Deus, a obedecê-lO. Além disso, um verdadeiro profeta é alguém cujas palavras acontecem. Nosso autor diz, literalmente, que Deus não deixou que nenhuma das palavras de Samuel “caísse em terra” (verso 19). Tudo o que Samuel diz realmente acontece. E todos os israelitas percebem que a mão de Deus está sobre ele e que ele fala a palavra do Senhor. Desde Dã, no extremo norte do país, até Berseba, no extremo sul, todo o Israel reconhece Samuel como profeta de Deus. O silêncio foi quebrado.

A Derrota de Israel e a Morte dos Filhos de Eli
(4:1-11)

Veio a palavra de Samuel a todo o Israel. Israel saiu à peleja contra os filisteus e se acampou junto a Ebenézer; e os filisteus se acamparam junto a Afeca. Dispuseram-se os filisteus em ordem de batalha, para sair de encontro a Israel; e, travada a peleja, Israel foi derrotado pelos filisteus; e estes mataram, no campo aberto, cerca de quatro mil homens. Voltando o povo ao arraial, disseram os anciãos de Israel: Por que nos feriu o SENHOR, hoje, diante dos filisteus? Tragamos de Siló a arca da Aliança do SENHOR, para que venha no meio de nós e nos livre das mãos de nossos inimigos. Mandou, pois, o povo trazer de Siló a arca do SENHOR dos Exércitos, entronizado entre os querubins; os dois filhos de Eli, Hofni e Finéias, estavam ali com a arca da Aliança de Deus. Sucedeu que, vindo a arca da Aliança do SENHOR ao arraial, rompeu todo o Israel em grandes brados, e ressoou a terra. Ouvindo os filisteus a voz do júbilo, disseram: Que voz de grande júbilo é esta no arraial dos hebreus? Então, souberam que a arca do SENHOR era vinda ao arraial. E se atemorizaram os filisteus e disseram: Os deuses vieram ao arraial. E diziam mais: Ai de nós! Que tal jamais sucedeu antes. Ai de nós! Quem nos livrará das mãos destes grandiosos deuses? São os deuses que feriram aos egípcios com toda sorte de pragas no deserto. Sede fortes, ó filisteus! Portai-vos varonilmente, para que não venhais a ser escravos dos hebreus, como eles serviram a vós outros! Portai-vos varonilmente e pelejai! Então, pelejaram os filisteus; Israel foi derrotado, e cada um fugiu para a sua tenda; foi grande a derrota, pois foram mortos de Israel trinta mil homens de pé. Foi tomada a arca de Deus, e mortos os dois filhos de Eli, Hofni e Finéias.”

Os israelitas são dominados pelos filisteus há tanto tempo que os filisteus os consideram como seus escravos (4:9). Por alguma razão, irrompe uma batalha entre eles, e os israelitas são duramente abatidos. Quando a poeira se assenta, sabe-se que 4.000 israelitas tinham morrido (verso 2). Quando os israelitas retornam ao arraial, não conseguem entender como Deus permitiu que sofressem tal derrota.

Sem jejum e oração, sem consultar a Deus, os israelitas decidem fazer o que Dale Ralph Davis chama de “Teologia do Pé de Coelho”. A Arca não é vista como símbolo da presença de Deus, mas como uma lâmpada mágica, que eles só precisam esfregar direito para invocar o auxílio de Deus. A Arca é um bom amuleto, para que, onde quer que eles a levem, sejam abençoados. “É claro”, eles pensam, “nós não levamos a Arca conosco! Amanhã a levaremos para a batalha e, com certeza, venceremos. Certamente Deus será conosco, pois Sua Arca está conosco.”

O tiro acaba saindo pela culatra. A princípio, parece que não, mas em retrospectiva é um desastre gigantesco do ponto de vista daqueles que achavam que a Arca lhes asseguraria a vitória. Quando a Arca é trazida da tenda para diante dos soldados, uma grande algazarra ecoa do arraial israelita. É como uma imensa competição entre torcidas antes de um jogo de futebol americano. Os guerreiros israelitas estão realmente empolgados. Eles não podem perder. Deus estará com eles.

Os soldados filisteus ouvem o barulho que vem do arraial israelita e se perguntam o que teria causado tal grito de triunfo. Aí, então, ficam sabendo que a Arca foi trazida ao arraial. Eles, como os israelitas, acham que a Arca seja capaz de alguma magia. Os filisteus relembram a derrota dos egípcios, quando Deus liderou os israelitas contra eles. Eles se recordam das vitórias dadas por Deus aos israelitas onde, sempre que lutavam contra seus inimigos, levavam a Arca junto com eles. Agora eles temem que a presença da Arca à frente do exército israelita dê a vitória a Israel. Os filisteus concluem que podem até morrer, mas pelo menos morrerão como homens. E assim, em vez de se darem por vencidos, eles têm motivos para lutar até a morte, e para morrer como heróis. O resultado é que os filisteus ficam muitos mais motivados a lutar do que os israelitas e, uma vez mais, eles os derrotam - só que, desta vez, 30.000 israelitas são mortos. Entre os mortos estão Hofni e Finéias, os dois filhos de Eli, que são assassinados enquanto a Arca de Deus é capturada como troféu de guerra.

Os israelitas tolamente supõem que levar a Arca de Deus para a batalha seja sua garantia de sucesso. Nos desígnios de Deus, levar a Arca com eles é um meio ordenado por Ele para cumprimento das palavras ditas pelo profeta sem nome. Hofni e Finéias acompanham a Arca na guerra e, quando os israelitas são derrotados e a Arca é tomada, os dois filhos de Eli morrem no mesmo dia (ver 2:34).

A Morte de Eli e de Sua Nora
(4:12-22)

Em parte, a Palavra do Senhor é cumprida; no entanto, há mais juízo divino chegando neste dia de infâmia. Eli está sentado próximo à estrada com o coração trêmulo enquanto espera ansiosamente notícias da batalha. Ele deve sentir que este é o dia do juízo. A Arca de Deus saiu de Siló, assim como seus filhos, e Eli não está nenhum pouco confortável. Um certo benjamita escapa da morte e foge da cena da batalha para Siló, com as roupas rasgadas e pó na cabeça. Este é um sinal de pesar e derrota que Eli não pode ver, pois sua visão já quase se foi. O resto da cidade começa a gritar enquanto a notícia da derrota circula rapidamente.

Mesmo sem poder ver, Eli pode ouvir, e o que ele ouve o deixa assustado. É como se seus ouvidos estivessem a ponto de tinir (ver 3:11). Ele pergunta o que significa aquele alvoroço, e o homem que escapou se apressa em lhe dar um resumo das notícias. Não há “boas notícias” e “más notícias” são só “más notícias” - Israel foi derrotado pelos filisteus, os filhos de Eli foram mortos e a Arca de Deus foi tomada. As notícias são maiores do que o corpo de 98 anos de Eli pode suportar. Ele sofre um colapso, caindo da cadeira de tal forma que quebra o pescoço. Eli está morto, junto com seus filhos, e tudo no mesmo dia. Seus quarenta anos de serviço como juiz em Israel terminaram.

A morte ainda não deixou a casa de Eli. A esposa de seu filho, Finéias, está grávida, e as notícias da trágica derrota de Israel, a perda da Arca e a morte de Eli e seu marido fazem com que ela entre em trabalho de parto. Ao dar à luz, as coisas não vão bem. Embora as mulheres que estão com ela tentem confortá-la, ela recusa seu auxílio. Quando fica sabendo que seu filho será um menino, ela o chama de Icabode, nome que significa “sem glória”, pois a Arca de Deus foi tomada e seu marido e seu sogro foram mortos. A nora de Eli parece ser mais perspicaz do que seu marido. Para ela, a captura de Arca significa a retirada da glória de Deus.

