11. Menyelesaikan Konflik Penikahan
Tidak peduli seberapa baik kita berkomunikasi dengan pasangan pernikahan kita, pasti ada perbedaan. Saya pernah mendengar beberapa pasangan menyatakan bahwa mereka tidak pernah memiliki perbedaan pendapat selama kehidupan pernikahan mereka. Pasti mereka memiliki keberadaan yang menjemukan dan tidak berwarna! Pasangan yang memiliki sedikit kepribadian takut menyatakan perasaan terdalam mereka. Sangat sulit percaya bahwa Tuhan pernah menciptakan 2 orang yang begitu serupa dalam segala hal sehingga pendapat mereka sama dalam semua hal!
Pertentangan pahan pasti ada. Sebab apapun bisa menghasilkannya. Sebab pertama yang mudah adalah kenyataan bahwa pasangan kita tidak memiliki semua kualitas yang kita bayangkan ada dalam mereka sebelum upacara! Karena kita ingin melihat daya tariknya dan menghilangkan yang tidak menarik, secara menta kita mendaftarkan pasangan kita dalam sekolah perbaikan pernikahan! Kemudian kita melanjutkannya dengan tugas penting mengubah mereka menjadi pasangan ideal kita.
Metode pengajaran yang disukai istri kelihatannya menjadi omelan, disertai oleh sedikit ejekan, melalui tangisan yang tetap. Metode pengajaran suami sepertinya menusuk, yaitu memotong komentar atau pernyataan yang sarkasme. Dia juga menggunakan kuliah kemarahan, diselingi dengan periode diam yang lama. Dua kehendak diri yang berdosa, terkoyak antara kasih diri dan kasih kepada pasangan, sekarang saling menguji, dan mencari siapa yang tertinggi dalam hubungan. Hasilnya adalah konflik.
Inti setiap konflik adalah diri. Kebanyakan orang menyalahkan konflik yang terjadi karena situasi: pekerjaan yang tidak diterima, rumah yang kecil, anak yang rewel, tetangga yang buruk, kurang uang, mertua yang turut campur. Tapi masalah sebenarnya adalah ego manusia ingin kebebasan yang tak terkendali untuk melakukan apa yang diinginkan, pada saat yang sama mengharapkan persetujuan tak bersyarat dari pasangannya. Dengan kata lain, ingin matahari berputar diorbit pasangan seperti planet. Jika Jika kedua bintang bersaing menjadi pusat tata surya, hasilnya akan kacau balau—tapi itu yang terjadi dalam kebanyakan perkawinan!
Kadang orangmuda ingin cepat menikah, ingin melarikan diri dari situasi rumah yang tidak menyenangkan. Masalah sebenarnya bukan rumah atau orangtua mereka. Itu ego berdosa mereka, dan beserta mereka saat mereka menikah! Ego ini mulai berinteraksi dengan ego yang lain, dan masalah keluarga sebelumnya hulang dengan pernikahan baru! Pertama, Tuhan ingin kita belajar bagaimana menghadapi nature berdosa kita. Kemudian kita bisa siap berinteraksi dengan bahagia bersama pasangan pernikahan kita.
Saat komunikasi berarti rusak dalam pernikahan, perselisihan bisa terjadi atas hal yang remah, kadang menjadi begitu sering dan sangat panas sehingga pasangan merasa mereka tidak sesuai. Saya sangat meragukan adanya ketidaksesuaian dalam pandangan Tuhan—hanya dua kehendak yang perlu ditaklukan oleh Yesus Kristus. Saat Dia menjadi pusat pernikahan, dengan setiap pasangan hidup untuk kemuliaanNya, harmoni dan kebahagiaan akan terjadi.
Misalkan konflik memang terjadi, dan pasangan mau membuat penyesuaian rohani yang memang harus dibuat. Kemudian, bagaimana kita menyelesaikan perselisihan dalam pernikahan kita? Kita perlu menyadari, pertama, argumentasi tidak selalu kekuatan yang menghancurkan. Itu bisa menjadi hal yang diperlukan untuk membuka jalur komunikasi dan membuka luka jiwa yang melebarkan jarak diantara kita. Mngkin ada beberapa perubahan yang harus dibuat, tapi omelan dan memotong pembicaraan tidak menghasilkan hal ini. Itu hanya memperkuat ketegangan dan membuat kita lebih jauh. Diskusi yang baik mungkin satu-satunya hal yang bisa membuka perasaan kita. Jika demikian, maka kita perlu melakukannya, memulai argument. Tapi kita memerlukan aturan dasar sebelum mulai. Disini ada beberapa petunjuk bagi argument yang menguntungkan.
Pertaman, kita harus membangun tujuan kita untuk pengenalan masing-masing lebih dalam. Jika kita bisa mencapai ini, kita bersyukur pada Tuhan untuk perbedaan ini. Tujuan argument bukan untuk memutuskan siapa pemenang dan yang kalang. Juga bukan untuk mengubah pasangan kita. Tapi memberikan pengertian baru bagaimana pasangan kita berpikir tentang masalah yang mempengaruhi kita. Mungkin baik bagi setiap pasangan untuk menyatakan kembali pandangan lainnya untuk kepuasan dia. Itu bisa menjamin tercapainya tujuan ini, setidaknya pada tingkatan tertentu.
Kedua, kita harus minta Tuhan menolong kita mengatur emosi kita. Kita sering berkata dibawa tekanan emosi hal yang tidak kita maksudkan, hal yang menyakiti dan menghancurkan. Hal ini tidak cepat dilupakan. Buah Roh adalah pengendalian diri, dan kita butuh membiarkan Dia menyatakan ketenangan dan kontrolNya bahkan disaat tuduhan yang tidak benar atau provokasi serius. Ini tidak berarti emosi harus dikeluarkan. Kita mungkin tidak pernah menyatakan apa yang kita rasakan dalam hati jika emosi tidak ada. Tapi walau emosi kita benar bisa dinyatakan, itu harus dijaga oleh Roh Kudus dalam diri kita. Seorang istri mengatakan pada saya bahwa kapanpun diskusi mulai memanas, suaminya berkata, “Mari kita berdoa untuk hal ini,” dan dia mulai berdoa, dengan bersuara. Itu merupakan efek menenangkan yang luar biasa atas pernikahan mereka!
Ketiga, kita harus menyerang masalah itu—bukan pribadi atau motifnya. Mudah sekali menjadi terlalu kritis dalam setiap argument, dan membuat penilaian yang tidak akurat terhadap karakter lawan kita atau salah menuduhnya melakukan motif jahat. Saat istri gagal membersihkan rumah atau suami menunda beberapa pekerjaan, pasangan yang tidak sabar mungkin meningkatkan tuduhan seperti, “Kamu jelas malas.” Itu mungkin bukan masalahnya sama sekali, dan tuduhan semacam itu bisa menyebabkan ketidak bahagiaan besar untuk waktu yang lama. “Kamu melakukan itu untuk menjauh dari aku,” merupakan pernyataan yang disenangi saat pasangan anda melukai anda. Tapi siapa yang membuat anda jadi pembaca pikiran atau kemampuan untuk membedakan motif? Rasul Paulus membuat penyelidikan tentang orang yang menilai orang lain. “Karena itu, hai manusia, siapapun juga engkau, yang menghakimi orang lain, engkau sendiri tidak bebas dari salah. Sebab, dalam menghakimi orang lain, engkau menghakimi dirimu sendiri, karena engkau yang menghakimi orang lain, melakukan hal-hal yang sama.”[1] Kita punya kecenderungan memproyeksikan motif kita pada orang lain; tuduhan marah kita terhadap pasangan kita menunjukan hati kita sendiri daripada dia. Kristus berkata kita akan dihakimi dengan standar yang sama yang kita beri pada mereka, “kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”[2]
Keempat, kita harus ingat bahwa penyerangan dengan kemarahan terhadap kita kadang disebabkan oleh kejadian yang sama sekali tidak berhubungan dengan kita. Sering saat suami atau istri marah, pasangan mereka kelihatannya menjadi target yang paling empuk bagi kemarahan mereka. Singkatnya, tekanan keluarga dan anak tertumpuk kepada seorang istri selama sehari penuh. Dia tegang dan hampir meledak saat suaminya masuk pintu, gembira seperti burung. Dia menggantung jaketnya seperti suami yang baik, tapi lupa menutup pintu closet—dan istrinya meledak! Seorang suami yang dipenuhi oleh kasih Tuhan dan pengertian menyadari bahwa ada sesuatu dibalik semua ini, dan dia berespon dengan lembut. Mungkin suami yang pulang rumah berakting seperti beruang marah. Dia memarahi anak dan mengkritik makanan. Istri yang dipenuhi Roh mengerti bahwa tindakannya itu merupakan hasil dari tekanan kerja dan bukan permusuhan terhadap keluarga. Jika kita mau mendengar pasangan kita dengan tenang dan sabar daripada bertindak marah disaat pertama, masalah sebenarnya akan terlihat. Kemudian, daripada ngomel, kita bisa menawarkan pengertian yang simpatik, dan menggelakan trauma pertikaian.
Akhirnya, kita perlu belajar kapan dan bagaimana membawa argument sampai kekonklusi. Sebagian pertengkaran tidak pernah berakhir; itu terus berlangsung selama bertahun-tahun! Orang lain kelihatannya mati tanpa sampai kekonklusi, dan memperdalam dendam. “Mari kita lupakan saja” biasanya berarti, “Jika kita membahas ini lebih lama lagi, Saya mungkin menyerah!” Jika kita salah, kita harus mengakuinya. Jika kita butuh waktu memikirkannya, kita harus mengatakannya. “Saya mulai mengerti pandanganmu, tapi perlu waktu untuk memikirkannya.” Kemudian lakukan itu—pikirkan lagi dihadapan Tuhan.
Sekarang masalah terbuka. Kita harus saling berkomunikasi dan membagi pengertian yang lebih dalam. Sekarang kemana kita pergi? Bagaimana kita menyelesaikan konflik? Ada beberapa prinsip Alkitab yang bisa menolong kita.
Pertama, kita harus mengkonsentrasikan perhatian kita pada kesalahan kita, pikirkan lebih dulu wilayah dimana kita bisa memperbaiki dan mengembangkan diri. Cobaan saat konflik muncul dari kesalahan yang dibuat terhadap kita, mengulangi kesalahan dan ketidakadilan yang lalu. Kemudian kita mulai membangun masalah untuk konfontasi berikut! Lupakan itu! Pikirkan bagian kesalahanmu, sekecil apapun itu. Kehendak diri kita dan kesombongan bertanggung jawab dalam sebagian konflik. Itu mungkin tuntutan kecil yang kita buat untuk pasangan kita bagi kesenangan sendiri. Itu mungkin ketidakpedulian yang kita tunjukan terhadap kebutuhan pasangan kita. Itu mungkin kedinginan yang kita nyatakan karena perasaan kita terluka. Semuanya adalah kesombongan egois, dan semuanya membantu menambah konflik. Kapanpun ada konflik kesombongan terlibat,[3] dan setiap kita biasanya bersalah dalam hal ini. Kita perlu mengakuinya.
Sangat mudah menyalahkan pasangan kita. Kita cenderung berpikir kalau kita bertindak karena apa yang dikatakan pasangan kita. Kita pikir mereka yang bersalah. Tapi ini cara setan. Dia ingin kita berpikir tentang kesalahan pasangan kita daripada kesalahan kita untuk menghasilkan perselisihan. Yesus menyebutnya munafik. “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”[4] Mari kita minta Tuhan menolong menyadarkan bagian kesalahan kita. Kita jangan berbelas kasihan pada diri. Sangat mudah kejam terhadap orang lain dan lunak pada diri sendiri. Ini egois. Kerendahan hati yang sejati adalah toleran terhadap yang lain dan menuntut diri. Sekali kita mengetahui dosa kesombongan kita, Tuhan memberikan pengampunan dan memperbaharui kerukuran keluarga kita.
Sekarang setelah kita mengakui bagian kesalahan dan menerima anugrah pengampunan Tuhan, kita bisa meminta Dia untuk memberikan kita kemenangan atas dosa kita, sehingga kita melepaskan hasrat untuk mendapatkan segalanya dengan cara kita. Kita harus meminta Dia menolong kita mengubah apa yang perlu diubah dalam hidup kita. Saat kita ditengah krisis pernikahan, kita biasanya merasa bahwa masalah kita bisa diselesaikan jika pasangan kita mengubah jalan mereka. Itu jarang terjadi! Melalu anugrah Tuhan kita menjadi pasangan baru. Kita tidak benar-benar mengubah orang lain menjadi lebih baik melalui kritik dan komplain. Kita hanya memperdalam batas yang ada diantara kita. Kita harus memberikan perhatian kita pada hal yang bisa kita ubah melalui kuasa dan anugrah Tuhan—diri sendiri! Tuhan tidak mengharapkan kita mengembangkan pasangan kita; Dia berharap kita menyediakan kebutuhannya. Saat kita mengembangkan diri, pernikahan kita juga akan mulai berkembang.
Saat suami atau istri kita menyadari bahwa kita berhenti mengganggu mereka dan sebaliknya membuat perubahan berarti dalam hidup kita sendiri, mereka akan mulai berespon dengan baik. Mereka butuh hati yang sangat dingin untuk tetap tidak berubah. Suatu balasan yang memuaskan bagi prilaku egois kita!
Setelah berurusan dengan jelas terhadap kelemahan kita, sekarang kita kelangkah berikut.
Prinsip Alkitab kedua untuk menyelesaikan konflik adalah sepenuhnya mengampuni kesalahan pasangan kita. Sangat sulit mengampuni saat pasangan kita tidak minta maaf. Tapi lihat seperti ini. Jika kita benar-benar mengakui bagian kesalahan kita, kita harus mengakui bahwa serangan mereka terhadap kita, setidaknya sebagian merupakan hasil dari cara kita memperlakukan mereka. Kita tidak punya pilihan selain mengampuni, bahkan jika mereka tidak mengakui kalau mereka salah. Bahkan kita akan meminta maaf untuk bagian kesalahan kita jika kita ingin hamoni diperbaharui kembali, dan kita tidak bisa minta maaf dengan cara yang tepat jika kita terus memupuk perasaan sakit. Satu-satunya cara menyingkirkan perasaan itu dari kita adalah mengampuni pasangan kita sepenuhnya atas semua serangan yang mereka lakukan terhadap kita. Tidak ada indikasi kalau orang yang salah terhadap Petrus pernah minta maaf padanya, tapi Kristus mengatakan dia harus mengampuni sebanyak 490 kali.[5] Dia mengajarkan bahwa tidak ada akhirnya untuk mengampuni.
“Tapi sakitnya terlalu dalam. Saya tidak bisa mengampuni.” Itu pernyataan yang menarik. Dengar Kristus sekali lagi: “Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”[6] Pada mulanya ini kelihatannya mengajar bahwa pengampunan kita didasarkan atas pengampunan kita terhadap orang lain, sebaliknya anugrah Tuhan dalam Kristus. Bagaimanapunm, ini berlawanan dengan pengajaran Kristus yang lain. Saya percaya Dia berkata, sebagai gantinya, bahwa jika kita menolak mengampuni orang yang bersalah pada kita, Tuhan tahu bahwa pengakuan dosa kita kepadaNya kurang tulus, dan karena itu kita tidak menerima pengampunan yang disediakanNya bagi kita. Saat seseorang mengakui dosanya dan mengalami berkat pengampunan Tuhan, dia tidak bisa tidak mengampuni yang lain. Jika kita menolak, kita mengakui bahwa kita tidak mengetahui arti diampuni oleh Tuhan. Tidak ada orang yang jujur bisa menerima pengampunan Tuhan tapi menolak mengampuni orang lain.
Tidak mungkin melebihkan pentingnya pengampunan. Saat kita mendapat pengampunan, permusuhan dan kepahitan hilang dan prilaku kasar dan tidak toleran digantikan dengan kasih dan perhatian terhadap pasangan kita.
Sekarang kita siap untuk langkah terakhir. Kita telah mengakui kesalahan kita dan mengampuni semua kesalahan pasangan kita. Sekarang kita harus dengan jujur dan terbuka minta maaf pada mereka terhadap bagian kesalahan kita. Suatu kesalahn mencoba minta maaf sebelum kita mengakui kesalahan kita dan mengampuni kesalahan mereka. Permintaan maaf kita akan kurang dari yang diinginkan Tuhan. Itu akan semakin memperburuk daripada memperbaiki. “Saya salah, tapi kamu juga.” “Saya minta maaf telah melakukan itu, tapi itu bukan seluruhnya kesalahan saya.” “Saya minta maaf berkata demikian, tapi apalagi yang bisa saya katakan setelah kamu berkata demikian?” “Saya minta maaf jika ada sesuatu yang menyinggung kamu.” Tidak satupun dari pernyataan ini bisa mengakui apapun. Itu semua bukan permintaan maaf yang sejati dan tidak mengecoh siapapun—apalagi pasangan kita!
Hanya setelah hati kita telah benar dihadapan Tuhan baru kita bisa menawarkan permintaan maaf yang benar. “Sayang, Saya minta maaf Saya …” (dan kita mendaftar hal spesifik yang kita lakukan dan katakan untuk menyerang yang berkontribusi dalam konflik)—titik! Tidak ada “jika” “dan” atau “tapi”. Kata “sayang, saya minta maaf” dikatakan dari hati yang hancur merupakan suara terindah dibumi, dan menyembuhkan pernikahan kita. Inilah maksud Yakobus saat dia menulis, “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.”[7] Walau dia terutama menunjuk pada kesembuhan fisik, kebenaran yang sama bisa diaplikasikan pada penyembuhan hubungan pernikahan. Pengakuan tulus dan terbuka terhadap kesalahan merupakan kekuatan menyembuhkan.
Kenapa orang sangat sulit minta maaf? Mungkin mereka pernah mencoba minta maaf sebelumnya tapi ditolak. Sekarang mereka takut mencobanya lagi. Tapi alasan penolakan mungkin berasal dari prilaku mereka yang kurang tepat saat menawarkan permintaan maaf. Sebagian pria berpikir bahwa mengakui kesalahan adalah tanda kelemahan. Sebenarnya, itu tanda kekuatan rohani dan emosi—suatu tanda kesehatan, kepribadian yang seimbang. Sebagian orang takut kehilangan muka didepan orang yang mereka kasihi jika mereka mengakui kesalahan mereka. Tapi sebaliknya yang benar; dengan jujur pada diri sendiri, mereka bisa memberikan rasa hormat lebih dari sebelumnya. Sebagian berkeras bahwa munafik kalau minta maaf, karena mereka mungkin akan melakukan hal yang sama lagi. Penolakan merupakan ketidaktaatan terhadap Dia. Kita harus mengatasi masalah seperti arahanNya, mempercayakan Dia menolong kita dalam situasi kedepan.
Yesus mengajarkan bahwa kita harus berdamai dengan yang lain sebelum kita bisa bersekutu dengan benar bersama Tuhan. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.”[8] Jika seseorang berbuat sesuatu terhadap kita, itu mungkin kita telah melukai dia. Maka tanggung jawab kita adalah pergi kepadanya dan mengakui kesalahan kita, dan berdamai dengannya. Ibadah kita akan kurang sampai kita melakukannya. “Tapi bukankah dia seharunya mengampuni saya jika saya menolak minta maaf?” Ya, benar. Tapi setiap orang harus bertanggung jawab pribadi pada Tuhan untuk dirinya sendiri. Kita harus melakukan apa yang Tuhan ingin kita lakukan, biarlah kesalahan orang lain Tuhan yang urus.
Pertanyaannya “Siapa yang memulainya?” atau “Siapa yang membuat langkah pertama?” tidak penting. Tidak ada bedanya siapa yang mulai duluan. Kita harus mengambil inisiatif dalam pengakuan apapun situasinya. Bahkan jika kita sangat terluka, mengakui bagian kesalahan kita dalam kasih akan mempermudah pasangan kita mengakui bagian mereka. Tidak peduli sedikitnya kesalahan kita, kita harus menfokuskan perhatian pada hal ini dan dengan jujur meminta maaf. Tuhan akan menggunakan itu untuk mengatasi konflik pernikahan kita.
Saya membagikan beberapa konsep ini dengan istri dan ibu muda bernama Lynn. Suaminya memiliki pekerjaan yang menuntut waktu yang lama dan tidak terduga. Dia merasa tidak perlu memberitahu istri saat kerja larut, dan banyak makanan jadi percuma karena kurangnya pertimbangan. Saat dia pulang, dia langsung makan, kadang tanpa berkata apapun kepadanya, dan keluar rumah untuk menikmati hobinya sampai larut malam. Dia tidak memberi waktu kepada 3 anaknya, dan mereka kurang mengenalnya.
Setelah berdiskusi Lynn setuju bahwa, dengan pertolongan Tuhan, dia akan berkonsentrasi pada hal yang bisa dikembangkan dalam hidupnya, memberi perhatian khusus pada pemenuhan kebutuhan Jack. Dia menyerahkan kurangnya pertimbangan Jack kepada Tuhan dalam iman. Saya mengetahui kemudian bahwa pekerjaan Jack berjarak 500 mil jauhnya. Sekitar setahun kemudian saya menerima surat ini dari Lynn:
Dear Dr. Strauss,
Saya ingin menulis dan berterima kasih pada anda untuk nasihatnya. Itu berhasil. Perkawinan kita dan hubungan pribadi kami sangat berubah. Saya mulai melupakan diri dan hal yang saya rasa layak dan perlukan, dan mencoba memikirkan Jack dan kebutuhannya. Awalnya sangat sulit, tapi saat saya menyerahkan diri pada Tuhan, itu menjadi lebih mudah setiap hari. Setelah itu—sepertinya datang secara otomatis.
Kemudian hal-hal mulai berubah. Jack mulai menelepon saya dari tempat kerja saat terlambat pulang kerja dari rencananya. Dia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Dia mulai memberi waktu duduk dan bermain dengan anak-anak daripada langsung keluar setelah makan malam. Lebih mudah bicara dengannya sekarang tentang perbedaan yang kita hadapi. Dia tidak cepat marah seperti dulu. Keluarga kami lebih bahagia dari sebelumnya, dan itu tidak sulit sekali mengikuti saran anda. Terima kasih banyak.
Sincerely, Lynn
Tidak, itu tidak sangat sulit melakukan apa yang diminta Tuhan dalam FirmanNya! Jika kita dengan jujur ingin melihat pernikahan kita berubah, kita perlu percaya Dia menolong kita membuat langkah pertama.
[1] Romans 2:1, KJV.
[2] Matthew 7:2, KJV.
[3] Proverbs 13:10.
[4] Matthew 7:5, TLB.
[5] Matthew 18:21, 22.
[6] Matthew 6:14, 15, TLB.
[7] James 5:16, TLB.
[8] Matthew 5:23, 24, TLB.
Related Topics: Christian Home, Marriage
Jurnalul Electronic Al Păstorilor, Rom Ed 15, Editia de primăvară 2015
Ediţia de Primăvară 2015
Autor: Dr. Roger Pascoe, Preşedinte,
Institutul Pentru Predicare Biblică
Cambridge, Ontario, Canada
“Întărind biserica în predicare biblică şi conducere”
Partea I: Două Fundamente Esenţiale Pentru Predicare
Primul fundament pentru o lucrare stabilă şi durabilă constă într-o motivaţie pentru lucrare adecvată, din partea predicatorului. Am studiat această tematică în ultimele două ediţii ale Jurnalului. Acum, ajungem la cel de-al doilea fundament pentru predicare…
Întruparea Mesajului De Către Predicator
Nu doar că lucrarea ta va fi instabilă şi poate de scurtă durată, dacă duce lipsă de cele patru fundamente ale predicării, nici mesajul nu va fi puternic şi credibil, dacă nu practici ceea ce predici.
Toată predicarea autentică este una întrupată – adică adevărul predicat este reflectat şi trăit de către predicator. Aspectul acesta este esenţial pentru predicare – nu te poţi detaşa de mesajul pe care-l proclami.
Dr. Martyn Lloyd-Jones a considerat că predicarea implică „comunicare prin personalitate”. Dr. Stephen Olford scrie: „Pentru a fi comunicat în mod eficient, mesajul trebuie să fie simţit în interior şi întrupat în afară.” – adică trebuie să fie incarnaţional. [1]
La asta s-a referit Isus când a spus: „Cine vă ascultă pe voi, pe Mine mă ascultă” (Lc. 10:16). Este vorba despre o predicare întrupată – cuvântul lui Dumnezeu trăit. Nu putem să fim separați de adevărul pe care-l proclamăm. Trebuie să trăim focalizați pe Cuvântul lui Dumnezeu și voia Lui, până ce vom putea vorbi despre „mărturia lui Dumnezeu) (1 Cor. 2:1) cu autoritate, fiind noi înșine captivați de aceasta.
Predicarea întrupată a fost definită ca exprimarea adevărului prin personalitate.[2] Ca lucrători cu Evanghelia, Cuvântul lui Dumnezeu trebuie să fie întrupat în noi și trăit. Trebuie să ne identificăm cu mesajul pe care-l vestim, tot așa cum Isus (Logosul) s-a identificat cu Tatăl pe care L-a proclamat: „Cuvântul S-a făcut trup.” (In. 1:14). Isus l-a dezvăluit pe Tatăl – a fost Dumnezeu și Om. El l-a arătat pe Tatăl într-o formă trupească. Isus s-a identificat pe Sine cu Tatăl, în trupul Său. Isus l-a întrupat pe Tatăl și, făcând lucrul acesta, ni L-a explicat (exegetat) – ex. „L-a făcut cunoscut” (In. 1:18), astfel încât să-l putem cunoaște (să-l „vedem”) pe Tatăl.
Dr. Olford afirmă: Isus a fost „revelația întrupată… (adică) esența predicării răscumpărătoare. Ceea ce nu este întrupat, nu este răscumpărător și ce nu este răscumpărător, nu poate transforma viețile.”[3]
La fel cum prin întruparea lui Isus, Dumnezeu a putut fi văzut în formă umană, tot așa trebuie să trăim și noi Cuvântul pe care-l predicăm, iar oamenii să vadă Cuvântul în noi – să poată „vedea” cum este Hristos și, prin urmare, să-l „cunoască” pe El.
Predicarea întrupată este un mister divin, la fel cum întruparea și răstignirea lui Hristos sunt „o nebunie pentru cei ce sunt pe calea pierzării” (1 Cor. 1:23). Pentru ca acest mister să devină viu și tangibil, este nevoia ca noi, ca predicatori, să ne identificăm cu mesajul pe care-l proclamăm.
Apostolul Pavel descrie predicarea incarnațională în 1 Corinteni 2:1-5. În acest pasaj învățăm trei caracteristici ale predicării întrupate.
În primul rând, când predici, mesajul trebuie să fie convingător, nu datorită înțelepciunii și vorbirii tale, ci pe baza persoanei și lucrării lui Hristos. „Cât despre mine, fraților, când am venit la voi, n-am venit să vă vestesc taina lui Dumnezeu cu o vorbire sau înțelepciune strălucită. Căci n-am avut de gând să știu între voi altceva, decât pe Isus Hristos și pe El răstignit.” (1-2). Pavel spune că, atunci când se comunică Evanghelia, puterea ei de convingere nu derivă din oratoria, istețimea, sau înțelepciunea noastră, ci din natura a ceea ce este și a făcut Hristos. Mesajul nostru are impact numai atunci când îl predicăm „pe Hristos și pe El răstignit.” Doar Duhul Sfânt poate să-i convingă pe oameni să creadă adevărul despre Hristos. Numai Evanghelia poate să le deschidă mintea oamenilor și să le schimbe atitudinea, astfel încât să fie receptivi la adevărul Cuvântului lui Dumnezeu.
În al doilea rând, când predici, mesajul trebuie să fie puternic, nu datorită persoanei și cuvintelor tale, ci datorită lucrării Duhului Sfânt. „ Eu însumi, când am venit în mijlocul vostru, am fost slab, fricos și plin de cutremur. Și învățătura și propovăduirea mea nu stăteau în vorbirile înduplecătoare ale înțelepciunii, ci într-o dovadă dată de Duhul și de putere…” (3-4). Doar Duhul Sfânt poate să ia adevărul și să-l atașeze de o persoană. Este nevoie să existe această fuziune divină care transmite adevărul prin predicator către adunare, în baza lucrării Duhului Sfânt. Dar lucrarea Acestuia îi schimbă pe oameni și le oferă vieți nou, nu abilitățile noastre de a-i impresiona. Când Evanghelia este vestită în mod corect, clar și potrivit, oamenii răspund pozitiv față de ea, iar acest lucru este o dovadă a puterii Duhului și nu a abilităților noastre sau a capacităților de convingere pe care le avem. Cum se întâmplă acest lucru este, într-adevăr, un mister. Este vorba despre lucrarea tainică a Duhului lui Dumnezeu, Singurul ce poate să aducă viață nouă în sufletele pierdute.
În al treilea rând, când predici, mesajul trebuie să fie productiv, nu datorită credinței în înțelepciunea umană ci datorită credinței în puterea lui Dumnezeu. „…pentru ca credința voastră să fie întemeiată nu pe înțelepciunea oamenilor, ci pe puterea lui Dumnezeu.” (5). Când predicăm, noi nu încercăm să-i impresionăm pe oameni cu intelectul nostru sau cu înțelepciunea noastră, de parcă acestea i-ar putea convinge pe oameni să creadă Evanghelia. Nu vrem ca oamenii să aibă credință în noi sau în cunoștințele noastre, ci „în puterea lui Dumnezeu”, după cum spune Evanghelia. Numai atunci predicarea noastră va fi productivă. Doar atunci, ea va produce roadă pentru Dumnezeu.
Fie ca niciodată să nu ne ridicăm să predicăm, până când nu spunem: „Cuvântul s-a făcut trup în mine”.
Partea A II-A: Pregătirea Pentru Predicare
“Resurse pentru studierea textului”
Pentru a interpreta corect Biblia este nevoie să utilizăm toate uneltele de cercetare pe care le avem la dispoziție. Începem cu O SINGURĂ SURSĂ PRIMARĂ. O implicație clară a expresiei „expunere biblică” este aceea că mesajul are doar o singură sursă – Biblia. Putem să folosim și alte materiale, însă numai ca elemente auxiliare (ex. pentru clarificare, aplicare, ilustrare sau apel). Biblia este sursa voastră primară de material și este esența mesajului vostru. Există multe alte surse de informații, însă Biblia este cea primară – este fundamentul credinței voastre.
Multe alte religii pretind a fi creștin, dar avem o singură sursă, cu adevărat, creștină – Biblia. Ceea ce diferențiază credința creștine de toate celelalte este faptul că are doar o singură sursă – Cuvântul lui Dumnezeu. Prin urmare, Biblia trebuie să fie singura sursă primară pentru predicarea noastră.
Termenul ”predicator” înseamnă ”vestitor”. Un vestitor este cineva care anunță mesajul neschimbat al regelui. Tot astfel, cel ce expune Biblia are responsabilitatea de a predica mesajul nealterat al Regelui. Așadar, textul biblic trebuie să rămână principala sursă a predicatorului.
Cum poți avea grijă ca textul biblic să fie prioritar atunci când pregătești predicile? Un mod este prin a revedea schița predicii și prin a însemna materialului care duce lipsă de sprijinul unui anumit text. Apoi, asigurați-vă că acela este doar un material auxiliar și nu expozitiv.
Apoi, avem la dispoziție RESURSE SECUNDARE MULTIPLE. Noi avem doar o singură sursă primară care formează esența mesajului, însă avem și multe resurse secundare utile în predicare. Se poate să creșteți acuratețea, eficiența și claritatea în predicare folosind multe din resursele secundare disponibile și în același timp să rămâneți fideli angajamentului vostru de a declara mesajul așa cum reiese din sursa primară a Scripturii.
Aceste multe resurse secundare sunt unelte în arsenalul vostru care vă pot ajuta să atingeți ținta principală a expunerii biblice. Resursele acestea includ:
1) Un dicționar. Folosiți un dicționar pentru a clarifica orice cuvânt al cărui înțeles nu-l știți sau nu-l înțelegeți.
2) Concordanțele. Concordanțele sunt manuale de trimiteri biblice. Ele arată unde este folosit un anumit cuvânt din Biblie. Cele mai multe concordanțe utilizează cuvântul așa cum este tradus în Biblie și, deci, este nevoie să folosești una specifică unei anumite traduceri (ex. NIV, NKJV).
În plus, când căutăm trimiterile din Biblie, în limba engleză, concordanțe precum cea a lui Strong atribuie și câte un număr fiecărui cuvânt din limba originală (ebraică sau greacă), astfel încât să puteți urmări toate locurile din Biblie unde este folosit același cuvânt în original și modul în care el a fost tradus.
Trebuie să învățați să folosiți concordanțele, nu doar pentru a vă uita la sensul unui cuvânt, ci și pentru a ști cum poate fi tradus un cuvânt în funcție de uzul său și să vedeți cum diverse cuvinte sunt traduse în același fel deși nu sunt sinonime, sau să vedeți cum este folosit cuvântul în context.
3) Lexicoanele – pun la dispoziție cuvintele în limba lor originală, oferă primele sensuri ale cuvintelor și indică textele unde acestea apar. Ele mai indică și variații ale semnificațiilor, în funcție de starea și contextul pasajului. Folosirea lexicoanelor presupune, de obicei, abilitatea de a lucra cu limbile biblice.
4) Cărți de analiză a cuvintelor. Aceste cărți sunt un fel de hibrid între concordanță și lexicon. Ele arată cuvintele în engleză și ne arată și diverse cuvinte în limba originală, are sunt traduse în felul acela. Putem vedea și referințele textuale asociate acestor cuvinte. Ele sunt de mare folos pentru cei ce nu sunt obișnuiți să lucreze cu limbile biblice.
5) Atlasele biblice – asociază locurile cu evenimentele istorice și ne pun la dispoziție informații despre cultură, climat etc.
6) Dicționarul Biblic/ Enciclopedia biblică. Acestea ne oferă articole scurte pe teme biblice (locuri, oameni, obiceiuri etc.). Enciclopediile biblice includ și articole mai lungi pe diverse teme. Aceste resurse îți oferă, în formă comprimată, beneficiile rezultate din cercetarea științifică
7) Comentariile biblice. Înainte de a utiliza comentariile, încercați să descoperiți tema și direcția pasajului de unii singuri, prin studiul textului. Apoi, alegeți cel puțin patru, cinci, comentarii bune pe subiectul tratat. Când citiți aceste comentarii faceți următoarele lucruri:
- Notați orice fel de sugestii exegetice – dificultăți sau discuții legate de traducere, cuvinte, fraze, expresii nefamiliare.
- Notați orice fel de sugestii hermeneutice – ce a vrut să spună autorul și ce înseamnă astăzi.
- Notați orice fel de sugestii homiletice – alcătuirea structurii textului și a aplicațiilor acestora în context contemporan.
- Notați orice fel de sugestii introductive – aspecte istorice, culturale, textuale.
- Notați orice fel de sugestii teologice – doctrine dificile, subiecte complexe etc.
Fiți atenți să nu fiți derutați de comentariile care se ocupă de lucrurile ce nu nimic de-a face cu predica. Amintiți-vă că acestea sunt comentarii, iar predica nu este un comentariu, ci un mesaj de la Dumnezeu pentru poporul Său din vremea aceasta, mesaj înrădăcinat în textul Cuvântului Său. Trebuie să stabiliți care este direcția mesajului vostru, dacă se poate, înainte de a consulta comentariile, acestea fiind consultate în special pentru clarificarea unor aspecte hermeneutice. Nu vă extrageți mesajul din comentarii – nu acesta este motivul pentru care ele au fost scrise. Ele se ocupă de multe aspecte – hermeneutice, textuale, contextuale, canonice etc. Comentariile nu a fost scrise pentru predici specifice și vă pot duce ușor în eroare spre subiecte pe care le apreciați, dar care nu se potrivesc cu mesajul vostru.
Vă recomand să folosiți comentariile care ajutoare care pot îmbogăți mesajul pe care Dumnezeu vi l-a dat în urma studiului propriu făcut asupra Scripturii. Comentariile ar trebui să fie folosite pentru: (1) sporirea înțelegerii asupra pasajului; (2) să urmăriți „o a doua părere” privitoare la interpretarea pe care i-ați dat-o textului și modul cum îl folosiți (vă poate ajuta să evitați a spune ceva greșit); (3) să vă luptați cu pasaje greu de interpretat.
Asigurați-vă că folosiți întotdeauna mai multe comentarii pentru a nu greși. Este posibil ca un anumit comentariu să nu vă ofere interpretarea corectă, sau să nu prezinte toate variantele. Marele beneficiu al comentariilor este ca acestea dețin de obicei rezultatele multor ani de cercetare științifică, la care voi nu puteți ajunge în timpul limitat alocat pregătirii unei predici. Evident că noi vrem să beneficiem de aceste rezultate.
Ce vreau să spun este că trebuie să studiați textul și să descoperiți mesajul acestuia, voi înșivă. Dacă, totuși, textul este de așa natură încât nu vă puteți da seama despre ce e vorba, secvențele și conexiunile dintre idei, sau ce înseamnă, s-ar putea să fie nevoie să consultați comentariile ceva mai devreme în procesul studiului.
8) Cărțile de teologie sistematică: Ele vă ajută să studiați prezentarea organizată a doctrinelor, făcută de teologi, deși fiecare dintre ei poate avea o anumită opțiune doctrinară.
9) Softurile biblice – programele biblice IT disponibile în zilele noastre aproape că fac din tradiționalele surse secundare ceva de prisos. Aceste softuri includ cam tot ce am spus mai sus, într-un singur pachet. Multe dintre programe conțin și o sumedenie de cărți la care puteți avea acces pentru un cost suplimentar.
10) Site-urile creștine – multe site-uri creștine conțin materiale deosebit de folositoare pentru predicare. Unul dintre aceste site-uri este, desigur, cel ce publică aceste Jurnale Pastorale (https://bible.org/net-pastors-journal).
Concluzii: Aceste zece resurse îți vor oferi suficient material auxiliar așa încât să puteți studia un anumit pasaj. În plus, mai puteți folosi și diverse traduceri ale Bibliei, pentru a vedea modul în care traducătorii au interpretat textul.
Partea A III-A: Conducere – Să Fii Un Model De Slujitor Evlavios
“Supunerea ta față de Duhul Sfânt,” Pt. 5
În ultimele patru ediții ale acestui Jurnal Pastoral (2014, Primăvară, Vară, Toamnă și 2015 Iarnă) am studiat subiectul predării personale, ca lider, față de Duhul Sfânt, în baza învățăturii din Efeseni 5:18-6:20. Am examinat ce înseamnă o viață plină de Duhul, necesitatea unei vieți pline de Duhul, realitatea unei vieți pline de Duhul, iar acum suntem în curs de a studia activitatea unei vieți pline de Duhul.
Supunerea cuiva față de Duhul afectează toate activitățile vieții de zi cu zi: (1) unitatea din biserică (5:19-21), (2) armonia din familie (5:22-6:4), (3) cooperarea la locul de muncă (6:5-9) și (4) biruința în lume (6:10-20).
Armonia în familie bazată pe plinătatea Duhului implică înțelegere între soți și soții, părinți și copii. În ultima ediție a Jurnalului am finalizat secțiunea alocată armoniei din familie, între soț și soție (Ef. 5:22-23). În această ediție vom continua să privim la armonia bazată pe plinătatea Duhului, între părinți și copii (Ef. 6:1-4) și cooperarea bazată pe plinătatea Duhlui, la locul de muncă (Ef. 6:5-9).
Armonia Bazată Pe Plinătatea Duhului În Familie, Între Părinți Și Copii (Ef. 6:1-4)
Armonia în familie nu include doar relația între soț și soție, ci și pe cea între copii și părinți. În sensul acesta, armonia în familie se manifestă atunci când copii plini de Duhul se relaționează corespunzător la părinții lor.
Comportamentul corespunzător al copiilor este acela de a asculta de părinții lor. „Copii ascultați de părinții voștri în Domnul căci este drept. Cinstește-l pe Tatăl tău și pe mama ta – este cea dintâi poruncă însoțită de o făgăduință – ca să fii fericit, și să trăiești multă vreme pe pământ.” (6:1-3). A asculta înseamnă să te așezi sub cuvintele și autoritatea părinților tăi. Acestea este un alt aspect al supunerii (Ef. 5:21) – supunerea voluntară a copiilor față de părinți. Ascultarea lor trebuie să fie în Domnul – adică ucenicie creștină. Copiii își arată reverența față de Domnu, supunându-se autorității părinților lor. Copiii ascultă de părinți deoarece ei sun în Domnul și dat fiind faptul că este drept. Dumnezeu poruncește aceasta și se așteaptă ca lucrurile să fie astfel.
Atitudinea corectă al copiilor este să-i cinstească pe părinții lor. Dacă ascultarea este un mod corect de comportare, cinstirea este atitudinea corectă. Aici sunt amintite două aspecte importante din porunca a 5-a:
1. Cheia pentru toate relațiile omenești stă în relația cu părinții tăi – cinstește pe tatăl și pe mama ta. Onorează-i pentru cine sunt ei.
2. Aceasta este prima poruncă însoțită de o promisiune – ca să fii fericit și să trăiești multă vreme pe pământ. În legea iudaică existau anumite răsplăți pentru respectarea poruncilor. Răsplata pentru respectarea acestei vieți era prosperitatea și viața lungă. Creștinii nu mai sunt sub lege și cu siguranță nu mai avem promisiuni legate de viață lungă și prosperitate. Atunci, de ce este această promisiune aici?
(a) Deoarece întărește semnificația și importanța poruncii – dacă era așa de importantă în VT trebuie să fie importantă și pentru noi.
(b) Deoarece cinstirea părinților aduce cu sine anumite răsplăți – nu viață lungă și prosperitate materială, ci prosperitate spirituală, relațională (relații armonioase în familie), atitudini corecte față de autoritate etc.
În al doilea rând, armonia în familie are la bază părinți plini de Duhul care își cresc copii în mod responsabil
Nu-i întărâtați la mânie. „Părinților, nu-i întărâtați la mânie pe copiii voștri” (4:4a). Nu folosiți în mod greșit puterea și autoritatea voastră. Nu fiți ca părinții din cultura greco-romană, care își putea vinde copiii ca sclavi, sau chiar să-i ucidă. Părinții pot provoca mâni în copiii lor, să-i ducă într-o stare de resentimente care că erupă în atitudini de ostilitate.
Ce anume poate produce în copii un asemenea răspuns? Favoritismul, criticile (care duc la descurajare), așteptarea ca aceștia să fie adulți, în loc să li se permită copiilor să fie copii, abuzurile fizice și verbale.
Dacă formulăm în sens pozitiv, educați-i în mod corespunzător. „Creșteți-i în mustrarea și învățătura Domnului (6:4b). Este responsabilitatea tatălui să-i mustre pe copiii săi. Disciplinarea aduce în discuție ce se face pentru copil. Învățați-i să fie disciplinați, înfrânați, ordonați, drepți. Atunci când este necesar, disciplinarea include și pedeapsa.
Este responsabilitatea tatălui să-i învețe pe copiii săi. Aceasta include ce se spune copilului – ce este învățat verbal. Deci este necesară corecția și instrucția verbală – avertizându-i pe copii cu privire la lucrurile care sunt greșite, fără a le zdrobi elanul; să-i consiliați în baza propriei voastre experiențe, fără să stăpâniți asupra lor; să-i învățați, fără a deveni împovărători; să-i încurajați, să-i mustrați, să-i ghidați fără să-i duceți în eroare.
Aceasta este disciplinare și instruire în Domnul. În acest spirit trebuie să acționăm. Creștinii îi învață pe alții prin învățătură și exemplu.
Dacă nu ai armonie în familia ta, cum poți să conduci o biserică înspre unitate? Casa ta este o reflecție a cine ești tu cu adevărat, iar dacă în familia nu este pace, iubire, respect și sprijin, atunci ești descalificat din conducerea bisericii.
Atât, deocamdată, privitor la armonia din familie, bazată pe Duhul. Acum să privim la…
Cooperarea Bazată Pe Duhul, La Locul De Muncă (Ef. 6:5-9)
În secolul întâi, relația de tip stăpâni-sclavi exista atât în familii, cât și la locul de muncă. De fapt, se poate spune că gospodăriile erau locul de muncă pentru mulți sclavi. Într-adevăr, probabil că afacerile și comerțul se desfășurau acasă. Pentru noi, însă, căminul și locul de muncă sunt destul de separate.
Nu trebuie să ne gândim la sclavi/slujitori având ideea sclavilor din sudul SUA, în secolul trecut. Mulți sclavi din cultura greco-romană aveau slujbe bune și erau tratați bine. Unii sclavi aveau chiar și profesii, cum ar fi cea de doctor.
Pentru scopul studiului nostru, vom privi la acest pasaj urmărind relațiile la locul de muncă, mai degrabă decât cele din cadrul căminului. Acest gen de relații, la locul de muncă, trebuie să fie caracterizate, pentru un creștin, de respect mutual, cooperare, și o atitudine plină de Duhul din partea angajaților față de angajatori și invers.
În primul rând, cooperarea la locul de muncă are loc atunci când slujitorii plini de Duhul îi ascultă cu sinceritate pe conducătorii lor (6:5-8). „Robilor, ascultați de stăpânii voștri pământești” (5a). Porunca aceasta nu este condiționată de primirea unui tratament corespunzător din partea angajatorului. Dimpotrivă, angajatul creștin trebuie să continue să asculte indiferent de situație (cf. 1 Pet. 2:18).
Ascultarea creștină se arată în atitudinea ta. Este o atitudine de respect – cu frică și cutremur (5b). Acest lucru nu înseamnă să te porți ca un laș, ci este vorba despre onoare și respect, deoarece recunoști că sursa autorității conducătorilor este de la Dumnezeu. Este o atitudine de sinceritate – în curăție de inimă (5c). Nu ai o loialitate împărțită – fără ipocrizie, fără motive ascunse, cu integritate. Este o atitudine de slujire creștină – ca de Hristos (5c). Aceasta este perspectiva care face o astfel de ascultare posibilă. Găsim, aici, motivul principal pentru ascultarea creștină.
O asemenea atitudine poate face ca mărturia ta să fie extrem de credibilă și puternică. Dacă etica muncii diferă la tine față de alții (în modul în care gândești, vorbești, te porți), poți avea o mărturie puternică. Dar, dacă întârzii mereu la lucru și pleci mai devreme, faci o muncă de slabă calitate, îți iei pauze lungi de prânz, atunci mărturia ta nu va fi credibilă.
Observați, de asemenea, că ascultarea creștină se vede în sârguința ta (6-8). Un creștin sârguincios nu lucrează pentru a-i impresiona pe alții - „… nu numai când sunteți sub ochii lor, ca și cum ați vrea să plăceți oamenilor… (6a). Un creștin sârguincios nu este o persoană care încearcă să intre sub pielea șefului său. El nu lucrează din greu doar atunci când îl vede angajatorul pentru a face o impresie bună.
Dimpotrivă, un creștin sârguincios lucrează ca pentru Domnul: „… ca niște robi ai lui Hristos” (6b). Un rob al lui Hristos „face din inimă voia lui Dumnezeu” (6c). Nu încercă să lucrezi când și cum, ci ești preocupat să faci voia lui Dumnezeu din adâncul ființei tale. Să faci voia lui Dumnezeu este parte din viața de zi cu zi. Voia lui Dumnezeu se află în inimă și este exprimată în exterior prin atitudine, sârguință și dedicare. Așa ceva este în contrast direct cu cei care slujesc superficial și nu au nici un fel de convingere lăuntrică privitoare la modul în care trebuie să lucreze. Un rob a lui Hristos slujește cu bucurie, ca Domnului, iar nu oamenilor (7). Cel ce face voia lui Dumnezeu, face și lucrarea lui Dumnezeu. Bucuria ta vine dintr-o perspectivă nouă – nu te mai vezi ca rob al oamenilor, ci al lui Hristos.
Mai departe, un creștin sârguincios lucrează pentru răsplată de la Dumnezeu - „căci știți că fiecare, fie rob, fie slobod, va primi răsplata de la Domnul” (8). Tu lucrezi cu sârguință fiindcă știi că judecătorul tău ultim este Domnul, nu șeful tău. Această perspectivă escatologică schimbă totul – știi că atunci când faci voia lui Dumnezeu, pentru gloria Sa, El va lua act de acest lucru.
În al doilea rând, cooperarea la locul de muncă are loc atunci când conducătorii plini de Duhul îi respectă pe slujitorii lor, fără părtinire (6:9). Șefii creștini trebuie să demonstreze trei principii. Primul este acesta: Faceți altora așa cum ați vrea să vă facă ei vouă – „Și voi stăpânilor, purtați-vă la fel cu ei” (9a). Tratați-i pe angajații voștri, așa cum vreți să se poarte ei cu vi. Mediul fiecărei organizații este determinat de ceea ce se întâmplă la vârf. Dacă vreți ca angajații să aibă o atitudine bună față de voi, atunci faceți și voi așa cu ei. Dacă vreți ca ei să vă asculte, atunci arătați și voi înșivă un duh de supunere. Dacă vreți să fie conștiincioși și autentici față de voi, asigurați-vă că-i tratați și voi drept și în mod onest. Dacă vreți să lucreze cu sârguință pentru voi, atunci fiți și voi sârguincioși oferindu-le salarii și condiții bune de muncă. Dacă vreți ca ei să lucreze cu bucurie, atunci dați-le motive să fie bucuroși. Nu vă supraestimați fiindcă sunteți șefi. Purtați-vă cu angajații voștri, așa după cum vă așteptați ca ei să se poarte cu voi.
Al doilea principiu este: Nu folosiți autoritatea în mod greșit – „feriți-vă de amenințări” (9b). Nu folosiți amenințările pentru a obține ceea ce vreți. Nu faceți uz de autoritatea voastră într-un mod greșit. Nu îi întărâtați pe angajați, așa cum fac unii părinți cu copiii lor.
Al treilea principiu este: Țineți minte că și voi înșivă veți da socoteală – „ca unii care știți că Stăpânul lor și al vostru este în cer” (9c). Și voi aveți un stăpân – cel mai de seamă Stăpân din ceruri. El are cea mai mare autoritate și hotărârile Sale se împlinesc. Voi sunteți responsabili în fața Lui. Așadar, fiind împreună robi ai lui Hristos, atât angajatul cât și angajatorul creștin vor da socoteală aceluiași Stăpân. Voi nu sunteți mai importanți decât ceilalți deoarece „înaintea Lui nu se are în vedere fașa omului” (9d). Stăpânul vostru cel ceresc nu este influențat de poziția, sau autoritatea voastră. Așadar, nu vă înșelați crezând că veți fi cumva favorizați.
Partea IV-A: Schițe De Predici
Dialogul Lui Isus Cu Maria Magdalena
Pentru versiunea în limba engleză a acestor predici, faceți click pe următoarele linkuri: Link 1 - In. 20:1-2; Link 2 - In. 20:3-10; Link 3 - In. 20:11-18
Titlu: Șocul și realitatea învierii, Partea 1,2,3
Punctul #1: Mormântul gol face din observatori oameni credincioși (1-10)
1. Mormântul gol face din observatori urmași
(a) La cruce, unii sunt observatori (Lc. 23:55-56)
(b) La mormântul gol unii erau urmași (1-2)
2. Mormântul gol face din urmași oameni credincioși (3-10)
(a) Pe unii mormântul gol îi face să fie sceptici (6-7)
(b) Pe unii mormântul gol îi face să creadă (5, 8-9)
Punctul #2: Hristosul înviat schimbă întristarea în bucurie (11-18)
1. Ignorarea învierii produce întristare (11-13)
(a) Produce întristare în ciuda dovezilor (11)
(b) Produce întristare în ciuda mărturiilor (12-13)
2. Cunoașterea învierii produce bucurie (14-18)
(a) Produce bucurie prin recunoașterea Lui 14-16)
(b) Produce bucurie prin ascultarea de El (17-18)
[1] Olford, Anointed Expository Preaching (Broadman & Holman), 233.
[2] Philips Brooks, The Joy of Preaching (Kregel, 1989), 25ff.
[3] Olford, Anointed, 233.
Related Topics: Pastors
La Revue Internet Des Pasteurs, Fre Ed 15, Edition du printemps 2015
Edition du Printemps 2015
Auteur : Dr Roger Pascoe, Président de
l’Institut pour la Prédication Biblique
Cambridge, Ontario, Canada
Institut Biblique pour le Ministère Pastoral
Renforcer les capacités de l’Eglise dans la prédication biblique et le leadership
Partie I: Deux Fondements Essentiels Pour La Prédication
Le premier fondement pour un ministère stable et durable c’est la motivation pleine et suffisante du prédicateur pour le ministère. Nous avons étudié ce sujet dans les deux derniers numéros de la présente revue. Maintenant, nous arrivons au deuxième fondement de la prédication ...
L'incarnation Du Message Par Le Prédicateur
Non seulement votre ministère manquera de stabilité et d'endurance sans les quatre motivations fondamentales pour le ministère, mais votre message ne sera pas assez crédible et puissant si vous ne mettez pas vous même en pratique le message que vous prêchez.
Toute vraie prédication est une prédication incarnée - c’est à dire la prédication d’une vérité intériorisée et manifestée à l’extérieur par le prédicateur. C’est fondamental à la prédication - vous ne pouvez pas vous détacher du message que vous prêchez.
Le Docteur Martyn Lloyd-Jones était convaincu que la prédication sous-entend « la communication au moyen de la personnalité ». Et le Docteur Stephen Olford d’écrire: « pour qu’un message soit communiqué efficacement, il doit être vécue à l'intérieur et visible à l’extérieur »- c’est à dire qu'il doit être incarné[1].
C’est ce que Jésus voulait signifier lorsqu’il dit: «Celui qui vous écoute m’écoute» (Luc 10:16). C’est cela la prédication incarnée- la Parole de Dieu faite chair. Nous ne pouvons pas être détachés de la vérité que nous proclamons. Nous devons vivre dans la Parole de Dieu et la volonté de Dieu jusqu'à ce que nous puissions annoncer le «témoignage de Dieu » (1 Cor 2:1) avec autorité en tant que personnes qui sont absorbés par elle et qui vivent en elle et par elle.
La prédication incarnée a été définie comme étant le fait d’exprimer la vérité à travers sa personne[2]. En tant que ministres de l'Evangile, la Parole de Dieu doit devenir visible au travers de nous, elle doit être vécue en nous. Nous devons nous identifier avec le message que nous proclamons, tout comme Jésus (le Logos) était intimement assimilé au Père: «la parole a été faite chair» (Jean 1:14.). Jésus a personnifié, incarné le Père – c’était la divinité dans l'humanité. Il a fait connaitre le Père en prenant une forme corporelle. Etant dans la chair il s’est identifié au Père. Jésus a incarné le Père, et, ce faisant, Jésus a fait comprendre qui est le Père (fait l’exégèse du Père) – c’est à dire qu’«il l’a fait connaître» (Jean 1:18.) De sorte que nous sommes en mesure de connaître et, en fait, de «voir» le Père.
Le Docteur Olford parle de Jésus comme étant la «révélation incarnée ... (c’est à dire) l'essence de la prédication rédemptrice. Ce qui n’est pas incarné n’est pas rédempteur, et ce qui n’est pas rédempteur ne peut pas transformer une vie»[3]
Tout comme Jésus est né pour incarner la divinité sous la forme humaine, nous devons aussi vivre la Parole que nous prêchons dans nos vies afin que d'autres puissent percevoir la Parole en nous – qu’ils puissent «voir» à quoi Christ ressemble et, par conséquent, « le connaitre».