Na verdade, acho que ela estava errada. Pelo que entendo do Antigo Testamento, a glória de Deus deixara o tabernáculo muito tempo antes. Considere estas palavras de Êxodo, que descrevem a chegada da glória de Deus ao tabernáculo:

“Então, a nuvem cobriu a tenda da congregação, e a glória do SENHOR encheu o tabernáculo. Moisés não podia entrar na tenda da congregação, porque a nuvem permanecia sobre ela, e a glória do SENHOR enchia o tabernáculo. Quando a nuvem se levantava de sobre o tabernáculo, os filhos de Israel caminhavam avante, em todas as suas jornadas; se a nuvem, porém, não se levantava, não caminhavam, até ao dia em que ela se levantava. De dia, a nuvem do SENHOR repousava sobre o tabernáculo, e, de noite, havia fogo nela, à vista de toda a casa de Israel, em todas as suas jornadas.” (Êxodo 40:34-38)

Deus prometeu que se encontraria com os sacerdotes à entrada do tabernáculo:

“Este será o holocausto contínuo por vossas gerações, à porta da tenda da congregação, perante o SENHOR, onde vos encontrarei, para falar contigo ali. Ali, virei aos filhos de Israel, para que, por minha glória, sejam santificados, e consagrarei a tenda da congregação e o altar; também santificarei Arão e seus filhos, para que me oficiem como sacerdotes. E habitarei no meio dos filhos de Israel e serei o seu Deus. E saberão que eu sou o SENHOR, seu Deus, que os tirou da terra do Egito, para habitar no meio deles; eu sou o SENHOR, seu Deus.” (Êxodo 29:42-46)

Em algum lugar do passado, a glória de Deus deixou o tabernáculo. Esta partida parece não ser tão clara e espetacular quanto foi sua chegada, como descrito acima. Samuel vive no tabernáculo. Ele dorme a poucos metros da Arca de Deus (3:3), e mesmo assim ainda não conhece o Senhor e parece não ter nenhuma percepção especial de Sua presença ali. A aparição de Deus a Samuel é descrita como algo especial, algo excepcional. Deus vai até lá e fica chamando Samuel (3:10) de um jeito que realmente não é comum. Samuel não reconhece que é o Senhor; Eli tem que dizer a ele. Mesmo Eli não é rápido para compreender a aparição de Deus.

A Arca não é a manifestação de Deus a Israel ali no tabernáculo. Não é nenhum ídolo. É apenas um símbolo da presença de Deus com o Seu povo. Embora este símbolo fique sob a guarda dos sacerdotes em Siló, a glória de Deus há muito tempo já não está ali. A captura de Arca apenas simboliza aquilo que já era uma realidade, que era realidade há muito tempo. É certo que a glória deixou Siló, mas a glória de Deus jamais será encoberta por pecadores, como as próximas lições desta série irão nos mostrar.

Conclusão

Ao chegarmos ao trágico fim de uma era num passado distante de Israel (os 40 anos de serviço de Eli como juiz e sacerdote), vamos fazer uma pausa para refletir sobre as lições que este texto tem para nós, cristãos atuais.

Primeiro, vamos considerar o que o texto nos ensina sobre Deus. Como Deus é gracioso com Seu povo, Israel, sobretudo quando são pecadores e indignos. Com bondade, Deus repetidamente alerta Eli sobre o juízo que virá sobre sua casa. Os anos que se passam entre a primeira advertência e o cumprimento do juízo prometido por Deus são um tempo em que Eli poderia se arrepender e agir acertadamente com relação aos pecados de seus filhos. Deus é gracioso quando quebra o silêncio e, uma vez mais, revela-Se e a Sua Palavra à nação por meio de um profeta, Samuel.

Além de gracioso, Deus também é soberano (a graça imerecida deve, necessariamente, ser soberanamente concedida). Samuel não conhece a Deus, ele nem mesmo reconhece Sua voz. Samuel não está buscando a Deus e, mesmo assim, Deus aparece a ele, dando-Se a conhecer e chamando-o para ser profeta. Deus o confirma diante da nação, a fim de que Israel saiba que agora há um verdadeiro profeta de Deus. Deus soberanamente prepara o caminho para a saída de Eli e seus filhos, levantando o jovem Samuel, chamando-o e capacitando-o para ser profeta.

Deus odeia o pecado e julga os pecadores que não se arrependem. Estes dias são negros para a nação de Israel. O sacerdócio está corrompido. Aqueles que servem a Deus e a nação estão abusando de seu ofício e abusando das pessoas. Os sacerdotes são ladrões e roubadores. São corruptos e imorais. A Palavra de Deus mostra claramente a santidade de seu ofício e ministério e revela a maneira como os sacerdotes deveriam refletir e respeitar a santidade de Deus. Os filhos de Eli sacodem os punhos na face de Deus, mas finalmente chega o dia de seu juízo, exatamente como Deus disse. O dia do juízo de Deus pode demorar mais do que esperamos, mas certamente virá.

Deus raramente trabalha do modo que esperamos ou predizemos, para que nos maravilhemos diante da Sua sabedoria e poder em realizar Sua vontade e Sua Palavra. Quem teria pensado que o juízo de Deus seria trazido por meio dos inimigos de Deus e de Seu povo, os filisteus? Ao levar presunçosamente a Arca para a batalha, os israelitas mostram sua falta de reverência pela santidade de Deus e, ao levar a Arca para a guerra, a morte dos filhos de Eli no mesmo dia é realizada. Deus trabalha de modos estranhos e maravilhosos.

Segundo, vamos considerar o que esta passagem nos ensina sobre os homens. Da mesma forma que Deus não muda e, por isso, Ele é o mesmo “ontem, hoje e sempre”, os homens também não mudam. Nós não somos chamados para sermos profetas como Samuel, mas nosso chamado não é muito diferente do dele. Da mesma forma que ele não buscava a Deus e Deus o encontrou, assim é com os homens perdidos que não buscam a Deus hoje (ver Romanos 3:10-11). Os homens são salvos, não porque busquem a Deus, mas porque Deus busca e salva os pecadores perdidos. É Ele quem nos encontra, não nós que O encontramos. É Sua graça soberana que nos atrai a Ele. A Salvação, louvado seja Deus, é do Senhor, e Ele, somente Ele, é digno do nosso louvor.

Meu ponto principal é que Deus chama os homens hoje da mesma forma que chamou Samuel há tanto tempo atrás - e, essencialmente, pelas mesmas razões. Ele nos revelou Sua Palavra, não por meio de uma aparição pessoal ou visão, mas pela Sua Santa Palavra, a Bíblia. Nosso propósito, como o de Samuel, é levar a Palavra de Deus aos homens. Todos os cristãos são “chamados” para crer em Cristo e também para proclamar a Palavra de Cristo aos homens.

Não somos como os israelitas da época de Samuel, que dizemos que a “a palavra do Senhor é rara”. A verdade é que Deus nos últimos tempos nos falou plenamente na pessoa de Seu Filho e nas Escrituras que temos em mãos (ver Hebreus 1:1-4). O problema hoje não é que Deus não fala, mas que os homens não escutam. Não é à toa que encontramos repetidamente esta expressão no Novo Testamento “Quem tem ouvidos para ouvir, ouça” (ver Mateus 11:15; 13:9, 43; Apocalipse 2:7, 11, 17, 29; 3:6, 13, 22). Que cada um de nós possa dizer com sinceridade “Senhor, fala, que o teu servo ouve”. Este é o espírito daquele que “ouve” a Palavra do Senhor.

Enquanto medito em nosso texto, vejo três posturas que são típicas dos homens diante de Deus nos dias de hoje. A primeira é a dos israelitas. Eles querem Deus em seu meio, para “estar lá por eles” na hora da necessidade, para fazer as coisas que querem que Ele faça. Eles levam a Arca de Deus para a batalha, esperando que Ele lhes dê a vitória. Em vez de se considerarem como servos de Deus, eles consideram que Deus seja seu servo. O “deus” deles é para ser usado, não um Deus para ser honrado, glorificado, louvado, adorado e obedecido. Esta é a “teologia do pé de coelho” que Davis fala que é tão popular em nossos dias. Se fizermos tudo direitinho, dermos todos os passos certos, então Deus terá que fazer o que pedimos. Só que não é assim. Deus não está lá para fazer todas as nossas vontades. E quem tolamente supõe que esteja está com sérios problemas.