La prédication incarnée est un mystère divin, tout comme l'incarnation et la crucifixion du Christ est une « folie pour les païens » (1 Cor1:23). Pour que ce mystère puisse devenir vivant et tangible, nous devons en tant que prédicateurs nous identifier au message que nous proclamons.
L'apôtre Paul décrit la prédication incarnée dans 1 Corinthiens 2:1-5. Dans ce passage, nous apprenons trois caractéristiques de la prédication incarnée.
Premièrement, lorsque vous prêchez, votre message doit être convaincant, pas à cause de votre discours ou de votre sagesse, mais à cause de la personne et l'œuvre du Christ. « Pour moi, frères, lorsque je suis allé chez vous, ce n’est pas avec une supériorité de langage ou de sagesse que je suis allé vous annoncer le témoignage de Dieu. Car je n’ai pas eu la pensée de savoir parmi vous autre chose que Jésus-Christ, et Jésus-Christ crucifié » (v1-2). Paul dit que notre communication de l'Évangile ne tire pas sa persuasion de notre art oratoire, ni de la grandeur de notre sagesse humaine, mais plutôt de la nature de Christ et de ce qu'il a accompli. Notre message n’a de l’influence que lorsque nous prêchons «Christ et Christ crucifié» Seul l'Esprit Saint peut convaincre les gens à accepter la vérité au sujet du Christ. Seul l'Évangile peut ouvrir la compréhension des gens et changer leur attitude de sorte qu'ils soient réceptifs à la vérité de la Parole de Dieu.
Deuxièmement, lorsque vous prêchez, votre message doit être puissant, pas à cause de votre personne ou de vos mots, mais à cause de l'action et l’œuvre de l'Esprit. «Moi-même j’étais auprès de vous dans un état de faiblesse, de crainte, et de grand tremblement ; et ma parole et ma prédication ne reposaient pas sur les discours persuasifs de la sagesse, mais sur une démonstration d’Esprit et de puissance» (3-4). Seul le Saint-Esprit peut prendre la vérité et la faire correspondre au besoin de la personne. Il doit y avoir une fusion divine qui transmet la vérité du ministre à l’assemblée par le Saint-Esprit. C’est l'action et l’œuvre de l'Esprit qui change la vie des gens et leur donne une nouvelle vie, pas nos efforts personnels pour les impressionner. Lorsque l'Evangile est prêché avec exactitude, clarté, et de manière appropriée et que les gens y répondent positivement, c’est la preuve de la puissance de l'Esprit, pas de notre force de persuasion ou notre capacité à impressionner. La manière dont cela se produit est en effet un mystère. C’est l’œuvre mystérieuse et sacrée de l'Esprit de Dieu qui seul peut insuffler une nouvelle vie dans les âmes perdues.
Troisièmement, lorsque vous prêchez, votre message doit être productif, pas à cause de votre confiance en la sagesse humaine, mais à cause de votre foi en la puissance de Dieu. «afin que votre foi fût fondée, non sur la sagesse des hommes, mais sur la puissance de Dieu» (5). Quand nous prêchons nous n’essayons pas d'impressionner les gens avec notre intelligence humaine ou la sagesse comme si cela pouvait persuader les gens à croire à l'évangile. Nous ne voulons pas que les gens aient foi en nous ou en nos connaissances, mais en «la puissance de Dieu» telle que décrite dans l'Évangile. C’est alors seulement que notre prédication peut être productive. Seulement alors notre prédication peut produire des fruits pour Dieu.
Puissions-nous ne jamais nous tenir debout pour prêcher tant que nous ne pouvons pas dire: «la parole a été faite chair en moi»
Partie II: Preparation De La Predication
«Les Ressources Pour Etudier Le Texte»
Pour interpréter correctement les Ecritures, nous devons utiliser tous les outils de recherche à notre disposition. Nous commençons par une SOURCE PRIMAIRE UNIQUE. Une application précise de l'expression «exposé biblique» exige que le message n'ait qu'une seule source - la Bible. Vous pouvez utiliser d'autres sources mais seulement comme ressources qui viennent en appui (par exemple pour la clarification, l'application, l’illustration, ou pour lancer l’appel). La Bible est la principale source et de l'essence de votre message. Il existe de nombreuses autres sources d'informations, mais la Bible est la source primaire – elle est le fondement de notre foi.
Beaucoup d'autres religions prétendent être chrétiennes, mais il n'y a qu'une seule source pour tout ce qui est vraiment chrétien : la Bible. Ce qui différencie la foi chrétienne de toutes les autres, c’est qu'il n’a qu’une seule source - la Parole de Dieu. Par conséquent, les Écritures doivent être la seule source primaire de notre prédication.
Le terme «prédicateur» est synonyme de «héraut». Un héraut est celui qui annonce le message non altéré du roi. Justement, l'exégète de la Bible a la responsabilité de prêcher le message non altéré de notre Roi. Par conséquent, le texte biblique doit être la principale source du prédicateur.
Comment garder la primauté du texte biblique au moment où vous préparez sermons? Un bon moyen c’est d'examiner le brouillon de votre prédication et de marquer tout argument qui n’est pas soutenu par un texte spécifique, et faites en sorte que cet argument ne reste qu’un simple argument d'appui et non pas un argument d’exposition.
Puis, il ya des RESSOURCES SECONDAIRES MULTIPLES. Nous avons une source primaire qui constitue l'essence de notre message, mais nous avons aussi beaucoup de ressources secondaires qui aident notre prédication. Vous pouvez augmenter votre précision, votre efficacité et votre clarté dans la prédication en utilisant beaucoup de ressources secondaires disponibles, tout en restant toujours fidèle à votre engagement de proclamer vos messages à partir de la seule source primaire qu’est la Bible.
Ces multiples ressources secondaires sont des outils dans votre arsenal qui vous aident dans la réalisation de votre objectif principal d'exposition de la Bible. Ces ressources sont :
1) Le dictionnaire. Utilisez un dictionnaire pour clarifier tous les mots dont vous ne comprenez pas ou ne connaissez pas le sens.
2) Les concordances. Les concordances sont des manuels de références. Ils indiquent partout où un mot particulier a été utilisé dans la Bible. La plupart des concordances utilise le mot français tel qu'il est traduit dans la Bible ; ce qui fait que vous devez utiliser une concordance faite à partir de votre traduction particulière (par exemple le Louis Segond, Le semeur, etc.).
En plus de référencer les mots français dans la Bible, une concordance comme le Strong a également un certain nombre de références croisées qui sont attribuées à chaque mot de la langue d'origine (par exemple l’hébreu ou le grec) ; de sorte que vous puissiez voir tous les endroits dans la Bible où un mot d'origine identique est utilisé et comment il est traduit.
Vous devez apprendre à utiliser une concordance non seulement pour rechercher le sens d'un mot, mais aussi pour voir comment un mot peut être traduit différemment selon la façon dont il est utilisé, ou pour voir comment les différents mots sont traduits de la même façon sans être des synonymes, ou pour voir comment un mot est utilisé dans son contexte.
3) Les lexiques. Les lexiques référencient dans la langue biblique d'origine, donnent les sens primaires, secondaires et tertiaires d'un mot, et les appliquent au texte. Ils montrent des variations de sens basé sur l'humeur et le contexte. L'utilisation de lexiques nécessite généralement des connaissances dans la langue biblique d'origine.
4) Les livres d’étude du vocabulaire. Les livres d'étude du vocabulaire sont des concordances lexiques hybrides. Ils énumèrent des mots français et vous montrent différents mots dans la langue originale qui sont traduits de cette façon et indiquent les références textuelles qui y sont associées. Ils sont un excellent outil pour ceux qui ne sont pas familiers aux langues bibliques originales.
5) Les atlas bibliques. Un atlas biblique associe des endroits à des événements historiques et fournit des informations sur la culture, le climat, etc.
6) Les dictionnaires bibliques ou encyclopédies bibliques. Ces ouvrages de référence donnent des articles courts sur des sujets bibliques (lieux, personnes, coutumes, etc.). Les encyclopédies bibliques contiennent également de longs articles sur divers sujets. Ces ressources vous permettent de bénéficier des fruits de la recherche scientifique sous une forme condensée.
7) Les commentaires bibliques. Avant d'utiliser les commentaires, essayer de découvrir par vous-même le thème et l’idée maitresse du passage en étudiant personnellement le texte. Ensuite, sélectionnez au moins quatre ou cinq bons commentaires sur le texte. En lisant ces commentaires, procédez comme suit:
- Notez les suggestions exégétiques - par exemple les traductions difficiles ou discutables, les mots, phrases ou expressions inconnus.
- Notez les suggestions herméneutiques - par exemple ce que l'auteur voulait signifier et ce que cela signifie aujourd'hui.
- Notez les suggestions homilétique - par exemple la structure du texte et son application à un public contemporain.
- Notez les suggestions d'introduction - par exemple les questions historiques, culturelles ou textuelles.
- Notez les suggestions théologiques - par exemple les questions doctrinales difficiles ou discutables, les sujets complexes, etc.
Attention à ne pas vous laisser distraire par des commentaires qui traitent de questions qui n’ont rien à voir avec votre sermon. Rappelez-vous, ces livres sont des commentaires ; or un sermon n’est pas un commentaire. C’est un message de la part de Dieu pour son peuple en ce moment précis, lequel message est enraciné dans le texte de sa Parole.
L’idée maitresse de votre message doit être déterminée, si possible, avant de consulter les commentaires. Les commentaires devraient être utilisés principalement pour clarifier les questions d'interprétation. Ne tirez pas votre message des commentaires – ce n’est pas à cela qu'ils sont destinés. Ils couvrent un large éventail de questions – interprétation, textuelle, contextuelle, canon, etc. Ils ne sont pas destinés à des sermons spécifiques. Ils peuvent facilement vous mener vers des sujets que vous aimez, mais qui ne sont pas pertinents pour votre message.
Je recommande que vous utilisiez les commentaires comme des aides pour enrichir le message que Dieu vous a donné lors de votre étude originale du texte biblique. Les commentaires devraient être utilisés pour: (1) aider votre compréhension du passage; (2) avoir une «deuxième opinion» sur votre interprétation du texte (c’est à dire pour vous préserver de dire quelque chose de stupide ou faux); (3) résoudre des passages difficiles à interpréter.
Assurez-vous de toujours utiliser plusieurs commentaires afin de vous assurer que vous êtes en terrain sûr. Un seul commentaire ne peut vous donner toute l’interprétation juste ou donner toutes les possibilités. Le grand avantage de commentaires, c’est qu'ils contiennent généralement les résultats de plusieurs années de recherches scientifiques, des recherches que vous n’aurez pas le temps de faire pour chaque sermon. De toute évidence, nous voulons bien bénéficier du fruit de ces recherches ; c’est légitime de le désirer.
Ma préoccupation c’est simplement que vous étudiez le texte et que vous découvriez le message dans le texte d'abord par vous-même. Si toutefois le texte est d'une complexité telle que vous ne pouvez pas imaginer de quoi il s’agit, ou sa structure, ou l'interconnexion entre les idées exprimées, ou sa signification, etc. alors vous pouvez avoir besoin de consulter les commentaires plus tôt dans le processus de préparation.
8) Les manuels de théologie systématique. Ils vous permettent d'étudier la présentation organisée de la doctrine biblique par les chercheurs, quoique chacun d’eux puisse avoir son parti pris doctrinal.
9) Les logiciels d’étude de la Bible. Les logiciels bibliques sont en train de rendre redondant certaines des ressources traditionnelles puisque ces logiciels contiennent une grande partie de l'information qu’il vous aurait fallu consulter plusieurs sources pour obtenir. Beaucoup de ces logiciels incluent également des livres auxquels vous pouvez accéder à un cout supplémentaire.
10) Les sites internet chrétiens. Beaucoup de sites chrétiens contiennent maintenant des ressources très utiles pour la prédication – par exemple les illustrations. Un de ces sites c’est, bien sûr, celui qui publie la présente Revue Internet des Pasteurs (https://bible.org/net-pastors-journal).
Conclusions. Ces dix outils vous donneront suffisamment de matière pour vous aider dans une étude approfondie des passages bibliques. En plus de ces outils, il vous faudra faire usage de plusieurs traductions fiables de la Bible pour voir diverses manières dont les traducteurs ont rendu le texte.
Partie III: Leadership - Être Un Modele Selon Le Coeur De Dieu
«L’abandon de votre personne à l'Esprit Saint» Pt. 5
Dans les quatre derniers numéros de la présente Revue Internet des Pasteurs (Printemps, Eté, Automne 2014, et Hiver 2015), nous avons étudié le sujet de l’abandon de votre personne, en tant que leader, à l'Esprit Saint sur la base de l'enseignement dans Ephésiens 5:18-6:20. Nous avons examiné le sens de la plénitude de l'Esprit, la nécessité de la plénitude de l'Esprit, la réalité de la plénitude de l'Esprit, et nous développons à présent le point concernant l'activité de la plénitude de l'Esprit.
L’abandon de soi à l'Esprit affecte tous les aspects de notre activité quotidienne: (1) l'unité dans l'église (5:19-21), (2) l'harmonie dans les foyers (5:22-6: 4), (3) la coopération dans le lieu de travail (6:5-9), et (4) la victoire dans le monde (6:10-20).
L’harmonie suscitée par la plénitude de l'Esprit dans le foyer implique l'harmonie entre maris et femmes et l'harmonie entre enfants et parents. Dans la dernière édition, nous avons terminé la section sur l'harmonie suscitée par la plénitude de l'Esprit dans le foyer (Eph 5:22-33). Dans le présent numéro, nous allons nous pencher sur l'harmonie entre enfants et parents suscitée par la plénitude de l'Esprit dans le foyer (Ep 6: 1-4.) et la coopération suscitée par la plénitude de l'Esprit dans le lieu de travail (Ep 6: 5-9.).
L'harmonie Entre Enfants Et Parents Suscitée Par La Plénitude De l'Esprit Dans Le Foyer (Eph 6: 1-4).
L’harmonie dans le foyer implique non seulement la relation entre maris et femmes mais aussi entre enfants et parents. À cet égard, l'harmonie dans le foyer vient du fait que les enfants, sous l’action du Saint Esprit, entretiennent correctement de bonnes relations avec leurs parents.
Le comportement approprié attendu des enfants c’est d'obéir à leurs parents. «Enfants, obéissez à vos parents, selon le Seigneur, car cela est juste. Honore ton père et ta mère c’est le premier commandement avec une promesse, afin que tu sois heureux et que tu vives longtemps sur la terre» (6:1-3). Obéir c’est vous mettre littéralement sous les paroles et l'autorité de vos parents. C’est un autre aspect de la soumission mutuelle (Eph 5:21.) - La soumission volontaire des enfants aux parents. Leur obéissance est motivée par le fait qu’ils sont dans le Seigneur – c’est cela la vie de disciple du Christ. Les enfants montrent leur soumission au Seigneur en se soumettant à l'autorité de leurs parents. Les enfants obéissent à leurs parents parce qu'ils sont dans le Seigneur et parce qu’il sied de le faire. C’est ce que Dieu ordonne et attend.
La bonne attitude des enfants c’est également d’honorer leurs parents. Si l'obéissance est un acte ou un comportement juste, alors l'honneur est une bonne attitude. Deux points importants ici proviennent du 5ème commandement:
1. La clé de toutes les relations humaines c’est la relation avec vos parents - honore ton père et ta mère. Honorez-les pour ce qu'ils sont.
2. C’est le premier commandement comportant une promesse - afin que tu sois heureux et que tu vives longtemps sur la terre. Selon la loi juive, il y avait des récompenses lorsqu’on garde certaines lois. La récompense en gardant cette loi était la prospérité et la longévité. Les chrétiens ne sont pas sous la loi et nous n’avons certainement pas de promesse concernant la prospérité et la longévité. Alors pourquoi cette promesse est ici?
a) Parce qu'il renforce la signification et l'importance du commandement – c'est-à-dire que si c’était si important dans l'Ancien Testament, ca devrait être important pour nous aussi.
b) Parce que l'honneur de vos parents comporte certaines récompenses – non pas la prospérité matérielle ou la longévité, mais la prospérité spirituelle, la prospérité relationnelle (relations harmonieuses dans votre famille), de bonnes attitudes vis-à-vis de l'autorité, etc.
Deuxièmement, l'harmonie dans le foyer vient du fait que des pères remplis de l'Esprit élèvent leurs enfants de manière responsable.
Exprimé à la forme négative, on dirait, ne les mettez pas en colère. «Et vous, pères, n’irritez pas vos enfants» (6:4a). N’abusez pas de votre pouvoir et autorité. Ne soyez pas comme les pères dans la culture gréco-romaine qui pouvait vendre leurs enfants comme esclaves, ou même les tuer. Les pères sont les plus susceptibles de pousser leurs enfants à la colère, à produire chez leurs enfants une exaspération et un profond ressentiment qui éclate sous forme de rébellion.
Quel genre de traitement envers les enfants peut produire ce genre de réaction? Le favoritisme, la critique (qui conduit au découragement), s’attendre à ce qu'ils soient adultes plutôt que de les laisser être des enfants, et l’agression physique et verbale.
Exprimé à la forme affirmative, on dirait, les former correctement. «élevez-les en les corrigeant et en les instruisant selon le Seigneur» (6:4b). C’est la responsabilité d'un père de discipliner ses enfants. La discipline signifie ce qui est fait envers et pour un enfant. Les former à être disciplinés, qu’ils aient la maitrise de soi, qu’ils soient ordonnés, corrects. Et lorsque c’est nécessaire, la discipline comprend la punition.
C’est la responsabilité d'un père d'instruire ses enfants. Cela se rapporte à ce qui est dit à l’enfant - ce qu’on lui enseigne verbalement. Cela comprend la correction et les ordres donnés verbalement - les avertissant des choses qui sont mauvaises sans brutaliser leurs esprits ; les conseillant à partir de votre propre expérience sans les dominer; les instruisant sans être un fardeau; les encourageant, les réprouvant, leur faisant des remontrances, sans les contrarier tout le temps.
C’est cela la discipline et l'instruction du Seigneur. C’est l'esprit dans lequel cela doit se faire. C’est une formation chrétienne par l'instruction et l'exemple.
Si vous n’avez pas l'harmonie dans votre foyer, comment pouvez-vous assurer un leadership unificateur dans l'église? Votre foyer est le reflet de qui vous êtes vraiment, et s’il n’y règne pas des relations affectueuses, respectueuses et de soutien mutuel, alors vous êtes disqualifié du leadership dans l'église.
Voici ce qu’on pouvait dire de l'harmonie suscitée par la plénitude de l'Esprit dans le foyer. Examinons maintenant ...
La Coopération Suscitée Par La Plénitude De l’Esprit Dans Le Lieu De Travail (Eph 6: 5-9.)
Au 1er siècle la relation entre maîtres et serviteurs existait dans la maison ainsi que dans le lieu de travail. En fait, on pourrait faire valoir que la maison était le lieu de travail pour de nombreux serviteurs. En effet, le travail et le commerce étaient probablement réalisés dans les domiciles. Mais pour nous la maison et le lieu de travail sont tout à fait distincts.
Nous ne devons pas être distraits par l’idée de prendre des esclaves à l’image des esclaves dans le sud des États-Unis au cours du siècle dernier. Beaucoup d'esclaves dans la culture gréco-romaine avaient de bons emplois et étaient bien traités. Certains esclaves étaient en fait des professionnels comme par exemple des médecins.
Pour les fins de cette étude, je regarde ce passage du point de vue de la relation de travail plutôt que la relation dans un domicile. Cette relation de travail pour un chrétien doit être caractérisée par le respect mutuel, la coopération, travaillant ensemble, une attitude spirituelle des employés chrétiens vis-à-vis de leurs employeurs et des employeurs chrétiens vis-à-vis de leurs employés.
Premièrement, la coopération dans le lieu de travail vient de serviteurs remplis de l'Esprit obéissant à leurs maîtres sincèrement (6: 5-8). «Serviteurs, obéissez à vos maîtres selon la chair Serviteurs, obéissez à vos maîtres selon la chair» (5a). Cela n’est pas conditionné par le fait qu’ils reçoivent un traitement juste de la part de leur employeur. Au contraire, l'employé chrétien doit continuer à être obéissant quelque soit la situation (1Pierre 2:18).
L’obéissance chrétienne est manifestée dans votre attitude. C’est une attitude de respect - avec crainte et tremblement (5b). Cela ne veut pas dire de se recroqueviller comme un chiot apeuré. Cela sous entend l'honneur et l'estime, parce que vous reconnaissez que la source de leur autorité c’est Dieu. C’est une attitude de sincérité – de simplicité de cœur (5c). Vous êtes sans partage dans votre fidélité - ni hypocrisie, sans arrière-pensées, mais une intégrité sans faille. C’est une attitude de service chrétien - comme vous obéissez Christ (5c). C’est la perspective qui rend cette obéissance possible. C’est la motivation fondamentale de l'obéissance chrétienne.
Cette attitude peut rendre votre témoignage très crédible et puissant. Si votre éthique de travail est différente des autres (dans la façon dont vous parlez, pensez, réagissez, …), vous aurez un témoignage puissant. Mais si vous arrivez toujours au travail en retard et partez tôt, faisant un travail de mauvaise qualité, prenant de longues pauses, etc., alors votre témoignage ne sera pas crédible.
Notez également que l’obéissance chrétienne est manifestée dans votre diligence (6-8). Un chrétien diligent ne travaille pas pour impressionner les autres - «...non pas seulement sous leurs yeux, comme pour plaire aux hommes» (6a). Un chrétien diligent n’est pas quelqu’un qui essaie de gagner la faveur du patron. Ne travaillez pas dur seulement quand le patron regarde. Ne faites pas du bon travail juste pour faire une bonne impression.
Mais plutôt, un chrétien diligent travaille pour le Seigneur: «...mais comme des serviteurs de Christ» (6b). Un serviteur du Christ fait «de bon cœur la volonté de Dieu.» (6c). Vous n'êtes pas juste en train de travailler, mais vous êtes absorbé à faire la volonté de Dieu de tout votre cœur. Faire la volonté de Dieu fait partie de votre vie quotidienne. La volonté de Dieu est générée intérieurement dans votre cœur et est exprimée à l'extérieur dans votre attitude, votre diligence, votre engagement total. C’est ce qui contraste avec ceux qui servent du bout des lèvres sans convictions intimes sur la façon dont ils font leur travail. Un serviteur du Christ sert avec enthousiasme comme servant le Seigneur et non des hommes (7). Celui qui fait la volonté de Dieu fait aussi l’œuvre de Dieu. Votre enthousiasme provient d'une nouvelle perspective – vous ne vous voyez pas comme un esclave des hommes, mais comme celui du Christ.
En outre, un chrétien diligent travaille en vue de la récompense de Dieu - «...sachant que chacun, soit esclave, soit libre, recevra du Seigneur selon ce qu’il aura fait de bien.» (8). Vous travaillez avec diligence parce que vous savez que le Seigneur, et non votre patron, est votre juge final. C’est cette perspective eschatologique qui fait toute la différence - vous savez que lorsque vous faites la volonté de Dieu pour la gloire de Dieu, Dieu prend note.
Deuxièmement, la coopération dans le lieu de travail vient du fait que des maîtres remplis de l'Esprit respectent leurs serviteurs de façon impartiale (6: 9). Les maîtres chrétiens doivent démontrer trois principes.
Le premier principe c’est: Faites aux autres ce que vous voudriez qu'ils fassent pour vous - «Et vous, maîtres, agissez de même à leur égard» (9a). Traitez vos employés de la manière dont vous voulez qu'ils vous traitent. L’atmosphère dans une organisation provient du sommet. Si vous voulez qu'ils montrent une bonne attitude envers vous, alors montrez le leur. Si vous voulez qu'ils soient obéissants à vous, alors manifestez vous-même un esprit de soumission et d’obéissance. Si vous voulez qu'ils soient consciencieux et loyaux envers vous, alors assurez-vous que vous les traitez avec honnêteté et droiture. Si vous voulez qu'ils travaillent avec diligence pour vous, alors soyez diligents à leur offrir de bonnes conditions de travail et de rémunération. Si vous voulez qu'ils travaillent avec enthousiasme, alors donnez leur quelque chose au sujet duquel être enthousiaste. N’ayez pas une haute opinion de vous-même parce que vous êtes le patron. Faites pour vos employés ce que vous attendez d'eux.
Le deuxième principe c’est: N’abusez pas de votre pouvoir – « abstenez-vous de menaces» (9b). N’utilisez pas des menaces pour obtenir ce que vous voulez. N’utilisez pas votre position d'autorité illégalement. Ne les provoquez pas comme certains pères font de leurs enfants.
Le troisième principe c’est: Rappelez-vous, vous aussi vous devez des comptes - sachant que leur maître et le vôtre est dans les cieux» (9c). Vous aussi vous avez un maître - le Maître suprême dans le ciel. Il détient le pouvoir suprême. Sa décision est sans appel. Vous êtes responsable devant lui. Donc, dans ce sens, vous êtes avec votre employé, un co-serviteur de Jésus-Christ - l'employé et l'employeur chrétiens sont tous deux responsables devant le même Maître. Vous n'êtes pas plus important que lui car « devant Lui (Dieu) il n’y a point d’acception de personnes» (9d). Votre Maître céleste n’est pas influencé par votre position, votre rang, ou votre pouvoir. Donc, ne vous séduisez pas en pensant d’une manière ou d’une autre qu’il vous fera faveur.
Partie IV: Plans De Predication
Le Dialogue De Jésus Avec Marie-Madeleine
Pour la version audio anglaise de ces sermons, cliquez sur ces liens: Link 1 - Jean 20:1-2; Link 2 - Jean 20:3-10; Link 3 - Jean 20:11-18
Titre: Le choc et la réalité de la résurrection- Partie 1,2,3
Point n°1: Le tombeau vide change des observateurs en croyants (1-10)
1. Le tombeau vide change des observateurs en croyants
a) À la croix, certains étaient observateurs (Luc 23: 55-56.)
b) Au tombeau vide, d’autres étaient des suiveurs (1-2)
2. Le tombeau vide tourne des suiveurs en disciples (3-10)
a) Pour certains, le tombeau vide les laisse sceptiques (6-7)
b) Pour d’autres, le tombeau vide les inspire à croire (5, 8-9)
Point n°2: Le Christ ressuscité transforme la tristesse en joie (11-18)
1. L'ignorance de la résurrection produit la tristesse (11-13)
a) Elle produit la tristesse malgré les preuves (11)
b) Elle produit la tristesse, malgré le témoignage (12-13)
2. La connaissance de la résurrection produit la joie (14-18)
a) Elle produit la joie lorsqu’on Le reconnait (14-16)
b) Elle produit la joie lorsqu’on Lui obéi (17-18)
[1] Olford, La prédication par exposition sous onction (Broadman & Holman), 233.
[2] Philips Brooks, La Joie de Précher (Kregel, 1989), 25ff
[3] Olford, La Prédication par Exposition sous Onction, 233.
Related Topics: Pastors
9. Para Um Momento Como Este – A História De Assuero E Ester
Related MediaHá situações em nossa vida que nem sempre são do nosso agrado: lugares onde temos de morar, pessoas com quem temos de conviver ou problemas que temos de enfrentar. E nem sempre isso ocorre por nossa culpa. Muitas vezes somos vítimas das circunstâncias ou, então, tomamos decisões que achávamos acertadas, mas que acabaram não saindo como esperávamos. Algumas pessoas sentem isso com relação ao seu casamento – a mulher, por exemplo, achava que o homem com quem se casou fosse crente. Mais tarde, ela descobriu ter sido enganada. As atitudes dele constantemente refletiam sua falta de interesse pelas coisas do Senhor, causando a ela uma angústia interminável. Há uma história na Palavra de Deus que deve encorajar as pessoas em tais circunstâncias.