A segunda postura é a de Eli. Sua atitude é fatalista, resignada. Pelo menos em duas ocasiões Deus fala com Eli mediante um profeta, para adverti-lo do juízo que trará sobre ele e sua casa por ele não cuidar dos pecados de seus filhos. Eli não faz nada além de admoestar seus filhos. Mesmo agora, quando a morte de seus filhos é iminente, ele não faz absolutamente nada. Sua atitude tem um tom de religiosidade vazia “É o SENHOR; faça o que bem lhe aprouver” (3:18). Esta é simplesmente uma versão religiosa de “o que será, será”. Quando Davi é repreendido por seu pecado com Bate-Seba, ele é informado de que a criança morrerá (II Sam. 12:14). Isto não o impede de fazer alguma coisa sobre o que aconteceu. Ele suplica ao Senhor, prostrando-se em terra durante toda a noite, orando para que Deus poupe a criança (II Sam. 12:16-17). Eli parece simplesmente dar de ombros e dizer “É a vontade de Deus”.

Lamentavelmente, este fatalismo também é encontrado nos cristãos atuais. Em vez de encontrar na soberania de Deus incentivo para se esforçar em agradá-Lo, algumas pessoas usam o fatalismo como desculpa para não fazer nada. Quando preguei esta lição, defini o fatalismo como sendo “um Calvinismo cansado”. Depois mudei de idéia e decidi que fatalismo é um “Calvinismo aposentado” (NT: o autor faz um jogo com as palavras tired (cansado) e re-tired (aposentado). Um amigo e companheiro de Conselho, Don Grimm, chamou minha atenção para uma diferença crucial entre um verdadeiro Calvinista (aquele que crê que Deus esteja no controle e encontra nisto a base apropriada para todos os seus esforços religiosos) e um fatalista. Os caldeus do passado eram fatalistas. Eles estudavam os céus, crendo que a relação entre os corpos celestiais determinava o que aconteceria na terra. Os fatalistas não vêem a finalidade dos acontecimentos terrenos como vindo de um Deus soberano, pessoal, que deseja se relacionar com aqueles que confiam Nele. É o relacionamento pessoal de alguém com Deus, mediante a fé em Jesus Cristo, que o faz encontrar em Sua soberania a razão para lutar, em vez de uma desculpa para se sentar. A fé de Eli tinha se deteriorado a pouco mais do que o pensamento de um fatalista.

Finalmente, há a postura de Samuel. Samuel nada faz para que Deus apareça ou revele Sua palavra em profecia. Ele simplesmente está cuidando de seus afazeres diários. Não há nada de romântico ou “espiritual” em tirar o pó e limpar a mobília do tabernáculo, lavar o chão ou servir um homem quase cego e quase morto (Eli). No entanto, no decurso de suas tarefas, Deus vem a Samuel e Se revela a ele. Muitas pessoas querem fazer algo espetacular (como levar uma Arca para a guerra) para obter as bênçãos e o poder de Deus. Samuel nos ensina que esta não é a regra. Vamos cuidar de nossas vidas, fazendo fielmente o trabalho que Deus nos deu, deixando as intervenções espetaculares e os grandes sucessos para Deus. Quando for o tempo Dele as coisas acontecerão, não por aquilo que fazemos, mas porque Deus sempre mantém Suas promessas.

From the series: 1 Samuel (Portuguese)
From the series: 1 Samuel (Portuguese)

5. As Mãos de Dagom e a Mão de Deus (I Samuel 5:1-7:17)

“Descobertas Arqueológicas”

Introdução

Há alguns anos atrás perguntaram a um programador de computadores amigo meu, como ia seu emprego. Radiante, ele respondeu que seu emprego era o mais divertido que já tivera. A coisa mais espantosa para ele era que alguém o remunerasse para ter tanta diversão. Sinto-me da mesma maneira ao preparar esta lição. Devo confessar que meu trabalho nem sempre é assim; algumas partes são realmente muito desagradáveis. No entanto, ensinar as Escrituras é uma das partes boas, e pregar e ensinar sobre este texto tem sido realmente uma alegria.

Visão Geral e Breve Revisão

Pode parecer aos israelitas e filisteus que Deus seja refém dos inimigos de Israel. Israel foi derrotado na primeira batalha, sofrendo uma perda de aproximadamente 4.000 vidas (I Samuel 4:12). Os israelitas se perguntam como seu Deus pôde permitir tal derrota, concluindo que foi por não terem levado a Arca da Aliança para a batalha junto com eles. Como um enorme amuleto da sorte, eles crêem que a presença da Arca fará a diferença. Cheios de confiança, eles iniciam o combate. Cheios de medo, os filisteus se levantam para o desafio, temendo que isto signifique sua morte ou derrota. Em vez disto, os israelitas sofrem uma derrota ainda maior. Nosso texto nos conta que 30.000 soldados são mortos, junto com os dois sacerdotes, Hofni e Finéias. Quando Eli fica sabendo que seus filhos estão mortos e que a Arca foi capturada, ele cai da cadeira, quebrando o pescoço e morrendo na queda. Sua morte é seguida pela morte de sua nora que, ao dar à luz a seu filho, o chama de Icabode (foi-se a glória), em virtude da Arca ter sido capturada.

O texto desta mensagem prossegue a partir deste ponto. O texto permite que sejamos uma mosquinha no templo de Dagom, um dos deuses filisteus. No capítulo 5, Deus humilha Dagom (versos 1-5) e depois seus adoradores (versos 6-12). No capítulo 6, os filisteus devolvem a Arca para Israel, usando um artifício para descobrir se foi Deus ou o acaso que lhes trouxe tantos problemas. A irreverência e a desobediência com relação à Arca trazem o juízo divino sobre os israelitas, e sua primeira reação a este juízo é parecida com a dos filisteus. O capítulo 7 começa com a Arca sendo guardada, a fim de que todos saibam que o reavivamento espiritual de Israel e suas vitórias militares não são conseqüências de nenhum uso mágico da Arca, mas do arrependimento e da fé de Israel em Deus.

Somente do ponto de vista literário, a narrativa de I Samuel 5:7 já é fascinante. Além disto, as verdades teológicas e lições práticas são tantas, que faremos muito bem se prestarmos bastante atenção a este texto. Vamos deixar que o Espírito de Deus nos conduza à verdade, para o nosso bem e para a Sua glória.

Os Filisteus e Seu Deus Nas Mãos de Deus
(5:1:12)

Os filisteus tomaram a arca de Deus e a levaram de Ebenézer a Asdode. Tomaram os filisteus a arca de Deus e a meteram na casa de Dagom, junto a este. Levantando-se, porém, de madrugada os de Asdode, no dia seguinte, eis que estava caído Dagom com o rosto em terra, diante da arca do SENHOR; tomaram-no e tornaram a pô-lo no seu lugar. Levantando-se de madrugada no dia seguinte, pela manhã, eis que Dagom jazia caído de bruços diante da arca do SENHOR; a cabeça de Dagom e as duas mãos estavam cortadas sobre o limiar; dele ficara apenas o tronco. Por isso, os sacerdotes de Dagom e todos os que entram no seu templo não lhe pisam o limiar em Asdode, até ao dia de hoje. Porém a mão do SENHOR castigou duramente os de Asdode, e os assolou, e os feriu de tumores, tanto em Asdode como no seu território. Vendo os homens de Asdode que assim era, disseram: Não fique conosco a arca do Deus de Israel; pois a sua mão é dura sobre nós e sobre Dagom, nosso deus. Pelo que enviaram mensageiros, e congregaram a si todos os príncipes dos filisteus, e disseram: Que faremos da arca do Deus de Israel? Responderam: Seja levada a arca do Deus de Israel até Gate e, depois, de cidade em cidade. E a levaram até Gate. Depois de a terem levado, a mão do SENHOR foi contra aquela cidade, com mui grande terror; pois feriu os homens daquela cidade, desde o pequeno até ao grande; e lhes nasceram tumores. Então, enviaram a arca de Deus a Ecrom. Sucedeu, porém, que, em lá chegando, os ecronitas exclamaram, dizendo: Transportaram até nós a arca do Deus de Israel, para nos matarem, a nós e ao nosso povo. Então, enviaram mensageiros, e congregaram a todos os príncipes dos filisteus, e disseram: Devolvei a arca do Deus de Israel, e torne para o seu lugar, para que não mate nem a nós nem ao nosso povo. Porque havia terror de morte em toda a cidade, e a mão de Deus castigara duramente ali. Os homens que não morriam eram atingidos com os tumores; e o clamor da cidade subiu até ao céu.

Derrubando Dagom
(5:1-5)

Do ponto de vista meramente humano, parece que Deus seja refém dos filisteus. Da perspectiva dos israelitas, o sofrimento de Eli, a morte de sua nora e de outros israelitas ante a captura da Arca são compreensíveis. Mas o Deus de Israel não é um ídolo; Ele não precisa de homens para carregá-Lo. É Ele quem carrega Israel:

Com quem comparareis a Deus? Ou que coisa semelhante confrontareis com ele? O artífice funde a imagem, e o ourives a cobre de ouro e cadeias de prata forja para ela. O sacerdote idólatra escolhe madeira que não se corrompe e busca um artífice perito para assentar uma imagem esculpida que não oscile. Acaso, não sabeis? Porventura, não ouvis? Não vos tem sido anunciado desde o princípio? Ou não atentastes para os fundamentos da terra? Ele é o que está assentado sobre a redondeza da terra, cujos moradores são como gafanhotos; é ele quem estende os céus como cortina e os desenrola como tenda para neles habitar; é ele quem reduz a nada os príncipes e torna em nulidade os juízes da terra. Mal foram plantados e semeados, mal se arraigou na terra o seu tronco, já se secam, quando um sopro passa por eles, e uma tempestade os leva como palha. A quem, pois, me comparareis para que eu lhe seja igual? — diz o Santo. Levantai ao alto os olhos e vede. Quem criou estas coisas? Aquele que faz sair o seu exército de estrelas, todas bem contadas, as quais ele chama pelo nome; por ser ele grande em força e forte em poder, nem uma só vem a faltar. (Isaías 40:18-26)

Bel se encurva, Nebo se abaixa; os ídolos são postos sobre os animais, sobre as bestas; as cargas que costumáveis levar são canseira para as bestas já cansadas. Esses deuses juntamente se abaixam e se encurvam, não podem salvar a carga; eles mesmos entram em cativeiro. Ouvi-me, ó casa de Jacó e todo o restante da casa de Israel; vós, a quem desde o nascimento carrego e levo nos braços desde o ventre materno. Até a vossa velhice, eu serei o mesmo e, ainda até às cãs, eu vos carregarei; já o tenho feito; levar-vos-ei, pois, carregar-vos-ei e vos salvarei. A quem me comparareis para que eu lhe seja igual? E que coisa semelhante confrontareis comigo? (Isaías 46: 1-5)

Até posso imaginar a alegria e a breve exultação dos filisteus por sua aparente vitória, ao levarem a Arca de Deus de Ebenézer para Asdode, uma de suas principais cidades ao norte. Para eles, derrotar os israelitas e capturar a Arca era como derrotar a Deus. Provavelmente, foi com grande cerimônia que eles levaram a Arca de Deus para a casa de um de seus principais deuses, Dagom. Eis ali, posta diante de Dagom em posição simbólica de submissão, a Arca de Deus. Agora Dagom prevalece sobre Deus da mesma forma que os filisteus prevaleceram sobre Israel - ou assim eles pensam. Eles vão cair do cavalo.

Que susto eles levam no início da manhã seguinte quando chegam para louvar e adorar seu deus, Dagom, pela vitória sobre Israel. Ali, em seu próprio templo, seu ídolo jaz prostrado no pó diante da Arca de Deus. Imagine só as desculpas e explicações dadas por eles em defesa de seu deus. Vai ver não estava na posição correta. Teria sido um terremoto? Seja qual for a razão, quando os sacerdotes filisteus deixam o templo naquele dia, seu deus está bem ancorado em sua casa. Não haverá mais nenhuma queda, com certeza.

Será que um grupo maior do que o de costume vai à casa de Dagom no dia seguinte? Será que os filisteus querem se convencer de que a manhã do dia anterior foi algum tipo de acaso? Será que não foram as forças da natureza (como dizem os inspetores de seguro)? Quando chegam no início da manhã seguinte, as coisas estão ainda piores do que no dia anterior. Dagom uma vez mais está caído diante de Deus, só que, desta vez, suas mãos e sua cabeça são separadas quando o ídolo bate no limiar da porta. Será que os filisteus ainda pensam que o Deus de Israel esteja em suas mãos? As mãos de seu deus estão no pó, assim como sua cabeça. A Arca de Deus pode estar nas mãos dos filisteus, mas o deus dos filisteus está nas mãos do único e verdadeiro Deus, o Deus de Israel.

Será que Dagom está nas mãos de um Deus irado? Creio que sim. A coisa mais espantosa nos versos 1-5 não é a prostração de Dagom diante da Arca de Deus, mas a reação dos sacerdotes filisteus a este segundo ato simbólico. A Arca não é um ídolo; a Arca não é o Deus de Israel. A Arca é um símbolo da presença de Deus em meio a Seu povo. Ela representa um papel importante no culto de Israel, mas não é um ídolo. Dagom é um ídolo que os homens esculpiram para ser seu deus. Este ídolo filisteu caiu duas vezes diante da Arca de Deus e se quebrou com o impacto, exigindo reparos. O deus dos filisteus cai diante da Arca de Deus e depois tem que ser devolvido à oficina para conserto. O que será que isto diz aos filisteus?

Será que um verdadeiro Deus tem que ser erguido do solo? Será que um verdadeiro Deus se quebra? Será que um verdadeiro Deus tem que ser colado novamente? Se estes sacerdotes pagãos pensarem direito, vão ver que a imagem de Dagom pertence ao ferro-velho ou ao depósito de lixo da cidade. Que tipo de deus tem que ser erguido e levado para o conserto porque está quebrado? Mesmo assim, estes sacerdotes não se humilham e confessam que o Deus de Israel é o único e verdadeiro Deus. Eles não deixam de adorar um pedaço de madeira, pedra ou metal. Pelo contrário, eles declaram que o limiar onde o ídolo se quebrou é santo. Daí em diante, o limiar se transforma num objeto sagrado. A destruição de seu deus no limiar da porta deveria ter lhes ensinado uma lição, mas eles não a aprenderam. Não é de admirar que algumas lições ainda mais difíceis estejam por vir.

Atormentados por Tumores
(5:6-12)

De certa forma, o autor já nos preparou para o que lemos nos versos 6-12 do capítulo 5:

Ouvindo os filisteus a voz do júbilo, disseram: Que voz de grande júbilo é esta no arraial dos hebreus? Então, souberam que a arca do SENHOR era vinda ao arraial. E se atemorizaram os filisteus e disseram: Os deuses vieram ao arraial. E diziam mais: Ai de nós! Que tal jamais sucedeu antes. Ai de nós! Quem nos livrará das mãos destes grandiosos deuses? São os deuses que feriram aos egípcios com toda sorte de pragas no deserto. Sede fortes, ó filisteus! Portai-vos varonilmente, para que não venhais a ser escravos dos hebreus, como eles serviram a vós outros! Portai-vos varonilmente e pelejai! (I Samuel 4:6-9)

Aqui no capítulo 4, uma vez mais os filisteus estão prestes a travar combate com os israelitas, quando ficam sabendo que estes trouxeram a Arca de Deus para levá-la ao campo de batalha. Ao ouvirem que a Arca está com os israelitas, os filisteus ficam muito assustados. Eles relembram o papel que a Arca desempenhou no passado de Israel, especialmente em relação à libertação do cativeiro egípcio na época do êxodo. Uma coisa é falarem sobre a derrota de faraó e seu exército, pois estão prestes a guerrear com os israelitas. Outra é falarem sobre como Deus feriu os egípcios com toda sorte de pragas no deserto. O que as pragas têm a ver com lutar com os israelitas? Os filisteus vêem a ligação, e o autor se certifica de que também a vejamos. O resultado final é que, aquilo que os filisteus temem no capítulo 4, recai sobre eles no capítulo 5.