O homem da casa não era outro senão o rei do maior império de seus dias. Os judeus o chamavam de Assuero, a forma hebraica de seu nome persa. A história secular o conhece por seu nome grego, rei Xerxes I, o qual governou a Pérsia de 486 a 465 aC. Seu poderoso império se estendia da Índia até a Etiópia (Ester 1:1). No entanto, isso não era suficiente para ele. Sua verdadeira paixão era fazer o que seu pai, Dario I, não tinha conseguido –conquistar a Grécia.
A Palavra de Deus nos diz que “no terceiro ano de seu reinado, deu um banquete a todos os seus príncipes e seus servos, no qual se representou o escol da Pérsia e Média, e os nobres e príncipes das províncias estavam perante ele. Então, mostrou as riquezas da glória do seu reino e o esplendor da sua excelente grandeza, por muitos dias, por cento e oitenta dias” (Ester 1:3-4). Uma conferência desse nível, com duração de seis meses, tinha de ser muito mais que apenas uma grande festa. Provavelmente, era parte da estratégia de Xerxes para a futura invasão à Grécia. A história secular diz que ele deu início à invasão logo após essa esplêndida convocação, em 481 aC.
Para encerrar a conferência, no entanto, ele planejou uma semana de festas e comemorações (Ester 1:5). Quando já estava meio embriagado pelo vinho, ele chamou sua bela rainha, Vasti, para exibi-la diante de seus amigos (Ester 1:11). Ela se recusou a servir de espetáculo público e Assuero ficou enfurecido. Aconselhado por seus sábios, ele decidiu depor a rainha por meio de edito real – a lei dos medos e dos persas que não podia ser revogada, nem mesmo pelo próprio rei (Ester 1:19). Foi uma decisão precipitada que ele viria a lamentar, mas Assuero era conhecido por ser impulsivo e cabeça dura.
Além disso, ele tinha coisas mais importantes a fazer do que se preocupar com seu harém. Ele estava prestes a conquistar a Grécia. Seus exércitos eram superiores e o momento da história estava a seu favor. No entanto, numa sucessão de batalhas famosas, familiares aos estudantes de história antiga (Termópilas, Salamina e Plateia), seu poderio militar foi finalmente quebrado, e ele voltou à capital Susã como um homem derrotado. Como ele deve ter desejado o consolo e a companhia de sua rainha deposta para minimizar sua vergonha e massagear seu ego ferido! “Passadas estas coisas, e apaziguado já o furor do rei Assuero, lembrou-se de Vasti, e do que ela fizera, e do que se tinha decretado contra ela” (Ester 2:1). Mas era tarde demais. Seu decreto era irreversível.
Foi aí que seus auxiliares sugeriram a realização de um concurso de beleza em toda a Pérsia para encontrar uma rainha para o rei Assuero. “Então, disseram os jovens do rei, que lhe serviam: Tragam-se moças para o rei, virgens de boa aparência e formosura. Ponha o rei comissários em todas as províncias do seu reino, que reúnam todas as moças virgens, de boa aparência e formosura, na cidadela de Susã, na casa das mulheres, sob as vistas de Hegai, eunuco do rei, guarda das mulheres, e dêem-se-lhes os seus unguentos. A moça que cair no agrado do rei, essa reine em lugar de Vasti” (Ester 2:2-4). A coisa toda soou meio divertida ao rei, por isso, ele deu sua permissão e a busca teve início. Um concurso de beleza não é uma maneira ruim de encontrar uma esposa, se o objetivo for somente a aparência. Contudo, nosso Deus soberano ia dar a Assuero muito mais que boa aparência, quisesse ele ou não. Deus já tinha uma esposa escolhida a dedo para esse rei pagão. Embora o nome de Deus não seja mencionado em qualquer parte do livro, Sua mão providencial é claramente visível, governando e dominando as questões dos homens.
Sem que Assuero tivesse a mínima ideia, a próxima rainha da Pérsia seria uma jovem judia. Provavelmente ela preferia estar em Jerusalém com seus compatriotas, mas, por alguma razão, seus pais não quiseram voltar quando o rei Ciro deu sua permissão, cinquenta anos antes. No cativeiro, os judeus tinham permissão para se estabelecer, abrir negócios e viver normalmente, e somente 50.000 deles voltaram a Israel quando tiveram oportunidade.
Os pais desta jovem estavam mortos e seu primo mais velho, Mordecai, tinha se encarregado de educá-la. A Escritura diz: “Ele criara a Hadassa, que é Ester, filha de seu tio, a qual não tinha pai nem mãe; e era jovem bela, de boa aparência e formosura. Tendo-lhe morrido o pai e a mãe, Mordecai a tomara por filha” (Ester 2:7). Ela era uma mulher adorável, e não teve como escapar das garras dos servos do rei que vasculhavam o país à procura de mulheres bonitas. “Em se divulgando, pois, o mandado do rei e a sua lei, ao serem ajuntadas muitas moças na cidadela de Susã, sob as vistas de Hegai, levaram também Ester à casa do rei, sob os cuidados de Hegai, guarda das mulheres” (Ester 2:8).
Todos os dias Mordecai ia ver como ela estava, já que ele era um dos porteiros do palácio. Ele a instruiu para não dizer sua nacionalidade a ninguém, provavelmente para resguardá-la do tratamento cruel dirigido contra os judeus, presente na maioria dos países onde tinham estado ao longo da história, e ela o obedeceu respeitosamente. E, assim, quando chegou sua vez de ser levada à presença do rei, ela não pediu algo especial para tentar impressioná-lo, como fizeram as outras garotas. Sua beleza natural e seu espírito adorável foram suficientes para conquistar o coração do rei. “O rei amou a Ester mais do que a todas as mulheres, e ela alcançou perante ele favor e benevolência mais do que todas as virgens; o rei pôs-lhe na cabeça a coroa real e a fez rainha em lugar de Vasti” (Ester 2:17).
A Escritura não diz que Ester quisesse se casar com Assuero. A oferta era lisonjeira, mas ela devia saber que ele não seria um marido ideal, principalmente depois do que tinha acontecido com Vasti. No entanto, como dizer “não” a um monarca tirânico, sem perder a cabeça? E foi assim que essa simples jovem judia veio a ser tornar a rainha do império persa. Foi a ascensão à realeza mais rápida da história.
A cronologia do livro indica que cerca de cinco anos mais tarde uma bomba estourou sobre o povo de Deus. O pivô da tragédia deve ter sido o herói de Hitler no Antigo Testamento. Ele era um amalequita cruel e antissemita chamado Hamã, evidentemente um descendente de Agague, rei dos amalequitas, a quem Saul tinha mantido vivo em desobediência ao mandamento do Senhor (1 Samuel 15:8-9). Quando Assuero o tornou primeiro-ministro, todos no palácio se inclinaram perante ele, menos Mordecai. Hamã prometeu não só punir Mordecai, mas também exterminar todos os judeus do império persa, o que, consequentemente, incluía quem estava no território de Israel, pois este fazia parte do império. Hamã conseguiu fazer Assuero concordar com seu plano e o acordo foi selado com o anel do rei, a lei irreversível dos medos e dos persas. Essa foi outra decisão precipitada que Assuero viria a lamentar.
“Quando soube Mordecai tudo quanto se havia passado, rasgou as suas vestes, e se cobriu de pano de saco e de cinza, e, saindo pela cidade, clamou com grande e amargo clamor; e chegou até à porta do rei; porque ninguém vestido de pano de saco podia entrar pelas portas do rei. Em todas as províncias aonde chegava a palavra do rei e a sua lei, havia entre os judeus grande luto, com jejum, e choro, e lamentação; e muitos se deitavam em pano de saco e em cinza” (Ester 4:1-3).
Por mais estranho que pareça, não há menção específica à oração neste livro, nem ao nome de Deus, mas você pode ter certeza de que esses judeus estavam orando. Há menção ao jejum e, quando isso ocorre na Escritura, geralmente é associado à oração. Além disso, o lamento provavelmente indicava um clamor desesperado a Deus. Esses judeus estavam longe da pátria por vontade própria, estavam fora do lugar da bênção, separados do lugar de adoração, e talvez, por isso, nem o nome de Deus nem a oração sejam mencionados diretamente. Mas eles estavam orando, e Deus estava cuidando deles, administrando as circunstâncias para glorificar o Seu próprio Nome. E Ele faz a mesma coisa por nós, mesmo quando não estamos conscientes disso.
Estamos prestes a descobrir que há um propósito para as designações de Deus. Isso é revelado na troca de informações entre Ester e Mordecai. Ela enviou um dos camareiros do rei para descobrir por que Mordecai estava pesaroso. Em resposta, ele mandou uma mensagem explicando o plano diabólico, que ela não sabia, pedindo-lhe para interceder junto ao rei. Ela respondeu depressa, relembrando-o de que ninguém podia entrar na presença do rei sem ser chamado, a menos que estivesse cansado de viver, e que há um mês o rei não a chamava. Havia apenas uma pequena possibilidade de ela entrar – se o rei a visse e estendesse seu centro de ouro .
Mordecai provavelmente sentia falta das bênçãos de Deus por não ter retornado a Israel, mas seu discernimento espiritual tinha aumentado desde então. Ele estava começando a compreender um pouco da graça soberana de Deus e da providência divina. Ele mandou responder a Ester: “Não imagines que, por estares na casa do rei, só tu escaparás entre todos os judeus. Porque, se de todo te calares agora, de outra parte se levantará para os judeus socorro e livramento, mas tu e a casa de teu pai perecereis; e quem sabe se para conjuntura como esta é que foste elevada a rainha?” (Ester 4:13-14). Ester não estava mais segura do que qualquer outro judeu. Quando soubessem que ela era judia, sua vida também estaria em perigo. No entanto, Mordecai estava convencido de que Deus ia cuidar do Seu povo, Israel. Eles podiam estar distante dEle, mas Ele não podia deixá-los perecer, pois isso seria contrário às Suas promessas. Se Deus não usasse Ester para livrá-los, Ele usaria algum outro meio. Deus é um Deus soberano.
Veja, Mordecai tinha compreendido o fato de que Deus permitiu a eles ficarem na Pérsia e talvez agora estivesse prestes a transformar a decisão deles em glória para Si mesmo e libertação para o povo judeu. “Quem sabe se não foi para um momento como este que você chegou à posição de rainha? (NVI)”. Que ilustração notável da grandeza do nosso Deus. Ele não só pode cuidar das circunstâncias da nossa vida que estão além do nosso controle, como também pode cuidar das decisões erradas que tomamos, e até dos pecados que cometemos, e usá-los para o bem. Diz o salmista: “Pois até a ira humana há de louvar-te” (Salmo 76:10). Se Deus pode fazer a ira humana louvá-lO, quanto mais nossos pecados e nossas fraquezas.
Obviamente, isso não significa que podemos viver indiferentes à vontade de Deus e esperar que Ele dê um jeito na bagunça feita por nós. Há uma enorme carga de infelicidade e tristeza no caminho, como muitos cristãos podem testemunhar. As consequências do pecado deliberado podem ser insuportáveis. Significa, no entanto que, quando colocamos nossa vida nas mãos de Cristo e nos entregamos a Ele sem reservas, podemos ter certeza de que Ele tem um grande plano para nós daí por diante. Ele pode usar qualquer coisa que tenha nos acontecido no passado e qualquer circunstância do presente para ajudar a realizar esse plano.
Deus tem um propósito para você, exatamente agora, exatamente onde você está, não importa quem você seja, onde more, com que seja casado, o que tenha vivido no passado ou o que tenha de enfrentar no futuro. Na verdade, Ele permitiu que você chegasse até aqui para um propósito definido, “para um momento como este”. Ele tem algo específico para você realizar na presente situação e quer que você procure as oportunidades para isso na sua esfera atual de influência.
Veja, os crentes são parte do grande programa de Deus na terra; eles devem viver com fé, como pessoas destinadas a um propósito. Deus não nos quer lamentando a nossa situação, procurando uma saída. Ele será honrado quando invocarmos a Sua graça para sermos aquilo que Ele quer que sejamos e façamos aquilo que Ele quer que façamos na atual circunstância. Precisamos aproveitar as oportunidades que Ele nos dá aqui e agora. Talvez, mais tarde, Ele abra oportunidades mais amplas se for esse o Seu propósito, mas isto está em Suas mãos. Nossa responsabilidade é deixá-lO nos usar onde estivermos.
Ester reagiu de forma positiva ao sábio conselho de Mordecai. Ela enviou uma mensagem, dizendo: “Vai, ajunta a todos os judeus que se acharem em Susã, e jejuai por mim, e não comais, nem bebais por três dias, nem de noite nem de dia; eu e as minhas servas também jejuaremos. Depois, irei ter com o rei, ainda que é contra a lei; se perecer, pereci” (Ester 4:16). A menção ao jejum mostra sua confiança no poder da oração, especialmente em comunhão com outros crentes. Quando estamos enfrentando situações difíceis, talvez seja bom pedir oração a outros cristãos. Não precisamos lavar nossa roupa suja, depreciar nosso cônjuge ou fazer fofoca de quem está envolvido no problema. Tudo o que precisamos é admitir que temos uma necessidade e pedir aos nossos amigos que orem por nós.
Sob a proteção do manto da oração, o passo seguinte é dispor nosso coração a fazer a vontade de Deus em tal situação, custe o que custar. “Irei ter com o rei”, disse Ester, “se perecer, pereci”. Deus pode querer que realizemos alguma tarefa desagradável. Talvez isso envolva o confronto com alguém a quem preferimos evitar, ou admitir alguma coisa que tentamos esconder, como aconteceu com Ester. No entanto, se sabemos que essa é a vontade de Deus, precisamos fazer. E Deus honrará nossa atitude. Ele fez assim com Ester.
Deus operou de forma maravilhosa. Na verdade, Ele realizou um milagre para nos servir de incentivo. Em primeiro lugar, Ele dispôs o coração do rei para estender o cetro de ouro, e Ester se aproximou do trono. Ela falou de modo comedido ao invés de fazer exigências egoístas ou acusações furiosas. E, em vez de despejar o problema de uma vez, ela convidou Assuero e Hamã para jantar naquela noite. No jantar, mais uma vez ela ignorou o assunto, convidando-os novamente para jantar na noite seguinte. Não é que ela estivesse tentando amaciá-los ou manipulá-los. Ela estava usando o bom senso, e muitos maridos e esposas deveriam aprender com ela sobre como e quando falar. Graça e tato são palavras-chave na nossa abordagem.
Deus opera de maneiras estranhas. Na noite entre os banquetes, Assuero não conseguiu dormir. Ele pediu que lhe trouxessem o livro de registros do seu reino e o lessem para ele. Provavelmente isso o fazia dormir quando nada mais funcionava. No registro constava a história de um plano de assassinato contra ele, o qual fora descoberto e revelado por Mordecai, pelo que ele nunca fora recompensado (Ester 6:1-3). Esse pequeno episódio incrível preparou o caminho para os acontecimentos do dia seguinte.
Primeiro, Hamã foi obrigado a honrar Mordecai por seu patriotismo. Depois, veio o segundo banquete de Ester. Enquanto festejavam, o rei disse a ela: “Qual é a tua petição, rainha Ester? E se te dará. Que desejas? Cumprir-se-á ainda que seja metade do reino”. A resposta dela foi brilhante: “Se perante ti, ó rei, achei favor, e se bem parecer ao rei, dê-se-me por minha petição a minha vida, e, pelo meu desejo, a vida do meu povo. Porque fomos vendidos, eu e o meu povo, para nos destruírem, matarem e aniquilarem de vez; se ainda como servos e como servas nos tivessem vendido, calar-me-ia, porque o inimigo não merece que eu moleste o rei”. O rei ficou chocado. “Quem é esse e onde está esse cujo coração o instigou a fazer assim?” E, para horror de Hamã, Ester apontou para ele (Ester 7:1-6).
As consequências do banquete foram espantosas. Hamã foi enforcado na forca que tinha preparado para Mordecai e Mordecai foi promovido a primeiro ministro da Pérsia. E, embora a ordem contra os judeus não pudesse ser anulada, eles tiveram permissão para se defender contra seus adversários. Mais de 75.000 inimigos declarados foram mortos e o povo de Deus foi libertado. Foi realmente um milagre! Mas Deus ama realizar milagres para quem se vê como parte do Seu plano, que vê as circunstâncias como parte dos Seus desígnios e vive para fazer a Sua vontade seja onde for.
Contudo, há mais uma coisa que precisamos observar nesta narrativa, a qual é um memorial para todas as épocas. Tanto Mordecai quanto Ester ficaram tão agradecidos a Deus pela Sua fidelidade que enviaram cartas aos judeus de todas as províncias da Pérsia instruindo-os a celebrar os dois dias da sua libertação todos os anos. Essa comemoração é chamada de festa do Purim, da palavra Pur, que significa “sorte” ou “dado”. Hamã tinha lançado sortes para determinar o dia em que os judeus deveriam morrer (cf. Ester 3:7, 9:24, 26). Deus transformou esse dia em dia de vitória e eles foram gratos a Deus por Sua libertação. Os judeus celebram a festa do Purim até hoje. É um memorial permanente da fidelidade de Deus.
Deus também opera em nossa vida tão definitiva e decisivamente quanto operou na vida de Ester. As circunstâncias ao nosso redor talvez não sejam como gostaríamos. No entanto, de um jeito ou de outro, podemos ser gratos a Deus por elas. Elas dão a Ele oportunidade de demonstrar Seu amor e cuidado soberanos, e a nós, oportunidade de glorificá-lO. Creiamos que todas as coisas cooperam para o bem e, assim, procuremos servir a Ele em todas as circunstâncias.
Vamos conversar sobre isso
- 1. Por que você acha que Deus colocou o livro de Ester na Bíblia?
- 2. Relembre alguns problemas enfrentados por você no passado, os quais agora percebe que Deus planejou para o bem.
- 3. Quais circunstâncias presentes na sua vida você gostaria que fossem diferentes? Que oportunidades você teve com elas para glorificar ao Senhor? Como você pode servir ao Senhor em tais circunstâncias?
- 4. Como podemos ajudar uns aos outros a passar pelas dificuldades da vida?
- 5. O que você aprendeu com o relacionamento de Assuero e Ester que poderá ajudá-lo em seu relacionamento com outras pessoas?
Tradução: Mariza Regina de Souza
Related Topics: Christian Home, Marriage
10. Coisas Impossíveis Realmente Acontecem – A História de Zacarias e Isabel
Related MediaEm quase todas as culturas da história existe uma consciência de classe e a cultura judaica da época de Jesus não era exceção. A classe superior daquela estrutura social era constituída pelos descendentes de Arão, o sacerdócio oficial. Naquele tempo, havia cerca de 20.000 deles em Jerusalém e arredores e, lamentavelmente, muitos eram orgulhosos, preconceituosos, extremamente indulgentes e egocêntricos, religiosos só naquelas questões exteriores que poderiam impressionar outras pessoas. Um exemplo típico é o sacerdote da parábola do bom samaritano. Ele se achava bom demais para ajudar uma pobre vítima de assalto e roubo.
Contudo, havia alguns que eram diferentes e, entre eles, estava um velho sacerdote chamado Zacarias, cujo nome significa “o Senhor Se lembra”. Uma vez que a lei de Moisés prescrevia que um sacerdote só poderia se casar com uma mulher de excelente reputação, Zacarias tinha escolhido como esposa a filha de outro sacerdote. Não só ela era descendente de Arão, mas também tinha o mesmo nome que a esposa deste, Eliseba ou Isabel, que significa “o juramento de Deus”. Seus nomes ganhariam um novo sentido antes que o sol se pusesse sobre sua vida conjunta.
Vejamos, em primeiro lugar, seu exemplo de devoção, “ambos eram justos diante de Deus, vivendo irrepreensivelmente em todos os preceitos e mandamentos do Senhor” (Lc. 1:6). Tanto a vida de Zacarias quanto a de Isabel eram agradáveis a Deus. Eles eram submissos à Sua vontade e obedeciam a Sua Palavra. E eles faziam isso “diante de Deus”, ou seja, para exaltar o Senhor quando estavam sozinhos, não para se aparecer diante dos homens. Nisto, eles eram diferentes da maioria dos seus contemporâneos. Eles nem mesmo se preocupavam com o status próprio do sacerdócio. Eles viviam em algum vilarejo obscuro da região montanhosa ao sul de Jerusalém em vez de, como os outros sacerdotes, morar na parte nobre da cidade, ou em Jericó, a suntuosa cidade das palmeiras. Sua piedade não era pura exibição; era um relacionamento íntimo com o Senhor. Eles se importavam mais com o que Deus pensava sobre eles do que com o que os homens pensavam. E isto, consequentemente, é uma base importante para se construir um bom relacionamento conjugal. A qualidade do nosso andar com Deus determina a nossa capacidade de andar com alegria e felicidade com os outros. E esse andar com Ele só pode progredir quando procuramos agradar a Ele em vez de tentar impressionar os homens.
Isso não quer dizer que Zacarias e Isabel não tivessem problemas. Embora muitos dos nossos problemas tenham origem em nossos pecados, Deus permite que eles invadam a nossa vida com o único propósito de nos ajudar a crescer. Ele os quer lá e, não importa o quanto sejamos obedientes, isso não nos tornará imunes aos problemas. Zacarias e Isabel tinham um problema, e um bem grande. “E não tinham filhos, porque Isabel era estéril, sendo eles avançados em dias” (Lc. 1:7). Para nós, é difícil imaginar o tamanho do estigma que era para eles não ter filhos. Muitos rabinos diziam que isso era evidência da desaprovação divina. Mesmo Zacarias e Isabel sendo justos diante de Deus, alguns de seus amigos provavelmente suspeitavam de algum grande pecado oculto. E não tinha como apagar essa mancha. A expressão “avançados em dias” significava que eles tinham pelo menos sessenta anos de idade, muito além da idade normal para gerar uma criança. Era uma situação desesperadora.
Zacarias poderia ter se eximido de sua responsabilidade, divorciando-se de Isabel. Na sociedade daquela época, esterilidade era um motivo comumente aceito para o divórcio. Ele poderia ter se livrado dela, ter se casado com uma mulher mais jovem e ter tido filhos com ela, tirando aquela horrível maldição de sobre as suas costas. Muitos outros teriam tomado esse caminho. Mas não Zacarias. Em vez disso, ele orou (Lc. 1:13). Ele entregou o caso para a única pessoa que poderia fazer alguma coisa. E, embora eu não possa provar, imagino que ele tenha orado junto com Isabel, o que significa que ele ministrava às necessidades dela. Ele era também um homem da Palavra, como mostra seu famoso “Benedictus” (Lc. 1:67-69). Por isso, ele provavelmente compartilhava com sua esposa as grandes Escrituras do Velho Testamento, as quais a consolavam e encorajavam em sua luta.
Essa é a responsabilidade do marido como líder espiritual no casamento. Se ele conhece o Senhor há pouco tempo, no início talvez tenha alguma dificuldade para desempenhar efetivamente seu papel; mas, na medida em que crescer na compreensão da Palavra, ele se sentirá mais confiante para encorajar a esposa por meio dela. Muitas vezes a esposa tem de sacudir a espiritualidade do marido; ela tem de incentivar, implorar e insistir em cada passo vacilante do seu progresso espiritual. Deus não nos quer tentando arrastar os outros espiritualmente, Ele quer que o marido tome a frente, assuma a liderança espiritual e ministre à esposa e aos filhos as coisas concernentes a Cristo.
Depois que Zacarias entregou seu problema ao Senhor, ele simplesmente continuou a fazer o serviço que Deus lhe confiara. Ele não parou de orar e abandonou o barco porque sua situação parecia sem esperança. E nós também não devemos. Nosso Deus é o Deus do impossível! Ele Se deleita em fazer coisas impossíveis por nós quando sabe que daremos a Ele toda a glória. É muito mais fácil desistir e fugir das situações difíceis, no entanto, normalmente isso só agrava o problema. Deus quer que levemos a Ele em oração todas as nossas dificuldades, buscando na Palavra encorajamento e direção e, então, esperemos pacientemente Ele agir.
Vejamos, a seguir, o dia mais memorável da vida de Zacarias e Isabel. O dia de Zacarias começou bem agitado. “Ora, aconteceu que, exercendo ele diante de Deus o sacerdócio na ordem do seu turno, coube-lhe por sorte, segundo o costume sacerdotal, entrar no santuário do Senhor para queimar o incenso” (Lc. 1:8-9). Era sua vez de ministrar diante do altar de incenso no Santo Lugar, possivelmente pela primeira vez em seu ofício sacerdotal. O rei Davi tinha dividido os sacerdotes em vinte e quatro turnos, e a ordem de Abais, à qual Zacarias pertencia, era a oitava da fila. Cada turno era chamado a ministrar no templo em apenas duas ocasiões durante o ano, cada uma delas com duração de uma semana. Tendo cada turno cerca de mil sacerdotes, é evidente que seria impossível a cada um deles entrar no Santo Lugar e queimar o incenso sobre o altar de ouro mais de uma vez na vida. Entretanto, este era o dia de Zacarias.
Primeiro, ele teria de escolher dois amigos especiais para ajudá-lo. Um, com toda reverência, removeria as cinzas do sacrifício da noite anterior. O outro entraria depois e, com todo respeito, colocaria brasas novas no altar. Finalmente, Zacarias entraria sozinho no Santo Lugar levando o incensário de ouro e, a um dado sinal, espalharia o incenso sobre as brasas. Conforme o incenso queimasse e uma nuvem de fragrância surgisse do altar, a oração dos adoradores do lado de fora subiria à presença de Deus (cf. Lc. 1:10). Era um belo símbolo de adoração.
O ritual terminou e era hora de deixar o Santo Lugar. De repente, um anjo do Senhor apareceu a Zacarias, ficando do lado direito do altar. A visita pessoal de um anjo de Deus era uma distinção que fora concedida a bem poucas pessoas na história da raça humana. E, como se pode imaginar, foi uma experiência assustadora. Mas o anjo logo falou: “Zacarias, não temas, porque a tua oração foi ouvida; e Isabel, tua mulher, te dará à luz um filho, a quem darás o nome de João. Em ti haverá prazer e alegria, e muitos se regozijarão com o seu nascimento” (Lc. 1:13-14). Deus pode realmente realizar coisas impossíveis e foi exatamente isso que Ele prometeu a Zacarias e Isabel. Contudo, seu filho não seria apenas uma criança comum. Ele seria o precursor do Messias prometido pelo profeta Malaquias (Lc. 1:15-17; cf. Malaquias 3:1; 4:5-6).
Tudo isso era demais para a cabeça de Zacarias. Ele tinha orado por um filho, mas, francamente, sua fé tinha enfraquecido. Agora, esta Palavra de Deus – era bom demais pra ser verdade. Antes de ter a chance de colocar seus pensamentos em ordem, ele deixou escapar: “Como saberei isto? Pois eu sou velho, e minha mulher, avançada em dias” (Lc. 1:18). Zacarias era um homem de Deus, mas era homem, e tinha lá suas fraquezas. Deus compreende a fraqueza da fé. Ele não Se empolga com isso, mas entende, e faz o que for necessário para estimular e fortalecer a nossa fé. Essa é uma das razões pelas quais Ele nos deu a Sua Palavra, e também porque incluiu nEla esses grandes acontecimentos históricos. A Palavra de Deus fortalece a fé quando meditamos sobre Ela e sua aplicação à nossa vida. “E, assim, a fé vem pela pregação, e a pregação, pela palavra de Cristo” (Rom. 10:17).
Zacarias conhecia o Velho Testamento. Ele sabia que Deus tinha dado a Sara um filho na sua velhice. Mas, naquele momento, ele não pensou naquele grande precedente das Escrituras. Mesmo homens da Palavra, às vezes, não conseguem se apropriar disso. No entanto, Deus fez algo muito bondoso para ajudá-lo a crer. Ele lhe deu um sinal. “Todavia, ficarás mudo e não poderás falar até ao dia em que estas coisas venham a realizar-se; porquanto não acreditaste nas minhas palavras, as quais, a seu tempo, se cumprirão” (Lc. 1:20). Não foi muito agradável para Zacarias perder a voz e, como ficamos sabendo depois, a audição também (cf. Lc. 1:62). Mas não creio que ele tenha se importado muito com isso. Sua incapacidade de falar e ouvir era a confirmação da Palavra de Deus e serviu para fortalecer a sua fé na promessa que Ele fizera.