Na casa de Dagom, Deus mostra aos filisteus que seu ídolo não tem nenhum poder em Suas mãos. Agora Deus começa a agir nos próprios filisteus. Eles pensam que venceram a Deus? As mãos de Dagom foram quebradas. A mão de Deus o fez. Agora, a mão de Deus pesa sobre os filisteus do lugar onde a Arca está - Asdode e seus arredores. É impossível ser categórico quanto à natureza exata da praga que Deus lança sobre os filisteus. Algumas traduções sugerem que o mal trazido sobre os habitantes de Asdode (e depois sobre os habitantes dos outros lugares para onde a Arca é enviada) seja hemorróida. Outros pensam que Deus tenha ferido os filisteus com alguma espécie de tumor. Não sabemos ao certo, e provavelmente não saberemos até a vinda do Senhor. Embora haja certa justiça poética em pensar nos filisteus sofrendo de hemorróidas, o mal parece ser bem mais grave que este. Parece que as pessoas não estão apenas sofrendo dor e irritação, mas estão morrendo como moscas. Alguns concluem que, uma vez que há tumores e muitas mortes de alguma forma relacionadas a roedores, esta deve ser uma manifestação de peste bubônica. Talvez tenham razão.

Seja qual for a praga, os filisteus a detestam e estão ansiosos por se livrarem dela. Seus líderes sabem que a praga nos habitantes de Asdode é devido à presença da Arca de Deus em seu meio. Eles sabem que é a mão de Deus pesando sobre eles. Deus os está julgando, e a seu deus, Dagom. Assim, eles concluem que a única maneira de se livrarem da praga é se livrando da Arca. Eles chegam a um consenso político: mandar a Arca para Gate, a próxima cidade grande dos filisteus. A conseqüência implícita é a cessação da praga em Asdode. O texto é claro em dizer que o envio da Arca para Gate é seguido pela erupção da praga na cidade e seus arredores. A praga segue a Arca.

Aí, então, eles resolvem mandar a Arca embora, desta vez para a cidade de Ecrom. O povo daquela cidade não é bobo. Nenhuma loja da Madison Avenue pode convencê-los de que o que eles precisam é da Arca do Deus de Israel - escoltada por uma praga mortal. Quando ficam sabendo que a Arca está a caminho, eles se recusam a aceitá-la. Isto me lembra uma das minhas amiguinhas que ama jogar Old Maid (jogo de carta equivalente ao Mico). Não posso lhe descrever o olhar angustiado que ela parece incapaz de disfarçar quando pega a Old Maid. O povo de Ecrom se sente muito mais angustiado por ter sido escolhido para receber a Arca de Deus. É óbvio que, se nenhuma cidade filistéia ficar com a Arca, ela terá que ser devolvida para o lugar de onde veio. Sem nenhum confronto militar, sem nenhuma negociação internacional, Israel recupera a Arca perdida sete meses antes.

Uma vez mais fica claro que os filisteus reconhecem que a praga que aflige várias cidades filistéias se deve à presença da Arca de Deus em seu meio. Eles sabem que a Arca significa problema, e que este problema é o julgamento de Deus sobre eles e seu deus Dagom. O que eles não fazem é rejeitar sua idolatria pagã e seu deus impotente. Nem confiar no Deus de Israel e O adorar. Eles simplesmente querem Deus fora de sua cidade.

Isto me lembra a reação do povo que vivia na cidade dos Gerasenos, descrita em Marcos 5. Quando Jesus cruza o Mar da Galiléia e expulsa o demônio de um temível e poderoso endemoninhado, de nome Legião, o povo daquele lugar fica aterrorizado. Eles pedem que Jesus deixe a cidade assim que possível. Eles não querem Alguém bom e poderoso entre eles. Ele é ameaçador demais. A Arca de Deus também é santa e perigosa demais, e eles só querem se livrar dela.

Colocando a Arca em Seu Lugar
(6:1-7:2)

Sete meses esteve a arca do SENHOR na terra dos filisteus. Estes chamaram os sacerdotes e os adivinhadores e lhes disseram: Que faremos da arca do SENHOR? Fazei-nos saber como a devolveremos para o seu lugar. Responderam eles: Quando enviardes a arca do Deus de Israel, não a envieis vazia, porém enviá-la-eis a seu Deus com uma oferta pela culpa; então, sereis curados e sabereis por que a sua mão se não tira de vós. Então, disseram: Qual será a oferta pela culpa que lhe havemos de apresentar? Responderam: Segundo o número dos príncipes dos filisteus, cinco tumores de ouro e cinco ratos de ouro, porquanto a praga é uma e a mesma sobre todos vós e sobre todos os vossos príncipes. Fazei umas imitações dos vossos tumores e dos vossos ratos, que andam destruindo a terra, e dai glória ao Deus de Israel; porventura, aliviará a sua mão de cima de vós, e do vosso deus, e da vossa terra. Por que, pois, endureceríeis o coração, como os egípcios e Faraó endureceram o coração? Porventura, depois de os haverem tratado tão mal, não os deixaram ir, e eles não se foram? Agora, pois, fazei um carro novo, tomai duas vacas com crias, sobre as quais não se pôs ainda jugo, e atai-as ao carro; seus bezerros, levá-los-eis para casa. Então, tomai a arca do SENHOR, e ponde-a sobre o carro, e metei num cofre, ao seu lado, as figuras de ouro que lhe haveis de entregar como oferta pela culpa; e deixai-a ir. Reparai: se subir pelo caminho rumo do seu território a Bete-Semes, foi ele que nos fez este grande mal; e, se não, saberemos que não foi a sua mão que nos feriu; foi casual o que nos sucedeu. Assim fizeram aqueles homens, e tomaram duas vacas com crias, e as ataram ao carro, e os seus bezerros encerraram em casa. Puseram a arca do SENHOR sobre o carro, como também o cofre com os ratos de ouro e com as imitações dos tumores. As vacas se encaminharam diretamente para Bete-Semes e, andando e berrando, seguiam sempre por esse mesmo caminho, sem se desviarem nem para a direita nem para a esquerda; os príncipes dos filisteus foram atrás delas, até ao território de Bete-Semes. Andavam os de Bete-Semes fazendo a sega do trigo no vale e, levantando os olhos, viram a arca; e, vendo-a, se alegraram. O carro veio ao campo de Josué, o bete-semita, e parou ali, onde havia uma grande pedra; fenderam a madeira do carro e ofereceram as vacas ao SENHOR, em holocausto. Os levitas desceram a arca do SENHOR, como também o cofre que estava junto a ela, em que estavam as obras de ouro, e os puseram sobre a grande pedra. No mesmo dia, os homens de Bete-Semes ofereceram holocaustos e imolaram sacrifícios ao SENHOR. Viram aquilo os cinco príncipes dos filisteus e voltaram para Ecrom no mesmo dia. São estes, pois, os tumores de ouro que enviaram os filisteus ao SENHOR como oferta pela culpa: por Asdode, um; por Gaza, outro; por Asquelom, outro; por Gate, outro; por Ecrom, outro; como também os ratos de ouro, segundo o número de todas as cidades dos filisteus, pertencentes aos cinco príncipes, desde as cidades fortes até às aldeias campestres. A grande pedra, sobre a qual puseram a arca do SENHOR, está até ao dia de hoje no campo de Josué, o bete-semita. Feriu o SENHOR os homens de Bete-Semes, porque olharam para dentro da arca do SENHOR, sim, feriu deles setenta homens; então, o povo chorou, porquanto o SENHOR fizera tão grande morticínio entre eles. Então, disseram os homens de Bete-Semes: Quem poderia estar perante o SENHOR, este Deus santo? E para quem subirá desde nós? Enviaram, pois, mensageiros aos habitantes de Quiriate-Jearim, dizendo: Os filisteus devolveram a arca do SENHOR; descei, pois, e fazei-a subir para vós outros. Então, vieram os homens de Quiriate-Jearim e levaram a arca do SENHOR à casa de Abinadabe, no outeiro; e consagraram Eleazar, seu filho, para que guardasse a arca do SENHOR. Sucedeu que, desde aquele dia, a arca ficou em Quiriate-Jearim, e tantos dias se passaram, que chegaram a vinte anos; e toda a casa de Israel dirigia lamentações ao SENHOR.

Durante sete meses a Arca de Deus fica num aparente cativeiro. Durante sete meses os filisteus são afligidos pelo peso da mão de Deus. A única opção que resta agora é clara: a Arca deve ser devolvida a Israel. A única pergunta é Como? No capítulo 5, onde a Arca é considerada um problema político, o assunto é discutido pelos príncipes filisteus e ela é enviada de cidade em cidade, até que ninguém mais a queira. Agora, a Arca é um problema religioso, e os sacerdotes filisteus são questionados sobre a maneira de devolvê-la sem enfurecer ainda mais o Deus de Israel.

Os sacerdotes filisteus dão a seus príncipes instruções muito específicas quanto ao regresso da Arca. Estas instruções não são baseadas no conhecimento de Deus ou de Sua lei, mas fruto de sua própria teologia pagã. Eles recomendam que a Arca não seja enviada vazia. Ela deve ser acompanhada por uma oferta pela culpa. É interessante que a idéia de culpa seja levantada. Isto não parece ser devido a uma consciência pessoal ou coletiva de pecado. Antes parece se basear na suposição de que as pragas sejam uma manifestação do orgulho nacionalista de Deus e resultado de sua ira, devido à captura da Arca. O Deus de Israel precisa ser acalmado, mas, como? Os sacerdotes filisteus só conseguem pensar numa coisa: uma solução idólatra. Eles aconselham os príncipes a acalmar a Deus fazendo uma oferta pela culpa de ouro. Não é uma simples oferta de ouro como se fosse um suborno, mas cinco imagens de hemorróidas (ou tumores) e cinco de camundongos (ou ratos). Eles garantem que isto acalmará a Deus, resultando na cura dos filisteus. Se isto detiver a praga, eles terão certeza de que encontraram a explicação para a ira de Deus e seu sofrimento.

Em alguns aspectos, o conhecimento dos filisteus sobre a história de Israel e seu Deus é surpreendente. Eles estão bem informados a respeito do êxodo. Eles sabem que faraó e os egípcios endureceram o coração contra Deus, mesmo Ele tendo lançado diversas pragas sobre eles. Os filisteus não desejam cometer o mesmo erro. Por isso, sugerem que a Arca volte para Israel, junto com uma oferta pela culpa. Os egípcios erraram em não deixar que os israelitas fossem embora. Eles não errarão em não deixar que a Arca se vá.

Embora estejam ansiosos para se livrarem da Arca, ainda querem ser cautelosos. Eles estão dispostos a admitir que a Arca de Deus seja a causa de seu sofrimento. Eles deixarão a Arca ir como os egípcios deixaram Israel ir, mas não a enviarão sozinha. Eles bolam um plano que só funcionará se a Arca for a causa de seu sofrimento, e se Deus puder mudar o curso da natureza. Os sacerdotes aconselham os príncipes a colocarem a Arca, junto com a oferta, num carro de boi novo. O carro deve ser puxado por duas vacas leiteiras, que ainda amamentem seus bezerros. Os bezerros devem ficar presos longe de suas mães. As vacas devem, então, ser atreladas ao carro e deixadas livres para partir. Se elas seguirem o curso da natureza, voltarão para seus bezerros. Se as pragas forem de Deus, que deseja o regresso da Arca, então as vacas deixarão seus bezerros para trás, levando a Arca diretamente para Israel. Se as vacas levarem o carro e a Arca de volta aos israelitas, eles podem presumir que todos os seus problemas vêm de Deus e que fizeram a escolha certa deixando a Arca ir embora. Se não, poderão ficar com a Arca, certos de que todas as pragas são mera coincidência.

As vacas são atreladas ao carro e os bezerros presos longe de suas mães. A Arca e a oferta pela culpa são colocadas no carro e as vacas são liberadas. Elas vão direto pela estrada que leva a Bete-Semes em Israel, mugindo, sem se desviar para a direta ou para a esquerda. Os príncipes filisteus seguem à distância, até observarem o carro e sua carga irem direto para o território de Israel.

Antes de voltar nossa atenção à reação dos israelitas ao regresso da Arca, vamos fazer uma pausa para meditar sobre a oferta pela culpa que os filisteus fazem ao Deus de Israel. Como mencionado anteriormente, esta oferta é fruto da religião pagã dos filisteus e não uma prática da fé judaica, conforme prescrito na lei de Moisés. Na lei de Moisés, a oferta pela culpa era um sacrifício de sangue. Não há nenhum sangue envolvido na oferta dos filisteus. A razão para a oferta pela culpa é o pecado daquele que oferece o sacrifício a Deus. Não há nenhum reconhecimento de pecado pelos filisteus, só a idolatria dos instrumentos do juízo divino: ratos (camundongos) e hemorróidas (ou tumores). Os filisteus não percebem que sua oferta é uma ofensa ao Deus de Israel e não uma oferta que aplaque Sua ira. Há certa sabedoria humana nesta oferta pela culpa. Afinal, os ratos não são parte da praga e os tumores instrumentos da ira de Deus? Há cinco príncipes e cinco cidades principais, portanto, por que não cinco tumores de ouro e cinco roedores de ouro? Embora sua oferta seja lógica, ela não é bíblica. A suspensão da praga e a cura dos filisteus não são conseqüências de sua oferta pela culpa, mas dádivas da graça de Deus.

Os israelitas de Bete-Semes que testemunham o regresso da Arca ficam pasmos quando percebem que ela voltou a Israel. Aqueles que fazem a sega nos campos são os primeiros a vê-la, e os israelitas desse lugar, rápida e alegremente, oferecem sacrifício a Deus, usando a madeira do carro de boi para alimentar o fogo e as vacas para o sacrifício. É uma ocasião alegre e festiva, mas rapidamente o espírito dos adoradores israelitas se abate quando a praga irrompe entre os moradores da cidade. Algumas pessoas, com desobediência e irreverência, olham para dentro da Arca e boa parte dos habitantes do lugar é ferida de morte.

Os sobreviventes deste massacre ficam assustados e aterrorizados. Não sabem o que fazer. Por que Deus feriu de morte tantos adoradores israelitas? Se as pessoas morrem por razões como esta, como a Arca pode ficar entre eles? Quem é capaz de permanecer na presença do Deus Santo? E, para quem enviarão a Arca? Até parece um ardil 22. Os israelitas se encontram numa situação bastante parecida com a que foi enfrentada pelos filisteus, exceto pelo fato da Arca pertencer a Israel, não aos filisteus.

Os filisteus são alvo de uma praga enviada por Deus porque a Arca está entre eles. Por isso, procuram enviá-la de uma cidade para outra. Agora, de volta à Israel, os israelitas são alvo de um terrível mal enviado por Deus. Da mesma forma que os filisteus, os israelitas de Bete-Semes procuram enviar a Arca para outro lugar, para que o peso da mão de Deus seja retirado deles. A cidade de Quiriate-Jearim é a escolhida. Os homens daquela cidade chegam e levam a Arca de Deus para lá, colocando-a na casa de Abinadabe, aos cuidados de Eleazar, seu filho, que é especialmente consagrado para isso. Ali, a Arca de Deus ficará aproximadamente 20 anos, até que seja resgatada por Davi. Pelos próximos 20 anos, não haverá nenhum pé de coelho em que os israelitas possam depositar sua confiança. Eles terão que confiar no próprio Deus, assistido por Samuel, seu profeta, sacerdote e juiz.