Ao sair do Santo Lugar, Zacarias era um homem diferente. Ele sempre fora um homem piedoso, mas seu encontro com o anjo Gabriel deixou-o com uma nova consciência da grandeza de Deus, um novo senso da sua própria indignidade e uma fé forte, viril. Quando sua semana de ofício sacerdotal terminou, ele correu para casa para compartilhar com Isabel cada detalhe daquele dia memorável, e ambos se regozijaram na graça de Deus.
“Passados esses dias, Isabel, sua mulher, concebeu e ocultou-se por cinco meses” (Lc. 1:24). Essa concepção foi um milagre. Coisas impossíveis realmente acontecem! E Deus hoje é o mesmo de ontem e de sempre (cf. Malaquias 3:6, Josué 1:17). Ele pode resolver os nossos problemas, e colocou esta história em Sua Palavra para provar isso e fortalecer a nossa fé.
A notícia desse milagre revigorou a fé da virgem Maria. Deus lhe disse que ela conceberia um filho sem nem mesmo ter relações com um homem. Isso era meio difícil de acreditar. No entanto, ouça o que a mensagem do anjo lhe assegura: “E Isabel, tua parenta, igualmente concebeu um filho na sua velhice, sendo este já o sexto mês para aquela que diziam ser estéril. Porque para Deus não haverá impossíveis em todas as suas promessas” (Lc. 1:36-37). E, com esta nova surpreendente, Maria disse: “Aqui está a serva do Senhor; que se cumpra em mim conforme a tua palavra” (Lc. 1:38).
Algumas pessoas invariavelmente dirão: “Mas você não entende. Meu caso não tem jeito”. “Meu marido não muda”. “Minha esposa não aprende”. “Nunca vamos sair do vermelho”. “Nunca mais ficarei bem”. “Meus entes queridos não crentes nunca irão crer em Jesus”. “Este emprego não melhora nunca”. Ouça mais uma vez a Palavra de Deus: “Porque para Deus não haverá impossíveis em todas as suas promessas”. Creia nisso. Obedeça a Ele. E continue crendo.
O acontecimento seguinte na vida deste casal piedoso foi a visita de Maria, a jovem prima de Isabel da cidade de Nazaré, e, por essa visita, ganhamos uma compreensão um pouco mais profunda sobre o caráter de Isabel. Ela estava no sexto mês de gravidez e, assim que Maria a saudou, seu bebê estremeceu dentro dela, como se movido pelo Espírito Santo para saudar o Filho de Deus. A seguir, iluminada por esse mesmo Espírito, ela pronunciou estas palavras surpreendentes: “Bendita és tu entre as mulheres, e bendito o fruto do teu ventre! E de onde me provém que me venha visitar a mãe do meu Senhor?” (Lc. 1:42-43).
Suas palavras são extraordinárias por vários motivos. Antes de mais nada, elas mostram que Isabel compreendeu quem era o bebê de Maria. Ela a chamou de “a mãe do meu Senhor”. “Meu Senhor” é um título messiânico tirado do Salmo 110:1: “Disse o SENHOR ao meu senhor…” Por revelação divina, Isabel confessou que Maria daria à luz o Messias, o Filho de Deus. No entanto, o mais impressionante foi sua atitude para com Maria. Embora soubesse que ela mesma tinha sido agraciada por Deus, Isabel entendeu que Maria fora muito mais agraciada; na verdade, Maria fora mais agraciada que qualquer outra mulher na terra. Isabel nem ao menos se sentia digna de sua visita. Tanta humildade e modéstia são qualidades raras. E, embora Isabel fosse mais velha que Maria e tivesse todo o direito de perguntar: “Senhor, por que não eu?”, não havia traço de ciúme ou egoísmo em seu espírito. Dá para entender porque Deus a abençoou tanto!
O ciúme é um sentimento muito destrutivo. Ele devora a alma, cria um ambiente hostil dentro de casa e arruína o relacionamento com nossos amigos. No entanto, não há ciúme na vida de quem espera e confia em Deus, como Isabel. Se cremos que Deus faz o melhor para a nossa vida e esperamos que Ele solucione os nossos problemas impossíveis no Seu próprio tempo e do Seu próprio jeito, como poderemos ter ciúme de qualquer outra pessoa? Sabemos que somos vasos imperfeitos escolhidos para cumprir Seu propósito especial para nós. Sabemos que Ele age em nossa vida para realizar o Seu próprio beneplácito, e não há vocação maior do que fazer a Sua vontade. Essa certeza nos dá satisfação interior, e a satisfação remove todo ciúme. Precisamos aprender a crer que Deus expurgará o ciúme corrosivo da nossa vida.
A última coisa que gostaríamos de observar na vida de Zacarias e Isabel é seu filho maravilhoso. Tenho certeza de que eles ficaram meditando nas Escrituras do Velho Testamento durante os últimos meses de gravidez de Isabel, lendo cada passagem que pudessem encontrar sobre o Messias e Seu precursor. A nação ansiava por isso há séculos e Deus tinha escolhido este casal piedoso para fazer parte desses acontecimentos emocionantes. A empolgação deles aumentava a cada dia, até que “a Isabel cumpriu-se o tempo de dar à luz, e teve um filho” (Lc. 1:57).
Como era de costume, seus parentes e vizinhos se reuniram para se alegrar com eles pelo acontecimento extraordinário e, no oitavo dia, no momento da circuncisão da criança, eles tentaram dar-lhe o nome de seu pai, Zacarias. Isabel, no entanto, protestou: “Pelo contrário, ele deve ser chamado João” (Lc. 1:60). Mas, por que João? Esse nome era inédito. Ninguém, em nenhuma das duas famílias, se chamava João. Talvez fosse bobagem de Isabel. Era melhor perguntar a Zacarias. “E perguntaram, por acenos, ao pai do menino que nome queria que lhe dessem. Então, pedindo ele uma tabuinha, escreveu: João é o seu nome. E todos se admiraram. Imediatamente, a boca se lhe abriu, e, desimpedida a língua, falava louvando a Deus” (Lc. 1:62-64).
João significa “O Senhor é gracioso”. E como Ele foi gracioso com eles! Eles simplesmente Lhe pediram um filho para dar continuidade ao nome da família e ao sacerdócio, mas Deus lhes deu o precursor do Messias, uma criança sobre a qual a Sua mão era evidente desde os primeiros dias, um homem a quem Jesus chamaria de “o maior entre os homens” (Mateus 11:11). Deus nem sempre dá de acordo com o que pedimos e, com certeza, nem de acordo com o que merecemos. Ele dá de acordo com as riquezas da Sua graça. Ele dá “infinitamente mais do que tudo quanto pedimos ou pensamos” (Ef. 3:20). E Ele ama fazer isso para quem confia nEle e Lhe obedece, mesmo nas situações mais impossíveis.
A grandiosidade da graça de Deus inspirou Zacarias a entoar uma magnífica canção de louvor a Deus. Cheio do Espírito Santo, ele disse: “Bendito seja o Senhor, Deus de Israel, porque visitou e redimiu o seu povo, e nos suscitou plena e poderosa salvação na casa de Davi, seu servo, como prometera, desde a antiguidade, por boca dos seus santos profetas, para nos libertar dos nossos inimigos e das mãos de todos os que nos odeiam; para usar de misericórdia com os nossos pais e lembrar-se da sua santa aliança e do juramento que fez a Abraão, o nosso pai” (Lc. 1:68-73). Esse juramento feito por Deus a Abraão é uma referência à aliança abraâmica na qual Deus prometera abençoar os descendentes de Abraão e torná-los uma bênção para toda a terra. Muitos judeus estavam começando a pensar que Deus havia Se esquecido da Sua promessa, que não havia esperança para a situação da nação. Zacarias e Isabel, no entanto, nunca pensaram assim. Juntos, seus nomes eram um constante lembrete de que “o Senhor Se lembra do Seu juramento”. E sua experiência miraculosa provou que isso era verdade. Deus não só Se lembra das Suas promessas, Ele também as cumpre!
Talvez você pense que Deus tenha Se esquecido da sua situação. Mas Ele não Se esqueceu. Ele realiza coisas impossíveis para as pessoas todos os dias e talvez você seja o próximo da fila. Portanto, não se irrite, nem se aborreça sob o peso das provações. Creia nEle. Continue a viver para Ele com fé e paciência, e espere Ele agir, como fizeram Zacarias e Isabel. Embora seus nomes não sejam mencionados novamente depois do nascimento de João, eles nos deixaram um legado de fé nas promessas de Deus, o Deus do impossível.
Vamos conversar sobre isso
- Zacarias e Isabel eram “justos diante de Deus”. Quais coisas na sua vida tornam difícil a aplicação dessa afirmação a você? Você estaria disposto a se comprometer com Deus para buscar a vitória Dele nessas áreas?
- Por que você acha que tão poucos maridos cristãos assumem a liderança espiritual de sua casa? Como a esposa pode incentivar o marido nessa questão sem ser irritante?
- Você encontra sempre traços de ciúme na sua vida? Se sim, tente se lembrar de alguma especial que Deus fez por você.
- Quais promessas da Palavra de Deus você acha difícil de acreditar? Memorize-as, medite nelas e clame por elas a Deus.
- Existe alguma coisa na sua vida que pareça impossível? Leve tudo a Deus em oração e peça-Lhe paciência para viver com isso até que Ele mude a sua situação.
Tradução: Mariza Regina de Souza
Related Topics: Christian Home, Marriage
11. Confia em Mim? – A História de José e Maria
Related MediaNazaré era uma adorável cidadezinha aconchegada entre as colinas com vista para a vasta e fértil Planície de Esdraelom. O lugar era composto, principalmente, de algumas casinhas de pedra branca, uma sinagoga erguida na colina mais alta e um mercado na entrada da aldeia. Quando despontou a era do Novo Testamento, sua população parecia girar em torno de pouco mais de cem habitantes, em sua maioria agricultores, mas também alguns artesãos cujas oficinas encontravam-se no mercado – um oleiro, um tecelão, um tintureiro, um ferreiro e um carpinteiro. Os acontecimentos mais importantes da história da humanidade iriam envolver pessoas relacionadas àquela humilde carpintaria de Nazaré.
O carpinteiro, um homem robusto, na flor da idade, chamado José, estava comprometido com uma garota de nome Maria, provavelmente uma adolescente. Ela era uma jovem a quem Deus tinha concedido muita graça (“muito favorecida”, cf. Lucas 1:28). Como o restante de nós, ela era pecadora e admitia sinceramente sua pobreza de espírito e necessidade da salvação graciosa de Deus (cf. Lucas 1:47-48). Mas ao aceitar com entusiasmo a oferta de perdão do Senhor, dia a dia ela tinha se apropriado da Sua graça infinita para crescer e se santificar. Ela era muito agraciada por Deus. E sabia que Ele estava presente em sua vida. O Senhor estava com ela (Lucas 1:28). E ela usufruía uma bela e constante comunhão com Ele.
Entretanto, apesar de seu conhecimento profundo de Deus, foi uma experiência chocante e assustadora quando o anjo Gabriel lhe apareceu: “Mas o anjo lhe disse: Maria, não temas; porque achaste graça diante de Deus. Eis que conceberás e darás à luz um filho, a quem chamarás pelo nome de Jesus. Este será grande e será chamado Filho do Altíssimo; Deus, o Senhor, lhe dará o trono de Davi, seu pai; ele reinará para sempre sobre a casa de Jacó, e o seu reinado não terá fim” (Lucas 1:30-33). Assim que pôde, Maria perguntou ao anjo: “Como será isto, pois não tenho relação com homem algum?” (Lucas 1:34). E Gabriel lhe explicou o fenômeno sobrenatural que ia realizar aquela façanha extraordinária: “Descerá sobre ti o Espírito Santo, e o poder do Altíssimo te envolverá com a sua sombra; por isso, também o ente santo que há de nascer será chamado Filho de Deus” (Lucas 1:35). Era simplesmente inacreditável, um milagre sem precedentes na história da humanidade, mas que poderia ser realizado pelo poder sobrenatural de Deus; e a gravidez miraculosa de Isabel foi citada pelo anjo como evidência. Agora a questão era com Maria: resistir à vontade do Senhor ou se tornar uma serva disposta por meio de quem Ele cumpriria Seu plano. E essa decisão era basicamente uma questão de fé. No desenrolar da história, veremos, primeiramente, a confiança de Maria em Deus.
“Quanta honra”, você diria, “ser escolhida como a mãe do Messias! Como ela poderia recusar?”. Mas, espere um minuto. Talvez você diga isso porque conheça o final da história; contudo, coloque-se no lugar dela por alguns instantes. Você acha mesmo que alguém ia acreditar que aquela criança tinha sido concebida pelo Espírito Santo? Não acha que muitas pessoas iriam concluir que ela estava escondendo a verdade sobre alguma escapadela com algum soldado romano? O centro administrativo do distrito ficava em Séforis, só a 7 km a noroeste dali, e os soldados romanos eram frequentemente vistos pelas ruas de Nazaré. Não acha que as outras pessoas poderiam concluir que ela e José tinham avançado em seu relacionamento e desobedecido a lei de Deus? Em qualquer dos casos, não haveria a possibilidade de Maria ser apedrejada por relações sexuais ilícitas?
E quanto a José? Ele sabia não ser o responsável pelo estado dela. O que ele diria? Ainda estaria disposto a se casar com ela? Ela estaria disposta a desistir dele se chegasse a esse ponto? E quanto à criança? Será que não carregaria o estigma da ilegitimidade pelo resto da vida? Naquele breve momento na presença do anjo, todos os sonhos de Maria passaram como um flash pela sua cabeça, e ela podia ver cada um deles desmoronando.
A questão toda se resumiu a apenas uma coisa para Maria: “Será que posso confiar em Deus para resolver cada um desses problemas sendo submissa à Sua vontade? Maria desfrutava de um abundante suprimento da graça de Deus. Ela tinha satisfação em seu relacionamento pessoal com o Senhor. Mas agora Ele estava lhe pedindo para enfrentar o maior problema da vida de um crente que anda em comunhão com Ele: “Maria, você realmente confia em mim”?
Maria era uma mulher pensativa. Por duas vezes, lemos que ela guardava certas coisas, meditando-as no coração (cf. Lucas 2:19, 51). Contudo, aqui, ela não levou muito tempo para se decidir. Imediatamente ela respondeu: “Aqui está a serva do Senhor; que se cumpra em mim conforme a tua palavra” (Lucas 1:38). Sua decisão foi se submeter à vontade do Senhor e confiar nEle para o que desse e viesse. Submeter-se à vontade de Deus quase sempre envolve algum risco. Mas Deus prometeu fazer todas as coisas cooperarem para o bem e não temos alternativa, a não ser acreditar nisso, se quisermos desfrutar da Sua paz e do Seu poder.
A disposição de obedecer a Deus e confiar nEle para o que der e vier é uma pedra fundamental para um bom casamento. Outros homens podem negligenciar a esposa para sair por aí com os amigos, correr atrás de modismos ou se divertir com sua última aquisição. Deus, no entanto, quer que o marido cristão coloque sua esposa acima de todas as coisas, exceto de Cristo, e a ame como Cristo ama Sua igreja, confiando nEle para tornar as consequências mais gratificantes do que qualquer passatempo ou conquista. A liberdade feminina talvez seja a ordem do dia, mas Deus quer que a esposa cristã seja submissa ao marido com um espírito manso e tranquilo, confiando nEle para enriquecer seu casamento e satisfazer sua vida por meio dele. Talvez Deus esteja nos perguntando o mesmo que perguntou a Maria: “Você realmente confia em mim?”.
Todavia, confiar em Deus é apenas o começo de um bom casamento. Deve haver também profunda confiança de um no outro, e a nenhum homem jamais foi pedido para confiar tanto na garota com quem ia se casar do que ao desta história. Vejamos, então, a confiança de José em Maria. A cronologia aqui não é clara. Não dá para ter certeza se José sabia ou não da gravidez de Maria antes que ela partisse para a casa de Isabel, na Judeia. Mas após seu retorno, três meses depois, o segredo já não podia ser escondido (cf. Lucas 1:56 e Mateus 1:18). Teria Maria falado com José sobre a concepção milagrosa? Teria ele achado difícil acreditar na história dela, mesmo amando-a profundamente? Teria ele aceito a história de imediato? Teria ele resolvido deixá-la porque duvidasse da sua palavra, ou se considerasse indigno de se casar com a mãe do Messias, ou pensasse que Maria teria de educar o filho no templo? Os motivos de José não são claros.
Contudo, uma coisa é certa: havia um conflito imenso na alma de José. Acreditasse ele ou não na história de Maria, os outros, com certeza, não iriam acreditar e ele teria de viver com o falatório a respeito de uma esposa infiel pelo resto da vida. No entanto, José era um homem temente a Deus e cheio de graça. Fosse qual fosse sua decisão, ela ia refletir tanto a sabedoria divina como seu carinho por Maria. E, mesmo com o coração partido, ele estava inclinado a terminar tranquilamente o relacionamento e poupá-la de qualquer constrangimento público (Mateus 1:19). De qualquer forma, pelo menos ele estava aberto à orientação de Deus e, enquanto meditava em oração sobre a coisa certa a fazer, um anjo do Senhor apareceu-lhe em sonho e disse: “José, filho de Davi, não temas receber Maria, tua mulher, porque o que nela foi gerado é do Espírito Santo. Ela dará à luz um filho e lhe porás o nome de Jesus, porque ele salvará o seu povo dos pecados deles” (Lucas 1:20-21). Lembre-se de que este anjo, diferente daquele que falou com Maria, apareceu-lhe em sonho. Teria sido um sonho propiciado pela sua ansiedade ou seria realmente uma mensagem de Deus? Nós não temos dúvida de que era uma mensagem de Deus, pois as Escrituras claramente assim nos dizem, mas José não sabia disso. A princípio, talvez, ele tenha duvidado. Contudo, uma crescente segurança começou a tomar conta dele e a confiança solidificou-se em sua alma. O assunto foi resolvido – não interessava o que os fofoqueiros iriam falar; José acreditava! “Despertado José do sono, fez como lhe ordenara o anjo do Senhor e recebeu sua mulher. Contudo, não a conheceu, enquanto ela não deu à luz um filho, a quem pôs o nome de Jesus” (Mateus 1:24-25). Esta, provavelmente, foi a maior prova de confiança demonstrada entre um homem e uma mulher.
Na realidade, todo casamento é uma relação de confiança. Quando estamos diante do altar e ouvimos nosso futuro cônjuge prometer que vai renunciar a todos e ser fiel somente a nós, nós acreditamos. Quando o/a ouvimos jurar solenemente que irá nos amar na riqueza e na pobreza até que a morte nos separe, nós acreditamos. E, porque acreditamos, nós fazemos a mesma promessa em resposta e nos comprometemos a um relacionamento para toda a vida. A confiança de um no outro é outra pedra fundamental em um bom casamento, e essa confiança deve crescer com o passar dos anos.
Confiar é ser capaz de dizer ao nosso cônjuge os nossos pensamentos e sentimentos mais profundos, crendo que eles nunca serão usados contra nós, crendo que, seja como for, seremos amados e aceitos, talvez ainda mais devido a nossa honestidade. Confiar é não sentir raiva ou ciúmes quando nosso cônjuge está falando com alguém do sexo oposto. Confiar é acreditar no nosso cônjuge quando ele nos diz onde esteve ou no que está pensando, ou quando tenta explicar o que realmente quis dizer com o que disse.
A confiança nos coloca à mercê do nosso cônjuge. Ela nos torna totalmente vulneráveis e podemos acabar nos machucando! Quando realmente acreditamos em alguém, e depois descobrimos que fomos enganados, isso nos faz sentir tolos e humilhados. Mas que alternativa nós temos? Sem confiança não pode haver relacionamento. Portanto, peçamos a graça de Deus para continuar confiando e creiamos que Ele usará a nossa confiança para tornar o nosso cônjuge mais confiável se for necessário. Veja, não é só o Senhor que nos faz a pergunta. Talvez nosso cônjuge também pergunte: “Você realmente confia em mim?”.
O anjo do Senhor apareceu mais duas vezes a José e essas aparições mostram um outro elemento da história da natividade – a confiança de Maria em José. José e Maria haviam concluído a árdua caminhada até Belém e a provação do parto em um estábulo já tinha passado. No oitavo dia após o nascimento de Jesus, eles O circuncidaram, conforme requerido pela lei. Quarenta dias depois do parto, Maria ofereceu o sacrifício da purificação no templo. Portanto, parece que eles ficaram em Belém, possivelmente planejando torná-la seu novo lar. Algum tempo se passou até os magos chegarem da Pérsia para adorar o rei recém-nascido; e eles o encontraram em uma casa, não em uma manjedoura, como a maioria dos presépios sugere (Mateus 2:11).
Os magos pararam em Jerusalém para saber onde o Messias teria nascido e isso alertou o rei Herodes para uma ameaça potencial ao seu trono. Esta foi outra ocasião em que José recebeu outra mensagem de um anjo do Senhor em sonho: “Dispõe-te, toma o menino e sua mãe, foge para o Egito e permanece lá até que eu te avise; porque Herodes há de procurar o menino para o matar” (Mateus 2:13). Embora ainda fosse noite, José reuniu alguns pertences, pegou Maria e Jesus e partiu para o Egito, ficando lá até a morte de Herodes. Isso é digno de nota. Maria é a figura mais proeminente na história do Natal, mas José é o único a quem Deus deu Suas instruções. José era o chefe da família e era o responsável por proteger Jesus da ira de Herodes. Maria confiou em sua decisão.
Veja bem, isso não foi como férias no sul do país. Foi uma jornada de quase 320 km a pé ou de jumento, atravessando montanhas, desertos e lugares ermos com um bebê com menos de dois anos de idade. A maioria das mães sabe o que isso significa. Duvido que Maria realmente quisesse ir. Já que tinham de deixar Belém, por que não voltar para Nazaré? Será que lá não estariam seguros do mesmo jeito? No entanto, não há indicação na Escritura de que Maria tenha questionado a decisão de José. E isso aconteceu de novo. Depois da morte de Herodes, o anjo falou a José no Egito: “Dispõe-te, toma o menino e sua mãe e vai para a terra de Israel; porque já morreram os que atentavam contra a vida do menino”. Mais uma vez, José obedeceu de imediato e, mais uma vez, Maria confiou em sua decisão.
Como vimos na vida de Abraão e Sara, submissão da esposa significa confiança na ação de Deus por meio do seu marido para fazer o que é melhor para ela. E isso inclui confiança nas suas decisões. E não é tão difícil quando ela sabe que o marido está agindo para o seu bem e está sendo orientado pelo Senhor, como José. Parece que ele queria voltar a Belém, na Judeia, mas ficou com medo ao saber que o filho de Herodes reinava em seu lugar. Mais uma vez, Deus deu instruções a José e ele voltou a Nazaré, onde viviam os pais de Maria (Mateus 2: 22-23). José tomou suas decisões com base na vontade de Deus.
Homens, não temos o direito de pedir às nossas esposas que sejam submissas a nós quando arbitrariamente expressamos nossas próprias opiniões, impomos nossos desejos egoístas ou fazemos só o que nos interessa. Mas quando recebemos instruções claras de Deus, as quais são melhores para todos, podemos compartilhá-las com nossas esposas e, assim, elas podem se submeter sem hesitação. Temos a obrigação de guiá-las no caminho escolhido por Deus, não pelo escolhido por nós. Precisamos aprender a consultar o Senhor em todas as nossas decisões, orando para pedir Sua sabedoria e procurando na Palavra a Sua direção, esperando que Ele nos dê a segurança da Sua paz. E se houver o desejo de fazer somente a Sua vontade, a despeito dos nossos interesses pessoais, Ele nos protegerá de cometer erros graves que tragam infelicidade para a nossa família. E, assim, nossas esposas ficarão livres para seguir nossa liderança com fé e confiança. A confiança não é uma reação simples e automática. Ela precisa ser desenvolvida, especialmente por aqueles que já foram muito magoados. Podemos ajudar o outro a construir uma relação de confiança mais forte conosco ao aprofundar o nosso próprio compromisso com a vontade de Deus. Quando o outro vir que nos rendemos ao Senhor, ele confiará em nós.
Vamos conversar sobre isso
- Tente se colocar no lugar de Maria, tendo de encarar o incrível acontecimento da concepção virginal, com todos os problemas decorrentes disso. Como se sentiria?
- Em algum momento da sua vida, você já entregou seu futuro e todos os seus sonhos a Deus para que Ele faça como Lhe apraz? Você precisa ratificar essa decisão?
- Existem áreas na sua vida que você ainda não entregou a Deus por medo das consequências? Você as entregará a Ele e Lhe pedirá Sua ajuda para confiar nEle?
- Tente se colocar no lugar de José, tendo de enfrentar um casamento com uma garota que carrega uma criança possivelmente concebida pelo Espírito Santo. Como se sentiria?
- Você pode pensar em algumas áreas em que não haja confiança entre vocês? Compartilhe-as honesta, mas delicadamente, com seu cônjuge. Já traiu a confiança dele/dela? O que pode fazer para aumentar a confiança entre vocês?
- Para os maridos: Vocês costumam expressar suas opiniões pessoais e esperar que sua esposa seja submissa? Já aprenderam a consultar o Senhor em todas as suas decisões?
- Você tem ajudado o outro a construir uma relação de confiança mais forte com você, desenvolvendo você mesmo um compromisso mais sério com a vontade de Deus? Como você pode melhorar esse compromisso?
Tradução: Mariza Regina de Souza
Related Topics: Christian Home, Marriage
12. Sejam Honestos – A História de Ananias e Safira
Related Media“Temos um ao outro e isso é tudo o que importa”, gabava-se o casal de pombinhos logo após a cerimônia de casamento. Mas não ia demorar muito para eles descobrirem que não é bem assim. Nenhum marido e nenhuma esposa cristã podem viver isolados. Eles fazem parte de uma unidade maior chamada o Corpo de Cristo (Efésios 1:22-23), a família da fé (Gálatas 6:10), a família de Deus (Efésios 2:19). A família de Deus é muito maior do que qualquer unidade familiar individual e rapidamente aprendemos que nossa relação com essa família espiritual maior afeta a nossa relação como marido e mulher. Isso nunca foi tão óbvio quanto na história de Ananias e Safira.
Ananias e Safira viveram no período de maior pureza e poder da igreja. Por isso, vamos considerar, em primeiro lugar, a situação da igreja na emocionante era apostólica: “Da multidão dos que creram era um o coração e a alma. Ninguém considerava exclusivamente sua nem uma das coisas que possuía; tudo, porém, lhes era comum” (Atos 4:32). Isso é simplesmente impressionante. Àquela altura, o número de crentes provavelmente chegava a cinco mil ou mais e, mesmo assim, eles eram um só coração e uma só alma. Na Escritura, algumas vezes o coração é usado para se referir, em um sentido mais amplo, à parte não material do ser humano, incluindo tanto o coração quanto a alma. No entanto, diferente da alma, o coração, aqui, provavelmente se refira somente ao espírito, a faceta mais íntima da constituição humana, o centro do seu ser, ao qual Deus Se revela e no qual Ele habita. Aqueles primeiros cristãos sentiam um vínculo espiritual no nível mais profundo da sua vida. Seu espírito estava entrelaçado com a vida e o amor de Cristo. Eles sabiam que pertenciam uns aos outros como irmãos e irmãs em Cristo.