Está escrito que todo o Israel se lamenta para o Senhor durante esses anos. Exatamente o quê isso significa? Será que este é o tipo de lamentação que o Senhor chama de bem-aventurança no Sermão do Monte? Lamentar é demonstrar pesar pela maneira como as coisas estão. Parece que todo o Israel lamenta o fato de, apesar de seu regresso a Israel, a Arca não ter nenhuma funcionalidade. Ela está, como se diz, fora de serviço. É mais ou menos como determinado dispositivo com uma função muito importante que está quebrado, que não pode ser utilizado. Parece uma grande tragédia; no entanto, o resto dos versículos do capítulo 7 parece indicar o contrário. Embora a Arca esteja fora de serviço e não possa ser levada para a guerra, o povo de Israel se arrepende de seus pecados, abandona seus ídolos, confia em Deus e encontra a vitória.

Dias Felizes Outra Vez, Com Samuel e Sem a Arca
(I Samuel 7:3-17)

Falou Samuel a toda a casa de Israel, dizendo: Se é de todo o vosso coração que voltais ao SENHOR, tirai dentre vós os deuses estranhos e os astarotes, e preparai o coração ao SENHOR, e servi a ele só, e ele vos livrará das mãos dos filisteus. Então, os filhos de Israel tiraram dentre si os baalins e os astarotes e serviram só ao SENHOR. Disse mais Samuel: Congregai todo o Israel em Mispa, e orarei por vós ao SENHOR. Congregaram-se em Mispa, tiraram água e a derramaram perante o SENHOR; jejuaram aquele dia e ali disseram: Pecamos contra o SENHOR. E Samuel julgou os filhos de Israel em Mispa. Quando, pois, os filisteus ouviram que os filhos de Israel estavam congregados em Mispa, subiram os príncipes dos filisteus contra Israel; o que ouvindo os filhos de Israel, tiveram medo dos filisteus. Então, disseram os filhos de Israel a Samuel: Não cesses de clamar ao SENHOR, nosso Deus, por nós, para que nos livre da mão dos filisteus. Tomou, pois, Samuel um cordeiro que ainda mamava e o sacrificou em holocausto ao SENHOR; clamou Samuel ao SENHOR por Israel, e o SENHOR lhe respondeu. Enquanto Samuel oferecia o holocausto, os filisteus chegaram à peleja contra Israel; mas trovejou o SENHOR aquele dia com grande estampido sobre os filisteus e os aterrou de tal modo, que foram derrotados diante dos filhos de Israel. Saindo de Mispa os homens de Israel, perseguiram os filisteus e os derrotaram até abaixo de Bete-Car. Tomou, então, Samuel uma pedra, e a pôs entre Mispa e Sem, e lhe chamou Ebenézer, e disse: Até aqui nos ajudou o SENHOR. Assim, os filisteus foram abatidos e nunca mais vieram ao território de Israel, porquanto foi a mão do SENHOR contra eles todos os dias de Samuel. As cidades que os filisteus haviam tomado a Israel foram-lhe restituídas, desde Ecrom até Gate; e até os territórios delas arrebatou Israel das mãos dos filisteus. E houve paz entre Israel e os amorreus. E julgou Samuel todos os dias de sua vida a Israel. De ano em ano, fazia uma volta, passando por Betel, Gilgal e Mispa; e julgava a Israel em todos esses lugares. Porém voltava a Ramá, porque sua casa estava ali, onde julgava a Israel e onde edificou um altar ao SENHOR.

Estranhamente, Samuel está ausente da narrativa dos capítulos 4 a 6. Seu nome não é mencionado desde o capítulo 4, verso 2, até o capítulo 7, verso 2. Parece que ele não está com a Arca quando ela é levada para a batalha contra os filisteus no capítulo 4. Ele não faz parte da humilhação dos filisteus nos capítulos 5 e 6. Mas ele é uma parte muito importante do reavivamento de Israel descrito no capítulo 7. As mesmas coisas que não acontecem em Israel quando a Arca está em Siló são as que acontecem sem o envolvimento da Arca no capítulo 7. A Arca não é o instrumento pelo qual Deus trabalha (como os israelitas erroneamente supunham); Ele trabalha por meio de Sua Palavra e da oração feita pelo profeta Samuel.

Deus leva embora a tábua de salvação de Israel, a Arca, e agora eles têm que procurar segurança em outro lugar. Samuel lhes diz onde procurar. Ele conclama a nação a se voltar para o Senhor de todo o coração. Eles irão demonstrar seu arrependimento abandonando todos os seus ídolos pagãos. (Por isso, vemos que a Arca realmente é um entre muitos ídolos para os israelitas - talvez o maior deles, mas apenas um ídolo). Eles se propõem a servir somente a Deus e esperar somente Nele pela libertação dos filisteus. Samuel, então, reúne todo Israel em Mispa, não muito longe de sua casa em Ramá, prometendo orar ao Senhor em favor da nação. O povo tira água e a derrama perante o Senhor. Uma vez que está escrito que eles também jejuam nesse dia, parece que a nação se abstém de comida ou água como sinal de seu arrependimento e sinceridade em buscar a Deus. Quando confessam seus pecados, Samuel ora por eles.

Aparentemente, Mispa era um lugar de adoração com vista para a área ao seu redor. Militarmente falando, era um local ideal para se defender na guerra. Os filisteus ainda não aprenderam a lição dada por Deus. Eles presumem que Israel tenha se reunido em Mispa para guerrear. Eles já tinham se saído vitoriosos sobre os israelitas antes e, por isso, presumem que serão bem sucedidos novamente. Os israelitas ficam amedrontados quando ouvem que os filisteus estão chegando. Eles não têm a Arca para levar com eles para a batalha (além disso, ela não funcionou da última vez que a usaram); portanto, tudo o que podem fazer é se lançar sobre o Senhor e confiar Nele. Eles terão que apelar para Ele na base da graça, não da mágica. Eles suplicam a Samuel, implorando que ele ore ao Senhor em seu favor, pedindo-Lhe que os livre dos filisteus que se aproximam.

Samuel oferece um holocausto completo ao Senhor em favor dos israelitas. Ele clama ao Senhor, suplicando-Lhe que os livre, e Deus atende sua oração. Samuel ainda está oferecendo o sacrifício, quando chegam os guerreiros filisteus. Os israelitas estão totalmente despreparados para este ataque, mas o Senhor parece produzir uma grande tempestade (ou, pelo menos, sons de trovão), que causa uma tremenda confusão entre os guerreiros filisteus e permite que os israelitas prevaleçam sobre eles. De Mispa, os israelitas perseguem os filisteus até Bete-Car, uma cidade cuja localização é desconhecida. Samuel, então, coloca uma pedra entre Mispa e Sem, chamando-a de Ebenézer, que significa pedra ou rocha de auxílio, um memorial de que esta batalha foi vencida com o auxílio do Senhor.

O resultado é o fim do domínio filisteu sobre Israel. Daí em diante, eles não invadem Israel novamente nos dias de Samuel, pois a mão do Senhor é com ele e contra eles. As cidades tomadas pelos filisteus são devolvidas a Israel. Também é estabelecida a paz entre os israelitas e os amorreus. O autor relaciona todas estas coisas diretamente ao governo de Samuel. Ele é sacerdote, profeta e juiz sobre todo Israel. Ele é uma espécie de juiz itinerante, que circula de Betel a Gilgal e a Mispa, julgando Israel em cada um destes lugares. Quando faz seu circuito, ele sempre retorna à sua casa em Ramá. Ali ele também julga Israel e constrói um altar ao Senhor.

Conclusão

A primeira coisa que me chama a atenção neste texto são as reversões. Israel não está servindo só a Deus, de todo o coração. Toda sorte de pecados está sendo praticada no mesmo lugar onde a Arca é mantida. Os sacerdotes são corruptos, vis e impenitentes. Israel sai para guerrear com os filisteus, levando a Arca para garantir a vitória, sendo miseravelmente derrotado e a Arca capturada e levada para Asdode em território filisteu. Ainda assim, no final da história, a Arca está de volta. Israel se arrepende de seus pecados, abandona seus ídolos e confia somente em Deus. Quando os filisteus atacam os israelitas que estão prestando culto a Deus, Deus os derrota, e o período de domínio filisteu termina. É importante ver claramente como ocorre esta reversão. O regresso da Arca, o arrependimento e reavivamento de Israel, e a vitória militar decisiva sobre os filisteus ocorrem em conseqüência da graça e do poder de Deus, não pelos méritos espirituais de Israel ou pelo uso mágico da Arca.