Mas a Escritura não para por aí e diz também que eles eram uma só alma, e isso é uma coisa totalmente diferente. A alma é a força consciente de um homem, sua personalidade, a qual consiste da mente, das emoções e da vontade. É nesse nível que o ser humano pensa, sente e faz escolhas. Essa é a área da experimentação. Aqueles primeiros cristãos não apenas eram um por causa da sua posição em Cristo, mas eram um também na prática. Eles pensavam do mesmo jeito, tinham profundo sentimento uns pelos outros e tomavam decisões que refletiam seu cuidado e preocupação mútuos. Eles não participavam do culto e depois iam pra casa, esquecendo-se dos irmãos e irmãs em Cristo. Uma vez que a congregação era tão grande, mesmo se reunindo no átrio do templo, eles também se reuniam nas casas, em unidades menores, para se conhecer, crescer em amor uns pelos outros e cuidar dos problemas e das necessidades uns dos outros (cf. Atos 2:46).
A preocupação mútua ia muito além daquilo que se referia às suas carteiras – era um cuidado real! Eles entendiam que todas as suas posses vinham de Deus, tendo sido dadas a eles não para seu uso exclusivo, mas para serem compartilhadas uns com os outros. Não havia qualquer tipo de coerção. Qualquer crente era livre para ficar com seus bens, se assim o desejasse, e ninguém o considerava inferior por causa disso. No entanto, a maioria vendia suas propriedades e dava o dinheiro aos apóstolos para ser distribuído àqueles que, provavelmente, tinham perdido o emprego devido à sua fé. Eles abriam mão do seu próprio bem-estar e das suas comodidades para o bem de todos.
O resultado desse espírito desprendido foi grande bênção e poder sobre toda a igreja: “Com grande poder, os apóstolos davam testemunho da ressurreição do Senhor Jesus, e em todos eles havia abundante graça” (Atos 4:33). Uma congregação onde há cuidado mútuo é uma congregação forte, pois a genuína expressão do amor de Deus é colocada em prática. Jesus disse que esse tipo de amor seria a marca dos verdadeiros discípulos (João 13:35), e onde ele está presente, atrai as pessoas como um oásis no deserto.
E atraiu um casal chamado Ananias e Safira. Eles faziam parte daquela poderosa e diligente comunidade de crentes. O nome Safira significa “bela” ou “agradável” e é o mesmo nome dado àquela pedra preciosa de cor azul-violeta. Ananias significa “Jeová é gracioso”, e Deus certamente foi gracioso para com ele. Ele lhe deu uma linda esposa, abençoou-o com bens materiais, perdoou-lhe os pecados e o levou à comunhão com pessoas que realmente se preocupavam com ele. Isso é muito mais que um homem pode desejar.
Ananias, no entanto, queria mais, e Safira também. Eles queriam mais aceitação; queriam aplausos. Eles não queriam ser apenas membros do Corpo; queriam ser membros ilustres do Corpo. Queriam o louvor dos homens. E isso nos leva ao nosso segundo ponto, ao pecado de Ananias e Safira. Crentes dedicados e altruístas muitas vezes são alvo da admiração e do apreço de outros cristãos. Se forem pessoas espirituais, não são motivadas pelo desejo de receber elogios e aplausos dos homens, mas às vezes os recebem. Na igreja primitiva, as pessoas que vendiam suas propriedades e davam o dinheiro à igreja provavelmente recebiam muitos elogios de toda a congregação. Barnabé foi um daqueles que sacrificou tudo (Atos 4:36-37). Ele não o fez para se exibir. Não havia vestígio de orgulho carnal naquilo que ele fez. Ele só pensou na necessidade dos outros cristãos e na glória de Deus. Mas o reconhecimento estava lá. Ananias e Safira viram isso e quiseram ter o mesmo, e foi aí que seus problemas começaram.
Cobiçar o louvor dos homens é evidência suficiente de que eles estavam agindo de acordo com sua natureza carnal, não no Espírito. Contudo, isso fica ainda mais evidente quando ficamos sabendo que eles depositavam sua esperança para o futuro na sua conta bancária, não no Senhor. Eles não conseguiram fazer o que os outros fizeram – dar todo o seu dinheiro para Deus e confiar somente na Sua fidelidade para suprir as suas necessidades. Eles tinham de ter aquele dinheiro. E estas duas expressões de carnalidade, o desejo de reconhecimento e a confiança em coisas materiais, se tornaram um grande dilema para eles. Como poderiam receber o tão almejado reconhecimento sem depositar todo o montante da venda no altar do sacrifício? Mas eles, finalmente, acharam uma solução. Trapaça!
“Entretanto, certo homem, chamado Ananias, com sua mulher Safira, vendeu uma propriedade, mas, em acordo com sua mulher, reteve parte do preço e, levando o restante, depositou-o aos pés dos apóstolos” (Atos 5:1-2). Eles bolaram um plano para reter para si uma parte do dinheiro recebido pela propriedade e levar o restante para os apóstolos. Eles não disseram, necessariamente, que estavam dando a quantia total recebida; simplesmente deixaram que todos presumissem isso. E pronto, o reconhecimento como crentes espirituais e abnegados que entregaram tudo a Jesus foi instantâneo!
Mas o que havia de errado com seu plano? Eles não mentiram realmente pra ninguém, mentiram? Eles apenas deram o dinheiro e não disseram o quanto aquilo representava do total. Eles não tinham culpa pelo pensamento dos outros, tinham? É óbvio que tinham. Pedro, com incrível discernimento divino, atribuiu sua farsa a Satanás e disse que eles mentiram para o Espírito Santo (Atos 5:3). Ele lhes explicou que eles não tinham a obrigação de vender sua propriedade. E, mesmo depois de vendê-la, não tinham a obrigação de dar todo o dinheiro à igreja. Mas eles tinham a obrigação de serem honestos (Atos 5:4). O maior pecado de Ananias e Safira foi sua desonestidade, sua farsa, sua hipocrisia, seu fingimento, mostrando uma falsa imagem de si mesmos, implicando em maior espiritualidade do que realmente possuíam, deixando os outros pensarem o melhor sobre eles. Eles estavam mais interessados nas aparências do que na realidade. Pedro disse: “Não mentiste aos homens, mas a Deus” (Atos 5:4).
Alguma vez você já se perguntou como era o relacionamento entre Ananias e Safira? Embora tenham demonstrado uma incrível parceria em sua farsa, sua hipocrisia não podia deixar de afetar seu casamento. Quando as aparências são mais importantes para nós que a realidade, normalmente, as pessoas com quem convivemos sofrem por causa disso. Diante dos outros, escondemos a maioria das nossas atitudes carnais, mas, por detrás das quatro paredes da nossa casa, a nossa tendência é deixar à mostra todos os nossos defeitos – toda raiva, todo mau-humor, todas as grosserias e falta de respeito, todo egoísmo, todo orgulho, todo comportamento infantil. Por causa disso, muitos lares cristãos estão cheios de brigas e conflitos. No entanto, quando alguns cristãos preocupados, querendo nos ajudar, perguntam como estão indo as coisas, logo respondemos: “Vai tudo bem, está tudo ótimo. Nunca estivemos melhor”. E justificamos a nossa desonestidade dizendo a nós mesmos que o que acontece na nossa casa é problema nosso e não é da conta dos outros. Mas a desonestidade só aumenta o peso da culpa, a culpa leva a mais atitudes defensivas e irritabilidade, e a irritabilidade causa maior divergência e discórdia em nosso lar. Essa é uma das armadilhas prediletas de Satanás.
O desejo carnal de receber louvor e preeminência demonstrado por Ananias e Safira também pode afetar a relação matrimonial de uma outra forma. Ele faz com que cada parte passe a competir de forma egoística pela supremacia e queira mais para si mesmo do seu relacionamento. Cada um dá de si só para receber algo em troca e, geralmente, fica de olho no quanto recebe. Se achar que está em desvantagem, briga e reclama até conseguir o que pensa merecer. Ambos mantém um registro de quem dá mais, de quem recebe mais atenção, de quem é mais compreensivo, de quem tem mais falhas ou de qualquer outro ponto de discórdia. A necessidade de cada parceiro parecer melhor que o outro o faz mascarar sua verdadeira personalidade e, assim, entrincheirar-se ainda mais em sua miserável hipocrisia.
Precisamos ser honestos. Precisamos nos comprometer a ser absolutamente sinceros e transparentes. Esta é a única maneira de escapar dessa armadilha satânica. Quando admitimos nossos verdadeiros sentimentos e motivações para outra pessoa, quando reconhecemos realmente os nossos erros e quando lhe pedimos para orar por nós, isso nos dá coragem para pedir o poder de Deus para mudar. Sabemos que algum dia essa pessoa irá nos perguntar como estão indo as coisas e que teremos de lhe dizer a verdade. Vamos querer estar prontos quando esse dia chegar, pois com nosso crescimento sincero virá uma crescente preocupação com a glória de Deus e com o testemunho da igreja de Cristo. Portanto, vamos deixar o Espírito de Jesus Cristo operar em nós para nos tornar mais parecidos com Ele. Só assim seremos capazes de parar de jogar o jogo das aparências. Só assim seremos autênticos!
Pra começar, marido e mulher podem ser honestos um com o outro. Podem admitir ao parceiro o que se passa dentro deles e, então, se encorajar mutuamente e orar pelas fraquezas um do outro. Eles também precisam ser honestos para com Deus. Quando estão errados, mesmo que estejam cometendo os mesmos erros, eles precisam reconhecê-los abertamente diante do Senhor e parar de ficar se justificando. Só assim serão capazes de crescer espiritualmente. Ananias e Safira podem ter concordado em seu plano fraudulento, mas é óbvio que nunca admitiram sua pecaminosidade um para o outro, nem para Deus. Quando marido e mulher se tornam parceiros no fingimento, um dia isso os destruirá.
Vejamos, finalmente, a importância da disciplina aplicada a eles. Pedro não invocou o julgamento do céu, como algumas pessoas supõem. Ele simplesmente expôs a hipocrisia de Ananias pelo discernimento que lhe foi dado por Deus. “Ouvindo estas palavras, Ananias caiu e expirou” (Atos 5:5). Foi a disciplina da mão de Deus. “Levantando-se os moços, cobriram-lhe o corpo e, levando-o, o sepultaram” (Atos 5:6). Não sabemos como eles o sepultaram sem o conhecimento de Safira, mas, naquela época, os corpos tinham de ser enterrados logo e talvez eles não a tenham encontrado naquele momento. Ela pode ter saído para fazer compras, para gastar um pouco do dinheiro sonegado.
Três horas mais tarde, ela chegou procurando o marido, sem saber o que tinha acontecido. Pedro deu-lhe oportunidade para ser honesta. “Dize-me, vendestes por tanto aquela terra?”, perguntou ele, citando a quantia entregue por Ananias. Safira preferiu continuar mantendo a farsa iniciada pelo marido. Sem hesitar, ela respondeu: “Sim, por tanto” (Atos 5:8). E Pedro lhe disse que ela teria o mesmo destino sofrido por Ananias.
Ficamos amedrontados diante de uma ilustração tão extrema da disciplina divina. Até podemos ficar tentados a dizer que Deus foi severo demais. No entanto, por que Ele fez isso? Ele não parece agir assim hoje em dia. E como somos gratos por isso! Mas, naquela época, era diferente. Aquele era o início da igreja. Até aquele momento ainda não havia ocorrido nenhuma demonstração tão crassa de carnalidade e Deus abominou o dia em que ela se introduziu na igreja. Desde o princípio Ele queria que todos soubessem o quanto Ele odeia a hipocrisia, e que isso fosse conhecido em todas as épocas. Essa é a razão pela qual Ele colocou essa história em Sua Palavra.
Espiritualidade fingida é uma coisa contagiosa. Quando um cristão vê outro cristão agir dessa forma e se sair bem, não vê problemas em tentar também. E, para cada membro que age no poder da carne em vez de no poder Espírito, para cada um que vive para receber o louvor dos homens em vez de viver para a glória de Deus, a eficácia da igreja de Cristo vai diminuindo cada vez mais. Se Deus tivesse permitido a Ananias e Safira levar adiante a sua farsa, isso teria destruído o testemunho da igreja primitiva. Ele tinha de agir naquela hora.
Infelizmente, os anos têm diluído a pureza da igreja e, estando tão longe da singularidade da era apostólica, podemos achar difícil até mesmo reconhecer a nossa própria hipocrisia. Nós pensamos que hipocrisia é um esforço deliberado e calculado para enganar os outros, como foi com Ananias e Safira, e talvez façamos isso de forma inconsciente. Podemos simplesmente cair no hábito involuntário de proteger nossa aparência de santidade, encobrindo os nossos defeitos e escondendo das pessoas o que se passa dentro do nosso coração e do nosso lar. Geralmente isso é mais fácil do que nos entregarmos totalmente a Cristo, deixando-O viver em nós para fazer as mudanças que desejar. Esta forma de hipocrisia tem se tornado um estilo de vida na igreja de Jesus de nossos dias e talvez seja o motivo pelo qual não estejamos causando grande impacto em nossa sociedade incrédula.
Uma grande questão que paira sobre a nossa cabeça depois de termos descortinado a vida de Ananias e Safira é: o que é mais importante – manter a aparência de espiritualidade ou sermos realmente aquilo que Deus deseja de nós? Cultivar só a aparência conduz à morte – morte para o crescimento espiritual, morte para sermos úteis na família de Deus e morte para um relacionamento melhor entre marido e mulher. Por outro lado, o Espírito de Deus pode usar a sinceridade para produzir em nós a vida de Cristo, e isso significa vida abundante, alegria constante e bênçãos sem medida.
Vamos conversar sobre isso
- Como Ananias e Safira poderiam ter evitado a armadilha em que caíram?
- O que os cristãos, em geral, mais tendem a esconder um do outro?
- Existem assuntos nos quais você e seu cônjuge concordam, mas sabem que não são certos diante de Deus? O que Deus quer que vocês façam a respeito disso?
- Quais são as coisas mais prováveis que marido e mulher escondem um do outro?
- Quais são os riscos de marido e mulher serem transparentes um com o outro?
- Você é uma pessoa receptiva? Pergunte ao seu cônjuge se é fácil, ou não, ser sincero com você. Por quê?
- Existe algum indício de que um de vocês esteja procurando a supremacia no seu relacionamento (tipo “marcando pontos”)? Como você pode evitar essa tendência?
Tradução: Mariza Regina de Souza
Related Topics: Christian Home, Finance, Marriage
13. Lado a Lado – A História de Áquila e Priscila
Related MediaNo ano 52 da nossa era, o imperador romano Cláudio publicou um decreto expulsando todos os judeus da cidade de Roma. De acordo com o historiador romano Suetônio, parece que eles estavam perseguindo seus vizinhos cristãos e causando grande perturbação na cidade. Cláudio pouco se importava com a razão dos problemas e, menos ainda, com quem estava a culpa. Ele sabia que eram judeus e isso era o suficiente; por isso, todos os judeus foram arrancados de suas casas e banidos de Roma, inocentes junto com culpados.
Foi quando um judeu chamado Áquila, que havia migrado da província do Ponto, no Mar Negro, para Roma, empacotou suas coisas, despediu-se de seus amigos e embarcou para a cidade de Corinto. Junto com ele foi sua fiel esposa, Priscila. Não sabemos ao certo se ela era judia ou romana, nem se na época os dois eram cristãos. No entanto, de uma coisa nós sabemos – eles foram juntos. Na verdade, eles estavam sempre juntos. O nome de um nunca aparece sem o nome do outro.
Em primeiro lugar, eles ganhavam a vida juntos. “Pois a profissão deles era fazer tendas” (Atos 18:3). Todo garoto judeu dos tempos do Novo Testamento aprendia algum tipo de ofício. Já que as tendas eram parte importante da vida hebraica, os pais de Áquila decidiram que seu filho deveria aprender esse meio prático de subsistência. Suas tendas eram feitas de tecido rústico de pele de cabra, o que exigia grande habilidade para cortá-las e costurá-las da forma correta. Áquila adquiriu essa habilidade e depois a ensinou à sua esposa, e ela alegremente o ajudava em seus negócios.
Nem todos os casais conseguem fazer como Áquila e Priscila. É preciso uma relação madura para trabalhar junto sob a pressão às vezes gerada por um emprego. Mas, evidentemente, esse era o tipo de relacionamento entre eles. Eles não eram apenas companheiros e amantes, também deviam ser parceiros e bons amigos. É provável que estivessem mais dispostos a dar do que tentavam receber. E fossem capazes de aceitar sugestões da mesma forma que as davam. Eles gostavam de estar juntos e de trabalhar juntos. Eles eram inseparáveis, e eram iguais.
Assim, quando chegaram a Corinto, eles foram juntos à praça para procurar um lugarzinho ao ar livre para alugar e montar seu negócio de fazer tendas. É obvio que isso ocorreu no tempo de Deus, pois tão logo eles se estabeleceram, um outro judeu da mesma profissão chegou à cidade, vindo de sua recente cruzada evangelística por Atenas, o apóstolo Paulo. Sempre que entrava em alguma cidade, ele dava uma volta pela praça procurando uma oportunidade para falar de Jesus, alguma indicação de Deus para um futuro ministério e, é claro, um trabalho com o qual pudesse se sustentar durante o seu ministério. Era inevitável que ele topasse com a oficina de Áquila e Priscila. A Escritura conta a história da seguinte forma: “Depois disto, deixando Paulo Atenas, partiu para Corinto. Lá, encontrou certo judeu chamado Áquila, natural do Ponto, recentemente chegado da Itália, com Priscila, sua mulher, em vista de ter Cláudio decretado que todos os judeus se retirassem de Roma. Paulo aproximou-se deles. E, posto que eram do mesmo ofício, passou a morar com eles e ali trabalhava, pois a profissão deles era fazer tendas” (Atos 18:1-3).
A empatia entre eles foi instantânea e uma amizade profunda e duradoura nasceu naquele dia. Paulo veio a trabalhar com eles, e até mesmo a morar na casa deles, enquanto esteve em Corinto. Se antes eles não conheciam a Cristo, agora, com certeza, eles O conheciam, pois ninguém podia passar algum tempo na presença de Paulo sem ser impactado por seu amor entusiástico e contagiante pelo Salvador. Áquila e Priscila viveram juntos, trabalharam juntos, suportaram o exílio juntos e vieram a conhecer e amar a Cristo juntos; e isso tornou seu casamento completo. Agora eles eram um em Cristo, e o amor do Salvador fez de um bom casamento um casamento ainda melhor. Talvez seja isso justamente o que falte ao seu casamento. Se um de vocês ainda não depositou sua fé no sacrifício de Jesus por seus pecados, seu casamento não pode estar completo. A verdadeira união só pode ser encontrada em Cristo.
Desde o dia em que Áquila e Priscila conheceram o Salvador, eles cresceram juntos na Palavra. Sem dúvida, todos os sábados, eles iam com Paulo à sinagoga, quando ele discorria com judeus e gregos, persuadindo-os a crer na salvação em Cristo (Atos 18:4). Nem todos aceitaram o testemunho de Paulo. Alguns resistiram e blasfemaram. Por isso, ele deixou a sinagoga e passou ensinar na casa de Tício Justo, contígua à sinagoga. E Deus abençoou seu ministério. Até o principal da sinagoga veio a crer em Cristo. “E ali permaneceu um ano e seis meses, ensinando entre eles a palavra de Deus” (Atos 18:11). Pense nisso, dezoito meses de estudo intensivo da Bíblia com o maior professor de Bíblia da igreja primitiva. Como Áquila e Priscila devem ter crescido!
E, quando as aulas acabavam, provavelmente os três iam para casa e ficavam até as primeiras horas da manhã conversando sobre o Senhor e Sua Palavra.
Áquila e Priscila amavam cada mais a Palavra de Deus. E, embora trabalhassem muito em sua oficina, fazendo e consertando tendas, mantivessem a casa e cuidassem de seu hóspede ilustre, eles sempre encontravam tempo para estudar a Bíblia com afinco. Estudar a Bíblia juntos fortalecia o amor de um pelo outro e seu espírito de união.
É exatamente isso o que falta em muitos casamentos cristãos. Marido e mulher precisam abrir a Palavra juntos. Na casa de um pastor, talvez isso não seja tão difícil. Quando estou preparando uma mensagem, muitas vezes converso com minha esposa e aceito sua opinião sobre o texto que estou estudando. Quando ela está preparando uma aula, pode pedir minha ajuda para entender determinado versículo e, assim, estudamos a Palavra juntos. No entanto, na casa de vocês isso pode ser um pouco mais difícil, especialmente se nunca fizeram isso antes. Ensinar na Escola Dominical e dividir com o outro a preparação da aula pode ser uma boa maneira de começar. Ler e discutir um guia devocional baseado na Bíblia também pode ser útil. Ler um livro da Bíblia juntos vai permitir que Deus fale à vida de ambos. Seja como for, a Palavra de Deus é um ingrediente essencial para enriquecer o relacionamento de um com o outro.
Os acontecimentos seguintes na narrativa de Atos mostram o quanto Áquila e Priscila aprenderam sobre a Palavra de Deus. Quando Paulo deixou Corinto e foi para Éfeso, eles o acompanharam e, quando ele embarcou para a sua igreja em Antioquia (Atos 18:18-22), eles ficaram em Éfeso. A mudança foi providencial, pois, enquanto Paulo estava fora, “chegou a Éfeso um judeu, natural de Alexandria, chamado Apolo, homem eloqüente e poderoso nas Escrituras. Era ele instruído no caminho do Senhor; e, sendo fervoroso de espírito, falava e ensinava com precisão a respeito de Jesus, conhecendo apenas o batismo de João. Ele, pois, começou a falar ousadamente na sinagoga” (Atos 18:24-26).
Áquila e Priscila foram ouvi-lo e ficaram profundamente impressionados com sua sinceridade, seu amor por Deus, seu conhecimento das Escrituras do Antigo Testamento e sua brilhante oratória. Ele poderia ser poderosamente usado no serviço de Jesus Cristo, mas sua mensagem era incompleta. Tudo o que ele conhecia além do Antigo Testamento era a mensagem de João Batista, a qual simplesmente aguardava a vinda do Messias. “Ouvindo-o, porém, Priscila e Áquila, tomaram-no consigo e, com mais exatidão, lhe expuseram o caminho de Deus” (Atos 18:26). Com amor e paciência, eles lhe expuseram detalhadamente a vida e o ministério de Jesus Cristo na terra, Sua morte sacrificial e substitutiva na cruz do Calvário pelos pecados dos homens, Sua ressurreição vitoriosa da morte e Sua gloriosa ascensão aos céus, a descida do Espírito Santo no Pentecostes e a origem do Corpo de Cristo, bem como outras importantes doutrinas do Novo Testamento.
Áquila e Priscila talvez não pregassem em público, mas eram diligentes estudiosos da Palavra e amavam estudá-la junto com outras pessoas. Eles até mesmo se dispuseram a investir o tempo necessário para tomar aquele jovem sob seus cuidados e ministrar a ele as coisas concernentes a Cristo. Apolo tinha uma mente aguçada e de rápida compreensão. Ele absorveu a verdade de tudo quanto eles lhe ensinaram e tornou-a parte do seu ministério. E, em consequência desse encontro com Áquila e Priscila, ele se tornou um grande servo de Deus, ao qual, tempos depois, algumas pessoas de Corinto colocaram no mesmo nível de Pedro e Paulo (1 Coríntios 1:12).
Alguns de nós nunca serão grandes pregadores, mas podemos ser estudiosos fieis da Palavra e nossas casas poderão se abrir para pessoas cujo coração esteja ávido para ouvi-la. Podemos ter o agradável privilégio de ensinar algum jovem Apolo que um dia terá um amplo e poderoso ministério para Jesus Cristo.
Áquila e Priscila não apenas ganhavam juntos a vida e cresciam juntos na Palavra, eles também serviam juntos ao Senhor. Sabemos disso pelo que já vimos, mas há ainda outro aspecto do seu serviço cristão que dá suporte a essa afirmação. Quando Paulo partiu de Antioquia na sua terceira viagem missionária, ele viajou por terra pela Ásia Menor, voltando a Éfeso, onde permaneceu cerca de três anos ensinando a Palavra de Deus (cf. Atos 26:31). Durante esse período, ele escreveu sua primeira carta aos Coríntios e disse: “As igrejas da Ásia vos saúdam. No Senhor, muito vos saúdam Áquila e Priscila e, bem assim, a igreja que está na casa deles” (1 Co. 16:19).
Quando Áquila e Priscila ainda iniciavam seu negócio em Corinto, sua casa provavelmente não era grande o suficiente para receber todos os cristãos, por isso foi usada a casa de Tício Justo. No entanto, parece que depois Deus os abençoou materialmente e, em Éfeso, eles usaram seus próprios recursos para a glória de Deus. Sua casa foi um lugar de reunião da igreja de Éfeso.
E essa não seria a última vez que sua casa serviria a esse propósito. Quando Paulo deixou Éfeso e foi para a Grécia, evidentemente eles acreditaram que Deus os estava levando de volta a Roma. Cláudio já estava morto, por isso, a mudança parecia segura e, com certeza, Roma carecia do testemunho do evangelho. Assim, eles partiram. Paulo escreveu a epístola aos Romanos da Grécia, durante a sua terceira viagem missionária, e disse: “Saudai Priscila e Áquila, meus cooperadores em Cristo Jesus, os quais pela minha vida arriscaram a sua própria cabeça; e isto lhes agradeço, não somente eu, mas também todas as igrejas dos gentios; saudai igualmente a igreja que se reúne na casa deles” (Romanos 16:3-5). Eles mal chegaram a Roma e já havia reunião da igreja em sua casa. As igrejas do Novo Testamento não podiam se dar ao luxo de possuir terras e construir edifícios, e nem seria sensato fazê-lo, tendo em vista as constantes pressões e perseguições. Por isso, eles se reuniam nas casas. E a casa de Áquila e Priscila estava sempre aberta às pessoas que quisessem aprender mais sobre Cristo e aos cristãos que quisessem crescer na Palavra.
Embora hoje tenhamos igrejas, nada substitui as casas como centro de evangelismo e alimento espiritual na comunidade. Alguns cristãos fazem refeições evangelísticas em que convidam amigos não crentes para ouvir um importante testemunho pessoal. Muitas mulheres dedicadas usam a mesa da cozinha para estreitar o relacionamento com suas vizinhas durante um cafezinho, compartilhando com elas o amor de Cristo. Estudos bíblicos nas casas podem ser uma boa ferramenta para ensinar os perdidos ou para o crescimento dos crentes na Palavra. Nossos moços têm sido grandemente beneficiados por adultos que abrem suas casas para grupos de jovens. As possibilidades de uso das casas para servir ao Senhor são infinitas. Este é um bom motivo para marido e mulher conversarem a respeito e orarem juntos.
Há ainda uma pequena informação na saudação da carta de Paulo aos Romanos que não podemos deixar passar: “os quais pela minha vida arriscaram a sua própria cabeça; e isto lhes agradeço, não somente eu, mas também todas as igrejas dos gentios”. Não sabemos a que Paulo está se referindo, nem quando isso aconteceu, mas em algum lugar, por alguma razão, Áquila e Priscila juntos arriscaram a própria vida para salvar a vida de Paulo. E nós também podemos agradecer a Deus por isso. Nosso conhecimento da verdade divina seria incompleto sem as epístolas que Deus o inspirou a escrever. Seus dois amigos estavam dispostos a dar tudo pelo serviço do Salvador, até mesmo a própria vida.
Áquila e Priscila são mencionados mais uma vez no Novo Testamento, no último capítulo do último livro escrito pelo apóstolo Paulo. Já tinham se passado dezesseis anos desde que Paulo os encontrara pela primeira vez em Corinto e, agora, ele estava numa prisão em Roma pela segunda vez. Sua morte pelas mãos do imperador Nero era iminente e ele estava escrevendo o último parágrafo de uma vida longa e frutífera: “Saúda Prisca, e Áquila, e a casa de Onesíforo” (1 Tm. 4:19). Paulo estava pensando em seus queridos amigos, os quais tinham voltado a Éfeso, onde Timóteo era ministro, provavelmente tendo deixado Roma para escapar do último rompante de Nero em perseguição aos cristãos. A saudação foi breve e simples, usando a forma abreviada do nome Priscila que vemos em outras passagens. Mas, em suas últimas horas de vida, Paulo queria que eles se lembrassem dele.