A segunda reversão é um pouco mais sutil, mas bastante perceptível quando refletimos sobre ela. Há uma clara mudança na intenção e na disposição de nosso texto do capítulo 5 ao capítulo 7. Pareceu-me por uns instantes perceber minha própria mudança de disposição enquanto trabalhava nele. No início da lição, no capítulo 5, estava bastante descontraído, gracejando enquanto lia a narrativa inspirada do autor sobre a humilhação de Deus à Dagom e seus adoradores filisteus. Há séculos é provável que os judeus que leiam esta narrativa da permanência da Arca por 7 meses em território filisteu morram de rir. Um judeu devoto, ao ler este relato, poderia pensar: Como os filisteus foram loucos. Como podem ser tão lerdos para entender que é a mão de Deus pesando sobre eles? Como podem ser tão loucos a ponto de tentar aplacar a ira de Deus justamente com uma oferta pela culpa de ratos e hemorróidas de ouro? E ainda imaginar a doidice de enviar a Arca de volta a Israel num carro de boi?

Se os filisteus são tão doidos, e isto poderia ser uma fonte de diversão para um judeu devoto, fico me perguntando como o olhar desse mesmo judeu deve mudar quando vê os israelitas começando a morrer aos montes, essencialmente pela mesma razão: irreverência pelas coisas santas de Deus e por desobediência às leis que proíbem exatamente as coisas que estão fazendo (tais como olhar para a Arca ou para dentro dela). Se ver os filisteus arrastando a Arca de uma cidade para outra diverte os leitores judeus, como será que eles reagem ao verem os israelitas de Bete-Semes tentando despachar a Arca para Quiriate-Jearim?

O fato é que o erro dos israelitas da época de Samuel é muito parecido com o erro dos filisteus. Tanto israelitas quanto filisteus tendem a ver a Arca com muita leviandade. Eles não têm nenhum respeito pela santidade de Deus e pelos objetos sagrados. Tanto uns quanto outros tendem a considerar a Arca como um ídolo. Eles procuram controlar a Deus, em vez que confiar Nele e obedecer a Seus mandamentos.

O erro de israelitas e filisteus parece muito antigo e longínquo. Como podemos, esclarecidos como somos, repetir os mesmos pecados? A resposta, em resumo, é Fácil. Vamos observar primeiramente os pecados dos israelitas. Deixe-me fazer algumas afirmações, pautadas na cultura dos tempos antigos que estamos considerando, e então pensar um pouco em suas versões atuais e em seus erros.

(1) O jeito de conquistar filisteus pagãos para a verdadeira fé israelita é convidá-los para o culto, minimizando qualquer elemento negativo e ofensivo (sem importar o quanto seja vital para a fé) e esforçando-se para que se sintam confortáveis e bem-vindos.

(2) Enquanto formos sinceros em nossa adoração, Deus não se importará com a forma que ela tome. Se nosso culto a Deus é diferente do culto prestado por Israel, é apenas porque Deus trabalha criando novas e excitantes formas de adorá-Lo.

(3) Sei que Deus disse em Sua Lei que as coisas sagradas do Tabernáculo deveriam ser manuseadas de certa forma e que somente pessoas escolhidas poderiam realizar determinadas funções, mas isto é politicamente incorreto. Todo mundo deveria ser igual, no sentido de que nenhuma função pode excluir alguns e incluir outros. Portanto, esqueça esse negócio de que só os levitas podem transportar a Arca, e deixe que qualquer um que se sinta em condições assuma o papel de levita no culto.

(4) Existe um jeito mágico de manipular a Deus, mantendo-O sob controle, a fim de que satisfaça nossas concupiscências e conceda nossos desejos pecaminosos. Este jeito é levar o símbolo da presença de Deus junto conosco, esperando que ele garanta nosso sucesso... Outro jeito, visto ao longo da história de Israel, é ver as leis e promessas de Deus como uma espécie de fórmula mágica: Se eu fizer isto, isto e isto, Deus vai fazer aquilo... Este é o tipo de pensamento deus constrangido e Deus não pode ser constrangido, embora certamente Ele possa e constrangerá aqueles que tentem fazê-lo.

Os filisteus erram em muitas coisas e devemos fazer uma pausa para considerar a natureza de seus erros. A coisa que mais me fascina é seu uso e abuso de métodos científicos. Nosso texto se empenha em nos informar sobre as coisas que fazem para testar suas experiências, a fim de terem certeza de que realmente é a mão de Deus que pesa sobre eles, causando a praga. Eles tentam manter a mente aberta quando Deus esparrama Dagom no chão, partindo-o em pedaços na segunda vez. Eles também querem ter certeza de que as pragas vêm da mão de Deus. Assim, há um meio cuidadosamente planejado para a Arca ser liberada de volta a Israel. Estas são antigas manifestações daquilo que chamamos de método científico.

Infelizmente, os filisteus parecem ser científicos, mas não querem ir aonde as evidências apontam. Mesmo quando tudo aponta para o Deus vivo e todo-poderoso de Israel, que está empenhado em cuidar de Seu povo, eles ainda preferem mandar Deus embora da cidade, continuando a servir a seu deus inanimado e despedaçado, Dagom. Eles o escoram, juntam seus pedaços e até santificam o limiar onde caiu, mas não abandonarão um ídolo morto para adorar e servir ao Deus vivo.

Às vezes ouço cristãos sendo criticados por não serem científicos, e também ouço cristãos criticando o método científico. Na verdade, quando aplicados cientificamente, esses métodos mostram as verdades abraçadas pelos cristãos. Será que é científico os filisteus realizarem todos estes testes e depois voltarem a seus ídolos inanimados? Seria bem mais científico se eles abandonassem seus ídolos e confiassem no Deus de Israel. Os cristãos são criticados por não serem científicos? A incredulidade é muito mais irracional, e nada científica.

Com isto desejo mostrar como Deus trabalha na vida de Seu povo, tirando-o da imoralidade e idolatria e trazendo-o ao arrependimento e restauração. Nosso texto mostra claramente uma série de acontecimentos e mudanças que levam à renovação espiritual de Israel. Primeiramente Deus produz nos israelitas um profundo senso de Sua santidade e o temor correspondente (reverência) por Si mesmo. A imoralidade e a violência tomam conta dos sacrifícios e dos objetos sagrados de Israel (como a Arca). A Arca é levada para a guerra como se fosse um pé de coelho. Depois que muitas pessoas são levadas à morte simplesmente por olharem para a Arca (ou para dentro dela), os israelitas começam a se perguntar quem é capaz de permanecer na presença do Senhor (6:20). Agora, o povo de Deus está começando a compreender quão superior e quão diferente é o único e verdadeiro Deus. Este é o ponto de partida para a renovação espiritual de Israel. Estou convicto de que é aqui que começa o verdadeiro reavivamento, com um profundo senso da santidade de Deus e o senso correspondente da magnitude de nosso pecado e da nossa indignidade diante de Deus. Os israelitas vêem sua idolatria e se arrependem, abandonando seus ídolos e voltando-se somente para Deus. É isto que os homens precisam fazer hoje. Deus providenciou um único meio pelo qual os pecadores podem ser perdoados e tornados justos, e esse meio é pela fé na pessoa e na obra de Jesus Cristo. Quando os israelitas buscaram primeiramente a Deus, Deus lhes deu a vitória sobre seus inimigos. Hoje também é assim. Um profundo senso da santidade de Deus, seguido pela confissão de nossos pecados e pelo abandono de qualquer coisa em que confiemos que não seja em Deus e na Sua providência - esta é a maneira como Deus tira os pecadores da irreverência, do pecado e do juízo, e os leva para a retidão, perdão, paz e acesso à Sua presença santa.

From the series: 1 Samuel (Portuguese)

Pages