No entanto, há uma interessante observação a ser feita sobre esse pequeno versículo. O nome de Priscila aparece antes do nome de Áquila. Na verdade, o nome dela aparece em primeiro lugar em quatro das seis referências bíblicas a eles. E isso é muito incomum! A maioria das referências sobre casais na Bíblia coloca o nome do homem em primeiro lugar. Qual seria a razão da mudança? Muitas explicações têm sido sugeridas, mas a mais razoável parece ser a de que Priscila era a mais talentosa dos dois e, muitas vezes, assumia o papel de maior destaque. Ainda assim, parece que isso nunca afetou o amor entre eles, nem sua compreensão mútua e a capacidade de trabalharem juntos.
Todavia, nem sempre é assim. Alguns maridos se sentem ameaçados quando a esposa tem mais instrução ou capacidade que eles e, para evitar algum constrangimento e manter as aparências, às vezes, eles se tornam espiritualmente ausentes. Para eles, é mais fácil não se expor do que ser ofuscado por elas. Outros se tornam dominadores e agressivos, na tentativa de estabelecer uma posição de autoridade.
Em alguns casos, a culpa é da esposa. Parece que elas têm de provar alguma coisa, competindo com o marido pelos holofotes, ávidas de autoridade e primazia. Por isso, não é de admirar que alguns maridos se sintam ameaçados. A ordem de Deus de autoridade no casamento nunca mudou. Mesmo a esposa sendo mais inteligente e habilidosa que ele, Deus ainda quer que ela o considere como líder. Nem sempre isso é fácil para mulheres extremamente talentosas, mas para Priscila foi. Ela não ficava competindo com Áquila. Ela simplesmente usava a capacidade concedida por Deus, como auxiliadora de seu marido, para a glória de Deus. Tenho certeza de que Áquila sempre agradecia a Deus por ela e, em muitas ocasiões, aceitava seu sábio conselho. Ela era uma dessas mulheres realmente liberadas, pois não há liberdade que traga mais alegria e satisfação do que a liberdade de obedecer à Palavra de Deus.
Vamos Conversar Sobre Isso
- Você tem procurado oportunidades para falar de Cristo aonde quer que esteja, como Paulo procurava? Será que quem passa muito tempo perto de você é contagiado pelo seu amor por Cristo? Como você pode melhorar nesse aspecto?
- Que contribuição espiritual você tem dado à vida dos outros? Que mais pode fazer para falar da Palavra de Deus a outras pessoas?
- Como você pode usar melhor a sua casa para servir ao Senhor?
- Vocês conversam um com o outro sobre a Palavra de Deus? Discutam que tipo de estudo bíblico poderá funcionar melhor para vocês dois; então, comprometam-se a fazê-lo regularmente.
- Para os maridos: Você fica incomodado quando sua esposa se sobressai? Como Deus deseja que você a trate nessas ocasiões?
- Para as esposas: Você tem ameaçado seu marido, lutando para provar sua superioridade em determinadas áreas? Você busca o louvor dos outros às custas dele? Como você pode evitar esse tipo de armadilha?
- Existem ocasiões nas quais você sente que seu cônjuge faz pouco de você em público? Conversem sobre isso e vejam como podem evitar esse tipo de coisa.
- Se você e seu cônjuge estão pensando em montar um negócio juntos, que tipo de problemas acham que poderiam ter? O que poderiam fazer agora para evitá-los?
- Como podem demonstrar melhor a igualdade que têm em Cristo como marido e mulher?
Tradução: Mariza Regina de Souza
Related Topics: Christian Home, Issues in Church Leadership/Ministry, Leadership, Marriage
අප සඳහා සහ අප තුලින් ශුභාරංචිය
Related Media“ගැළවීම උදෙසා දෙවියන්වහන්සේගේ බලය”
ක්රිස්තුස්වහන්සේගේ මරණය හා නැවත නැගිටීම දෙවියන්වහන්සේගේ සතුරන් මත වු න්යෂටික මට්ටමේ ප්රහාරයයි! ඒ සමග යක්ෂයාගේ ජයග්රහණය ගැන මේ දක්වා තිබු බලාපොරොත්තු මකා දමන බලය උන්වහන්සේට තිබුනා. ලෝකය (දෙවියන්වහන්සේගේ ලෝකය කියා මා එක්කළයුතුයි). මත සාපේක්ෂව අභියෝග රහිත මරණයේ බන්ධනය, පැවතුනා. ක්රිස්තුස්වහන්සේ උන්වහන්සේගේ සතුරන් පිට කුලුගෙඩි පහර හෙලුවා; ඔවුන් නැවත කිසිවිටෙක නැගිටින්නේ නැහැ. උන්වහන්සේ සාතන්ගේ පැත්තට බරවු අයට බේරෙන්නට විධියක්ද හැදුවා; “ශුභාරංචිය දෙවියන්වහන්සේගේ ගැළවීමේ බලයයි. ” (රෝම1:16) උන්වහන්සේගේ ජයග්රහණය අවසානයයි, තීරණාත්මකයි, අපසු හැරවිය නොහැකියි, “විෂ්ව අනුපාතිකයි”!
නෝමැන්ඩිගේ ජයග්රහණයෙන් හිට්ලර්ගේ ක්රෑර ඒකාධිපති පාලනයෙන් යුරෝපය නිදහස් වුනා මෙන්, ක්රිස්තුස්වහන්සේගේ නැවත නැගිටීම දෙවියන්වහන්සේ සහ උන්වහන්සේගේ මනුෂ්යයින්ට නොවැලැක්විය හැකි ජයක් සහතික කළා. - සතුරා යටතේ වු මිනිසුන්ට ක්ෂණික, කෙලින්ම මැදිහත්වීමක් වුවමනාවීය.
එසේනම්, පුද්ගලයෙක් හරියටම දෙවියන්වහන්සේට සම්බන්ධ වන්නේ කොහොමද? ඇත්තෙන්ම ක්රිස්තුස්වහන්සේගේ ජයග්රහණයට ඔබ සහභාගිවන්නේ කොහොමද? අනවශ්ය දේවලින් ඔබ කොටස ලබාගන්නේ කොහොමද? සියල්ලට පසු ඔබ දිනන පැත්තේ සිටිනවා නොවේද?
සත්ය නම්, දෙවියන්වහන්සේට හරියටම සම්බන්ධ වන්නේ කොහොමද කියන කතාවේ පැති දෙකක් තිබනවා.
එක අතකින් මනුෂ්ය පැත්ත තිබෙනවා. එහි අපි නැවත නැවත කෙටි අනුශාසනා, ශුද්ධ ලියවිලි ගීතිකා ආදියෙන් ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල ඵල දරන්නට උනන්දු කරවනු ලබනවා.උන්වහන්සේගේ කොටස ලෙස, උන්වහන්සේගේ කමාව සොයන හා යටත්වන අය උසස් අන්දමින් පිළිගන්නට පොරොන්දුවී තිබෙනවා.
වෙනත් වචන වලින් කියනවා නම්, දෙවියන්වහන්සේගේ විජයග්රහණය තුල බෙදාගැනීමට පෙර, අප උන්වන්සේගේ ජයග්රහණයෙහි හිමිකරුවන් වී සිටිය යුතුය. උන්වහන්සේ ගනුදෙනු කිරීමට හා සිරකරුවන් ගැනීමට ඉඩ තබන්නේ නැහැ. සම්පුර්ණ යටත්වීම අවෂ්යයි. පුදුමදේ එහි ප්රතිඵලය වන්නේ මිත්රකම ඇතිවීමයි! ඇයි අද උන්වහන්සේ ඔබේ සතුරෙක් යයි නොසිතා, ඔබේ නිදහස් කරන්නා යයි පිළිනොගන්නේ?
එබැවින් මනුෂ්යයාගේ පැත්තෙන් පියාණන්වහන්සේගේ ආශිර්වාද තුලට ඇතුල්වීමට එකම මාර්ගය ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල අදහාගැනීමයි. (එපීස2 :8-9)
එය සංකීර්ණ දෙයක් නොවේ, ඔබ පුත්රයාණන්ට ප්රේම කරන්න! පියාණන්වහන්සේ ඔබට ප්රෙම කරයි! (යොහාන්14: 23). කුඩා ළමයෙක් වුවත් තර්කය තේරුම් ගනීවි.
අනික් අතින්, වැටුන මිනිසුන් හා ඔවුන්ට අවෂ්ය කරන, ක්රිස්තුස්වහන්සේ සහ උන්වහන්සේගේ ක්රියා දෙවියන්වහන්සේ විසින් ගෙන එන දිව්යමය පැත්තත තිබෙනවා. කෙටියෙන් කියනවා නම්, උන්වහන්සේගේ ක්රියාව වනුයේ, පුත්රයාණන්ගේ විජයග්රහණයතුල, උන්වහන්සේගේ සහභාගිත්වයෙන් තම මනුෂ්යයින් නිදහස් කරගැනීමයි. නමුත් එය කෙසේද?
කෙටියෙන් කියනවා නම්, දෙවියන්වහන්සේ, ලෝකයේ අත්තිවාරම් දැමීමටත් පෙර, ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල අදහාගන්නන් ගණන් කරගන්නවා!
උන්වහන්සේ ඔවුන් සියලු ස්වර්ගික ආශිර්වාද ලබන්නන් ලෙස ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල තෝරාගන්නා සෑම පුද්ගලයෙකුටම, ශුද්ධාත්මයාණන්වහන්සේගේ මගපෙන්වීම තුල එම ආශිර්වාද අත්දැකීමේ ඇදහිල්ලට පැමිණීමට සලස්වනවා. (එපීස1:3-4), 13,14) නමුත් ඔබ අහන්න පුලුවන්, ක්රිස්තුස්වහන්සේගේ වරප්රසාද කෙතරම් දුරට අපේ වන්නට සලස්වනවාද? කියා.
උත්තරය නම් හැම අතින්ම යන්නයි.
ක්රිස්තුස්වහන්සේගේ මරණය හා නැවත නැගිටීම හා උන්වහන්සේගේ ජීවිතයෙන් ගලනා ආශිර්වාද අපගේ හැරවීමේ සිට ඉදිරියට, අප වෙත මාරුවන පිණිස ක්රියා කරන්නේ, දෙවියන්වහන්සේ ක්රිස්තුස්වහන්සේ සමග එක්සත් වෙමින්ය. උන්වහන්සේගේ මරණය සමග අපිද මැරුණෙමු, උන්වහන්සේගේ ජීවනය සමග අපි ජීවත් වන්නෙමුව. (රෝම6: 4-5) ලෝකය පරදා උන්වහන්සේලැබු ජයග්රහණය, යක්ෂයා හා අපගේ මාංශය පරදා ලැබු ජයයි! උන්වහන්සේගේ උද්දාමය අපේ උද්දාමයයි! (එපීස2: 6,7). ඔව් අපට දිනපතා අනවශ්ය දේ තුල මෙය බෙදාගන්න පුලුවන්!
පැවැත්මේ නව අවස්ථාවක්.
අප උනන්දු කරවන පාවුල් තුමා, ඔබ සහ මම පවතින නව අවස්ථාවේ ආලෝකය තුල, එනම් ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල, ඔහුගේ ලියුම් දහතුනක් මගින් ශුද්ධව හා ප්රීතිමත්වජීවත් වීමට අපව දිරිමත් කරවනවා. මෙය දෙවියන්වහන්සේගේ මනුෂ්යයන්ට, ඔහුගේ අනුශාසනා ඇතුලත් නිසි ආකාර දේවධාර්මික රාමුවක්ය. අප යේසුස් ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල අලුත් මැවිල්ලක්ය. (2කොරින්ති5: 17) කෙටියෙන් කියනවා නම්, කිතුණුවන් සඳහා රාජධානිය මාරුවීමක්! එනම් අන්ධකාර රාජධානියේ සිට ආලෝකයේ රාජධානිය වෙත අර්ථාන්විත, පුර්ණ ලෙස සිදුවන යලි ඇගයීමක්ය. (කොලොස්සි3 :13,14)
මෝසෙස්ගේ ව්යවස්ථාවේ බලපෑම මත පාපය, මරණ, විනිෂ්චය ඇති, බලාපොරොත්තුවක් නැති, වහල් බවේ අප තවත් නොසිටින්නෙමු. ඇත්තෙන්ම අප බිය හා වරදට යටත්වු භූමියෙන් නිදහස්ව, වැවුම් වාතය ඇති රාජධානියකට ගෙනවිත් තිබෙනවා! අප නව ගීයකට නටමින් සිටිනවා!
අප දිනපතා සැපයීම, පෝෂණය, යහපත් සනසාලීම හා ස්වාමීන්ගේ ස්වාමින්ගෙන් මගපෙන්වීම ලබමින් සිටිනවා.
ඊටත්වඩා උන්වහන්සේ අප රාජ්යෙය් ජීවිතයට හා ජය පිණිස අපේ හදවත් බලවත් කරන පුහුණුවීමේ ක්රියාවලියකද අප තබා තිබෙනවා. නැවත අප සම්පුර්ණ නව ආකාරයේ පැවැත්මක් තුල හැසිරෙමින් ජීවත් වනවා. අප සිටින්නේ ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුලයි!
උන්වහන්සේගේ මරණය අපේ මරණය වුවාක් මෙන් දැන් උන්වහන්සේගේ ජීවනය අපේ ජීවනයයි. උන්වහන්සේගේ සටන අපේ සටනද වනවා! උන්වහන්සේ සමග මේ ජීවිතයේ අපේ එක්සත් සමීපකම නිසා, උන්වහන්සේට විරුද්ධව ඇති නපුරු බලවේග සමග සටන් කිරීමට අපිද දැන් මැදිහත් වෙනවා. ඇත්ත වශයෙන්ම අප වෙහෙසෙන්නේ වෙනත් දේකට නොව, උන්වහන්සේට සේවය කිරීම උදෙසාය.කෙනෙක් අහන්න පුලුවන්
“ සාතන් කියන්නේ පරාජය කළ සතුරෙක් ”යයි ඔබ කීවා කියා, එසේනම් ඔහු අපට විරුද්ධව සටන් කරන්නේ කොහොමද? උත්තරය සරලයි. දෙවියන්වහන්සේ අපේ වාසිය පිණිසත් උන්වහන්සේගේම මහිමය උදෙසාත් සාතන්ට විරුද්ධව ඇති දඬුවමේ වගන්තිය ඇත්තේ එය ඉදිරියට වෙමින් තිබෙන ආකාරයකටය.
එලෙස සාතන්ට එරෙහිව දඬුවම දැනටමත් ඔහු පරදා සභාවේ ජයග්රහණ තුල පටන්ගෙන තිබෙනවා. දිනපතා මිදීම ලබන මිනිසුන් දෙවියන්වහන්සේට “ඔව්” කියාද, පාපයට හා සාතන්ට “නැත” කියාද කියති. යම් දිනක සාතන්ට සාදාකාලික ගින්නෙහි දඬුවම ක්රියාත්මක වෙනවා ඇත.
එබැවින් මේ අතර නපුරුකමේ හා දුෂ්ට කමේ ආත්මයන්ට විරුද්ධව හා දෙවියන්වහන්සේට එරෙහිව කැරලිගැසීම් වලට විරුද්ධව අප දිගටම සටන් කළයුතු වනවා.
මක්නිසාද අපි මාංශයෙහි හැසිරෙන නමුත් මාංශය් හැටියට යුද්ධ නොකරමුව. මක්නිසාද, අපේ යුද්ධායුධ මාංශික නොවේය, එහෙත් ඒවා බලකොටු බිඳහෙලීමට දෙවියන්වහන්සේ ඉදිරිපිට බලසම්පන්නය. (2කොරින්ති10:3,4)
එබැවින් අපි උන්වහන්සේ හා අන් අය උදෙසා යාඤා කරමු, ප්රේම කරමු, කැපවෙමු. අප පොළොවේ ලුණු හා කරුණාව වෙමු.(මේ කාලයේ සියලු දෙනාගේ යහපත සෙවීමේදී මෙම සංකල්ප දෙක එක්ව එතරම් හමුවන්නේ නැත. යේසුස්වහන්සේ මෙයට සතුටුව ඒතුලින් අන්ධකාරය පහකර ධර්මිෂ්ඨකම පිහිටුවා, මිනිසුන් ගැළවීමට කටයුතු කරනු ලැබුවා.
පරාර්ථය පිණිසවු දෙවියන්වහන්සේගේ පුත්රයාගේ මරණය හා නැවත නැගිටීම සම්බන්ධව අපට කිසිවක් එකතු කිරීමට නැති එය සම්පුර්ණයෙන්ම සත්යයයි. නමුත් උන්වහන්සේගේ කුරුසිය මත ක්රියාව අපගේ ගැළවීමේ පදනම පමණක් නොවේය. එය අපේ ගෝලකමේ රටාවයි. එය කැපවීමේ සේවයකට අප කැඳවයි. මෙලෙස උන්වහන්සේම විශ්වයේ කළ වැටුනු බලවලට විරුද්ධව අපට සටන් කිරීමට තිබෙනවා.
ඉතින් කුමක්ද? වැදගත් ප්රශ්න කීපයක්.
අපට එහි හමුවනවා! දෙවියන්වහන්සේගේ ගැළවීමේ ක්රියාව හා එහි ඔබට ඇති සම්බන්ධතාවය, ඇදහිලිවන්තයා සහ දැන් ඔබ නියැලීමට කැඳවා ඇති සටන ගැන ක්ෂණික විමර්ෂණයක්.
මගේ ප්රශ්නවල ආලෝකය තුල එය යම් සිතිවිලි ඇති කළත් වඩා ඍජු හා සරල වනවා.
පළමුවැන්න, ක්රිස්තුස්වහන්සේ තුල දෙවියන්වහන්සේ ඔබගේ ජීවිතයේ කුමක් කර තිබෙනවාද කියා සැබවින්ම ඔබ තේරුම්ගෙන තිබෙනවාද? එය ඔබ තුල ගිල්වී දැන් නහර දිගේ ගලායනවාද? එය ඔබේ ජීවනාලියද? නැතහොත් ඔබේ හදවතේ කේන්ද්රෙයන් පිටත ඉතිරිව තිබෙනවාද?
ඔබගේ ඇතුලාන්තය පරික්ෂා කරන්න කියා දෙවියන්වහන්සේට කියන්න! ඔබේ තීරණය මේ සතියේ ආවර්ජනය කරන්න.දෙවැන්න, ඔබ එමනිසා, බයිබලීය කිතු දහම ස්වයං උපකාරී ආගමක් ලෙස වටහාගන්නවාද? ඒ යහපත් මිනිසුන් වඩා යහපත් මිනිසුන් කිරීමක් පිළබඳ නොව, මැරුණු මිනිසුන් ජීවමාන කිරීමේ ක්රියාවලියක්ය! මෙම සිතිවිලි දෙක අතර ලෝක දැක්මේ සම්පුර්ණ වෙනස්කමක් තිබෙනවා. මුලින් කී දෙය ආගමෙහි මුල්බැස තිබෙන අතර දෙවැන්න දිව්යමය ගැළවීමක් තුලය. දෙවියන්වහන්සේගේ ආත්මය, ශක්තිය හා බලය, කෙරෙහි ඔබගේ වුවමනාවට අනුව මෙය ව්යවහාර වන්නේ කොහොමද? (යොහාන්15: 5 -6)
බලය, අවබෝධය, හා ප්රඥාව ඔබ මතට පැමිණෙන ලෙස කිසිවිටෙක ඇත්තෙන්ම ඔබ යාඤා කර තිබෙනවාද? (සෙකරියා4: 5)
තුන්වැන්න,ඔබ ස්වාමීන්වහන්සේ යහපත් සොල්දාදුවෙකු ලෙස අනුගමනය කළා නම්, ඔබේ දැන් සිටින තත්වය තුල එය දකින්නේ කොහොමද? මනුෂ්යයින්ගේ ජීවිතවල, පාසලේ, වීදියේ, සහ ඔබේ ජන ප්රජාවන් තුල ඇති පීඩාව,මත්ද්රව්ය, අපරාධ, අසාධාරණය, සාගින්න, තනිකම සහ ආත්මික අන්ධකාරය ආදියට එරෙහිව ඔබ තුලත් සභාව තුලත් ඇති යුද්ධයේ මිලය කෙසේ පෙනෙනවාද? අපේ සභාවල දොරටු අප වසා බලාසිටිය යුතුද? දෙවියන්වහන්සේගේ මැදිහත්වීම ඉල්ලා නොකඩවා යාඤා කළයුතුද? එය අපේ ප්රජාවල නායකයින් වෙත ගොස් අපට කළහැකි උදව්වක් කරන්නම් යයි කීමට කාලය නොවේද? සේවය කිරීමට ඇති අපේ කැමැත්ත තුල, සමහරවිට ජීවිත වෙනස් වෙමින් සුභාරංචියට සවන් දෙන්න පුලුවන්. අප ඉදිරියේ ඇති වීදිවල පාසැල්වල, දැනටමත් සිටින ක්රිස්තුස්වහන්සේ අපට හමුවන්නට පුලුවන්!
ශුභාරංචිය සඳහා අර්ථාන්විත වන්නේ, ලොවට හරිආකාරව දෙවියන්වහන්සේ, එනම් උන්වහන්සේගේ ස්වභාවය, කැමැත්ත හා විධි පහදා දීමට හැකිවිය යුතු, ලොව පුරාවන ජාලය වන්නේ සභාවයි. (2කොරින්ති5: 20) ලෝකය කෙසේ නමුත් සභාවන්වල, අප කෑගසා කියන ශුභාරංචිය තේරුම් නොගැනීමට හේතුව වැටුනු ලෝකයට අපේ වචන නෑසීමයි.
ඇසීමට හොඳම විධිය අඩු තරමින් මා දන්නා විධියට, හයියෙන් කෑගැසීමෙන් නොව, වඩා ප්රේමයෙන්ය. (මතෙව්5:16) එය මොනවගේ පෙනේ දැයි මට සිතෙනවා. මට හිතෙනවා එය සෑහෙන්න පැහැදිලියි... වේළාව දැන්! සභාව සඳහා දෙවියන්වහන්සේ සහ උන්වහන්සේගේ ගැළවීමේ ක්රියාව සමග යොමුවී ජීවත් වීමට දැන් වෙළාවයි. එවිට ලෝකය, ශුභාරංචිය සෑම දෙනාටම බව තේරුම්ගන්ට පටන්ගන්නවා ඇත. අප තුලින් වන ශුභාරංචිය එයයි. ඒ අපගේ (කිතුණුවන්ගේ) ක්රියාවන් තුලින් දකින විටය!
Related Topics: Devotionals, Soteriology (Salvation)
La Revue Internet Des Pasteurs, Fre Ed 16, Edition du l’été 2015
Edition de l’Eté 2015
Auteur : Dr Roger Pascoe, Président de
l’Institut pour la Prédication Biblique
Cambridge, Ontario, Canada
Institut Biblique pour le Ministère Pastoral
« Renforcer les capacités de l’Eglise dans la prédication biblique et le leadership »
1ère Partie : La Puissance Pour La Predication
«La perte de la puissance et de l’autorité dans la prédication»
Chaque prédicateur véritablement appelé de Dieu pour prêcher est capable de prêcher avec une grande puissance spirituelle. Pour prêcher avec puissance, vous devez (a) connaître Dieu intimement; (B) comprendre Sa Parole; (C) être bien préparé, et (d) avoir la plénitude du Saint-Esprit. Lorsque nous échouons dans notre mission de prédication, nous devenons plus conscients que la puissance pour la prédication ne vient de nous, mais de Dieu. C’est seulement lorsque nous sommes conscients de cela que nous cherchons à nous appuyer sur la puissance du Seigneur.
Le facteur qui révèle le mieux qu'un prédicateur a la puissance de l’Esprit c’est la transformation de la vie des gens par l'Esprit Saint à travers la prédication de la Parole de Dieu, afin que (a) leurs cœurs soient touchés; (B) leur intelligence soit étirée (nous leur enseignons ce qu'ils ne savent pas); (C) leur volonté soit soumise ; et (d) leur conscience soit impactée, avec pour résultat ultime que leur vie soit spirituellement transformée.
La mesure de la puissance spirituelle n’est pas la réaction extérieure, mais la prise de conscience du péché à l’intérieur de soi, ce désir de sanctification, de repentance, et d'amour pour le Christ.
Permettez-moi d’évoquer quelques causes de la perte de la puissance spirituelle dans la prédication
1. La perte de la passion pour Dieu. La principale cause de perte de puissance parmi les prédicateurs c’est la perte de leur passion pour Dieu. Lorsque cela se produit, ils deviennent médiocres dans leur réflexion, leur ministère et leur prédication, et ils deviennent sensibles à l'esprit du monde. Cela peut se produire lorsqu’un prédicateur a été un certain temps dans une église et qu’il est devenu familier et à l’aise dans l'église (de même que l'église envers lui), parce que c’est à ce moment qu’il est très tentant de se relâcher spirituellement. Ensuite, il peut être tenté d’abandonner sa quête du Seigneur et il perd ainsi sa vigilance et sa fraîcheur spirituelle. C’est là que le diable saisit l’occasion pour le dévorer. Ce problème est aggravé par le fait que non seulement beaucoup d’églises n’ont pas leaders spirituellement engagés, mais ils n’en veulent même pas ; en lieu et place elles sont prêtes à se contenter de la médiocrité.
2. La conformité à la culture. Les prédicateurs perdent souvent leur pouvoir parce qu'ils agissent par conformisme à leur culture, plutôt qu’en vertu de leur vocation et de leur position. Cette tentation à être en phase avec les gens et avec la culture se traduit souvent par une compromission des normes morales et un style vestimentaire et un discours qui prend la forme de la culture autour d'eux. Le désir de se conformer à la culture éteint le feu de Dieu dans le cœur d'un prédicateur. La mise en garde contre le fait que «l'amitié avec le monde est inimitié contre Dieu» (Jacques 4: 4) est applicable autant aux prédicateurs qu’à toute autre personne.
3. Le manque d'autorité. Beaucoup de prédicateurs aujourd'hui ne prêchent pas (et peut-être ne peuvent pas prêcher) avec conviction ou d'autorité. Ils ne disent pas (et peut-être ne peuvent pas dire): «Ainsi parle le Seigneur». D’où vient notre autorisation à prêcher? Le Docteur Mohler (Président de Southern Baptist Theological Seminary) l’a exprimé de la façon suivante :
«Quel est notre mandat pour la prédication? Qu’est-ce qui nous y autorise? C’est tout aussi simple - Dieu a parlé. Dieu s’est révélé Lui-même, renonçant à sa vie privée afin que nous puissions Le connaître. Il n’est pas resté silencieux, et Il nous a donné l’ordre de parler. Il appelle et équipe des hommes pour prêcher Sa Parole. Lui ne se tait pas et nous ne pouvons pas non plus nous taire. Nous devons parler, prêcher et enseigner sa Parole. »
Notre autorité et notre autorisation pour la prédication c’est uniquement pour proclamer la Parole de Dieu. Si vous prêchez quelque chose d'autre, votre prédication n’aura aucune puissance pour transformer des vies. Si vous ne prêchez pas la Parole, vous ne pourrez pas parler avec autorité, car ce que vous dites n’est pas autorisé par Dieu – ce n’est pas la Parole de Dieu.
Beaucoup de prédicateurs aujourd'hui ne prêchent pas la Parole! Ils discourent sur des questions culturelles, sur des questions philosophiques (surtout leur philosophie de la vie), sur des problèmes psychologiques et des questions de motivation, mais ils ne prêchent pas la Parole de Dieu. Ils peuvent lire brièvement ou citer un passage de l’Écriture pour donner à leur message une saveur spirituelle, mais ils ne prêchent pas ce texte. Ils ne prêchent pas de façon biblique; par conséquent, ils ne proclament pas les paroles de Dieu et ils ne prêchent pas avec autorité.
Pourquoi y a-t-il tant de prédicateurs qui ne prêchent pas avec autorité? Plusieurs raisons viennent à l'esprit:
1. Ils ne prêchent pas avec autorité parce que leur pensée est mondaine. La question de la conformité à la culture revient ici. Beaucoup de prédicateurs ont adopté (en particulier dans la société américaine) la pensée postmoderne, même s’ils ne le reconnaissent pas ou n’en sont pas conscients. C’est pourquoi ils ne parlent pas avec autorité, parce que le postmodernisme dit ceci : «Il n'y a pas de vérité absolue pour tout le monde. Donc, je peux croire ce que je crois; et vous, croyez que ce que vous croyez. N’essayez pas de me dire ce qui est bon ou mauvais.»1
En outre, dans la pensée du monde, ne pas être catégorique ou dogmatique ce n’est pas être à la mode, ce n’est pas être intellectuel – on doit toujours laisser une ouverture à d'autres possibilités. Vous trouvera cela en particulier dans les institutions universitaires. On laisse aux étudiants la liberté de déterminer par eux-mêmes ce qu'ils veulent croire. Les professeurs ne sont pas censés les influencer. Ainsi, l'interprétation biblique ne cesse de changer pour intégrer de nouvelles idées, des découvertes, et des possibilités qui sont plus en phase avec la pensée du monde. Ce que la Bible affirmait clairement dans le passé est aujourd'hui remis en cause. La théologie systématique est plus systématique que théologique – des questions fondamentales sont laissées ouvertes à toutes sortes d'options (par exemple la nature et le caractère de Dieu dans le Théisme Ouvert).
Mais qu’est-ce donc ce type d'enseignement? Quelle confusion cela apporte t-il à la prochaine génération de pasteurs et d’enseignants? Lorsque la pensée mondaine envahit l'église (comme ca semble être le cas), le résultat c’est que (a) les prédicateurs ne parlent plus avec autorité, mais de façon hypothétique, (b) les prédicateurs ne remettent pas en cause (la pensée et le comportement), mais apportent du réconfort, (c ) les prédicateurs n’enseignent pas, mais font des suggestions, (d) les prédicateurs ne parlent pas avec audace, mais avec hésitation, (e) les prédicateurs ne donnent pas des réponses, mais suscitent des questions, (f) les prédicateurs ne communiquent pas des certitudes, mais des doutes, (g) la prédication n’est pas offensive, mais accommodante.
Ou, pour le dire en d’autres termes :
«Il ya des points d'interrogation, là où il devrait y avoir des points d'exclamation. Il y a de l'hésitation là où il devrait y avoir de l'audace. Il ya des conseils où il devrait y voir de l'enseignement. Il ya des opinions là où il devrait y avoir de la doctrine. Il ya des impressions là où il devrait y avoir des impératifs.»2
2. Ils ne prêchent pas autorité parce qu'ils ont peur des gens. L’un conduit à l’autre. Si votre pensée est mondaine, alors vous ne pourrez pas parler avec autorité parce que vous craignez les gens. Pourquoi? Parce que la pensée des gens est également mondaine et la pensée mondaine dit ceci : «Ne me dites pas ce que je dois faire. Vous n’avez aucune autorité sur moi. Je vivrai comme je veux. Si vous ne dites pas ce que je veux entendre, alors j’irai ailleurs.»
La pensée postmoderne chez les leaders d’églises est une réaction à la pensée postmoderne parmi les fidèles. Comme l’a dit Richard Holland de Masters Seminary : «La où la vérité est relative, l'éthique est fonction de la situation, et l'autorité est toujours remise en question, et l’on ne déroulera certainement pas le tapis rouge pour notre prédication par exposition qui dépeint la vérité, définit la morale, et déclare l'autorité de Dieu. »3
Quelqu'un d'autre a dit, «Nous n’osons pas parler avec autorité ... parce que les gens ne vont tout simplement pas l'accepter. Une génération qui aime les points d'interrogation sera nécessairement allergique aux points d'exclamation. Une génération qui trouve le confort dans les virgules va nécessairement manifester de la résistance aux point finaux.» 4
3. Ils ne prêchent pas avec autorité parce qu'ils ne comprennent pas la Parole de Dieu, et ne l’ont pas appliquée dans leur propre vie. Pour prêcher avec autorité, vous devez d'abord savoir ce que la Parole dit et ce que cela signifie, et vous devez l'avoir appliquée à vous-même. Sans cela, vous ne pourrez pas parler avec autorité. Comment pouvez-vous l’enseigner aux autres, si vous ne savez pas ce qu’elle signifie? Comment pouvez-vous l’appliquer aux autres, si vous ne l'avez pas d'abord appliqué à vous-même? Cela nécessite deux choses:
(a) Vous devez bien l'étudier, en vous basant sur de solides principes herméneutiques, en adoptant de bonnes pratiques exégétiques, et dans la dépendance au Saint-Esprit.
(b) Vous l’appliquer personnellement, sur la base de l'obéissance au Seigneur et de votre relation avec Lui.
Quel est donc l'antidote de ce manque d'autorité? L'antidote consiste à imiter Jésus qui « enseignait comme ayant autorité» (Matthieu 7: 28-29.) Le contexte c’est que Jésus venait de terminer le Sermon sur la Montagne, dans lequel il avait interpellé les gens sur la vie dans le royaume et ce que cela implique: être sel et lumière sur la terre, amasser un trésor dans le ciel et non sur terre, faire confiance que Dieu pourvoira à nos besoins quotidiens, et bâtir notre vie sur le roc solide et non sur le sable. Les concepts que Jésus enseignait et qu’il appelait les gens à observer, étaient radicaux. «Vous avez entendu dire ... mais moi je vous le dis» - par exemple, que (a) le meurtre et l'adultère commencent dans le cœur; (b) le mariage est un engagement à vie; (c) aimez vos ennemis.
De toute évidence, l'enseignement de Jésus contrastait avec l'enseignement des scribes. A quoi l'enseignement des scribes ressemblait-il? Apparemment, leur enseignement ressemblait à certains enseignements que nous entendons de nos jours. Ils faisaient dire aux saintes écritures ce que eux ils souhaitaient dire ou signifier. Après avoir fini de dire au peuple toutes les différentes interprétations des différents rabbins, personne ne savait finalement ce que le texte signifiait- leur enseignement n’avait aucune autorité. Ils utilisaient des arguments trompeurs et subtils, apportant ainsi de la confusion au point que rien n’était définitif. Et c’est ce qu'ils voulaient. Ils sont comme ceux contre lesquels l'apôtre Paul nous met en garde - ceux (a) qui s’attachent «à des fables et à des généalogies sans fin, qui produisent des discussions plutôt qu’elles n’avancent l’œuvre de Dieu dans la foi.» (1 Tim 1:4); (b) qui profèrent des mensonges « par l’hypocrisie de faux docteurs portant la marque de la flétrissure dans leur propre conscience» (1 Tim 4: 2); (c) qui ont «l’apparence de la piété, mais reniant ce qui en fait la force.» (2 Tim 3:5); (d) qui «ayant la démangeaison d’entendre des choses agréables, … détourneront l’oreille de la vérité, et se tourneront vers les fables.» (2 Tim 4: 3-4).
En revanche, l'enseignement de Jésus était simple, complet, et décisif - «faites ceci ... ne faites pas cela; croyez ceci ... ne croyez pas cela » (Voir Marc 11:18; Luc 4:32; Jean 7:46; Marc 6: 2). C’est ce modèle que nous voyons les apôtres imiter dans l'exposition de la Parole de Dieu et l'autorité qu’ils accordaient aux saintes écritures. Lorsque nous proclamons fidèlement la Parole de Dieu (de façon claire, complète et avec précision), nous pouvons alors parler avec toute l’autorité venant de Dieu lui-même – car c’est alors que nous sommes Ses porte-paroles.
Comment pouvons-nous donc prêcher avec puissance? La puissance spirituelle résulte de la vie de sanctification et de la spiritualité du prédicateur. La puissance spirituelle est une puissance qui se dégage d’une personne dont la vie est agréable à Dieu ; la vie de quelqu’un en qui le Saint-Esprit est opérationnel. C’est une puissance que Dieu infuse dans la vie de ceux qui vivent comme Christ, qui marchent comme Jésus a marché (1 Jean 2:6). Ce n’est que par une vie de sanctification que nous pouvons avoir cette puissance spirituelle dans la prédication. Pour prêcher avec puissance (c'est-à-dire pour que la Parole transforme des vies lorsqu’elle est proclamée), quatre ingrédients essentiels sont nécessaires:
1. La puissance de Dieu
2. La puissance du Saint Esprit
3. La puissance de la prière
4. La puissance de l'Écriture
Nous nous pencherons sur ces quatre ingrédients dans le prochain numéro de notre revue.
2ème Partie – La Préparation De La Predication
«L’étude du texte: les ressources personnelles»
L’étude personnelle / la lecture
La raison principale pour laquelle il faut lire la bible, c’est d’abord pour notre propre spiritualité, c’est pour mieux connaître Dieu. Tout comme vous étudiez des matières profanes, vous devez aussi lire, fouiller, étudier, et réfléchir sur la Bible. Assurez-vous d’avoir un programme de lecture de la Bible. L'une des parties les plus négligés dans l'étude de la Bible c’est sa lecture. Nous passons tellement de temps à lire des ressources secondaires que nous négligeons souvent la lecture de la Bible elle-même. Vous devez connaître la Bible d’un bout à l’autre de sorte à saisir toute la portée de l'Écriture pendant votre préparation et pendant votre prédication, et de sorte à que vous puissiez vous rappeler de mémoire les mots du texte ou les références bibliques.
La prière personnelle
La prière est le principal moyen par lequel nous pouvons comprendre ce que Dieu a dit et ce qu’Il est en train nous dire. La prière ne peut pas être dissociée de l'œuvre du Saint-Esprit qui a inspiré les auteurs de la Bible. La prière et l'illumination du Saint-Esprit vont de paire pendant notre étude. Vous ne pouvez pas comprendre la Bible comme il se doit (2 Corinthiens 2:13-14) ou en tirer meilleur profit en l’étudiant seulement.
Par la prière, nous demandons le secours de Dieu pour (a) comprendre la Bible; (b) saisir le message pour notre audience particulière en ce moment et en ce lieu précis; et (c) appliquer la Bible dans leur vie.
Le Saint-Esprit a promis de nous conduire dans toute la vérité. C’est l’Esprit qui nous conduit dans la compréhension de la Parole de Dieu, nous ne pouvons pas y parvenir autrement. Par conséquent, il n’ya pas de raccourci ou de substitut pour cette partie de la préparation de la prédication.
La méditation personnelle
En plus de la faculté de «raisonner», Dieu nous a donné la capacité de «méditer.» La méditation chrétienne se distingue des autres types de méditation séculière (par exemple, le yoga). La méditation séculière se concentre sur le fait de vider son esprit et d'entrer dans un état mental ou spirituel de vide ou de néant. La méditation chrétienne se concentre sur le fait de remplir son esprit avec des pensées de la Parole de Dieu et d’entrer dans un état de connexion spirituelle avec Dieu et sa Parole.
La méditation chrétienne consiste à ruminer dans son esprit ce que Dieu nous a dit dans sa Parole, comme une vache qui mâche du foin pour en tirer autant de nutriments que possible, pour avoir au delà du goût, tous les éléments nutritifs. C’est ce qui permet à l'Esprit Saint de travailler dans votre esprit et votre cœur pour ouvrir les champs d'application du texte et en donner une appréciation plus profonde.
La méditation chrétienne produit la lumière spirituelle qui ne peut être acquise par un simple raisonnement ou par l’étude. Pendant que vous méditez sur les Écritures:
(a) Le Saint-Esprit vous amène à l’esprit des connexions avec d’autres textes bibliques auxquels vous n’auriez pas pensé en étudiant le texte.
(b) Le Saint-Esprit vous permet de savourer ou apprécier la vérité du texte - «Une connaissance qui transcende l'esprit pour transpercer l'âme.»5 C’est ce que Jonathan Edwards décrit comme «le vrai sens de l'excellence divine dans ce qui est révélé dans la Parole de Dieu, et la conviction que ce qui est dit est vrai et réel.»6
(c) Le Saint-Esprit vous donne de bonnes idées sur comment appliquer le texte pour votre assemblée.
L'obéissance personnelle
Pour bien comprendre la Parole et être qualifié pour prêcher son message, nous devons obéir à ce que nous savons déjà. Si nous n’obéissons pas à ce que nous savons déjà, Dieu ne nous donnera ce que nous ne savons pas. Pourquoi Dieu nous donnerait-il davantage si nous n’obéissons pas à ce qu'Il nous a déjà donné? L'obéissance consiste à simplement appliquer la Parole de Dieu que nous avons apprise dans nos propres vies.
3ème Partie: Le Leadership – Être Un Modele Selon Le Cœur De Dieu
« L’abandon de votre personne au Saint Esprit» Partie 6
Dans les cinq derniers numéros de cette Revue Internet des Pasteurs, nous avons étudié le sujet de l’abandon de votre personne, en tant que leader, à l'Esprit Saint. Pour ce faire, nous nous sommes basés sur l'enseignement dans Ephésiens 5:18-6: 20. Nous avons abordé la signification de la plénitude de l'Esprit, la nécessité de la plénitude de l'Esprit, la réalité de la plénitude de l'Esprit, et (dans les deux derniers numéros) l'activité de la plénitude de l'Esprit.
Comme nous l'avons déjà vu, la plénitude de l'Esprit a pour effet une harmonie suscitée par l’Esprit dans le foyer (Eph 5:22-6:4); une coopération suscitée par l’Esprit dans le lieu de travail; (Ep 6, 5-9) et la victoire suscitée par l’Esprit dans le monde (Eph. 6:10-20). C’est sur ce dernier point que voulons conclure notre étude dans le présent numéro.
La victoire suscitée par l’Esprit dans le monde (Eph. 6:10-20)
Contrairement à nos relations dans l'église, notre foyer et notre lieu de travail, notre relation avec le monde ne peut jamais être harmonieuse, mais elle peut-être victorieuse. La plénitude de l’Esprit est immédiatement suivie d’un combat spirituel contre le monde. Si vous n'êtes pas attaqué par le diable, c’est que vous n'êtes certainement pas rempli de l'Esprit. Pour tenir ferme contre les ruses du diable, nous avons besoin de la force et de la protection de Dieu. Je vais juste donner les grandes lignes de ce passage sans le traiter en détail.
1. La victoire suscitée par l’Esprit dans le monde nécessite une protection spirituelle (6:10-17)
(a) Nous avons la protection spirituelle par la puissance de Dieu (10). Au reste, fortifiez-vous dans le Seigneur, et par sa force toute-puissante. Puisque nous ne pouvons pas nous nous fortifier nous-mêmes, Dieu nous donne la force de résister aux assauts du diable. Comme avec les instructions précédentes, la clé est dans le Seigneur (10b) - notre force c’est le Seigneur, notre force provient de Lui. Nous ne pouvons rien faire par nous-mêmes. Mais parce que nous sommes dans le Seigneur, nous avons accès à la force toute-puissante de Dieu (10c). Sa puissance est nôtre au travers du Christ.
(b) Nous avons la protection spirituelle par les armes de Dieu (11). Revêtez-vous de toutes les armes de Dieu (11a). Nous sommes protégés en les revêtant. Les armes ne servent à rien tant que nous ne les portons pas. Dieu les fournit, mais c’est notre responsabilité de nous en revêtir. Nous sommes protégés par une armure complète - toutes les armes de Dieu. Dieu nous donne une gamme complète d’armures qui comprend toutes les armes et toutes les ressources dont nous avons besoin pour le combat. Nous sommes protégés par des armes divines, surnaturelles - toutes les armes de Dieu. Nos armes pour le combat proviennent «de Dieu.». Ce sont Ses armes.
(c) Nous avons la protection spirituelle contre l'ennemi de Dieu (11b-12) - afin de pouvoir tenir ferme contre les ruses du diable (11b). Les ruses de Satan ont commencé dans le jardin d'Eden et ont atteint leur paroxysme à la croix, où Christ l’a vaincu. Ainsi nous avons été libérés de l'esclavage du diable. Quoique Satan ait été vaincu, il n'a pas encore cédé. Il continue de faire la guerre contre Dieu au travers du peuple de Dieu. Mais Dieu nous rend capables de tenir ferme contre ses attaques.
L'ennemi c’est le diable - le chef de l'armée adverse. C’est un être réel qui se promène comme un lion rugissant, cherchant qui dévorer. Il est l'accusateur des frères. Pour gagner le combat, nous devons connaître l'ennemi et ses tactiques.
La tactique du diable ce sont les ruses. Sa nature n'a pas changé depuis le début - «Le serpent était le plus rusé de tous les animaux des champs» (Genèse 3:1). Ses méthodes sont astucieuses, futées, ingénieuses, et vicieusement destructrices parce qu'il est le grand séducteur.
La bataille n’est pas contre les forces humaines, mais celles spirituelles. Nous ne luttons pas contre la chair et le sang (12a). Ce combat est une lutte, mais pas une lutte contre la chair et le sang. Notre lutte n’est pas contre la chair dans sa faiblesse et sa mortalité. Si tel était le cas, la lutte serait beaucoup plus facile. Ce n’est pas une lutte contre les forces humaines, mais contre les forces spirituelles du mal. Nous luttons contre les dominations, contre les autorités, contre les princes de ce monde de ténèbres, contre les esprits méchants dans les lieux célestes. (12b). Ce n’est une lutte pas contre la chair et le sang, mais contre les dominations et les autorités spirituelles. Cette lutte n’est pas contre les gouvernements humains ni même contre des dictateurs sadiques mais contre les forces malveillantes et maléfiques des ténèbres. Ces forces spirituelles exercent un pouvoir cosmique. Ce sont des forces spirituelles du mal. Ils opèrent dans ce monde de ténèbres. Ces forces spirituelles du mal opèrent dans les lieux célestes. Non pas au Ciel où Christ règne au-dessus de toutes ces forces, mais dans la sphère située en dessous du Ciel et au-dessus de la terre (voir Ep.2,20).
2. La victoire suscitée par l'Esprit dans le monde nécessite une préparation spirituelle (6:13-20).
C’est pourquoi, prenez toutes les armes de Dieu (13a). Ne vous tenez pas juste là! Faites quelque chose! Revêtez-les! ... afin de pouvoir résister dans le mauvais jour, et tenir ferme après avoir tout surmonté. (13b). Vous êtes responsable de revêtir l'armure afin de pouvoir résister dans le mauvais jour dans lequel nous vivons. En fin de compte, il ne s’agit pas vraiment de combattre, il s’agit de résister, et nous ne pouvons pas rester par nos propres forces.
Nous expérimentons la victoire spirituelle dans notre vie chrétienne par la protection spirituelle et par la préparation spirituelle. Et notre préparation spirituelle implique d'être préparé avec toute l'armure spirituelle et avec toute la puissance de la prière.
(a) tenez-vous prêt avec toute l'armure spirituelle (6:13-17). Soyez prêt avec les armes de la vérité. Tenez donc ferme : ayez à vos reins la vérité pour ceinture (14a). Soyez prêt avec les armes de la justice. Tenez donc ferme : ... revêtez la cuirasse de la justice (14b). Soyez prêt avec l'armure de l'Evangile. Tenez donc ferme : ... mettez pour chaussure à vos pieds le zèle que donne l’Evangile de paix (15). Soyez prêt avec l'armure de la foi. Tenez donc ... prenez par-dessus tout cela le bouclier de la foi (16a). Soyez prêt avec l'armure du salut. et prenez aussi le casque du salut, (17a). Soyez prêt avec l'armure de la Parole. Et prenez ... l’épée de l’Esprit, qui est la parole de Dieu. (17b).
Ainsi donc, soyez prêt avec toutes les armes spirituelles, et ...
(b) tenez-vous prêt avec toute la puissance de la prière (6:18-20)
Porter une armure n’assure pas en soit la victoire. Pour être victorieux nous avons besoin de puissance et de sagesse pour savoir comment penser et agir dans le combat - écouter notre commandant; entendre et comprendre ses tactiques. Nous obtenons tout cela dans la prière.
Notez bien...
- La variété de la prière. Faites … toutes sortes de prières et de supplications. (18)
- La fréquence de la prière. Prier en tout temps (18)
- Les moyens de la prière. Prier par l’Esprit (18)
- La manière de prier. Veillez à cela avec une entière persévérance (18)
- L'objet de la prière. Priez pour tous les saints (18)
- Les spécificités de la prière. Priez pour moi, afin qu’il me soit donné, quand j’ouvre la bouche, de faire connaître hardiment et librement le mystère de l’Evangile, pour lequel je suis ambassadeur dans les chaînes, et que j’en parle avec assurance comme je dois en parler. (19-20). Priez donc pour les gens par leur nom. Priez pour leurs besoins en particulier. Priez en particulier pour ceux qui travaillent pour l’Évangile. Voici trois choses spécifiques pour lesquels vous pouvez prier pour ceux qui sont dans le ministère et le leadership: (a) qu'ils aient les mots justes pour parler au bon moment; (b) qu'ils aient la force d'agir avec audace pour faire connaître l'Évangile; (c) que rien ne les empêche de servir Christ - pas même la prison (qu'ils agissent comme des ambassadeurs pour Christ, même dans les chaînes)
Conclusions
Une vie chrétienne normale est une vie remplie de l'Esprit, mais beaucoup de chrétiens ne vivent pas dans l'obéissance et la soumission, et par conséquent, ne sont pas remplis de l'Esprit (18).
Comprendre la volonté du Seigneur (17) est vital pour être rempli de l'Esprit. Vous ne pouvez pas avoir la plénitude de l'Esprit tant que vous ne comprenez pas et ne marchez pas dans la volonté du Seigneur. Vouloir le faire serait une contradiction. En d'autres termes, pour être remplis de l'Esprit, votre vie doit être conforme à la volonté du Seigneur – être soumis et obéissant à la parole révélée de Dieu.
Les gens remplis de l'Esprit sont ceux qui vivent leur vie avec sagesse, pas de façon insensée (15). Ils cherchent à imiter Dieu, à marcher dans l'amour, à s'abstenir du mal, à produire la bonté, la justice et la vérité, à exposer les mauvaises actions des gens qui vivent dans les ténèbres, à utiliser leur temps à bon escient, à vivre dans la pleine compréhension de la volonté du Seigneur.
Les gens remplis de l'Esprit désirent donner gloire à Dieu. Vous savez que vous avez été scellés par l'Esprit pour ce temps et l'éternité. Vous savez que l'Esprit est la garantie que votre rédemption sera complète. Lorsque vous êtes rempli de l'Esprit, votre cerveau n’est pas inactif, votre discours n’est pas compromis, et votre conduite n’est pas obscène. Bien au contraire, votre perception des choses spirituelles est aiguisée, votre compréhension de la volonté de Dieu est ouverte, votre appréciation de la Parole de Dieu est accentuée, votre bien-être spirituel est renforcée, votre assurance est complète en Christ, et votre visage est rendu éclatant par l'amour de Dieu.
Qu’est-ce que le fait d'être un leader rempli de l'Esprit a t –il donc comme implications et comme impact?
1. Votre influence sur les autres en tant que modèle. D'autres voudront être comme vous, parce qu'ils voient Christ en vous, ce qui est un puissant facteur dans le leadership de l'église. Vous dirigerez en vertu de la puissance de votre personnalité.
2. Votre crédibilité et la confiance que vous inspirez en tant que leader de l'église. La crédibilité et la confiance sont des facteurs clés dans le leadership. La plus grande source de crédibilité c’est lorsqu’on mène une vie pieuse - une vie remplie de l'Esprit. Le plus sûr moyen de développer la confiance c’est de mener une vie pieuse - une vie remplie de l'Esprit. Comment les gens peuvent se méfier de quelqu'un dont la vie démontre qu'il est rempli de l'Esprit de Dieu?
3. La sagesse et la direction qui vous est accordée par Dieu. Il ya beaucoup de leaders dans nos églises qui ont l'expérience, l'argent, et la capacité, mais qui manquent de sagesse et de direction.
Avoir de l’expérience (ou être âgé) ne signifie pas que vous avez de la sagesse. La sagesse est la connaissance associée à une juste appréciation de l’action à entreprendre. La sagesse c’est le discernement et la perspicacité pour prendre de bonnes décisions. La sagesse transcende ce qui est extérieur et superficiel pour voir ce qui est intérieur et vrai. La sagesse fait la distinction entre ce qui est facile et rapide de ce qui est solide et durable, et elle choisit de faire ce qui est juste. La sagesse a ses racines dans la crainte du Seigneur. La sagesse est l'un des éléments essentiels du leadership qui fait défaut dans nos églises aujourd'hui et je crois la cause c’est l'absence d’hommes et de femmes remplis de l'Esprit.
Avoir de l'expérience ne signifie pas que vous avez un sens de direction clair. Pour être un leader efficace, vous devez avoir une idée claire de la direction que va prendre l'organisation que vous dirigez. Comment obtenir un sens clair de la direction de l'organisation que nous dirigeons? Tout d'abord, nous ne pouvons avoir une idée claire de la direction à suivre qu’à partir de la parole de Dieu. Par conséquent, nous devons bien l’étudier pour bien obéir à Dieu. Deuxièmement, nous ne pouvons avoir une idée claire de la direction à suivre que si nous vivons une vie remplie de l'Esprit, dans la dépendance de Dieu et l'obéissance à sa parole. Troisièmement, nous ne pouvons avoir une idée claire de la direction à suivre que si nous vivons une vie de consécration dans la prière. Les trois éléments suivants renforcent une vie de sanctification - la vérité de la Parole de Dieu, la puissance de l'Esprit de Dieu, et l'efficacité de la prière.
4ème Partie: Plans De Predications
Le dialogue de Jésus avec ses disciples
Pour la version anglaise de ces prédications, cliquez sur ces liens: Link 1 - Jean 20:19-21; Link 2 - Jean. 20:21-23; Link 3 - Jean. 20:24-31
Titre: Le choc et la réalité de la résurrection - partie 4,5,6
Point n°1: La résurrection de Jésus change la peur en courage (20:19-23)
1. Le Jésus ressuscité apaise nos craintes (19-20)
a) Il apaise nos craintes par ce qu'il dit (19)
b) Il apaise nos craintes par ce qu'il fait (20)
2. Le Jésus ressuscité ravive notre courage (22-23)
a) Il ravive notre courage pour continuer son œuvre (21)
b) Il ravive notre courage pour parler avec autorité (22-23)
Point n°2: La résurrection de Jésus change l'incrédulité en foi (20:24-29)
1. L’incrédulité n’est pas vaincue par un simple témoignage (24-25a)
2. L'incrédulité a besoin d’une preuve palpable (25b-28)
a) La preuve palpable c’est ce que Christ a dit (26)
b) La preuve palpable c’est ce que Christ a fait (27a)
3. La preuve palpable a besoin d’un verdict pour se manifester (27b-29)
a) La foi est prouvée par une grande confession de foi (28)
b) La foi est récompensée par une grande bénédiction du Christ (29)
(i) Il est bon de voir et de croire (29a)
(ii) Il est encore préférable de croire avant de voir (29b)
Conclusion (30-31)
1 R. Albert Mohler, Jr., Comme Ayant Autorité dans “La Revue de Masters Seminary (Printemps 2011, 89-98), 89
2 Mohler, 97
3 Richard Holland, La Prédication par Exposition: La Réponse Logique à une Bibliologie Robuste dans “La Revue de Masters Seminary” (Printemps 2011, 19-39), 20
4 Mohler, 92
5 R. C. Sproul, La quête de Dieu par l’âme (Wheaton: Tyndale House Publishers, 1992), 51
6 Jonathan Edwards, L’œuvre de Jonathan Edwards, Vol. 2, revisé et corrigé, Edward Hickman (Carlisle: PA: The Banner of Truth Trust, 1995), 14ff.
Related Topics: Pastors